Secercah kilau rembulan menyeruak masuk kedalam ruangan dan mulai
berpadu dengan cahaya lampu ruangan yang sedari tadi menjadi penerang,
membuat laki-laki tampan yang menjadi pemilik satu-satunya ruanyan
tersebut dapat melihat dengan jelas isi album foto yang ada
dihadapannya. Album lama yang terabaikan keberadaannya, hingga kusam dan
debu menumpuk pada bagian atas sampul.
Labirin-labirin waktu tidak akan pernah bisa menandingi panjang kasihnya,
Elok senja tidak akan mampu mengalahkan indah senyumannya,
Bahkan batu karang tidak dapat melawan kekuatan cintanya,
Beberapa kalimat tersebut sempat ia baca pada halaman pertama album
foto. Ntah sejak kapan kalimat-kalimat tersebut menjadi kalimat pembuka
album pada halaman utama. seingatnya kalimat-kalimat tersebut terangkai
sempurna dari mulut kakak pertamanya, ia juga ingat kalimat-kalimat
tersebut ditulis langsung oleh kakak keduanya, sementara ia hanya diam ketika kalimat tersebut terikrar dan tertulis.
Arghhhh ! ingatan itu
berputar kembali tanpa bisa ia tahan atau remove langsung dari
saraf-saraf otaknya. Semuanya begitu menyakitkan ketika kematian wanita
itu datang dan membuatnya terasingi begitu saja dari keluarganya. tidak
dianggap dan dicampakkan secara langsung, membuat sakit hati itu
menjalar selama bertahun-tahun namun tidak dijadikan dendam olehnya.
Kekuatan diri yang tidak berpondasi, serta ketegaran yang nyatanya
rapuh untuk hati. Bila tidak mengingat kasih tulus itu, maka mungkin
sekarang ia sudah menjadi pembunuh berantai yang sudah siap membunuh
semua orang yang mencampakannya atau semua orang yang sudah menghinanya.
Toh buat apa semua kesalahan dilimpahkan untuk dirinya, lagi pula waktu
itu ia masih pantas dalam gendongan wanita yang disebutnya Mama dan
bukan salah dirinya kalau semua itu terjadi. Ia bukan satu-satunya
pendosa kecil yang akan rela membiarkan semuanya terjadi dan malah
membuat wanita itu untuk kembali pada yang kuasa.
******
“pagi mama !” sapa alvin pagi ini.
Kendati
Tidak ada jawaban dari yang disapanya alvin malah tetap tersenyum
seraya mendekat dan mencium permukaan datar yang menjadi pelindung
tinta-tinta penggambar wajah orang yang disapa.
“mama, sekarang alvin ada ujian praktik Bahasa Indonesia. Alvin minta doa mama dari alam sana ya, hehe. Alvin sayang mama.”
Ciuman
hangat alvin terlepas dari bingkai foto tersebut, lalu ditaruhnya
kembali diatas meja. Perlahan alvin tersenyum miris, menyadari mungkin
kegiatan yang satu ini bisa disebut kegiatan gila. Namun hanya ini yang
bisa dilakukan alvin setiap hari untuk meminta izin kepada orang yang
telah tiada. Menyapa, mencium permukaan datar kaca bingkai, menarik
seuntai senyum, dan mengucapkan permintaan izin untuk menjalani hari
ini, hal-hal tersebut sudah menjadi kegiatan rutin bagi alvin setiap ia
membutuhkan restu dari mamanya, dan percaya atau tidak dari situlah ia mendapat kekuatan untuk melewati hari-harinya.
Sesaat setelah itu alvin langsung
melangkah keluar dari kamarnya dan bersiap-siap untuk kesekolah,
mengingat seperti katanya tadi kalau hari ini akan diadakan ujian
praktik Bahasa Indonesia untuk kelas 9. Mau tidak mau hari ini alvin
harus berangkat lebih pagi seperti intruksi gurunya kemarin.
“alvin, sarapan dulu nak.” Sambut wanita yang sudah tua ketika melihat alvin menuruni tangga lantai 2.
“tidak oma, sekarang alvin harus berangkat lebih pagi. Alvin ada ujian praktik hari ini.”
Alvin
mencium tangan omanya. Oma yang selama bertahun-tahun telah menjadi
pengganti sosok wanita muda yang telah tiada, oma yang selama ini
menjadi pemegang hak atas kasih sayangnya yang tidak akan pernah
tertandingi oleh kasih sayang apapun, dan oma yang menjadi satu-satunya
orang yang mau menerima dia apa adanya.
Setelah cukup lama mencium
kening omanya, alvin kembali berjalan kearah luar rumah untuk
menghampiri supirnya yang sudah menunggu didalam mobil. Barulah setelah
itu alvin berangkat kesekolah.
########
Ujian
praktik dilaksanakan diruang aula sekolah. Tidak seperti ujian pada
umumnya dengan ruangan yang sepi, senyap, dan mencekam, tapi untuk kali ini
ruang ujian malah ramai oleh para undangan mulai dari guru dan semua
siswa dari kelas 7,8, dan 9 SMP, serta kelas 10, 11, dan 12 SMA yang berada dalam satu yayasan dengan SMPnya. Setiap
tahun memang seperti ini, ujian akan dilakukan didepan para penonton.
Aneh memang, tapi inilah bedanya dari sekolah-sekolah pada umumnya.
Ujian
praktik untuk Bahasa Indonesia dilakukan dengan pertunjukkan pembacaan
artikel khusus secara lisan dan tanpa melihat atau bahkan menyusun teks
naskah terlebih dahulu. Hal tersebut benar-benar membuat hati kocar
kacir, apalagi mengingat tema artikel juga ditentukkan dengan cara
mengambil kertas yang digulung-gulung dalam toples.
Tidak butuh
waktu lama, nama alvin pun dipanggil pada urutan pertama. Membuat alvin
harus segera bergegas naik keatas panggung dan mengambil satu gulungan
kertas diantara beberapa kertas gulungan yang ada. setelah itu, alvin
disuruh untuk membacakan tema yang terdapat dalam gulungan tersebut dan
langsung membacakan artikelnya.
“Ibu.” kata alvin lirih, ia sempat terkejut dengan tema apa yang didapatkannya.
Alvin
terdiam dan menundukkan wajahnya, ia mencoba menutupi matanya yang
telah berkaca-kaca. Ia sendiri bingung untuk merangkai kata-kata tentang
tema “ibu”, mengingat kalau ia sendiri tidak sepenuhnya mengenal sosok
ibu dalam hidupnya.
“Ibu.” Sebut alvin lagi untuk yang ke2
kalinya. Semua yang menonton pun hanya diam melihat tingkah alvin yang
tidak kunjung membacakan artikelnya.
“Ibu? Maaf jangan
tanyakan lagi tentang ibu. Aku tidak terlalu mengenal sosok Ibu dalam
hidupku. Bahkan aku juga tidak mengingat bagaimana wajahnya. Aku lupa bagaimana rasanya ditimang Ibu atau bahkan aku juga tidak tahu
bagaimana rasanya dekapan kasih sayangnya. Aku hanyalah anak laki-laki
yang menepi dari tulusnya rasa kasih sayang Ibu, tapi aku bukannya
terlahir dari dalam perut papa. Hanya saja saat usiaku menginjak 1 ½
Ibu pergi untuk selamanya. Sampai saat ini, aku belum mengerti tentang
kepergiannya.”
Alvin menundukkan wajahnya semakin dalam, ntah
darimana kata-kata tersebut terangkai dan terucap lepas dari mulutnya.
Perlahan air matanya menetes, membuat dirinya terlihat lemah disana.
Tapi sadarkah, ini diluar kehendaknya. Menangis karna ibu bukan
berarti kita lemah, tapi itu menandakkan seberapa besar dirinya
merindukkan sosok tersebut.
“Meskipun Ibu tidak ada saat ini,
Namun Setidaknya selama 1 ½ tahun Ibu bisa menemaniku. Meskipun saat itu
aku belum mengerti arti kehadiran sosok tersebut dalam hidup ini, saat
itu juga aku belum bisa merasakan kasih sayangnya. Hingga sampai saat
ini, aku masih penasaran bagaimana rasanya dibesarkan oleh Ibu kita
sendiri, bukan orang lain."
"Kata orang Ibu itu bawel, suka marah-marah,
atau bahkan Ibu juga suka mengatur-ngatur hidup kita. tapi jika kalian menjadi seperti aku, dibesarkan tanpa ibu, pasti kalian akan
merasa betapa Pentingnya kehadiran ibu dan betapa Hambarnya hidup ini
tanpa Ibu. Aku bersumpah, Aku rela menukarkan segalanya asalkan ibuku bisa kembali.”
Sejenak alvin menghela nafas, mencari kata untuk
menutup aksinya. Ingin rasanya ia segera berlari menuruni panggung dan
melampiaskan semuanya dengan bertandang kemakam mamanya. “Ibu
memang tidak hidup didunia ini, tapi ibu selalu hidup dihati ini.” Kata
alvin, semua penonton memberi tepuk tangan yang meriah untuk
penampilannya.
Baru saja langkah kecilnya akan
menuruni panggung, namun suara di antara penonton menghentikkan langkah
kakinya. Alvin menahan nafas, mencoba mengenali suara familiar yang
menyambut artikelnya tentang sosok IBU. Ketika ia berbalik, seseorang
sudah berada tepat dihadapannya. Bukan seseorang, tapi tepatnya dua
orang yang satu cowok dan satunya lagi cewek.
“Ibu
bukan wanita bawel, ibu adalah wanita yang rela mengeluarkan suaranya
untuk kita dengan maksud memperingati kita akan suatu kesalahan. Ibu
juga bukan wanita yang suka marah-marah, hanya saja ibu melakukannya
agar kita tidak membuat suatu kesalahan yang tidak di sukainya. Bahkan
ibu bukan wanita yang suka mengatur-ngatur hidup kita, namun ibu hanya
ingin mengarahkan kita kejalan yang benar, untuk hidup kita dimasa
depan.” Kata satu dari dua orang tersebut, tepatnya yang cowok.
“kak cakka.” Panggil alvin, rasanya tak percaya melihat laki-laki
tersebut sudi untuk dekat dengannya. Cakka tersenyum riang, tangan
kanannya ia letakkan puncak kepala alvin dan mengacak rambut adiknya
penuh kasih.
“Labirin-labirin waktu tidak akan pernah
bisa menandingi panjang kasihnya, Elok senja tidak akan mampu
mengalahkan indah senyumannya, Bahkan batu karang tidak dapat melawan kekuatan cintanya. Bahkan, selubung tipis perbedaan dunia tidak
akan pernah mampu memisahkan kasihnya untuk kita, anaknya.”
Sivia,
begitula ia di panggil. Dia kakak kedua alvin, dia yang tadi
melanjutkan kalimat-kalimat dari cakka. “ibu tidak akan pernah melangkah
jauh dari langkah anak-anaknya. Setiap detik, setiap menit, setiap jam,
setiap hari, bahkan setiap waktu dan sepanjang masa, ibu akan selalu
menemani langkah kita, ibu tidak akan jauh dari anak-anaknya. Ibu tidak
akan peduli bagaimana takdir memisahkan dirinya dengan kita. yang
terpenting, ibu akan selalu siap memberikan semua cinta kasihnya untuk
kita.”
“kak sivia.” Panggil alvin kepada kakak keduanya tersebut.
Seakan
ini mimpi, alvin benar-benar tidak percaya akan kehadiran kedua
kakaknya. Sebelumnya mereka tidak pernah mau mendekat kearah alvin,
tidak seincipun. Cakka dan sivia langsung memeluk alvin, melepaskan
segala rindu itu dan membiarkan seluruh kasih itu mengalir satu sama
lain. Sudah lama mereka tidak seperti ini, lama sekali dan itu hampir
mencakup seluruh hidup alvin.
****
Ibu !!!
Aku tidak dapat mempersembahkan apapun untukmu, aku hanya dapat mencium dan memelukkmu...
Tidak banyak pintaku, aku hanya ingin bersamamu dan aku ingin kau selalu menemaniku...
Ibu !!!
Maaf, maaf, dan maaf....
Aku tidak bisa membahagiakanmu, aku selalu menyusahkanmu...
Tapi, ibu harus tahu kalau ‘aku sangat menyayangi ibu’, ‘aku sangat mencintai ibu’...
Ibu, ibu, dan ibu...
Kau bagaikan malaikat tanpa sayap,,,
Jiwamu bersih, kasihmu putih, dan hatimu sangat tulus...
I love you, ibu...
-----THE END------
Gadis Penghayal
> THIS IS MY LIFE ^^ > My DREAM is My Story of My Life ^^ > I LOVE THE WORD ^^
Senin, 23 Desember 2013
Semua Untuk Mama (Re-post)
Berawal dari mama dan selalu untuk mama,
Bahkan tidak akan ada yang terlewati untuk mama,
Mulai dari hidup ini, rasa ini, dan perjuangan ini adalah untuk mama...
Berawal dari cinta kasih mama,
Mata ini bisa menatap dunia karna mama,
Nafas ini terhembus memenuhi uap kehidupan karna mama,
Raga ini bergerak karna mama juga...
Berawal dari belaian mama,
Semua yang terjalani tidak pernah luput dari mama,
Setiap waktu yang terlewati pun selalu bersama mama,
Sejengkal langkah kaki ini tidak akan pernah jauh dari mama...
Berakhir di penghujung nafas karna pengorbanan demi mama...
Setitik asa yang melambung tercurahkan demi mama,
Secercah cahaya keikhlasan telah terniat demi mama,
Perjuangan sampai penghujung nafaspun demi mama jua,
Semua yang terlaksana selalu berawal dan berakhir untuk mama,
Bila dapat mengatakan dengan lantang, nyawa inipun telah terniatkan untuk mama,
Sampai detik terakhir masa ini juga akan selalu tersembahkan untuk mama...
Dihati ini selalu ada CINTA UNTUK MAMA, bahkan SEMUA UNTUK MAMA,
MAMA, MAMA, DAN MAMA... :‘)
===================
Dia terlihat kuat, senyumannya pun tidak pernah pudar. Mungkin dibalik ketegarannya, sungguh tampak kerapuhan didalam sana. Bila tidak mengingat pesan terakhir yang paling berarti dalam hidupnya, mungkin sekarang senyumannya akan memudar begitu saja, Mungkin ia akan lebih memilih untuk bungkam dari dunia, dan mungkin sekarang ia sudah termasuk dalam calon-calon peghuni neraka karna putus asa. tapi bukankah wajar-wajar saja jika ketegaran itu musnah pada suatu saat nanti, bila mengingat semua ini termasuk dalam fase manusiawi maka dia juga tidak akan pernah bisa untuk terus menerus bertahan di balik senyuman semu, di balik ketegara tak berpondasi, bahkan di balik ketenangan yang mulai mengeruh.
Dia, laki-laki kecil yang selalu memperuntukkan hidupnya untuk mamanya tersayang. Dia selalu datang ketempat dimana mamanya dirawat, jika boleh memilih mungkin sekarang laki-laki kecil itu akan menjual semua organ tubuhnya untuk sang mama. Ketegaran dan senyuman yang selalu dipertontonkan untuk orang banyak, kini hilang dan musnah begitu melihat raga wanita itu terbaring tanpa daya. Tatapan nanar akan selalu menatap tubuh lemas mamanya.
‘huh !’ laki-laki tersebut kembali berdesah. Mencoba mengurangi beban berat yang dipikulnya selama sebulan ini. Kebahagiaan nyatanya sekarang terenggut melihat kondisi mamanya. Tapi meskipun begitu, jangan harap mulut kecilnya akan mengeluarkan sepatah katapun untuk mengatakan pengeluhan, bahkan untuk mendesah pun dia enggan, semua akan dia jalani dengan ikhlas dan semuanya untuk mama.
*****
“jangan menyentuh mamaku.” Teriaknya pada masa itu, sementara wanita yang dilindunginya sekarang tengah menangis sesenggukan.
“minggir kamu, dasar anak tolol.” Bentak pria yang selalu menyusahkan hidup mereka. Setelah itu dengan tangan ringan pria tersebut mendorong laki-laki kecil tersebut, kemudian tanpa segan pria itu menggeret wanita yang tadi terlindungi dibalik tubuh kecil anaknya.
“pa, ku mohon jangan sakiti mama lagi.” Teriaknya dan berlari begitu saja dari tempatnya terdorong tadi, ia mendekat dan menggigit tangan pria yang sebenarnya tidak pantas dipanggil papa.
“awww, dasar anak bodoh. Awas, tidak akan kuberi ampun kamu nanti !” kata pria tersebut, kini klimaksnya semakin memuncak dan bersiap-siap menghantam tubuh kecil anaknya dan sekali lagi tubuh kecil itu kembali tersungkur ke aspal, entah bagai mana ceritanya sekarang mereka sedang berada diluar gerbang rumah.
“ALVIIIIIN...” jerit wanita yang dipanggil mama oleh laki-laki kecil tadi. Setelah itu wanita tersebut mendekat dan giliran melindungi tubuh anaknya yang babak belur karna melindunginya dari tadi dan...
‘BRAAAK’ tanpa bisa terhindar, kedua tubuh teraniaya tersebut terpelanting dengan keras karena tabrakan sebuah mobil, sementara pria yang dipanggil papa oleh alvin -anak laki-laki kecil tadi- dengan gampangnya berlari tunggang langgang tanpa memperdulikan nasib anak istrinya.
Akibat tabrakan tersebut tak membuat jalinan ibu dan anak itu terputus, alvin yang masih sadar dengan sisa tenaganya menggapai-gapai tangan mamanya yang sudah tergeletak disampi tubuhnya. Semua yang berusaha membantu mereka hanya dapat mengigit bibir melihat adegan ibu dan anak tersebut, ntahlah mereka berfikir ‘sebagaimana besar kasih sayang sang anak, hingga dalam keadaan seperti ini pun masih memikirkan ibunya.’
*****
Ia kembali dari ingatan kejadian sebulan yang lalu. Tubuhnya masih lemas, dia kembali merutuk. Kenapa meski mama yang harus koma ? tanya alvin sambil kembali mengingat takdir.
Setelah diam cukup lama, alvin kembali terfokus kearah note nada yang berserakkan. Sekarang waktunya dia kembali berlatih untuk mewujudkan mimpi sang mama, melihat dirinya menjadi seorang pianis terkenal melalui ajang pencarian bakat. Mengingat umurnya yang masih 12 tahun, dia kembali berfikir cara untuk mencari uang lebih untuk membayar pengobatan sang mama, mana ada dia punya ijazah SMA, sementara ijazah SD pun belum ia dapatkan. Sementara uang dari performancenya pun belum mencukupi dan pria yang tak pantas ia panggil papa pun tak kunjung terlihat lagi setelah kejadian sebulan lalu, benar-benar tak berhati.
“alvin, kamu sudah siap? sejam lagi lomba akan dimulai.” Tutur gadis yang sebaya dengannya, alvin hanya mengangguk dan kembali tersenyum.
“selalu siap dong, kan demi mama.” Tutur alvin polos, gadis tersebut membalas senyumannya dengan anggukan ringan yang berarti untuk memberikan semangat untuk temannya.
“haha, kamu ini. Yasudahlah ! latihan lagi gih.” Alvin kemabali bergulat dengan piano kesayanannya.
Semenjak kejadian yang lalu, alvin tidak berani pulang. Ia tinggal dirumah orang yang menabraknya dulu, tapi meskipun begitu ia tidak ingin terus-terusan menengadah mengharap belas kasih dari orang lain.
______________________________________________________________________
Berawal dari mimpi untuk mama, niat yang tercurah untuk mama, bahkan setiap tetesan peluh selalu demi mama.
Alvin memulai performancenya. Mencetak nada dari tekanan tuts piano yang ada dihadapanya. Seketika membuat semua orang kicep dan menghayati melodi yang tercipta. Kepiawaiyan yang dipertunjukkan alvin terlihat begitu nyata, padahal mengingat semua ini ia latih dalam tenpo waktu singkat dan turunan dari mamanya.
‘prok,prok,prok.’ Semua menyambut akhir nada dengan meriah, tepukkan tangan kian membahana, tiadak ada yang mampu berucapa akan nada yang diviptakannya. Meski terkesan pilu, namun berhasil mengundang decak kagum dari semua yang mendengarnya.
“woow amazing ! ALVIN, The best performance from you, I can not comment with your appearance, the appearance you present to whom?” host acara yang tadi bungkam pun mulai mencairkan suasana sambil menghapus air mata yang tadi menetes.
“just for my mom.” Singkatnyna dan tersenyum ringan, menampakkan keceriaan semu.
“hahaa ! i am sure, i can’t speak again.” Ucap host tersebut sambil menggelengkan kepala menandakkan dia tidak bisa berkata lagi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah teropi ditentengnya, mengamburkan pelukan ke tubuh sang mama yang tak bergerak. Ia tersenyum dan mengatakan ‘just for you mom.’ Setelah itu dia kembali tersenyum dan menarik kursi disamping mamanya. Ternyata selain senang karna menang, ia juga senang karna hasil yang ia dapatkan. Sekarang ia akan melunasi semua biaya rumah sakit untuk mamanya.
‘tuuuutuuutuuuut’
Garis lurus tercipta setelah garis zigzag di monitor dicktator jantung yang berada di atas meja kecil, alvin panic dan berlari mencari dokter setelah piala yang sedari tadi dipegangnya terlempar dan hancur begitu saja.
“mama jangan tinggalin alvin.” lirihnya diruang tunggu, tubuhnya gemetar dan isak tangisnya semakin kuat, membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi pilu.
“alvin... berhentilah menangis, mamamu pasti baik-baik saja.” ujar seorang gadis yang baru saja muncul, setelah itu alvin memeluk gadis tersebut dan menumpahkan tangisnya dalam pelukan gadis tersebut.
“sivia, alvin takut.” Lirihnya. Baru setelah itu, seorang dokter keluar dan berlalu tanpa suara. Alvin yang melihatnya langsung berlari kedalam ruangan.
“mama....” teriaknya sambil memeluk tubuh waita tersebut, tangisnya hiisteris dan tak tertahankan lagi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berawal dan berakhir untuk mama..
Tangisnya pecah disamping gundukkan mamanya. Seketika kerapuhan itu terlukis jelas dari isakkannya yang benar-benar memekakan telinga. Semua yang melayat hanya dapat ikut menangis, tak ada yang bisa menguatkan alvin.
“jangan tinggalin alvin ma, alvin sayang mama. kalaupun mama pergi maka bawa alvin pergi juga.” Kata alvin dan kembali membuat orang yang mendengarnya menjadi miris. “alvin sayang mama, alvin gak bisa hidup tanpa mama. Mama, alvin mohon...”
Lama terdiam, berbulir-bulir air pun jatuh dari langit. Sementara pelayat sudah lama berlalu dari pemakaman. Namun dia masih tetap keukeuh disamping nisan yang bertuliskan nama mamanya.
“alviiin.” Dia berbalik, melihat siapa yang memanggil namanya. Seketika itu ia kalap dan mendorong tubuh pria yang baru saja bertandang.
“apa lagi mau anda ? belum puas anda membunuh mamaku, belum puas anda menyiksa kami, sekarang apa mau anda. Hah ! anda mau mebunuhku juga, silahkan.” Kata alvin yang terdengar marah, pria tersebut menggeleng dan mencoba merengkuh alvin kedalam pelukkannya. Tapi na’as alvin malah menentang, menolak tangan pria tersebut, dan berlari menghidarinya.
“alvin, tunggu papa.” Teriak pria tersebut, ia mengikuti langkah kecil alvin.
‘BRAAAAK’ lagi-lagi, semua terulang. Tubuh kecil itu terpental jauh, membuat pria tadi menganga. Darah mengaril dan semua menggelap, ringan, dan hilang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tenyata ini jalan yang terbaik, takdir menuntut langakhku untuk terus bersama mama.
Takdir tak selamanya kejam, sang kuasa memang selalu adil...
Selalu ada rencana untuk kita yang berjuang untuk hidup....
Aku melangkah bersama langkah mama, meninggalkan fananya dunia...
Kubawa terbang semua yang semu, senyum tak lagi terpaksa dan kini semua menjadi terkilasan sempurna...
HANYA UNTUK MAMA DAN SEMUA UNTUK MAMA...
SAYANGI MAMA DENGAN KEIKHLASAN DAN SELALU MENCINTAINYA TANPA PENGELUHAN...
CINTA KASIH MAMA TAK TERBALASKAN, BAHKAN CINTA INI TIDAK BISA MENCAPAINYA DAN MELAMPAUI CINTANYA KEPADAKU....
MAMA, MAMA, DAN MAMA....
SELALU INDAH TERUCAPKAN....
____________________________-THE ENDING-___________________________
Bahkan tidak akan ada yang terlewati untuk mama,
Mulai dari hidup ini, rasa ini, dan perjuangan ini adalah untuk mama...
Berawal dari cinta kasih mama,
Mata ini bisa menatap dunia karna mama,
Nafas ini terhembus memenuhi uap kehidupan karna mama,
Raga ini bergerak karna mama juga...
Berawal dari belaian mama,
Semua yang terjalani tidak pernah luput dari mama,
Setiap waktu yang terlewati pun selalu bersama mama,
Sejengkal langkah kaki ini tidak akan pernah jauh dari mama...
Berakhir di penghujung nafas karna pengorbanan demi mama...
Setitik asa yang melambung tercurahkan demi mama,
Secercah cahaya keikhlasan telah terniat demi mama,
Perjuangan sampai penghujung nafaspun demi mama jua,
Semua yang terlaksana selalu berawal dan berakhir untuk mama,
Bila dapat mengatakan dengan lantang, nyawa inipun telah terniatkan untuk mama,
Sampai detik terakhir masa ini juga akan selalu tersembahkan untuk mama...
Dihati ini selalu ada CINTA UNTUK MAMA, bahkan SEMUA UNTUK MAMA,
MAMA, MAMA, DAN MAMA... :‘)
===================
Dia terlihat kuat, senyumannya pun tidak pernah pudar. Mungkin dibalik ketegarannya, sungguh tampak kerapuhan didalam sana. Bila tidak mengingat pesan terakhir yang paling berarti dalam hidupnya, mungkin sekarang senyumannya akan memudar begitu saja, Mungkin ia akan lebih memilih untuk bungkam dari dunia, dan mungkin sekarang ia sudah termasuk dalam calon-calon peghuni neraka karna putus asa. tapi bukankah wajar-wajar saja jika ketegaran itu musnah pada suatu saat nanti, bila mengingat semua ini termasuk dalam fase manusiawi maka dia juga tidak akan pernah bisa untuk terus menerus bertahan di balik senyuman semu, di balik ketegara tak berpondasi, bahkan di balik ketenangan yang mulai mengeruh.
Dia, laki-laki kecil yang selalu memperuntukkan hidupnya untuk mamanya tersayang. Dia selalu datang ketempat dimana mamanya dirawat, jika boleh memilih mungkin sekarang laki-laki kecil itu akan menjual semua organ tubuhnya untuk sang mama. Ketegaran dan senyuman yang selalu dipertontonkan untuk orang banyak, kini hilang dan musnah begitu melihat raga wanita itu terbaring tanpa daya. Tatapan nanar akan selalu menatap tubuh lemas mamanya.
‘huh !’ laki-laki tersebut kembali berdesah. Mencoba mengurangi beban berat yang dipikulnya selama sebulan ini. Kebahagiaan nyatanya sekarang terenggut melihat kondisi mamanya. Tapi meskipun begitu, jangan harap mulut kecilnya akan mengeluarkan sepatah katapun untuk mengatakan pengeluhan, bahkan untuk mendesah pun dia enggan, semua akan dia jalani dengan ikhlas dan semuanya untuk mama.
*****
“jangan menyentuh mamaku.” Teriaknya pada masa itu, sementara wanita yang dilindunginya sekarang tengah menangis sesenggukan.
“minggir kamu, dasar anak tolol.” Bentak pria yang selalu menyusahkan hidup mereka. Setelah itu dengan tangan ringan pria tersebut mendorong laki-laki kecil tersebut, kemudian tanpa segan pria itu menggeret wanita yang tadi terlindungi dibalik tubuh kecil anaknya.
“pa, ku mohon jangan sakiti mama lagi.” Teriaknya dan berlari begitu saja dari tempatnya terdorong tadi, ia mendekat dan menggigit tangan pria yang sebenarnya tidak pantas dipanggil papa.
“awww, dasar anak bodoh. Awas, tidak akan kuberi ampun kamu nanti !” kata pria tersebut, kini klimaksnya semakin memuncak dan bersiap-siap menghantam tubuh kecil anaknya dan sekali lagi tubuh kecil itu kembali tersungkur ke aspal, entah bagai mana ceritanya sekarang mereka sedang berada diluar gerbang rumah.
“ALVIIIIIN...” jerit wanita yang dipanggil mama oleh laki-laki kecil tadi. Setelah itu wanita tersebut mendekat dan giliran melindungi tubuh anaknya yang babak belur karna melindunginya dari tadi dan...
‘BRAAAK’ tanpa bisa terhindar, kedua tubuh teraniaya tersebut terpelanting dengan keras karena tabrakan sebuah mobil, sementara pria yang dipanggil papa oleh alvin -anak laki-laki kecil tadi- dengan gampangnya berlari tunggang langgang tanpa memperdulikan nasib anak istrinya.
Akibat tabrakan tersebut tak membuat jalinan ibu dan anak itu terputus, alvin yang masih sadar dengan sisa tenaganya menggapai-gapai tangan mamanya yang sudah tergeletak disampi tubuhnya. Semua yang berusaha membantu mereka hanya dapat mengigit bibir melihat adegan ibu dan anak tersebut, ntahlah mereka berfikir ‘sebagaimana besar kasih sayang sang anak, hingga dalam keadaan seperti ini pun masih memikirkan ibunya.’
*****
Ia kembali dari ingatan kejadian sebulan yang lalu. Tubuhnya masih lemas, dia kembali merutuk. Kenapa meski mama yang harus koma ? tanya alvin sambil kembali mengingat takdir.
Setelah diam cukup lama, alvin kembali terfokus kearah note nada yang berserakkan. Sekarang waktunya dia kembali berlatih untuk mewujudkan mimpi sang mama, melihat dirinya menjadi seorang pianis terkenal melalui ajang pencarian bakat. Mengingat umurnya yang masih 12 tahun, dia kembali berfikir cara untuk mencari uang lebih untuk membayar pengobatan sang mama, mana ada dia punya ijazah SMA, sementara ijazah SD pun belum ia dapatkan. Sementara uang dari performancenya pun belum mencukupi dan pria yang tak pantas ia panggil papa pun tak kunjung terlihat lagi setelah kejadian sebulan lalu, benar-benar tak berhati.
“alvin, kamu sudah siap? sejam lagi lomba akan dimulai.” Tutur gadis yang sebaya dengannya, alvin hanya mengangguk dan kembali tersenyum.
“selalu siap dong, kan demi mama.” Tutur alvin polos, gadis tersebut membalas senyumannya dengan anggukan ringan yang berarti untuk memberikan semangat untuk temannya.
“haha, kamu ini. Yasudahlah ! latihan lagi gih.” Alvin kemabali bergulat dengan piano kesayanannya.
Semenjak kejadian yang lalu, alvin tidak berani pulang. Ia tinggal dirumah orang yang menabraknya dulu, tapi meskipun begitu ia tidak ingin terus-terusan menengadah mengharap belas kasih dari orang lain.
______________________________________________________________________
Berawal dari mimpi untuk mama, niat yang tercurah untuk mama, bahkan setiap tetesan peluh selalu demi mama.
Alvin memulai performancenya. Mencetak nada dari tekanan tuts piano yang ada dihadapanya. Seketika membuat semua orang kicep dan menghayati melodi yang tercipta. Kepiawaiyan yang dipertunjukkan alvin terlihat begitu nyata, padahal mengingat semua ini ia latih dalam tenpo waktu singkat dan turunan dari mamanya.
‘prok,prok,prok.’ Semua menyambut akhir nada dengan meriah, tepukkan tangan kian membahana, tiadak ada yang mampu berucapa akan nada yang diviptakannya. Meski terkesan pilu, namun berhasil mengundang decak kagum dari semua yang mendengarnya.
“woow amazing ! ALVIN, The best performance from you, I can not comment with your appearance, the appearance you present to whom?” host acara yang tadi bungkam pun mulai mencairkan suasana sambil menghapus air mata yang tadi menetes.
“just for my mom.” Singkatnyna dan tersenyum ringan, menampakkan keceriaan semu.
“hahaa ! i am sure, i can’t speak again.” Ucap host tersebut sambil menggelengkan kepala menandakkan dia tidak bisa berkata lagi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah teropi ditentengnya, mengamburkan pelukan ke tubuh sang mama yang tak bergerak. Ia tersenyum dan mengatakan ‘just for you mom.’ Setelah itu dia kembali tersenyum dan menarik kursi disamping mamanya. Ternyata selain senang karna menang, ia juga senang karna hasil yang ia dapatkan. Sekarang ia akan melunasi semua biaya rumah sakit untuk mamanya.
‘tuuuutuuutuuuut’
Garis lurus tercipta setelah garis zigzag di monitor dicktator jantung yang berada di atas meja kecil, alvin panic dan berlari mencari dokter setelah piala yang sedari tadi dipegangnya terlempar dan hancur begitu saja.
“mama jangan tinggalin alvin.” lirihnya diruang tunggu, tubuhnya gemetar dan isak tangisnya semakin kuat, membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi pilu.
“alvin... berhentilah menangis, mamamu pasti baik-baik saja.” ujar seorang gadis yang baru saja muncul, setelah itu alvin memeluk gadis tersebut dan menumpahkan tangisnya dalam pelukan gadis tersebut.
“sivia, alvin takut.” Lirihnya. Baru setelah itu, seorang dokter keluar dan berlalu tanpa suara. Alvin yang melihatnya langsung berlari kedalam ruangan.
“mama....” teriaknya sambil memeluk tubuh waita tersebut, tangisnya hiisteris dan tak tertahankan lagi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berawal dan berakhir untuk mama..
Tangisnya pecah disamping gundukkan mamanya. Seketika kerapuhan itu terlukis jelas dari isakkannya yang benar-benar memekakan telinga. Semua yang melayat hanya dapat ikut menangis, tak ada yang bisa menguatkan alvin.
“jangan tinggalin alvin ma, alvin sayang mama. kalaupun mama pergi maka bawa alvin pergi juga.” Kata alvin dan kembali membuat orang yang mendengarnya menjadi miris. “alvin sayang mama, alvin gak bisa hidup tanpa mama. Mama, alvin mohon...”
Lama terdiam, berbulir-bulir air pun jatuh dari langit. Sementara pelayat sudah lama berlalu dari pemakaman. Namun dia masih tetap keukeuh disamping nisan yang bertuliskan nama mamanya.
“alviiin.” Dia berbalik, melihat siapa yang memanggil namanya. Seketika itu ia kalap dan mendorong tubuh pria yang baru saja bertandang.
“apa lagi mau anda ? belum puas anda membunuh mamaku, belum puas anda menyiksa kami, sekarang apa mau anda. Hah ! anda mau mebunuhku juga, silahkan.” Kata alvin yang terdengar marah, pria tersebut menggeleng dan mencoba merengkuh alvin kedalam pelukkannya. Tapi na’as alvin malah menentang, menolak tangan pria tersebut, dan berlari menghidarinya.
“alvin, tunggu papa.” Teriak pria tersebut, ia mengikuti langkah kecil alvin.
‘BRAAAAK’ lagi-lagi, semua terulang. Tubuh kecil itu terpental jauh, membuat pria tadi menganga. Darah mengaril dan semua menggelap, ringan, dan hilang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tenyata ini jalan yang terbaik, takdir menuntut langakhku untuk terus bersama mama.
Takdir tak selamanya kejam, sang kuasa memang selalu adil...
Selalu ada rencana untuk kita yang berjuang untuk hidup....
Aku melangkah bersama langkah mama, meninggalkan fananya dunia...
Kubawa terbang semua yang semu, senyum tak lagi terpaksa dan kini semua menjadi terkilasan sempurna...
HANYA UNTUK MAMA DAN SEMUA UNTUK MAMA...
SAYANGI MAMA DENGAN KEIKHLASAN DAN SELALU MENCINTAINYA TANPA PENGELUHAN...
CINTA KASIH MAMA TAK TERBALASKAN, BAHKAN CINTA INI TIDAK BISA MENCAPAINYA DAN MELAMPAUI CINTANYA KEPADAKU....
MAMA, MAMA, DAN MAMA....
SELALU INDAH TERUCAPKAN....
____________________________-THE ENDING-___________________________
Selasa, 15 Oktober 2013
Lebih Dariku (HRWaMG)
(Part of He Returned With a Muslim Girl)
Langit
sedang bersahabat Sore ini, setelah beberapa jam tadi tak henti-hentinya
menurunkan air mata dan mengamuk dengan kilatnya. Sivia memanfaatkan waktu
sorenya dengan berjalan-jalan di taman kota. Kaki jenjangnya mengayun lembut seperti
mengikuti alunan musik klasik yang didengarnya melalui headset yang terhubungan langsung dengan Ipod Touch putih yang tidak pernah absen dari genggamannya.
Senyuman
manis mengembang dari bibir munyil
sivia, ketika tatapan matanya berhenti pada langit barat. Layaknya menantang
keelokan senja yang masih menggantung di barat, sivia menatapnya dengan amat
tajam, seperti enggan memberikan sebuah kemenangan untuk keelokan mutlak fenomena
umum tersebut. Namun tidak bisa, ia rasa dirinya tidak akan mampu menandingi senja.
Ah! untuk apa menandinginya, bukankah karena keelokan yang tak tertandingi
itulah yang membuat gadis tersebut sangat tergila-gila padanya, pada keelokan
senja yang tetap terlihat meski gelap sedang mengintip dari berbagai arah dan
siap melumatnya dalam gulita berkepanjangan.
Rasanya
sudah lama Ia ingin menjadi senja. Senja yang tetap elok meski malam
menantangnya di ujung waktu, meski pada akhirnya ia akan kalah dan pasrah
ditelan bulat-bulat oleh gelap. Jika kelak ia dapat seperti senja, maka ia
ingin Alvin –lah yang menjadi jingganya, menjadi penyempurna keelokannya
sepanjang umur senja setelah meninggi dan menggapai puncak kebahagiaan layaknya
Matahari siang hari.
“Bodoh” maki sivia pada dirinya, ia
mengalihkan pandangannya dari senja. “Kenapa
kau masih memikirkan laki-laki itu, sivia! sudah jelas kalian berbeda! tidak
ada takdir yang akan membuat kalian bersama!.” Sivia kembali memaki
dirinya, merutuki dirinya yang selama ini tidak pernah bisa melupakan Alvin.
Bahkan beberapa detik yang lalu, Ia sudah berani beranda-andai lagi tentang
laki-laki itu.
Tanpa
kembali menatap barat, Sivia kemudian memutar tubuhnya, berbalik,membelakangi
senja dan hendak melangkah pergi ketika
langkahnya tercekat sebelum kakinya bergerak seinci pun. Laki-laki itu. Baru
saja ia memikirkannya, sekarang ia malah melihat laki-laki itu sedang berjalan
didepannya. Sivia membeku ditempat. Meskipun laki-laki itu memunggunginya dan
berjalan cukup jauh didepannya, Ia tetap mengenali laki laki itu.
DEG!!
Alvin.
Gadis itu
menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak
mungkin! kau pasti berhalusinasi karena terus memikirkannya, Sivia menjerit
dalam hati. Laki-laki yang ia sangka adalah Alvin tersebut berjalan semakin
jauh, punggung kokohnya hampir menghilang dari jarak pandang Sivia. Tidak mau
kehilangan jejaknya sedikitpun, Dengan langkah cepat sivia berjalan mengikuti laki-laki tersebut.
DEG!!
Dada sivia
terasa dihantam batu yang beratnya berton-ton ketika melihat laki-laki itu
menghampiri seorang wanita yang duduk anteng disalaha satu meja kafe diseberang
jalan tempat sivia berdiri. Sakit. Rasanya ingin mati saja begitu melihat
wanita tersebut mencium pipi Alvin dengan ringan, mencubit pipi putih laki-laki
tersebut, lalu tertawa penuh kemenangan –seperti menunjukan pada sivia bahwa
Alvin adalah milik wanita tersebut.
Tidak! pasti kau salah lihat, sivia.
Tubuh
Sivia mendadak terasa lemas. Ia jatuh
tertunduk. Tangannya terangkat lemas, meremas bagian dadanya yang tidak lagi
terasa kosong, namun terasa penuh oleh sesak, hingga rasanya hampir meledak. Rasa sakit yang
berlipat ganda menghujam hatinya, membuatnya menangis bisu. Dipandangnya dengan
nanar tubuh Alvin dan gadis tersebut.
Mengapa
Alvin bersama gadis tersebut? Bukankah mereka berbeda? Alvin masih dengan
kalung salib yang melingkar sempurna di lehernya, sementara wanita tersebut
dengan hijab yang menutupi seluruh auratnya. Sivia menutup matanya, merasakan
bagaimana rasa sakit di hatinya menjalar keseluruh tubuh hingga ke kepalanya.
Otaknya berputar dengan deretan pertanyaan yang menanti untuk dijawab.
Bukankah
dulu laki-laki itu tidak menyambut cintanya karena alasan perbedaan tersebut?.
Antara Salib dan Tasbih. bukankah karena perbedaan tersebut jua yang membuat
benteng tinggi diantara cintanya dan laki-laki itu? lantas mengapa laki-laki
itu sekarang malah menembus benteng perbedaan tersebut bukan untuk dirinya,
melainkan untuk wanita lain –wanita muslim yang bahkan berhijab.
“Akhhhhh”
jerit sivia ketika tubuhnya terasa ditarik cepat kebelakang bersamaan dengan
sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi yang hampir saja menyerepet
tubuhnya.
Sivia
memejamkan matanya, merasakan tubuhnya terjatuh menimpa sesuatu yang langsung menyalurkan
rasa hangat keseluruh tubuhnya.
“Kalau kau
mau bunuh diri….”
DEG!
Sivia
membeku. Suara berat itu menyapa gendang telinganya, mengalun masuk ke seluruh
system sarafnya dan melumpuhkan segalanya, bahkan terasa dapat melumpuhkan
waktu. Ia mengenal pemilik suara itu, sungguh ia mengenalnya.
“jangan
dihadapanku.”
Alvin.
Suara itu
milik Alvin. Ia tahu benar karena ia selalu merindukan suara berat laki-laki
itu. Selain suaranya, Sivia juga mengenal aroma maskulin tubuh laki-laki itu, aroma
memabukan yang membuatnya jatuh semakin dalam ke jurang keterpesonaan.
Apa ini
mimpi?
jika ia,
tolong jangan bangunkan aku.
Aku rela
hidup dalam mimpi jika rasanya senyata ini.
“buka
matamu, Sivia.”
Perlahan,
sivia membuka matanya. Namun kembali menutupnya. Ia takut, takut kalau semuanya
hanya mimpi dan ketika matanya benar-benar terbuka, ia akan terbangun dari
mimpi tersebut, mimpi ketika ia merasakan kehangatan tubuh orang yang
dirindunya, mimpi ketika ia mendengar suara berat yang selalu ingin ia
dengarkan, mimpi….
“kau bisa
menutup matamu selama yang kau mau setelah kau bangun dari tubuhku, sivia.”
Suara
berat beriringan dengan hembusan nafas ringan yang menerpa permukaan leher
sivia, menimbulkan sensasi menggelitik diseluruh tubuhnya, membuat sivia ingin
tertawa hingga menangis saja. Ia benar-benar masih belum percaya bahwa
laki-laki yang sedang ditindihnya ini adalah orang yang ia rindu.
“sivia”
Kali ini
sivia benar-benar sadar dari rasa bahagia yang melumpuhkannya. Kembali ia coba
membuka matanya seiring dengan melonggarnya dekapan hangat dari sepasang tangan
yang baru beberapa detik yang lalu melingkar diperutnya.
Sivia
bangun dari posisinya. Baru saja ia sadari bahwa dari tadi ia menindih –dengan
posisi membelakangi tubuh yang ditindihnya. Setelah berhasil berdiri tegap,
dengan kikuk sivia menyodorkan tangannya, berniat membantu Alvin –yang ternyata
adalah orang yang ditindihnya.
“maaf”
ujarnya kaku.
Alvin
hanya mengangguk pelan tanpa melepaskan tatapannya dari wajah sivia. Sivia yang
ditatap seperti itu hanya menunduk sambil berusaha menyembunyikan pipinya yang
terasa panas, dan dapat ia pastikan kalau sekarang pipinya telah merah merona
saking malunya.
“Jika kau
berniat bunuh diri, jangan dihadapanku!.” kata Alvin tegas, dari nada seperti
tersimpan rasa emosi yang meluap-luap dan kekhawatiran yang kasat.
“ak…u…tid…”
Kehangatan
yang tiba-tiba menyelumbungi tubuhnya mengintrupsi perkataan sivia. Tiba-tiba
saja Alvin memeluknya, erat dan semakin erat, seperti menandakan bahwa ada
rindu yang tersampaikan melalui pelukan hangat tersebut.
“Kau membuatku takut, sivia…”
------------------------------------------------
“Waaah
siapa ini?”
Wanita
berhijab tersebut terlihat antusias begitu melihat Sivia duduk dihadapannya
dengan dituntun Alvin, sementara Alvin langsung menyingkir begitu mengangkat
telpon yang beberapa detik lalu masuk ke handponenya.
“kau sudah
lama mengenal Alvin?.”
Sivia
tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara lembut tersebut menjabah
telinganya. Ia menatap wanita berhijab itu dengan tatapan kosong. Wanita cantik
dengan wajah yang memancarkan cahaya keikhlasan, begitu berseri-seri.
“hey apa
kau bisu?.”
“eh…..”
“dari tadi
aku bertanya, tapi kau tidak menjawabnya.” wanita itu merengut, membuat sivia
tersenyum kaku.
“maaf…”
“oke, akan
ku maafkan asal kau menjawab setiap aku bertanya.” kata wanita itu sambil
tersenyum tulus.
Sivia
mengangguk kaku. Terasa canggung dengan situasi yang serba mendadak seperti
ini. Ketika ia dihadapkan dengan pertemuannya kembali dengan Alvin, yang
langsung membuat rasa terpendam itu bangkit dalam sentuhan pertamanya dengan
Alvin. Ketika ia menghadapi kenyataan bahwa wanita berhijab dihadapannya ini
adalah milik Alvin, yang mampu membuat hatinya hancur. ketika……
“kau
mendengarkanku?”
“eh….
apa?” sivia mengalihkan fokusnya ke wanita berhijab tersebut.
“jadi dari
tadi aku berbicara kau tak mendengarnya?”
“a…ku…
bu…k…..an ma…maksudku…” sivia berujar gugup berusaha menyelesaikan kalimatnya,
namun sepertinya percuma. Ia mendesah, lalu menundukan wajahnya.
“ckckck…sepertinya
kau sedang asik melamun.” wanita itu berdecak lalu tersenyum geli melihat
tingkah sivia yang –menurutnya sangat menggemaskan ketika sedang gugup.
“ya sudah,
lupakan…”
Sivia
semakin menunduk, merutuki kerja otaknya yang mendadak lemot ketika dihadapkan
dengan wanita berijab dihadapannya ini.
“by the
way, siapa namamu? kita belum berkenalan dari tadi.” wanita itu menyodorkan
tangannya ke hadapan sivia. “Aku Shilla.”
“Sivia.”
kata sivia sambil menjabat tangan wanita yang mengaku namanya –shilla tersebut.
“wah…
namamu cantik kaya kamu.” kata Shilla kembali terdengar antusias. Dari suaranya
yang antusias, sepertinya wanita itu menyimpan sebuah ‘ketertarik’ yang sangat
kentara dengan sivia.
sivia tersenyum
kaku –lagi mendengar pujian shilla.
‘apa artinya cantik kalau berhadapan dengan
orang yanglebih menarik sepertimu.’ kata sivia dalam hati.
“ihhh…
lama-lama ngeliatin kamu jadi gemes aku.”
Tiba-tiba
shilla mencubit kedua pipi cubby sivia, membuat sivia sedikit terlonjak dengan
tingkah tiba-tibanya.
“Jangan
asal cubit…” kata Alvin –yang tiba-tiba datang sambil menepis tangan shilla
dari pipi sivia.
“sirik
banget sih, sivia -nya aja ngga keberatan.” cibir shilla sambil mengerucutkan
bibirnya.
“cerewet!
ayo pulang, ini sudah petang.”
“yah ga asik banget sih, rasanya baru beberapa
menit yang lalu aku disini.” gerutu shilla.
Alvin
memutar bola matanya bosan, kalau saja wanita dihadapannya ini bukan
siapa-siapanya, sudah dipastikan akan ia tinggalkan dari tadi dan akan ia tarik
tangan gadis yang ada dihadapannya ini. Sivianya… ngomong-ngomong soal sivia,
gadis itu hanya diam dan mengambil peran sebagai penonton, melihat adegan yang
–menurutnya lumayan romantis itu membuatnya merasa….sakit…. Dengan cepat sivia
mengalihkan pandangannya sambil meremas-remas ujung bajunya sebagai pelampiasan
emosi….
“sivia ayo
ikut pulang dengan kami, nanti Alvin yang akan mengantarkanmu.”
“eh…….”
******
Entah
karena waktu yang memihak kepada mereka atau hanya karena takdir dari
keberuntungan yang memberikan mereka sedikit peluang untuk merasakan eforia,
bersama kembali, hanya mereka berdua, antara Alvin dan sivia. Diam-diam
keduanya menikmati suasana seperti ini, dimana kata rindu tak perlu digambarkan
dengan kata-kata, hanya dengan berada ditempat yang sama, bersama-sama, rasanya
sudah cukup untuk mereka.
“Apa kabar
kamu sekarang?” suara Alvin terdengar sedikit tercekat meski ia sudah berusaha
untuk setenang mungkin, sesantai mungkin, tanpa memperdulikan pemberontakan
besa-besaran dari salah satu bagian dari dirinya yang menginginkannya memeluk sivia.
“ba…baik.”
Sivia
menghela nafas….
“tapi
tidak sebaik sebelum kamu meninggalkanku.”
Hati Alvin
mencelos mendengar jawaban sivia. Ia diam kembali.
Sivia
memejamkan matanya, antara menikmati kebersamaan mereka, dan menenangkan suara
hatinya yang sudah berteriak-teriak meminta dirinya menyuarakan segala yang
terjadi selama laki-laki disampingnya itu meninggalkannya.
“maaf”
dan
semuanya kembali diam. kaku. membeku.
******
Sivia
menggenggam erat Ipod Touch milik Alvin yang masih berada
ditangannya. Matanya melirik tajam jam dinding yang menunjukan pukul 8 malam,
menandakan sudah 2 jam belakangan ini ia melamun, mengingat-ngingat
pertemuannya dengan Alvin tadi, ketika Alvin mengantarnya pulang, seakan ada
rasa tak rela, rasa takut akan ditinggalkan lagi.
“Alvin…. aku….
masih menunggumu….”
sivia dapat mendengarkan suaranya kembali
sebelum ia menutup mobil Alvin tadi, dan bayang-bayang wajah Alvin yang
tiba-tiba mengeras ketika mendengar pengakuannya terus bermain dalam otaknya.
Ekspresi laki-laki itu tak mapu ia baca.
“masuk dan istirahatlah…. malam….”
dan suara
Alvin selanjutnya adalah balasan dari pengakuannya.
Hingga
mobil laki-laki itu kemudian beralalu membawa pemiliknya dan hilang dalam
kegelapan, Ada rasa sakit yang kembali menyelinap kedalam hatinya. Sivia tau
rasa sakit apa itu, rasa sakit karena penantiannya hanya terbalaskan kata tidak
penting.
yah! apa
semuanya sudah jelas? ya! jelas sakitnya.
apa ini
saatnya kau belajar melupakannya? mungkin, jika bisa rasanya ingin amnesia
saja.
Tapi…
disini… tepat di paru-paruku, aku masih membutuhkannya untuk bernafas,
melupakannya berarti melupakan cara untuk bernafas. dan aku tidak bisa.
******
Kamis, 11 Juli 2013
Lebih Dariku (WML)
(part of Waiting My Love)
Bagaimana dengan
cinta yang merelakan cintanya pergi?
atau.....
Bagaimana dengan Cinta yang hanya
bisa menanti hingga berakhir sia-sia?
seseorang
mengatakan ‘tidak ada yang sia-sia’ di dunia ini, semuanya ‘peristiwa atau kejadian
pasti diciptakan lengkap dengan alasannya’, asalkan ‘yakin dengan akhir yang
kau pilih maka akhir itulah yang akan kau dapatkan’.
“ya aku percaya
tidak ada yang sia-sia.” Sivia bergumam pelan sambil menutup ingatannya tentang
seseorang yang mengajarkannya banyak hal. ah! bukan banyak, tapi terlalu banyak sampai otaknya tidak bisa
mencerna beberapa hal dan masih membuatnya bingung sampai sekarang.
Perlahan gadis
itu memejamkan matanya, tangannya yang satu meraba permukaan bad cover tempat tidurnya. Dapat! Sivia mengangkat
benda yang dicarinya, lalu diletakannya benda tersebut tepat di atas dadanya.
Ia menarik double kabel yang terpasang di benda tersebut. Seper-empat double
kabelnya terbelah dua –dan kedua
belahannya memiliki ujung yang terpasang benda kecil yang dapat mengeluarkan
suara. Lalu secara bersamaan Sivia meletakan kedua benda kecil tersebut di
masing-masing telinganya.
Alunan musik
klasik langsung menyapa gendang telinganya. Setiap nada seakan-akan mendobrak
masuk lebih dalam, melewati indera pendengarannya, mengalir masuk kesarap-sarap
inderanya yang lain dan terpencar kearah berlawanan –sebagian nada menyapa
otaknya, sebagian lagi memenuhi
hatinya yang kebetulan sedang kosong dan hambar.
“sebenarnya apa yang kau dengarkan, bodoh!”
Suara itu. Suara
dari masa lalunya terdengar samar –seakan-akan ingin ikut mengiringi alunan
musik klasik yang sekarang telah memenuhi otak dan hatinya. Tidak hanya itu.
Sekelebat bayangan tiba-tiba bermain tanpa intruksi –seakan-akan ingin ambil
bagian ditengah-tengah kedua suara –diantara suara masa lalu dan suara musik
klasik yang semakin gencar memenuhi bagian-bagian kosong yang rasanya semakin nyata, kekosongan yang berasal dari otak dan hatinya.
“Hey dengarkan aku!!!”
----------------------------------------------
Dengan kasar Sivia
menarik headset yang bertengger di kedua telinga Alvin sejak satu jam yang
lalu. Sudah cukup rasanya ia memperhatikan Alvin yang sibuk sendiri dengan
musik-musik yang ada di Ipod Touch
Putihnya.
Alvin tetap diam, pura-pura tidak peduli dengan headseat
yang terlepas paksa dari telinganya. Laki-laki berwajah oriental tersbut lebih
memilih menyibukan dirinya -kembali dengan memainkan layar touch screen Ipodnya. Hal tersebut jelas membuat Sivia semakin
sebal. Sekali lagi, dengan kasar Sivia menarik Ipod tersebut dari tangan Alvin,
kemudian menjauhkannya dari laki-laki tersebut.
“Tidak bisakah
kau mendengarkan ku dulu?.” Tanya Sivia sambil menyentuh wajah Alvin dengan
jari-jarinya yang lentik. Hal tersebut cukup membuat tatapan mata Alvin
melembut.
“Apa
barang-barangmu itu lebih penting dariku?.” Tanyanya lagi, namun kali ini
suaranya terdengar melembut. “Aku tidak meminta macam-macam, aku hanya ingin
didengar.”
Alvin menatapnya dalam kemudian mengangguk
pelan tanpa mengeluarkan suaranya.
Sivia tersenyum
senang dengan respon kecil tersebut. Setidaknya ia cukup senang karena akan
didengarkan, apa pun atau bagaimana pun respon Alvin, itu akan menjadi
urusannya nanti, sekarang ia hanya perlu berbicara dengan laki-laki itu.
“Aku
mencintaimu.” kalimat ajaib itu meluncur bebas dari bibir mungil sivia.
Alvin tertegun
namun tidak mengatakan apapun, ia hanya menatap Sivia lebih dalam lagi, tatapan
tanpa makna.
“Aku
mencintaimu.” Sivia kembali mengatakannya, namun Alvin tetap tidak membalas, ia
tetap bergeming.
“sungguh…..” kata Sivia, suaranya terdengar melemah karena tidak ada respon apa pun dari Alvin. Bukan! bukan karena ia pesimis namun karena ia tahu ada jurang membentang diantara mereka. Setetes air hangat keluar dari kelopak mata sivia, namun tatapan gadis tersebut
tetap terfokus pada kornea mata Alvin.
“Aku
mencintaimu."
Alvin mengangguk -menandangkan bahwa ia dengar dan ia tahu ada cinta diantara mereka. Laki-laki itu menyentuh jari-jari lentik Sivia yang masih diwajahnya, digenggamnya jari-jari tersebut dengan lembut, lalu diturunkannya secara perlahan dari wajahnya.
Rasa sesak
menghujam Sivia ketika Alvin menyingkirkan jari-jari tangannya dari wajah oriental
laki-laki tersebut, lalu dengan ringan laki-laki itu berdiri tanpa mengucapkan
apapun. Sivia mendongak, berusaha menangkap ekspresi Alvin, namun laki-laki itu
tetap dengan wajah datarnya.
“aku juga mencintaimu…...”
kata Alvin tanpa ekspresi. Kemudian laki-laki itu menunduk, hingga membuat
wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
“tapi kita
berbeda.” lanjutnya sebelum menghapus jarak diantara wajah mereka.
Mulut laki-laki
itu mengecup lembut kedua kelopak mata Sivia secara bergantian agar air mata
gadis tersebut segera berhenti keluar. Namun pada kenyataannya air mata gadis
tersebut semakin gencar berproduksi, bahkan lebih banyak.
“berhentilah
menangis.” Alvin mengangkat wajahnya, lalu berbalik pergi.
Tinggalah Sivia yang
masih membeku ditempatnya. Separuh jiwa gadis itu seperti ikut beranjak
mengikuti langkah Alvin. Sejauh laki-laki itu melangkah maka sejauh itu jua
separuh jiwanya akan mengikuti. Ia percaya separuh jiwanya akan kembali dengan
Alvin yang akan menyambut separuh jiwanya yang lain. yaaah ia percaya, sungguh
sangat percaya.
Mata Sivia mengerjab
begitu tubuh laki-laki itu tak lagi dapat ia lihat.
Alvin pergi…..
meninggalkannya….
dengan membawa
separuh jiwanya……
entah….
akan kembali…..
atau tidak……
----------------------------------------------
Sivia membuka
matanya dan menyadari kalau air matanya sudah menetes. Mengingat masa lalu
tersebut membuat dadanya terasa semakin kosong, seperti tidak ada udara yang mengisi
rongga-rongga dadanya, oksigen yang disekitarnya terasa penuh oleh debu-debu
yang tidak layak hirup. sesak. bukan! bukan hanya sesak, tapi sangat sesak. ia
butuh Alvin -nya. Oksigennya
Tangan Sivia menyentuh
kepala headsetnya –ah bukan! maksudnya headseat Alvin. Laki-laki itu bahkan
tidak pernah menagih headset dan Ipodnya. Setelah hari itu, Alvin benar-benar
menghilang dari jarak jangkaunya, bahakan dari jarak pandangnya.
Dengan ringan,
jari-jari lentik Sivia merenggut kepala
headset tersebut dari telingnya. Sebelumnya ia
tidak pernah ingin menyentuh heatsed dan Ipod tersebut. Tidak pernah ingin menyentuhnya sebelum setengah
tahun yang lalu, didorong oleh rasa penasaran Sivia akhirnya mau mendengarkan semua
lagu-lagu yang tersedia di Ipod tersebut. Namun pada kenyataannya tidak ada lagu
apapun disana, hanya ada beberapa instrument musik klasik didalamnya. intsrumen-instrumen itulah yang selalu didengarkan Alvin dulu, Instrumen yang selalu
membuatnya tenang dan sesak dalam waktu bersamaan.
Sesekali
instrument-instrumen tersebut membuatnya tersenyum ringan karena beberapa
nadanya seperti mengandung kenangan masa-masa indahnya ketika masih ada Alvin disisinya
dulu –dengan status mereka sebagai sahabat. Namun, tidak jarang
instrument-instrumen tersebut membuatnya menangis bisu karena nada klasiknya
yang seperti menyimpan kenangan pahit ketika Alvin meninggalkannya.
“aku percaya kau
akan kembali membawa jiwaku yang ikut melangkah bersamamu.” gumam Sivia pelan.
“sungguh aku
yakin….”
“karena cintaku
akan membawamu kembali, sejauh apapun kau pergi meninggalkanku.”
Tangan Sivia menggenggam
erat Ipod milik Alvin –seakan-akan ipod tersebut adalah separuh jiwa Alvin yang
tidak boleh ia lepas. Ia akan menggenggamnya, selama apapun ia harus menanti.
Tidak akan ia lepaskan begitu saja, karena separuh jiwanya masih ada pada
laki-laki itu.
Ia akan menanti
laki-laki itu datang kembali, menyambutnya dengan jiwanya yang masih tersisa. Tidak akan
ia pedulikan selama apapun ia menanti, ia percaya tidak akan ada yang sia-sia.
kalaupun nanti ia tidak dapat memiliki laki-laki itu, pasti akan ada satu
alasan yang membuatnya melepaskan laki-laki itu. Tapi untuk kali ini, Sivia yakin
bahwa Alvin akan kembali karena akhir yang ia pilih adalah akhir dimana ia dan
Alvin bisa bertemu kembali –meskipun akhir itu belum tentu akan membuatnya
bahagia tau lebih sakit dari sekarang.
“aku yakin akhir
yang aku pilih adalah akhir yang akan ku dapatkan.”
“karena aku
mencitainya dengan ketulusan.”
“karena dapat ku
pastikan cintaku adalah cinta sejatimu.”
“karena cinta
sejati akan berakhir untuk dipersatukan.”
“karena cinta sejati
adalah cinta yang tetap terjaga dengan keyakinan meski terpisah sajuh apapun
atau selama apapun.”
cintaku……
cinta
sejatinya…………
cinta yang
terjaga………
Langganan:
Postingan (Atom)