Rabu, 17 Oktober 2012

Anggap saja sudah mati (???)

setelah perang dingin itu, kami tidak pernah berbicara lagi. dia dengan tingkah masa bodohnya dan aku dengan sikap biasaku. kami memang seperti ini, berkelakuan tak jelas untuk hal yang tidak jelas juga.

aku melihat punggungnya yang ada didepanku, memperhatikan langkah lebarnya yang seperti berlari kecil. kami sekarang sedang menyusuri lorong-lorong bangunan yang bercat putih pucat. inni kebiasaan kami sejak beberapa hari yang lalu, sejak kami menginjakkan kaki di negara yang terpaksa kami pijaki hanya untuk seseorang.

langkahnya terhenti, matanya menatap sepasang orang dewasa yang berada kurang lebbih 10 langkah dari tempatnya berhenti. aku yang tidak tahu menahu langsung berdiri sejajar dengannya, melihat apa yang dia lihat. 'sepasang orang dewasa yang sedang beradu mulut. saling melempar hinaan dan saling menyalahkan.' 

aku mematung, diapun sama sepertiku. kami hanya diam, mendengar perdebatan bodoh yang dilakukan dua orang dihadapan kami ini. sesekali kulirik dia yang ada disampingku. jelas, emosinya sedang tersulut hebat melihat tingkah orang2 dewasa yang memperdebatakan cara untuk 'memperbaiki sesuatu yang entah kapan akan kembali baik.'

tanpa ragu, aku menggenggam tangannya, berusaha untuk meredam emosinya dan menenangkannya. dia balas menggenggam tanganku lebih erat sampai akhirnya ia menariku untuk memasuki salah satu ruangan yang pintunya tertutup rapat. kami berjalan melewati sepasang orang dewasa tadi, mengacuhkan tingkah bodoh mereka yang seperti anak kecil.

perlahan genggamannya melonggar ketika kami duduk disamping ranjang seorang laki-laki yang menjadi alasan kami menginjakan kaki disini. laki-laki itu, laki-laki yang selalu kami tunggu responnya, laki-laki yang kami tunggu matanya terbuka, laki-laki yang kami tunggu keaktifannya dalam hidup kami lagi.

aku terlarut, terlena melihat laki-laki yang terbaring diranjang bersepray putih dihadapan kami. sesekali aku tersenyum melihat betapa damainya laki-laki itu tertidur. bukankah lebih baik melihatnya seperti ini? melihatnya tidur nyenyak dengan wajah damainya yang polos.tapi tidak, mungkin belum, aku belum siap melihatnya terus tertidur seperti itu, tapi -lagi sekali- bukankah lebih baik melihatnya seperti ini? melihatnya tanpa persakitan. :")

kurasa sesuatu bergerak disampingku, aku hampir melupakannya. melupakan laki-laki yang tadi ku genggam tangannya. ku perhatikan bahunya sedikit terguncang, apa dia menangis? sepertinya iya. dia memang benar-benar menangis. laki-laki ini menangis? adik kecilku menangis? 

lihatlah, lihat apa yang kamu lakukan. kamu membuatnya menangis. cepatlah bangun dan ejek wajah jelek adik kita yang cengeng ini ketika menangis. hahaha.... ehem... kau tau, dia menangisimu, menangisi kenapa kakaknya yang paling berharga tidak merespon sedikitpun. kau tau, senakal2nya adik kita ini, dia tetaplah seorang bocah kecil yang takut kehilangan kakaknya^^

ku rengkuh tubuhnya, mengelus pelan pundaknya meskipun aku juga rasanya ingin ikut meangis tapi kuurungkan. aku tidak mau menangis, kalau aku menangis siapa yang akan menghapus airmatanya, siapa yang akan menghapus airmataku jika kamupun tidak bergerak.

kau tahu, seharusnya aku mengikuti fase manusiawiku. menangis karena takut kehilangan, menangis karena menyerah pada takdir, menangis karena sesuat yang tidak pasti. Tapi lagi sekali, AKU TIDAK MAU MENANGIS, SEJAK KECIL AKU TIDAK DIAJARKAN UNTUK MENANGIS JADI AKU TIDAK MAU MENANIS^^

"KAMU BISA MENGANGGAPNYA MATI." kudengar teriakan dari balik pintu yang menjadi pembatas ruangan dalam dan ruangan luar. dua orang dewasa itu ternyata belum selesai berdebat. mereka memang bodoh, bertingkah egois padahal mereka sama-sama takut kehilangan anak tunggal mereka. ciiiiih orang tua macam apa mereka.

"APA KAMU BILANG? DIA ANAKKU MANA MUNGKIN MENGANGGAPNYA MATI BEGITU SAJA DAN BLA BLA BLA...." masih banyak lagi teriakan yang kudengar dari balik pintu. aku yakin laki-laki yang kupeluk juga mendengarnya. adik kita mendengarnya, ada dia mengerti? tentu saja, dia bukan lagi adik kecil yang tidak tahu apa2, dia sudah cukup besar untuk mengerti arti dari semua yang terjadi.

ku longgarkan pelukanku dan mencoba menutup telinga adik kita, aku tidak ingin dia mendengar kata-kata yang akan merusak optimismennya untuk melihatmu bangun. tapi lihatlah tingkahnya, dia menepis tanganku dan berjalan keluar, berdiri diambang pintu sambil menatap datar dua orang dewasa yang tidak tau malu. 

"anggap saja dia sudah mati." katanya pelan, tapi aku  yang dibelakangnnya cukup mendengar kalimat yang cukup menohok tersebut. dua orang dewasa itu menatap kami dengan pandangan bersalah, menyadari kebodohan mereka yang benar2 lebih bodoh dari orang tidak punya otak.

"anggap saja dia sudah mati." ulangnya sambil berjalan masuk mendekati tubuh laki-laki yang sama sekal tidak merespon apapun. 

beberapa lama terdiam, dia melengang keluar ruangan tanpa memperduliakan dua orang dewasa yang masih berdiri di samping pintu. aku mengikutinya sampai apartemen dan melihat apa yang dilakukannya. mengemas barang2nya. sudah kuduga. 

dan hari itu juga, 2 hari sebelum rencana pencabutan alat2 penopang hidupmu dicabut, aku dan dia kembali pulang. melupakan apa yang terjadi, dia seolah2 benar2 menganggapmu sudah mati. kau tau? semua file tentangmu di hapus habis dan menyisakan "no brother, no momories"

sementara aku! aku masih percaya keajaiban, aku masih menunggu hari diamana kau membuka mata.kau tidak akan tidur terus menerus seperti itu, aku yakin kau akan bangun, SECEPATNYA^^


bangunlah, kumohon. kami menunggu...