Senin, 23 Desember 2013

Rasanya Kasihmu (Re-post)

Secercah kilau rembulan menyeruak masuk kedalam ruangan dan mulai berpadu dengan cahaya lampu ruangan yang sedari tadi menjadi penerang, membuat laki-laki tampan yang menjadi pemilik satu-satunya ruanyan tersebut dapat melihat dengan jelas isi album foto yang ada dihadapannya. Album lama yang terabaikan keberadaannya, hingga kusam dan debu menumpuk pada bagian atas sampul.

Labirin-labirin waktu tidak akan pernah bisa menandingi panjang kasihnya,
Elok senja tidak akan mampu mengalahkan indah senyumannya,
Bahkan batu karang tidak dapat melawan kekuatan cintanya,

Beberapa kalimat tersebut sempat ia baca pada halaman pertama album foto. Ntah sejak kapan kalimat-kalimat tersebut menjadi kalimat pembuka album pada halaman utama. seingatnya kalimat-kalimat tersebut terangkai sempurna dari mulut kakak pertamanya, ia juga ingat kalimat-kalimat tersebut ditulis langsung oleh kakak keduanya, sementara ia hanya diam ketika kalimat tersebut terikrar dan tertulis.

Arghhhh ! ingatan itu berputar kembali tanpa bisa ia tahan atau remove langsung dari saraf-saraf otaknya. Semuanya begitu menyakitkan ketika kematian wanita itu datang dan membuatnya terasingi begitu saja dari keluarganya. tidak dianggap dan dicampakkan secara langsung, membuat sakit hati itu menjalar selama bertahun-tahun namun tidak dijadikan dendam olehnya.

Kekuatan diri yang tidak berpondasi, serta ketegaran yang nyatanya rapuh untuk hati. Bila tidak mengingat kasih tulus itu, maka mungkin sekarang ia sudah menjadi pembunuh berantai yang sudah siap membunuh semua orang yang mencampakannya atau semua orang yang sudah menghinanya. Toh buat apa semua kesalahan dilimpahkan untuk dirinya, lagi pula waktu itu ia masih pantas dalam gendongan wanita yang disebutnya Mama dan bukan salah dirinya kalau semua itu terjadi. Ia bukan satu-satunya pendosa kecil yang akan rela membiarkan semuanya terjadi dan malah membuat wanita itu untuk kembali pada yang kuasa.


******

“pagi mama !” sapa alvin pagi ini.

Kendati Tidak ada jawaban dari yang disapanya alvin malah tetap tersenyum seraya mendekat dan mencium permukaan datar yang menjadi pelindung tinta-tinta penggambar wajah orang yang disapa.

“mama, sekarang alvin ada ujian praktik Bahasa Indonesia. Alvin minta doa mama dari alam sana ya, hehe. Alvin sayang mama.”

Ciuman hangat alvin terlepas dari bingkai foto tersebut, lalu ditaruhnya kembali diatas meja. Perlahan alvin tersenyum miris, menyadari mungkin kegiatan yang satu ini bisa disebut kegiatan gila. Namun hanya ini yang bisa dilakukan alvin setiap hari untuk meminta izin kepada orang yang telah tiada. Menyapa, mencium permukaan datar kaca bingkai, menarik seuntai senyum, dan mengucapkan permintaan izin untuk menjalani hari ini, hal-hal tersebut sudah menjadi kegiatan rutin bagi alvin setiap ia membutuhkan restu dari mamanya, dan percaya atau tidak dari situlah ia mendapat kekuatan untuk melewati hari-harinya.

Sesaat setelah itu alvin langsung melangkah keluar dari kamarnya dan bersiap-siap untuk kesekolah, mengingat seperti katanya tadi kalau hari ini akan diadakan ujian praktik Bahasa Indonesia untuk kelas 9. Mau tidak mau hari ini alvin harus berangkat lebih pagi seperti intruksi gurunya kemarin.

“alvin, sarapan dulu nak.” Sambut wanita yang sudah tua ketika melihat alvin menuruni tangga lantai 2.

“tidak oma, sekarang alvin harus berangkat lebih pagi. Alvin ada ujian praktik hari ini.”

Alvin mencium tangan omanya. Oma yang selama bertahun-tahun telah menjadi pengganti sosok wanita muda yang telah tiada, oma yang selama ini menjadi pemegang hak atas kasih sayangnya yang tidak akan pernah tertandingi oleh kasih sayang apapun, dan oma yang menjadi satu-satunya orang yang mau menerima dia apa adanya.

Setelah cukup lama mencium kening omanya, alvin kembali berjalan kearah luar rumah untuk menghampiri supirnya yang sudah menunggu didalam mobil. Barulah setelah itu alvin berangkat kesekolah.


########
 
Ujian praktik dilaksanakan diruang aula sekolah. Tidak seperti ujian pada umumnya dengan ruangan yang sepi, senyap, dan mencekam, tapi untuk kali ini ruang ujian malah ramai oleh para undangan mulai dari guru dan semua siswa dari kelas 7,8, dan 9 SMP, serta kelas 10, 11, dan 12 SMA yang berada dalam satu yayasan dengan SMPnya. Setiap tahun memang seperti ini, ujian akan dilakukan didepan para penonton. Aneh memang, tapi inilah bedanya dari sekolah-sekolah pada umumnya.

Ujian praktik untuk Bahasa Indonesia dilakukan dengan pertunjukkan pembacaan artikel khusus secara lisan dan tanpa melihat atau bahkan menyusun teks naskah terlebih dahulu. Hal tersebut benar-benar membuat hati kocar kacir, apalagi mengingat tema artikel juga ditentukkan dengan cara mengambil kertas yang digulung-gulung dalam toples.

Tidak butuh waktu lama, nama alvin pun dipanggil pada urutan pertama. Membuat alvin harus segera bergegas naik keatas panggung dan mengambil satu gulungan kertas diantara beberapa kertas gulungan yang ada. setelah itu, alvin disuruh untuk membacakan tema yang terdapat dalam gulungan tersebut dan langsung membacakan artikelnya.

“Ibu.” kata alvin lirih, ia sempat terkejut dengan tema apa yang didapatkannya.

Alvin terdiam dan menundukkan wajahnya, ia mencoba menutupi matanya yang telah berkaca-kaca. Ia sendiri bingung untuk merangkai kata-kata tentang tema “ibu”, mengingat kalau ia sendiri tidak sepenuhnya mengenal sosok ibu dalam hidupnya.

“Ibu.” Sebut alvin lagi untuk yang ke2 kalinya. Semua yang menonton pun hanya diam melihat tingkah alvin yang tidak kunjung membacakan artikelnya.

“Ibu? Maaf jangan tanyakan lagi tentang ibu. Aku tidak terlalu mengenal sosok Ibu dalam hidupku. Bahkan aku juga tidak mengingat bagaimana wajahnya.  Aku lupa bagaimana rasanya ditimang Ibu atau bahkan aku juga tidak tahu bagaimana rasanya dekapan kasih sayangnya. Aku hanyalah anak laki-laki yang menepi dari tulusnya rasa kasih sayang Ibu, tapi aku bukannya terlahir dari dalam perut papa. Hanya saja saat usiaku menginjak 1 ½  Ibu pergi untuk selamanya. Sampai saat ini, aku belum mengerti tentang kepergiannya.”

Alvin menundukkan wajahnya semakin dalam, ntah darimana kata-kata tersebut terangkai dan terucap lepas dari mulutnya. Perlahan air matanya menetes, membuat dirinya terlihat lemah disana. Tapi sadarkah, ini diluar kehendaknya. Menangis karna ibu bukan berarti kita lemah, tapi itu menandakkan seberapa besar dirinya merindukkan sosok tersebut.

“Meskipun Ibu tidak ada saat ini, Namun Setidaknya selama 1 ½ tahun Ibu bisa menemaniku. Meskipun saat itu aku belum mengerti arti kehadiran sosok tersebut dalam hidup ini, saat itu juga aku belum bisa merasakan kasih sayangnya. Hingga sampai saat ini, aku masih penasaran bagaimana rasanya dibesarkan oleh Ibu kita sendiri, bukan orang lain."

"Kata orang Ibu itu bawel, suka marah-marah, atau bahkan Ibu juga suka mengatur-ngatur hidup kita. tapi jika kalian menjadi seperti aku, dibesarkan tanpa ibu, pasti kalian akan merasa betapa Pentingnya kehadiran ibu dan betapa Hambarnya hidup ini tanpa Ibu. Aku bersumpah, Aku rela menukarkan segalanya asalkan ibuku bisa kembali.”

Sejenak alvin menghela nafas, mencari kata untuk menutup aksinya. Ingin rasanya ia segera berlari menuruni panggung dan melampiaskan semuanya dengan bertandang kemakam mamanya. “Ibu memang tidak hidup didunia ini, tapi ibu selalu hidup dihati ini.” Kata alvin, semua penonton memberi tepuk tangan yang meriah untuk penampilannya.

Baru saja langkah kecilnya akan menuruni panggung, namun suara di antara penonton menghentikkan langkah kakinya. Alvin menahan nafas, mencoba mengenali suara familiar yang menyambut artikelnya tentang sosok IBU. Ketika ia berbalik, seseorang sudah berada tepat dihadapannya. Bukan seseorang, tapi tepatnya dua orang yang satu cowok dan satunya lagi cewek.

“Ibu bukan wanita bawel, ibu adalah wanita yang rela mengeluarkan suaranya untuk kita dengan maksud memperingati kita akan suatu kesalahan. Ibu juga bukan wanita yang suka marah-marah, hanya saja ibu melakukannya agar kita tidak membuat suatu kesalahan yang tidak di sukainya. Bahkan ibu bukan wanita yang suka mengatur-ngatur hidup kita, namun ibu hanya ingin mengarahkan kita kejalan yang benar, untuk hidup kita dimasa depan.” Kata satu dari dua orang tersebut, tepatnya yang cowok.

“kak cakka.” Panggil alvin, rasanya tak percaya melihat laki-laki  tersebut sudi untuk dekat dengannya. Cakka tersenyum riang, tangan kanannya ia letakkan puncak kepala alvin dan mengacak rambut adiknya penuh kasih.

“Labirin-labirin waktu tidak akan pernah bisa menandingi panjang kasihnya, Elok senja tidak akan mampu mengalahkan indah senyumannya, Bahkan batu karang tidak dapat melawan kekuatan cintanya. Bahkan, selubung tipis perbedaan dunia tidak akan pernah mampu memisahkan kasihnya untuk kita, anaknya.”

Sivia, begitula ia di panggil. Dia kakak kedua alvin, dia yang tadi melanjutkan kalimat-kalimat dari cakka. “ibu tidak akan pernah melangkah jauh dari langkah anak-anaknya. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, bahkan setiap waktu dan sepanjang masa, ibu akan selalu menemani langkah kita, ibu tidak akan jauh dari anak-anaknya. Ibu tidak akan peduli bagaimana takdir memisahkan dirinya dengan kita. yang terpenting, ibu akan selalu siap memberikan semua cinta kasihnya untuk kita.”

“kak sivia.” Panggil alvin kepada kakak keduanya tersebut.

Seakan ini mimpi, alvin benar-benar tidak percaya akan kehadiran kedua kakaknya. Sebelumnya mereka tidak pernah mau mendekat kearah alvin, tidak seincipun. Cakka dan sivia langsung memeluk alvin, melepaskan segala rindu itu dan membiarkan seluruh kasih itu mengalir satu sama lain. Sudah lama mereka tidak seperti ini, lama sekali dan itu hampir mencakup seluruh hidup alvin.


****

Ibu !!!
Aku tidak dapat mempersembahkan apapun untukmu, aku hanya dapat mencium dan memelukkmu...
Tidak banyak pintaku, aku hanya ingin bersamamu dan aku ingin kau selalu menemaniku...

Ibu !!!
Maaf, maaf, dan maaf....
Aku tidak bisa membahagiakanmu, aku selalu menyusahkanmu...
Tapi, ibu harus tahu kalau ‘aku sangat menyayangi ibu’, ‘aku sangat mencintai ibu’...

Ibu, ibu, dan ibu...
Kau bagaikan malaikat tanpa sayap,,,
Jiwamu bersih, kasihmu putih, dan hatimu sangat tulus...

I love you, ibu...



-----THE END------

Semua Untuk Mama (Re-post)

Berawal dari mama dan selalu untuk mama,
Bahkan tidak akan ada yang terlewati untuk mama,
Mulai dari hidup ini, rasa ini, dan perjuangan ini adalah untuk mama...

Berawal dari cinta kasih mama,
Mata ini bisa menatap dunia karna mama,
Nafas ini terhembus memenuhi uap kehidupan karna mama,
Raga ini bergerak karna mama juga...

Berawal dari belaian mama,
Semua yang terjalani tidak pernah luput dari mama,
Setiap waktu yang terlewati pun selalu bersama mama,
Sejengkal langkah kaki ini tidak akan pernah jauh dari mama...

Berakhir di penghujung nafas karna pengorbanan demi mama...
Setitik asa yang melambung tercurahkan demi mama,
Secercah cahaya keikhlasan telah terniat demi mama,
Perjuangan sampai penghujung nafaspun demi mama jua,

Semua yang terlaksana selalu berawal dan berakhir untuk mama,
Bila dapat mengatakan dengan lantang, nyawa inipun telah terniatkan untuk mama,
Sampai detik terakhir masa ini juga akan selalu tersembahkan untuk mama...
Dihati ini selalu ada CINTA UNTUK MAMA, bahkan SEMUA UNTUK MAMA,
MAMA, MAMA, DAN MAMA... :‘)


===================


Dia terlihat kuat, senyumannya pun tidak pernah pudar. Mungkin dibalik ketegarannya, sungguh tampak kerapuhan didalam sana. Bila tidak mengingat pesan terakhir yang paling berarti dalam hidupnya, mungkin sekarang senyumannya akan memudar begitu saja, Mungkin ia akan lebih memilih untuk bungkam dari dunia, dan mungkin sekarang ia sudah termasuk dalam calon-calon peghuni neraka karna putus asa. tapi  bukankah wajar-wajar saja jika ketegaran itu musnah pada suatu saat nanti, bila mengingat semua ini termasuk dalam fase manusiawi maka dia juga tidak akan pernah bisa untuk terus menerus bertahan di balik senyuman semu, di balik ketegara tak berpondasi, bahkan di balik ketenangan yang mulai mengeruh.

Dia, laki-laki kecil yang selalu memperuntukkan hidupnya untuk mamanya tersayang. Dia selalu datang ketempat dimana mamanya dirawat, jika boleh memilih mungkin sekarang laki-laki kecil itu akan menjual semua organ tubuhnya untuk sang mama. Ketegaran dan senyuman yang selalu dipertontonkan untuk orang banyak, kini hilang dan musnah begitu melihat raga wanita itu terbaring tanpa daya. Tatapan nanar akan selalu menatap tubuh lemas mamanya.

‘huh !’ laki-laki tersebut kembali berdesah. Mencoba mengurangi beban berat yang dipikulnya selama sebulan ini. Kebahagiaan nyatanya sekarang terenggut melihat kondisi mamanya. Tapi meskipun begitu, jangan harap mulut kecilnya akan mengeluarkan sepatah katapun untuk mengatakan pengeluhan, bahkan untuk mendesah pun dia enggan, semua akan dia jalani dengan ikhlas dan semuanya untuk mama.


*****


“jangan menyentuh mamaku.” Teriaknya pada masa itu, sementara wanita yang dilindunginya sekarang tengah menangis sesenggukan.

“minggir kamu, dasar anak tolol.” Bentak pria yang selalu menyusahkan hidup mereka. Setelah itu dengan tangan ringan pria tersebut mendorong laki-laki kecil tersebut, kemudian tanpa segan pria itu menggeret wanita yang tadi terlindungi dibalik tubuh kecil anaknya.

“pa, ku mohon jangan sakiti mama lagi.” Teriaknya dan berlari begitu saja dari tempatnya terdorong tadi, ia mendekat dan menggigit tangan pria yang sebenarnya tidak pantas dipanggil papa.

“awww, dasar anak bodoh. Awas, tidak akan kuberi ampun kamu nanti !” kata pria tersebut, kini klimaksnya semakin memuncak dan bersiap-siap menghantam tubuh kecil anaknya dan sekali lagi tubuh kecil itu kembali tersungkur ke aspal, entah bagai mana ceritanya sekarang mereka sedang  berada diluar gerbang rumah.

“ALVIIIIIN...” jerit wanita yang dipanggil mama oleh laki-laki kecil tadi. Setelah itu wanita tersebut mendekat dan giliran melindungi tubuh anaknya yang babak belur karna melindunginya dari tadi dan...

‘BRAAAK’ tanpa bisa terhindar, kedua tubuh teraniaya tersebut terpelanting dengan keras karena tabrakan sebuah mobil, sementara pria yang dipanggil papa oleh alvin -anak laki-laki kecil tadi- dengan gampangnya berlari tunggang langgang tanpa memperdulikan nasib anak istrinya.

Akibat tabrakan tersebut tak membuat jalinan ibu dan anak itu terputus, alvin yang masih sadar dengan sisa tenaganya menggapai-gapai tangan mamanya yang sudah tergeletak disampi tubuhnya. Semua yang berusaha membantu mereka hanya dapat mengigit bibir melihat adegan ibu dan anak tersebut, ntahlah mereka berfikir ‘sebagaimana besar kasih sayang sang anak, hingga dalam keadaan seperti ini pun masih memikirkan ibunya.’


*****


Ia kembali dari ingatan kejadian sebulan yang lalu. Tubuhnya masih lemas, dia kembali merutuk. Kenapa meski mama yang harus koma ? tanya alvin sambil kembali mengingat takdir.

Setelah diam cukup lama, alvin kembali terfokus kearah note nada yang berserakkan. Sekarang waktunya dia kembali berlatih untuk mewujudkan mimpi sang mama, melihat dirinya menjadi seorang pianis terkenal melalui ajang pencarian bakat. Mengingat umurnya yang masih 12 tahun, dia kembali berfikir cara untuk mencari uang lebih untuk membayar pengobatan sang mama, mana  ada dia punya ijazah SMA, sementara ijazah SD pun belum ia dapatkan.  Sementara uang dari performancenya pun belum mencukupi dan pria yang tak pantas ia panggil papa pun tak kunjung terlihat lagi setelah kejadian sebulan lalu, benar-benar tak berhati.

“alvin, kamu sudah siap? sejam lagi lomba akan dimulai.” Tutur gadis yang sebaya dengannya, alvin hanya mengangguk dan kembali tersenyum.
“selalu siap dong, kan demi mama.” Tutur alvin polos, gadis tersebut membalas senyumannya dengan anggukan ringan yang berarti untuk memberikan semangat untuk temannya.
“haha, kamu ini. Yasudahlah ! latihan lagi gih.”  Alvin kemabali bergulat dengan piano kesayanannya.

Semenjak kejadian yang lalu, alvin tidak berani pulang. Ia tinggal dirumah orang yang menabraknya dulu, tapi meskipun begitu ia tidak ingin terus-terusan menengadah mengharap belas kasih dari orang lain.

______________________________________________________________________


Berawal dari mimpi untuk mama, niat yang tercurah untuk mama, bahkan setiap tetesan peluh selalu demi mama.

Alvin memulai performancenya. Mencetak nada dari tekanan tuts piano yang ada dihadapanya. Seketika membuat semua orang kicep dan menghayati melodi yang tercipta. Kepiawaiyan yang dipertunjukkan alvin terlihat begitu nyata, padahal mengingat semua ini ia latih dalam tenpo waktu singkat dan turunan dari mamanya.

‘prok,prok,prok.’ Semua menyambut akhir nada dengan meriah, tepukkan tangan kian membahana, tiadak ada yang mampu berucapa akan nada yang diviptakannya. Meski terkesan pilu, namun berhasil mengundang decak kagum dari semua yang mendengarnya.

“woow amazing ! ALVIN, The best performance from you, I can not comment with your appearance, the appearance you present to whom?” host acara yang tadi bungkam pun mulai mencairkan suasana sambil menghapus air mata yang tadi menetes.
“just for my mom.” Singkatnyna dan tersenyum ringan, menampakkan keceriaan semu.
“hahaa ! i am sure, i can’t speak again.” Ucap host tersebut sambil menggelengkan kepala menandakkan dia tidak bisa berkata lagi.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah teropi ditentengnya, mengamburkan pelukan ke tubuh sang mama yang tak bergerak. Ia tersenyum dan mengatakan ‘just for you mom.’ Setelah itu dia kembali tersenyum dan menarik kursi disamping mamanya. Ternyata selain senang karna menang, ia juga senang karna hasil yang ia dapatkan. Sekarang ia akan melunasi semua biaya rumah sakit untuk mamanya.

‘tuuuutuuutuuuut’

Garis lurus tercipta setelah garis zigzag di monitor dicktator jantung yang berada di atas meja kecil, alvin panic dan berlari mencari dokter setelah piala yang sedari tadi dipegangnya terlempar dan hancur begitu saja.

“mama jangan tinggalin alvin.” lirihnya diruang tunggu, tubuhnya gemetar dan isak tangisnya semakin kuat, membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi pilu.

“alvin... berhentilah menangis, mamamu pasti baik-baik saja.” ujar seorang gadis yang baru saja muncul, setelah itu alvin memeluk gadis tersebut dan menumpahkan tangisnya dalam pelukan gadis tersebut.

“sivia, alvin takut.” Lirihnya. Baru setelah itu, seorang dokter keluar dan berlalu tanpa suara. Alvin yang melihatnya langsung berlari kedalam ruangan.

“mama....” teriaknya sambil memeluk tubuh waita tersebut, tangisnya hiisteris dan tak tertahankan lagi.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Berawal dan berakhir untuk mama..

Tangisnya pecah disamping gundukkan mamanya. Seketika kerapuhan itu terlukis jelas dari isakkannya yang benar-benar memekakan telinga. Semua yang melayat hanya dapat ikut menangis, tak ada yang bisa menguatkan alvin.

“jangan tinggalin alvin ma, alvin sayang mama. kalaupun mama pergi  maka bawa alvin pergi juga.” Kata alvin dan kembali membuat orang yang mendengarnya menjadi miris. “alvin sayang mama, alvin gak bisa hidup tanpa mama. Mama, alvin mohon...”


Lama terdiam, berbulir-bulir air pun jatuh dari langit. Sementara pelayat sudah lama berlalu dari pemakaman. Namun dia masih tetap keukeuh disamping nisan yang bertuliskan nama mamanya.

“alviiin.” Dia berbalik, melihat siapa yang memanggil namanya. Seketika itu ia kalap dan mendorong tubuh pria yang baru saja bertandang.

“apa lagi mau anda ? belum puas anda membunuh mamaku, belum puas anda menyiksa kami, sekarang apa mau anda. Hah ! anda mau mebunuhku juga, silahkan.” Kata alvin yang terdengar marah, pria tersebut menggeleng dan mencoba merengkuh alvin kedalam pelukkannya. Tapi na’as alvin malah menentang, menolak tangan pria tersebut, dan berlari menghidarinya.

“alvin, tunggu papa.” Teriak pria tersebut, ia mengikuti langkah kecil alvin.

‘BRAAAAK’ lagi-lagi, semua terulang. Tubuh kecil itu terpental jauh, membuat pria tadi menganga. Darah mengaril dan semua menggelap, ringan, dan hilang.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Tenyata ini jalan yang terbaik, takdir menuntut langakhku untuk terus bersama mama.
Takdir tak selamanya kejam, sang kuasa memang selalu adil...
Selalu ada rencana untuk kita yang berjuang untuk hidup....

Aku melangkah bersama langkah mama, meninggalkan fananya dunia...
Kubawa terbang semua yang semu, senyum tak lagi terpaksa dan kini semua menjadi terkilasan sempurna...

HANYA UNTUK MAMA DAN SEMUA UNTUK MAMA...
SAYANGI MAMA DENGAN KEIKHLASAN DAN SELALU MENCINTAINYA TANPA PENGELUHAN...
CINTA KASIH MAMA TAK TERBALASKAN, BAHKAN CINTA INI TIDAK BISA MENCAPAINYA DAN MELAMPAUI CINTANYA KEPADAKU....

MAMA, MAMA, DAN MAMA....
SELALU INDAH TERUCAPKAN....


____________________________-THE ENDING-___________________________

Selasa, 15 Oktober 2013

Lebih Dariku (HRWaMG)




(Part of He Returned With a Muslim Girl)


Langit sedang bersahabat Sore ini, setelah beberapa jam tadi tak henti-hentinya menurunkan air mata dan mengamuk dengan kilatnya. Sivia memanfaatkan waktu sorenya dengan berjalan-jalan di taman kota. Kaki jenjangnya mengayun lembut seperti mengikuti alunan musik klasik yang didengarnya melalui headset yang terhubungan langsung dengan Ipod Touch putih yang tidak pernah absen dari genggamannya.

Senyuman manis mengembang  dari bibir munyil sivia, ketika tatapan matanya berhenti pada langit barat. Layaknya menantang keelokan senja yang masih menggantung di barat, sivia menatapnya dengan amat tajam, seperti enggan memberikan sebuah kemenangan untuk keelokan mutlak fenomena umum tersebut. Namun tidak bisa, ia rasa dirinya tidak akan mampu menandingi senja. Ah! untuk apa menandinginya, bukankah karena keelokan yang tak tertandingi itulah yang membuat gadis tersebut sangat tergila-gila padanya, pada keelokan senja yang tetap terlihat meski gelap sedang mengintip dari berbagai arah dan siap melumatnya dalam gulita berkepanjangan.

Rasanya sudah lama Ia ingin menjadi senja. Senja yang tetap elok meski malam menantangnya di ujung waktu, meski pada akhirnya ia akan kalah dan pasrah ditelan bulat-bulat oleh gelap. Jika kelak ia dapat seperti senja, maka ia ingin Alvin –lah yang menjadi jingganya, menjadi penyempurna keelokannya sepanjang umur senja setelah meninggi dan menggapai puncak kebahagiaan layaknya Matahari siang hari.

“Bodoh” maki sivia pada dirinya, ia mengalihkan pandangannya dari senja. “Kenapa kau masih memikirkan laki-laki itu, sivia! sudah jelas kalian berbeda! tidak ada takdir yang akan membuat kalian bersama!.” Sivia kembali memaki dirinya, merutuki dirinya yang selama ini tidak pernah bisa melupakan Alvin. Bahkan beberapa detik yang lalu, Ia sudah berani beranda-andai lagi tentang laki-laki itu.

Tanpa kembali menatap barat, Sivia kemudian memutar tubuhnya, berbalik,membelakangi senja  dan hendak melangkah pergi ketika langkahnya tercekat sebelum kakinya bergerak seinci pun. Laki-laki itu. Baru saja ia memikirkannya, sekarang ia malah melihat laki-laki itu sedang berjalan didepannya. Sivia membeku ditempat. Meskipun laki-laki itu memunggunginya dan berjalan cukup jauh didepannya, Ia tetap mengenali laki laki itu.

DEG!!

Alvin.

Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak mungkin! kau pasti berhalusinasi karena terus memikirkannya, Sivia menjerit dalam hati. Laki-laki yang ia sangka adalah Alvin tersebut berjalan semakin jauh, punggung kokohnya hampir menghilang dari jarak pandang Sivia. Tidak mau kehilangan jejaknya sedikitpun, Dengan langkah cepat  sivia berjalan mengikuti laki-laki tersebut.

DEG!!

Dada sivia terasa dihantam batu yang beratnya berton-ton ketika melihat laki-laki itu menghampiri seorang wanita yang duduk anteng disalaha satu meja kafe diseberang jalan tempat sivia berdiri. Sakit. Rasanya ingin mati saja begitu melihat wanita tersebut mencium pipi Alvin dengan ringan, mencubit pipi putih laki-laki tersebut, lalu tertawa penuh kemenangan –seperti menunjukan pada sivia bahwa Alvin adalah milik wanita tersebut.

Tidak! pasti kau salah lihat, sivia.

Tubuh Sivia mendadak terasa lemas. Ia  jatuh tertunduk. Tangannya terangkat lemas, meremas bagian dadanya yang tidak lagi terasa kosong, namun terasa penuh oleh sesak, hingga  rasanya hampir meledak. Rasa sakit yang berlipat ganda menghujam hatinya, membuatnya menangis bisu. Dipandangnya dengan nanar tubuh Alvin dan gadis tersebut.

Mengapa Alvin bersama gadis tersebut? Bukankah mereka berbeda? Alvin masih dengan kalung salib yang melingkar sempurna di lehernya, sementara wanita tersebut dengan hijab yang menutupi seluruh auratnya. Sivia menutup matanya, merasakan bagaimana rasa sakit di hatinya menjalar keseluruh tubuh hingga ke kepalanya. Otaknya berputar dengan deretan pertanyaan yang menanti untuk dijawab.

Bukankah dulu laki-laki itu tidak menyambut cintanya karena alasan perbedaan tersebut?. Antara Salib dan Tasbih. bukankah karena perbedaan tersebut jua yang membuat benteng tinggi diantara cintanya dan laki-laki itu? lantas mengapa laki-laki itu sekarang malah menembus benteng perbedaan tersebut bukan untuk dirinya, melainkan untuk wanita lain –wanita muslim yang bahkan berhijab.

“Akhhhhh” jerit sivia ketika tubuhnya terasa ditarik cepat kebelakang bersamaan dengan sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi yang hampir saja menyerepet tubuhnya.

Sivia memejamkan matanya, merasakan tubuhnya terjatuh menimpa sesuatu yang langsung menyalurkan rasa hangat keseluruh tubuhnya.

“Kalau kau mau bunuh diri….”

DEG!

Sivia membeku. Suara berat itu menyapa gendang telinganya, mengalun masuk ke seluruh system sarafnya dan melumpuhkan segalanya, bahkan terasa dapat melumpuhkan waktu. Ia mengenal pemilik suara itu, sungguh ia mengenalnya.

“jangan dihadapanku.”

Alvin.

Suara itu milik Alvin. Ia tahu benar karena ia selalu merindukan suara berat laki-laki itu. Selain suaranya, Sivia juga mengenal aroma maskulin tubuh laki-laki itu, aroma memabukan yang membuatnya jatuh semakin dalam ke jurang keterpesonaan.

Apa ini mimpi?

jika ia, tolong jangan bangunkan aku.

Aku rela hidup dalam mimpi jika rasanya senyata ini.

“buka matamu, Sivia.”

Perlahan, sivia membuka matanya. Namun kembali menutupnya. Ia takut, takut kalau semuanya hanya mimpi dan ketika matanya benar-benar terbuka, ia akan terbangun dari mimpi tersebut, mimpi ketika ia merasakan kehangatan tubuh orang yang dirindunya, mimpi ketika ia mendengar suara berat yang selalu ingin ia dengarkan, mimpi….

“kau bisa menutup matamu selama yang kau mau setelah kau bangun dari tubuhku, sivia.”

Suara berat beriringan dengan hembusan nafas ringan yang menerpa permukaan leher sivia, menimbulkan sensasi menggelitik diseluruh tubuhnya, membuat sivia ingin tertawa hingga menangis saja. Ia benar-benar masih belum percaya bahwa laki-laki yang sedang ditindihnya ini adalah orang yang ia rindu.

“sivia”

Kali ini sivia benar-benar sadar dari rasa bahagia yang melumpuhkannya. Kembali ia coba membuka matanya seiring dengan melonggarnya dekapan hangat dari sepasang tangan yang baru beberapa detik yang lalu melingkar diperutnya.

Sivia bangun dari posisinya. Baru saja ia sadari bahwa dari tadi ia menindih –dengan posisi membelakangi tubuh yang ditindihnya. Setelah berhasil berdiri tegap, dengan kikuk sivia menyodorkan tangannya, berniat membantu Alvin –yang ternyata adalah orang yang ditindihnya.

“maaf” ujarnya kaku.

Alvin hanya mengangguk pelan tanpa melepaskan tatapannya dari wajah sivia. Sivia yang ditatap seperti itu hanya menunduk sambil berusaha menyembunyikan pipinya yang terasa panas, dan dapat ia pastikan kalau sekarang pipinya telah merah merona saking malunya.

“Jika kau berniat bunuh diri, jangan dihadapanku!.” kata Alvin tegas, dari nada seperti tersimpan rasa emosi yang meluap-luap dan kekhawatiran yang kasat.

“ak…u…tid…”

Kehangatan yang tiba-tiba menyelumbungi tubuhnya mengintrupsi perkataan sivia. Tiba-tiba saja Alvin memeluknya, erat dan semakin erat, seperti menandakan bahwa ada rindu yang tersampaikan melalui pelukan hangat tersebut.

“Kau membuatku takut, sivia…”

------------------------------------------------


“Waaah siapa ini?”

Wanita berhijab tersebut terlihat antusias begitu melihat Sivia duduk dihadapannya dengan dituntun Alvin, sementara Alvin langsung menyingkir begitu mengangkat telpon yang beberapa detik lalu masuk ke handponenya.

“kau sudah lama mengenal Alvin?.”

Sivia tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara lembut tersebut menjabah telinganya. Ia menatap wanita berhijab itu dengan tatapan kosong. Wanita cantik dengan wajah yang memancarkan cahaya keikhlasan, begitu berseri-seri.

“hey apa kau bisu?.”

“eh…..”

“dari tadi aku bertanya, tapi kau tidak menjawabnya.” wanita itu merengut, membuat sivia tersenyum kaku.

“maaf…”

“oke, akan ku maafkan asal kau menjawab setiap aku bertanya.” kata wanita itu sambil tersenyum tulus.

Sivia mengangguk kaku. Terasa canggung dengan situasi yang serba mendadak seperti ini. Ketika ia dihadapkan dengan pertemuannya kembali dengan Alvin, yang langsung membuat rasa terpendam itu bangkit dalam sentuhan pertamanya dengan Alvin. Ketika ia menghadapi kenyataan bahwa wanita berhijab dihadapannya ini adalah milik Alvin, yang mampu membuat hatinya hancur. ketika……

“kau mendengarkanku?”

“eh…. apa?” sivia mengalihkan fokusnya ke wanita berhijab tersebut.

“jadi dari tadi aku berbicara kau tak mendengarnya?”

“a…ku… bu…k…..an ma…maksudku…” sivia berujar gugup berusaha menyelesaikan kalimatnya, namun sepertinya percuma. Ia mendesah, lalu menundukan wajahnya.

“ckckck…sepertinya kau sedang asik melamun.” wanita itu berdecak lalu tersenyum geli melihat tingkah sivia yang –menurutnya sangat menggemaskan ketika sedang gugup.

“ya sudah, lupakan…”

Sivia semakin menunduk, merutuki kerja otaknya yang mendadak lemot ketika dihadapkan dengan wanita berijab dihadapannya ini.

“by the way, siapa namamu? kita belum berkenalan dari tadi.” wanita itu menyodorkan tangannya ke hadapan sivia. “Aku Shilla.”

“Sivia.” kata sivia sambil menjabat tangan wanita yang mengaku namanya –shilla tersebut.

“wah… namamu cantik kaya kamu.” kata Shilla kembali terdengar antusias. Dari suaranya yang antusias, sepertinya wanita itu menyimpan sebuah ‘ketertarik’ yang sangat kentara dengan sivia.

sivia tersenyum kaku –lagi mendengar pujian shilla.

‘apa artinya cantik kalau berhadapan dengan orang yanglebih menarik sepertimu.’ kata sivia dalam hati.

“ihhh… lama-lama ngeliatin kamu jadi gemes aku.”

Tiba-tiba shilla mencubit kedua pipi cubby sivia, membuat sivia sedikit terlonjak dengan tingkah tiba-tibanya.

“Jangan asal cubit…” kata Alvin –yang tiba-tiba datang sambil menepis tangan shilla dari pipi sivia.

“sirik banget sih, sivia -nya aja ngga keberatan.” cibir shilla sambil mengerucutkan bibirnya.

“cerewet! ayo pulang, ini sudah petang.”

“yah  ga asik banget sih, rasanya baru beberapa menit yang lalu aku disini.” gerutu shilla.

Alvin memutar bola matanya bosan, kalau saja wanita dihadapannya ini bukan siapa-siapanya, sudah dipastikan akan ia tinggalkan dari tadi dan akan ia tarik tangan gadis yang ada dihadapannya ini. Sivianya… ngomong-ngomong soal sivia, gadis itu hanya diam dan mengambil peran sebagai penonton, melihat adegan yang –menurutnya lumayan romantis itu membuatnya merasa….sakit…. Dengan cepat sivia mengalihkan pandangannya sambil meremas-remas ujung bajunya sebagai pelampiasan emosi….
“sivia ayo ikut pulang dengan kami, nanti Alvin yang akan mengantarkanmu.”

“eh…….”



******


Entah karena waktu yang memihak kepada mereka atau hanya karena takdir dari keberuntungan yang memberikan mereka sedikit peluang untuk merasakan eforia, bersama kembali, hanya mereka berdua, antara Alvin dan sivia. Diam-diam keduanya menikmati suasana seperti ini, dimana kata rindu tak perlu digambarkan dengan kata-kata, hanya dengan berada ditempat yang sama, bersama-sama, rasanya sudah cukup untuk mereka.

“Apa kabar kamu sekarang?” suara Alvin terdengar sedikit tercekat meski ia sudah berusaha untuk setenang mungkin, sesantai mungkin, tanpa memperdulikan pemberontakan besa-besaran dari salah satu bagian dari dirinya yang menginginkannya memeluk sivia.

“ba…baik.”

Sivia menghela nafas….

“tapi tidak sebaik sebelum kamu meninggalkanku.”

Hati Alvin mencelos mendengar jawaban sivia. Ia diam kembali.

Sivia memejamkan matanya, antara menikmati kebersamaan mereka, dan menenangkan suara hatinya yang sudah berteriak-teriak meminta dirinya menyuarakan segala yang terjadi selama laki-laki disampingnya itu meninggalkannya.

“maaf”

dan semuanya kembali diam. kaku. membeku.


******


Sivia menggenggam erat Ipod Touch milik Alvin yang masih berada ditangannya. Matanya melirik tajam jam dinding yang menunjukan pukul 8 malam, menandakan sudah 2 jam belakangan ini ia melamun, mengingat-ngingat pertemuannya dengan Alvin tadi, ketika Alvin mengantarnya pulang, seakan ada rasa tak rela, rasa takut akan ditinggalkan lagi.

“Alvin…. aku…. masih menunggumu….”  

sivia dapat mendengarkan suaranya kembali sebelum ia menutup mobil Alvin tadi, dan bayang-bayang wajah Alvin yang tiba-tiba mengeras ketika mendengar pengakuannya terus bermain dalam otaknya. Ekspresi laki-laki itu tak mapu ia baca.

“masuk dan istirahatlah…. malam….”

dan suara Alvin selanjutnya adalah balasan dari pengakuannya.

Hingga mobil laki-laki itu kemudian beralalu membawa pemiliknya dan hilang dalam kegelapan, Ada rasa sakit yang kembali menyelinap kedalam hatinya. Sivia tau rasa sakit apa itu, rasa sakit karena penantiannya hanya terbalaskan kata tidak penting.

yah! apa semuanya sudah jelas? ya! jelas sakitnya.

apa ini saatnya kau belajar melupakannya? mungkin, jika bisa rasanya ingin amnesia saja.

Tapi… disini… tepat di paru-paruku, aku masih membutuhkannya untuk bernafas, melupakannya berarti melupakan cara untuk bernafas. dan aku tidak bisa.

******

Kamis, 11 Juli 2013

Lebih Dariku (WML)







(part of Waiting My Love)
 


Bagaimana dengan cinta yang merelakan cintanya pergi?

atau.....

Bagaimana dengan Cinta yang hanya bisa menanti hingga berakhir sia-sia?


seseorang mengatakan ‘tidak ada yang sia-sia’ di dunia ini, semuanya ‘peristiwa atau kejadian pasti diciptakan lengkap dengan alasannya’, asalkan ‘yakin dengan akhir yang kau pilih maka akhir itulah yang akan kau dapatkan’.

“ya aku percaya tidak ada yang sia-sia.” Sivia bergumam pelan sambil menutup ingatannya tentang seseorang yang mengajarkannya banyak hal. ah! bukan banyaktapi terlalu banyak sampai otaknya tidak bisa mencerna beberapa hal dan masih membuatnya bingung sampai sekarang.

Perlahan gadis itu memejamkan matanya, tangannya yang satu meraba permukaan bad cover tempat tidurnya. Dapat! Sivia mengangkat benda yang dicarinya, lalu diletakannya benda tersebut tepat di atas dadanya. Ia menarik double kabel yang terpasang di benda tersebut. Seper-empat double kabelnya  terbelah dua –dan kedua belahannya memiliki ujung yang terpasang benda kecil yang dapat mengeluarkan suara. Lalu secara bersamaan Sivia meletakan kedua benda kecil tersebut di masing-masing telinganya.

Alunan musik klasik langsung menyapa gendang telinganya. Setiap nada seakan-akan mendobrak masuk lebih dalam, melewati indera pendengarannya, mengalir masuk kesarap-sarap inderanya yang lain dan terpencar kearah berlawanan –sebagian nada menyapa otaknya,  sebagian lagi memenuhi hatinya yang kebetulan sedang kosong dan hambar.

“sebenarnya apa yang kau dengarkan, bodoh!”

Suara itu. Suara dari masa lalunya terdengar samar –seakan-akan ingin ikut mengiringi alunan musik klasik yang sekarang telah memenuhi otak dan hatinya. Tidak hanya itu. Sekelebat bayangan tiba-tiba bermain tanpa intruksi –seakan-akan ingin ambil bagian ditengah-tengah kedua suara –diantara suara masa lalu dan suara musik klasik yang semakin gencar memenuhi bagian-bagian kosong yang rasanya semakin nyata, kekosongan yang berasal dari otak dan hatinya.

“Hey dengarkan aku!!!”

----------------------------------------------

Dengan kasar Sivia menarik headset yang bertengger di kedua telinga Alvin sejak satu jam yang lalu. Sudah cukup rasanya ia memperhatikan Alvin yang sibuk sendiri dengan musik-musik yang ada di Ipod Touch Putihnya.

Alvin tetap  diam, pura-pura tidak peduli dengan headseat yang terlepas paksa dari telinganya. Laki-laki berwajah oriental tersbut lebih memilih menyibukan dirinya -kembali dengan memainkan layar touch screen Ipodnya. Hal tersebut jelas membuat Sivia semakin sebal. Sekali lagi, dengan kasar Sivia menarik Ipod tersebut dari tangan Alvin, kemudian menjauhkannya dari laki-laki tersebut.

“Tidak bisakah kau mendengarkan ku dulu?.” Tanya Sivia sambil menyentuh wajah Alvin dengan jari-jarinya yang lentik. Hal tersebut cukup membuat tatapan mata Alvin melembut.

“Apa barang-barangmu itu lebih penting dariku?.” Tanyanya lagi, namun kali ini suaranya terdengar melembut. “Aku tidak meminta macam-macam, aku hanya ingin didengar.”

Alvin menatapnya dalam kemudian mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suaranya.

Sivia tersenyum senang dengan respon kecil tersebut. Setidaknya ia cukup senang karena akan didengarkan, apa pun atau bagaimana pun respon Alvin, itu akan menjadi urusannya nanti, sekarang ia hanya perlu berbicara dengan laki-laki itu.

“Aku mencintaimu.” kalimat ajaib itu meluncur bebas dari bibir mungil sivia.

Alvin tertegun namun tidak mengatakan apapun, ia hanya menatap Sivia lebih dalam lagi, tatapan tanpa makna.

“Aku mencintaimu.” Sivia kembali mengatakannya, namun Alvin tetap tidak membalas, ia tetap bergeming.

“sungguh…..” kata Sivia, suaranya terdengar melemah karena tidak ada respon apa pun dari Alvin. Bukan! bukan karena ia pesimis namun karena ia tahu ada jurang membentang diantara mereka. Setetes air hangat keluar dari kelopak mata sivia, namun tatapan gadis tersebut tetap terfokus pada kornea mata Alvin.

“Aku mencintaimu."

Alvin mengangguk -menandangkan bahwa ia dengar dan ia tahu ada cinta diantara mereka. Laki-laki itu menyentuh jari-jari lentik Sivia yang masih diwajahnya, digenggamnya jari-jari tersebut dengan lembut, lalu diturunkannya secara perlahan dari wajahnya.

Rasa sesak menghujam Sivia ketika Alvin menyingkirkan jari-jari tangannya dari wajah oriental laki-laki tersebut, lalu dengan ringan laki-laki itu berdiri tanpa mengucapkan apapun. Sivia mendongak, berusaha menangkap ekspresi Alvin, namun laki-laki itu tetap dengan wajah datarnya.

“aku juga mencintaimu…...” kata Alvin tanpa ekspresi. Kemudian laki-laki itu menunduk, hingga membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

“tapi kita berbeda.” lanjutnya sebelum menghapus jarak diantara wajah mereka.

Mulut laki-laki itu mengecup lembut kedua kelopak mata Sivia secara bergantian agar air mata gadis tersebut segera berhenti keluar. Namun pada kenyataannya air mata gadis tersebut semakin gencar berproduksi, bahkan lebih banyak.

“berhentilah menangis.” Alvin mengangkat wajahnya, lalu berbalik pergi.

Tinggalah Sivia yang masih membeku ditempatnya. Separuh jiwa gadis itu seperti ikut beranjak mengikuti langkah Alvin. Sejauh laki-laki itu melangkah maka sejauh itu jua separuh jiwanya akan mengikuti. Ia percaya separuh jiwanya akan kembali dengan Alvin yang akan menyambut separuh jiwanya yang lain. yaaah ia percaya, sungguh sangat percaya.

Mata Sivia mengerjab begitu tubuh laki-laki itu tak lagi dapat ia lihat.

Alvin pergi…..

meninggalkannya….

dengan membawa separuh jiwanya……

entah….

akan kembali…..

 atau tidak……


----------------------------------------------


Sivia membuka matanya dan menyadari kalau air matanya sudah menetes. Mengingat masa lalu tersebut membuat dadanya terasa semakin kosong, seperti tidak ada udara yang mengisi rongga-rongga dadanya, oksigen yang disekitarnya terasa penuh oleh debu-debu yang tidak layak hirup. sesak. bukan! bukan hanya sesak, tapi sangat sesak. ia butuh Alvin -nya. Oksigennya

Tangan Sivia menyentuh kepala headsetnya –ah bukan! maksudnya headseat Alvin. Laki-laki itu bahkan tidak pernah menagih headset dan Ipodnya. Setelah hari itu, Alvin benar-benar menghilang dari jarak jangkaunya, bahakan dari jarak pandangnya. 

Dengan ringan, jari-jari lentik Sivia merenggut  kepala headset tersebut dari telingnya. Sebelumnya ia tidak pernah ingin menyentuh heatsed dan Ipod tersebut. Tidak pernah ingin menyentuhnya sebelum setengah tahun yang lalu, didorong oleh rasa penasaran Sivia akhirnya mau mendengarkan semua lagu-lagu yang tersedia di Ipod tersebut. Namun pada kenyataannya tidak ada lagu apapun disana, hanya ada beberapa instrument musik klasik didalamnya. intsrumen-instrumen itulah yang selalu didengarkan Alvin dulu, Instrumen yang selalu membuatnya tenang dan sesak dalam waktu bersamaan.

Sesekali instrument-instrumen tersebut membuatnya tersenyum ringan karena beberapa nadanya seperti mengandung kenangan masa-masa indahnya ketika masih ada Alvin disisinya dulu –dengan status mereka sebagai sahabat. Namun, tidak jarang instrument-instrumen tersebut membuatnya menangis bisu karena nada klasiknya yang seperti menyimpan kenangan pahit ketika Alvin meninggalkannya.

“aku percaya kau akan kembali membawa jiwaku yang ikut melangkah bersamamu.” gumam Sivia pelan.

“sungguh aku yakin….”

“karena cintaku akan membawamu kembali, sejauh apapun kau pergi meninggalkanku.”

Tangan Sivia menggenggam erat Ipod milik Alvin –seakan-akan ipod tersebut adalah separuh jiwa Alvin yang tidak boleh ia lepas. Ia akan menggenggamnya, selama apapun ia harus menanti. Tidak akan ia lepaskan begitu saja, karena separuh jiwanya masih ada pada laki-laki itu.

Ia akan menanti laki-laki itu datang kembali, menyambutnya dengan jiwanya yang masih tersisa. Tidak akan ia pedulikan selama apapun ia menanti, ia percaya tidak akan ada yang sia-sia. kalaupun nanti ia tidak dapat memiliki laki-laki itu, pasti akan ada satu alasan yang membuatnya melepaskan laki-laki itu. Tapi untuk kali ini, Sivia yakin bahwa Alvin akan kembali karena akhir yang ia pilih adalah akhir dimana ia dan Alvin bisa bertemu kembali –meskipun akhir itu belum tentu akan membuatnya bahagia tau lebih sakit dari sekarang.

“aku yakin akhir yang aku pilih adalah akhir yang akan ku dapatkan.”

“karena aku mencitainya dengan ketulusan.”

“karena dapat ku pastikan cintaku adalah cinta sejatimu.”

“karena cinta sejati akan berakhir untuk dipersatukan.”

“karena cinta sejati adalah cinta yang tetap terjaga dengan keyakinan meski terpisah sajuh apapun atau selama apapun.”


cintaku……

cinta sejatinya…………

cinta yang terjaga………