Rio menepis kasar
tangan ify, mendorong ify agar menjauh dari dekatnya. “apa-apaan sih loe.”
Marah rio sambil menunjuk-nunjuk wajah ify.
“biasa aja kali mas.” Ify menepis jari
telunjuk rio dari hadapannya. “lagian elo sih yang duluan maksa-maksa sivia.”
Tak terima
disalahkan, rio langsung mendorong ify ketembok pembatas sekolah dengan
jalanan. Mencekal ruang gerak ify dengan menghimpit tubuh ify diantara dua
tangannya dan langsung membuat ify merasa terpojok. “loe mau berurusan sama
gue, hahaha. Gak salah tuh niat.”
Ify menelan ludah,
mengumpulkan beberapa keberaniannya yang tadi sempat memudar karna mendapat
perlakuan yang spontan dari pemuda hitam manis dihadapannya ini. “minggir loe,
gue gak salah. Gue mau berurusan sama loe kek, sama siapapun, itu urusan gue.
BUKAN URUSAN LO.” Ify mendorong tubuh rio, namun sia-sia karna rio tak
sedikitpun bergeming dari hadapannya.
“haha, baiklah. Loe yang mulai, jangan
salahin gue kalau loe dapet masalah.” Sinis rio sambil berbalik dan
meninggalkan ify.
“GUE GAK TAKUT, GUE TERIMA TANTANGAN
LOE.” Teriak ify agar rio dapat mendengarnya. Tapi walaupun rio mendengar teriakkannya, pemuda itu tetap mengacuhkannya.
Tak dapat dipungkiri
lagi, ancaman rio tadi cukup untuk memusnahkan benteng pertahanan ify dan
membuat ify merasakan ketakutan. Bagaimana bisa seorang rio bisa membuat
pondasinya yang kuat kini kian meroboh, membuat ify membutuhkan pondasi yang
lain dari alvin. sekarang ify butuh alvin, ia ingin bercerita kepada alvin.
pasti alvin mempunyai cara tersendiri untuk menenangkan hatinya yang mendadak
gelisah.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Matahari kembali
menjelmakan sinarnya menjadi sinar rembulan. Keheningan kembali melanda
disekeliling kamarnya hingga suara anginpun dapat terdengar dari celah-celah
jendela yang masih terbuka lebar. Ia benci suasana yang hening seperti ini,
apalagi kelengangan yang tercipta dari gelap gulita kamarnya sendiri. Tak ada
cahaya lampu atau cahaya penerang selain cahaya-cahaya yang keluar dari
pentilas-pentilasi kamarnya, cahaya dari celah-celah pintu, cahaya rembulan,
serta cahaya Hpnya yang beberapa menit sekali menyala. Namun Beberapa cahaya
tersebut Lantas tak dapat mengusik keRemang-remangan sudut dan sisi-sisi gelap
kamarnya, serta tetap tak bisa mengusik kesepian yang selalu menyergap hatinya.
‘tap, tap, tap.’ Akhirnya
suasana yang mencekam itu terusik juga. Suara dari arah jendela membuatnya menyadari kehadiran sahabatnya, ia tersenyum
senang lantas berdiri dan menghampiri sahabatnya tersebut. “bagaimana keadaan loe ?.” pertanyaan yang tak pernah
absen jika si pemilik suara bertandang kekamar ini. sementara si empunya kamar
hanya tersenyum sambil meraba wajah sahabatnya.
“ayo pergi, papa sama mama kangen sama
loe. gue juga mau cerita banyak soal kejadian tadi pagi disekolah.” Ajak suara
tersebut. Suara yang nyatanya adalah milik ify. Alvin yang merupakan si empunya
kamar hanya mengangguk. Dan merekapun keluar kamar gelap tersebut melewati
jendela yang masih saja terbuka, jendela yang sedari dulu menjadi saksi bagaimana
dua sahabat tersebut selalu kabur jiika malam mendera dan saksi ditengah malam
bagaimana cara pemiliknya kembali lagi.
“alviiiin.” Panggilan itu menyambut
mereka ketika sampai didepan rumah ify. Diberanda rumah telah duduk anteng
seorang pria dan wanita muda yang umurnya berkisar 35 thn keatas.
“papa, mama, alvin kangen.” Manjanya
sambil memeluk dua tubuh kekar tersebut. Ify yang melihat pemandangan tersebut
hanya tersenyum haru, pemandangan yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun
silam.
“udahdeh, pelukannya. Manja banget sih
loe vin.” Kesal ify sambil ikut duduk disebelah mama dan papanya.
“yeeee, sirik loe. Gue kan kangen sama
om dan tante.” Alvin menoyor kepala ify.
“alviiiiin, jangan panggil om, tante
dong. Panggil mama, papa aja.” Pria yang dipanggil papa tadi pura-pura marah
sambbil menjewer telinga alvin cukup keras.
“hehehe, iya pa. Ampun deh, alvin minta
maaf. Tadi alvin khilaf.” Alvin meringis sambil memegang telinganya yang merah
karna jeweran papa ify.
“haha, rasain loe. Emang enak dijewer.”
Ejek ify, lidahnya dikeluarkan dan kedua tangannya mengacak rambut alvin,
gemes.
“mama, kak ify nakal.” Manjanya lagi,
kali ini ia merengek meminta pembelaan dari mama ify yang sudah dianggapnya
sebagai mamanya sendiri.
“hahahaha.” Mereka tertawa bersamaan
melihat tingkah alvin.
beginilah malam
mereka sepanjang tahun, membagi sedikit tawa pada pemuda yang mereka temukan
dulu, pemuda yang tanpa sadar telah menjelma menjadi salah satu dari bagian
yang berarti dalam hidup mereka.
Ify bercerita tentang
apa yang terjadi dengan dirinya dan rio. Kedua orang tuanya sudah masuk duluan
dan membiarkan alvin dan ify berbicara berdua diberanda. Terdengar jelas nada
ketakutan dari suara ify yang sedari tadi bercerita dengan alvin. “loe jangan
takut fy, gue selalu ada disamping loe. Gue gak akan biarin loe kenapa-napa,
gue janji.” Alvin memeluk ify sangat erat, mencoba memberi ketenangan untuk
gadis yang 8bulan lebih tua darinya ini.
“makasih vin, gue pegang janji loe.”
Alvin merenggangkan pelukannya dan menatap ify untuk mempercayai apapun yang ia
katakan.
“percaya sama gue, gue janji.” Alvin
mencubit hidung ify seraya tertawa riang.
**********************************************************************************
Jejak-jejak
langkahnya tak lagi dapat berpacu pelan, waktu kembali menuntutnya untuk
menembus jalanan menuju sekolahnya. Jam kini menunjukkan pukul yang tak
memungkinkannya untuk bisa datang tepat waktu. Kilah-kilah cahaya seakan
menuntutnya untuk menyambut hari pertamanya datang terlamabat, sementara Dari
tepi timur mentari sudah menebarkan tawa mengejek melalui cahanya yang kian
menerang.
‘hoshoshosh’
deru nafasnya memburu seraya memandang hampa kearah gerbang sekolahnya yang
sudah tertutup rapat. Tau akan percuma memaksa satpam untuk membuka pintu gerbang, ia berbalik dan
melangkah gontai menjauhi sekolahnya. Ntah kemana lagi langkah itu akan menuntutnya, ia tak mungkin berjalan pulang,
nanti bisa-bisa kena omelan lagi. Untuknya sudah cukup tadi pagi amarah mamanya
menyambut lelap tidurnya, apalagi amarah mamanya mengandung hinaan-hinaan yang
sangat, hmmm ! hinaan yang sangat atau cukup membuat hatinya terluka.
“alvin.” langkahnya terhenti
ketika mendengar suara lain memanggilnya.
“eh, kok loe ada disini ?.”
tanyanya tak percaya.
“hehe, biasa aja kali vin. Gue
tadi telat dateng, niatnya mau pulang sih, tapi karna ngeliat loe ya jadi
nyamperin deh.” Adu sivia, gadis yang tadi menyapanya. “terus, loe sendiri kok
bisa ada disisni ?.” tanya sivia balik.
“gue juga telat.” Alvin kembali
berbalik dan berjalan meninggalkan sivia yang masih mengangguk-angguk. “eh, loe
mau kemana ?.”
“mau ngikut loe lah, kenapa ?
gak boleh ?.”
“hhh, terserah loe aja sih.”
Gumam alvin dan kembali mengacuhkan sivia.
Alvin dan sivia terus berjalan
dalam diam, tak tau kemana lagi langkah-langkah itu akan
membawa mereka pergi. “loe mau kemana sih vin ?.” tanya sivia sedikit
kesal.
“gak tau.” Jawab alvin enteng,
setelah itu ia kembali diam.
Beberapa
menit dari jawaban tadi, alvin namapak memikirkan tempat yang sudah jarang
ia kunjungi, tempat yang bisa ia
datangi. “gue tau kita harus kemana.” Seru alvin girang.
Alvin menarik
tangan sivia, membawa gadis itu berlari kearah matahari terbenam. Sesekali ia
menoleh dan tersenyum melihat wajah sivia yang ikut berlari dibelakanganya.
“loe harus liat tempatnya vi, gue yakin loe suka.” Kata alvin disela langkahnya
yang semakin cepat.
Lorong gelap
dan memanjang terlihat didepan mereka, alvin dan sivia mengubah kecepan
langkahnya menjadi lebih pelan dan tak lagi terkesan berlari. “loe mau bawa gue
kemana vin, gelap banget.” Nada ketakutan terdengar dari setiap kata yang
keluar dari mulut sivia.
Alvin diam
sebentar dan tersenyum hangat kearah sivia. “loe tenang aja vi, gue gak akan
macem-macem. Gue janji akan ngelindungin loe, selama loe ada disamping gue.”
Kalimat itu meluncur pelan dari mulut alvin, seketika membuat perasaan sivia
menjadi lebih tenang.
Sivia menggenggam
tangan alvin lebih erat dari genggaman sebelumnya. Ada rasa nyaman yang
melingkupi ruang geraknya, Rasa nyaman yang selalu muncul ketika ia bersama
alvin.
Ternyata
ujung lorong yang bercahaya menjadi tujuan utama mereka, cahaya yang mungkin
letaknya masih beberapa centi dari mereka. “nah ! bentar lagi kita sampai, gue
yakin pasti loe suka banget sama tempatnya.” Kata alvin membuka ruang
percakapan yang sedari tadi menyepi dan hanya beriring suara langkah kaki.
“emang tempat apaan sih vin.
Seneng banget deh kayaknya.”
“tempat rahasia yang gue temuin
sendiri.”
“tempat rahasia kok
bilang-bilang.”
alvin
terekekeh mendengar ucapan sivia, lantas berkata kembali. “haha, rahasia untuk
umum, tapi tempat terbuka untuk orang-orang yang gue sayang.” Katanya lagi.
Sivia
terpelonjak, merasa senang kalau dirinya termasuk dalam daftar orang-orang yang
disayangi alvin. “berarti loe juga sayang sama gue dong.” Tanyanya sivia jahil.
“hmm, gimana ya ? gue
pikir-pikir dulu deh.” Balas alvin jahil. Hal itu cukup membuat mulut sivia
maju, menunjukkan kalau dia tak terima dengan kata jahil dari alvin tadi.
“hehe, udah gak usah ngambek. Loe pikir aja sendiri.” Kata alvin, tangan
kirinya yang menjuntai kini mengacak-acak rambut sivia.
“huaaaa, keren banget vin.”
Takjub sivia setelah melihat pemandangan dibalik cahaya yang tadi hanya berupa
titik kecil. “sumpah, gue suka banget.”
“hehe, iya dong. Siapa dulu yang
nemuin, alviiin.” Kata alvin bangga.
“ckckck, gitu aja bangga.” Cibir
sivia sambil menoyor kepala alvin. “Gue juga bisa nemuin tempat yang sebagus
ini. wleeek :p.”
“gak mungkin, kalau dijakarta
cuman tempat ini yang paling bagus menurut gue.”
“halaaaah, ntar kapan-kapan
kalau gue nemuin tempet yang bagus bakalan gue tunjukin deh ke elo.”
“iye, gue pegang dah omongan loe
vi.”
Mereka
terdiam setelah pembicaraan singkat tersebut. Baik alvin maupun sivia tampaknya
tak ingin mengusik suasana hangat yang terjalin dalam diam ini. tanpa
sepengetahuan siapapun kedua tangan mereka masih saja bergenggaman, tidak ada
dari mereka yang rela melepaskan genggaman tersebut, mereka masih mau mersakan
sensasi kehangatan lebih lama.
“alvin, mmm.” Sapa sivia ragu. “kenapa
loe ngajak gue kesini ?.” tanya sivia dengan wajah serius.
Alvin
tersenyum pedih mendengar jawaban sivia, ia sendiri merasa bodoh untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Kalau boleh jujur, alvin sendiri tidak tahu mengapa dia
mengajak sivia kesini, atau bahkan kenapa nalurinya membawanya ketempat ini
lagi, padahal hampir satu tahun alvin tidak pernah mendatangi tempat ini.
“loe lagi sedih ya, vin ?.”
tanya sivia lagi tanpa menunggu pertanyaan sebelumnya untuk dijawab oleh alvin.
“hahahaha.” Alvin hanya tertawa
hambar, dadanya tiba-tiba sesak begitu mendengar pertanyaan kedua yang diajukan
oleh sivia. “gue gak pernah sedih, vi.” lirih alvin.
Sivia menelan
ludah ketika melihat ekspresi alvin yang tiba-tiba berubah dingin. Apa yang
dikatakan alvin tadi tak begitu masuk kelogikanya, ‘gue gak pernah sedih’ kalimat itu seakan menjadi suatu kesalahan
yang sangat menyimpang dari kenyataan. Tidak mungkin ada manusia yang tidak
pernah merasakan kesedihan, apalagi kesedihan adalah hal yang sangat lazim bagi
setiap individu.
Kesedihan
jelas terpeta diwajah alvin. sivia tahu itu karna wajah itu tiba-tiba mengeras
dan meredupkan pesona yang selalu ditawarkan alvin untuknya. “bohong, gue tau
loe bohong vin. Jelas-jelas loe bawa gue kesini karna loe lagi sedih dan butuh
temen untuk berbagi. Iya kan ?.”
Alvin menoleh
dan tersenyum seperti awal mereka berada disini, senyuman yang lebiih
menyejukan hati siapapun yang melihatnya. “gue gak pernah sedih, vi. kesedihan
gue cuman saat gue harus kehilangan orang yang sangat berarti bagi gue dan
hidup gue.” Ucapnya tegar.
“apa
kesedihan loe juga berlaku untuk gue ?.” tanya sivia pelan. Ntah dari mana
keberaniannya untuk mengajukan pertanyaan yang, hmmm ! pertanyaan yang bisa
dibilang pertanyaan bodoh untuk siapapun yang mendengaranya.
Alvin kembali
diam, menjawab hanya dengan anggukan kecil. “tergantung loe-nya ke-gue. Kalau
loe bersedia jadi salah satu orang yang berarti di hidup gue, ya gue pastiin
kalau kesedihan itu juga berlaku untuk loe.” Balas alvin sambil menepuk-nepuk
pipi sivia.
Kalimat yang
dikatakan alvin tadi seperti menyimpan sebuah penawaran untuk sivia.
Kebahagiaan tiada tara memenuhi hatinya, jika kalimat itu beneran tawaran alvin
untuknya, maka dengan gerakkan cepat sivia akan mengangguk pasti.
Sivia mau menjadi sesuatu yang berharga untuk
alvin, sivia mau menjadi bagian kesedihan alvin jika dia pergi nanti. “bagaimana,
loe mau gak ?.” tanya alvin. sivia yang baru saja berandai-andai langsung
terkesiap mendengar kalimat alvin yang benar-benar menjadi sebuah penawaran.
“g... gue... mau vin.” Kata
sivia tanpa ragu. “jadi sekarang kita...”
“iya, mulai sekarang kita
pacaran.” Potong alvin. “loe jadi bagian hidup gue dan gue udah jadi bagian
hidup loe.”
Sivia
mengangguk lagi, air mata harunya menetes begitu saja. Segera ia memeluk tubuh
alvin dan menumpahkan kebahagiaannya disana. Rasa tak percaya menguap saat
pelukkan itu akhirnya terbalaskan juga. Sivia tak percaya kalau alvin, orang
yang beberapa minggu lalu dikenalnya melalui tabrakan tak disengaja kini
menjadi kekasihnya.
“sivia, jangan kecewain gue ya.”
Pinta alvin parau. Sebuah Permintaan pertamanya untuk kekasih barunya, sivia.
“iya vin, gue gak akan ngecewain
loe. Loe juga jangan kecewain gue ya.” Alvin mengangguk, mengiyakan permintaan
sivia yang sama dengan permintaannya yang tadi. “janji”
Alvin
merenggangkan pelukan sivia, mengajungkan kelingkingnya tepat beberapa centi
dari wajah sivia. “janji.” Sivia mengaitkan kelingkingnya dikelingking alvvin
dan tersenyum semanis mungkin untuk kekasih barunya.
****
Dari kejauhan
rio melihat ify yang sedang duduk bersandar bawah pohon, selintas ide jahilnya
untuk mengerjai ify langsung muncul. “mampus loe sekarang.” gumam rio sambil
berjalan mendekati ify.
“woiiiii, loe dicari noh sama si
cakka.” Ify mendongak dan menatap tajam
kearah rio yang berdiri tepat didepannya.
“yang sopan dikit dong, gue
kakak kelas loe.” Sinis ify.
“suka-suka gue dong, loe mau
guru kek, kakak kelas kek, emang gue pikirin. Udah sono, keburu lama si cakka
nunggu loe.” Kata rio nyolot.
“emangnya mau ngapain si cakka
nyari gue ? loe bohong ya ?.” selidik ify yang mulai menaruh curiga kalau-kalau
si rio ngebohongin dia.
“ah, banyak bacot loe fy. Tadi
si cakka bilang ada pertemuan mendadak buat senior ekschool jurnalistik.”
Bohong rio lagi. Ify mengangguk dan segera bangkit dari tempat duduknya. “awas
aja kalau loe bohongin gue.” Ancam ify dan berjalan meninggalkan rio.
Setelah ify
berjalan keruang jurnalis, ternyata rio mengikutinya dari belakang. Begitu
sampai diruang jurnalis ify mendekat kearah cakka yang sibuk melihat sterofom
yang memajang konsep tentang rencana mading bulan ini. “cakka.” Panggil ify.
Cakka berbalik ketika mendengar
namanya dipanggil. “apa fy ?.” tanyanya.
“katanya loe, ma...”
‘CUUUP’
Sebelum ify
menyelesaikan kata-katanya, seseorang mendorong ify dari belakan dan membuat
ify terdorong kedepan hingga akhirnya bibir ify mendarat mulus dipipi cakka.
Tinggi ify dan cakka yang hanya berbeda sedikit membuat rencana rio berhasil.
“hahahaha. Rasain loe.” Tawa rio
meledak melihat ify mencium cakka, belom lagi kemunculan agni –pacar cakka-
yang tiba-tiba dan melihat adegan cium pipi
itu semakin membuat rencana rio semakin berjalan sempurna. Setelah
tertawa puas, rio langsung lari meninggalkan ruangan tersebut sebelum ada yang
memergokinya.
“s... sorry.” Kata ify sambil
menjauhkan wajahnya dari wajah cakka.
“ify, loe...” agni mendekat dan
hampir menampar ify sebelum sebuah tangan menahan tangan agni yang sudah
semakin dekat dengan pipi ify.
“ini salah paham ag, gak kayak
yang loe lihat.” Kata orang tersebut, agni yang terkejut langsung menoleh dan
melihat alvin dibelakangnya. “ify gak mungkin cium cakka sembarangan, apalagi
ify tahu kalau cakka pacar loe.”
Ify yang tadi ketakutan langsung
berlari dan bersembunyi dibalik punggung alvin. “g... gue didorong vin.” Adu
ify.
“iya fy, gue tau. Gue lihat
kok.” Kata alvin menenangkan ify. “kalau loe gak percaya, loe bisa lihat CCTV
diruangan ini.” kata alvin ke agni, tangannya menunjuk pintu ruangan yang
berada dinding bagian barat ruang jurnal.
^^
“thanks al, loe emang pahlawan
gue.” Kata ify saat mereka berdua berjalan dikoridor sekolah.
“iya fy, kan gue udah bilang ke
elo kalau gue akan selalu lindungin loe.” Alvin tersenyum senang, senang bisa
melindungi ify yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri.
“eh, iya. Gue mau nanyak,
kemaren kenapa loe kgak masuk pin ? gue kan khawatir banget.” Tanyak ify penuh
selidik.
“gak usah sekhawatir gitu dong,
fy. Udah segede ini juga.” Kata alvin cengengesan, “kemaren gue telat. dari
pada pulang terus dimarahin, ya lebih mending gue keujung lorong bereng sivia.”
“hah ! sivia. Kok bisa loe
bareng dia ?.”
“kemaren dia juga telat bareng
gue.” Jawab alvin enteng.
“terus-terus, disana loe sama
dia ngapain aja ?.”
Alvin yang mulai risih ditanya
macem-macem, langsung aja noyor kepala ify dan mengejeknya. “mau tau aja sih
loe, wleeek.”
“aaaaa,,, alviiiiin.”
“hahaha...”
Setelah
percakapan sederhana itu, mereka malah asik bercanda tanpa menghiraukan tatapan
sinis seseorang yang sedari tadi mengamati mereka dari kejauhan. Senyum sinis
orang tersebut jelas menggambarkan
kebencian.
-------------------------------------------------------------TBC---------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar