NO SAD!!!
(EPILOG)
Kebiasaan
malam mereka sebelum tertidur selalu seperti ini, ketika tangan kekarnya
mengalung diperut istrinya, menarik tubuh ramping tersebut agar lebih dekat
dengan tubuhnya, kemudian dengan senang hati istrinya akan menenggelamkan
kepalanya didada bidang suaminya, setelah itu mereka akan sama-sama mengulas
tersenyum dan memejamkan mata meski belum benar-benar terlelap.
“Aku
mencintaimu.” bisikan lembut itu semakin membuainya, tapi bukan untuk tertidur
melainkan membuainya untuk semakin mencintai laki-laki yang sedang memeluknya
ini –suaminya. Alvin Jonathan.
“Aku tau.”
balasnya singkat. “karena aku juga mencintaimu.” Alvin terkekeh pelan mendengar
pengakuan istrinya. Rasanya selalu bahagia mendengar Sivia membalas kata
cintanya.
Mereka selalu
suka waktu-waktu seperti, waktu ketika mereka menikmati kebersamaan mereka yang
seakan-akan bagai candu yang selalu mereka butuhkan untuk memperkuat hubungan
mereka. Tidak banyak yang mereka lakukan, hanya tidur diranjang yang sama,
berpelukan sepanjang malam, saling tukar hirup aroma tubuh, sesekali mereka
memuaskan hasrat mereka, dan masih banyak lagi yang mereka lakukan ketika
bersama seperti ini.
Sivia memicingkan
matanya menatap kalung Alvin yang berbandul cincin cantik yang sama dengan
miliknya. Cincin itu adalah saksi bisu kisah cinta mereka sejak SMP, sejak ia
dan Alvin masih menjadi ‘Via dan Nathan’,
dua bocah ingusan yang saling mencintai layaknya pria dan wanita dewasa. Sivia
menggigit bibir bawahnya dengan resah, mengingat cincin itu juga yang menyimpan
banyak pertanyaannya sepanjang perjalanan kisah cintanya dengan Alvin.
“Alvin”
panggil Sivia lirih sambil menyudahi aksi gigit bibirnya dan beralih mengalungkan
tangannya dipunggung kokoh Alvin.
“hmmmm”
“bisa kau
jelaskan semuanya?” Tanya Sivia yang jujur saja masih menyimpan banyak
pertanyaan tentang segala sesuatu yang berjalan cepat tanpa bisa ia cerna
satupun alur yang membawanya hingga memiliki laki-laki ini.
“Apa kau
masih membutuhkan penjelasan?.”
Dengan
antusiasnya Sivia mengangguk.
“tanyakan
saja apa yang belum jelas.”
“hmmmm…. ke-kenapa
kita kembali dipertemukan dalam perjodohan yang tidak jelas?.” Pertanyaan
pertama Sivia berhasil membuat Alvin menyeringai.
“karena semua
pertemuan kita adalah rencanaku dan kedua orang tua kita.” Alvin menerawang,
mencoba mengingat apa yang masih bisa ia ingat.
*******FB
On******
Alvin membuka
matanya ketika melihat Ira –ibunya Sivia memasuki ruang rawatnya. Mata sayunya
menyimpan jelas rasa khawatir pada gadisnya.
Ira hanya
tersenyum lelah melihat laki-laki yang mencintai anaknya tersebut. ia terus
berjalan mendekat dan duduk disofa ruang rawat Alvin bersama kedua orang tua
Alvin.
“bagaimana
keadaan Via?.” Winda melemparkan pertanyaannya mengenai keadaan Sivia setelah sempat
melirik Alvin dan menangkap kekhawatiran dimata anaknya.
Alvin
menajamkan pendengarannya. Ingin tau penjelasan dari Ira tentang keadaan
gadisnya.
Sekali lagi –Ira
tersenyum lelah, wanita dewasa itu menarik nafas perlahan dan menghembuskannya
dengan tempo yang pelan. “Sivia mengalami Amnesia akibat kepalanya terbentur
trotoar, Ia kehilangan banyak memorinya, Ia hanya mengingat beberapa tentang
masa lalunya.” Jelas Ira sebelum mengambil jeda.
Alvin menutup
matanya gusar, berharap gadisnya tidak kehilangan memori tentang dirinya dan
kisah mereka.
“Sepertinya Via
juga kehilangan memorinya tentang kejadian yang baru terjadi, termasuk
kehilangan memorinya tentang Nathan.”
Hati Alvin langsung
mencelos. Dewi keberuntungan sepertinya tidak memihak padanya. Sivia -nya
melupakan tentang dirinya dan kisah mereka.
Dengan
langkah gusar Winda menghampiri Alvin. Ia mengerti perasaan anaknya tersebut,
sungguh sangat mengerti bagaimana beratnya menerima kenyataan seperti ini.
“tenanglah.”
suara lirih Winda menyapa gendang telinga Alvin. Tangan halusnya membelai
rambut anaknya guna menenangkan.
“aku harus
bagaiamana.” gumam Alvin pelan.
Layaknya
seorang penerjemah, Winda menatap Ira dan suaminya gusar. “kita harus
bagaiamana?.” tanyanya seperti mengulang pertanyaan Alvin.
“Kata dokter,
Sivia belum boleh diingatkan tentang memori-memorinya yang hilang, lebih baik
untuk saat ini sebaiknya kita menjauhi mereka. Aku takut kalau Via melihat
Nathan, ia akan mencoba mengingat memori-memorinya yang hilang dan itu akan
berakibat fatal untuk Via ” Kata Ira lagi.
“apa kau siap
menjauhi Via?.” Tanya Winda kepada Alvin.
Alvin diam,
Selama ini ia tidak bisa jauh dari Sivia. Tapi untuk kali ini ia akan
mencobanya, demi Sivia -nya. Alvin mengangguk seadanya. “Nathan siap demi Via.”
Winda ikut
mengangguk, meskipun tidak yakin dengan anggukan Alvin. Ia tau benar kalau
Alvin tidak pernah bisa jauh dengan Sivia, namun mau bagaimana lagi ini jalan
satu-satunya. “Baiklah Ira, kau harus focus pada penyumbuhan Via, dan Nathan
akan aku pindahkan ke Singapur untuk melanjutkan pengobatannya sekalian untuk
antisipasi kalau saja nanti mereka bertemu.”
Ira
mengangguk paham. Kemudian dengan langkah pelan Ira menghampiri Alvin, mencium
kening anak laki-laki temannya itu dengan penuh rasa iba. Ia juga tidak
menginginkan semua ini, ia terpaksa harus menjauhi putrinya dengan Alvin.
“berjanjilah
setelah Nathan kembali, Via akan jadi milik Nathan.”
******************
Mengingat
kejadian waktu itu cukup membuat Alvin meringis. Sementara Sivia yang berada
dalam pelukannya mencoba menela’ah cerita Alvin.
“sudahlah
jangan memikirkan masa lalu lagi.” kata Alvin sambil mengusap punggu Sivia.
“lanjutkan pertanyaanmu.”
Sivia
mengangguk sambil mengacaukan bayangannya tentang masa lalu mereka.
“kemana kau
selama empat tahun? dan apa yang kau lakukan.”
Alvin
menghembuskan nafas gusar mendengar pertanyaan Sivia yang kali ini entah mengapa
membuatnya merasa penat mengingat apa yang dilakukannya selama empat tahun
tanpa Sivia.
******FB
On*******
Alvin
menghembuskan nafas jengah begitu ia sampai dikamarnya. 2 tahun sudah ia di Jerman.
Selama 2 tahun ini ia sudah berusaha sekeras mungkin agar bisa cepat menamatkan
pendidikannya dan ia bisa segera ke LA untuk meniti karir bersama Cakka disana,
setelahnya barulah ia bisa pulang ke Indonesia, setelah bisa melanjutkan bisnis
keluarganya. Selama itu, ia juga harus tetap bisa menahan hasratnya untuk
menemui gadisnya yang berada di Indonesia. Menahan kerinduannya kepada gadisnya
itu terlalu lama, sama saja dengan membunuhnya secara perlahan. Dan sekarang
entah mengapa ia benar-benar sangat merindukan gadis tersebut.
Dengan mata
tajamnya, Alvin melirik kalender. ia kembali mengehembuskan nafas jengahnya.
Pantas saja ia merindukan gadis tersebut, karena sekarang gadis itu sedang
berulang tahun.
“Apa lo masih
nunggu gue? lo masih cinta sama gue?.” Tanya Alvin pada gadis yang memenuhi
hati dan pikirannya. Alvin tersenyum miris. Karena dua pertanyaan tersebut
berhasil mengundang beribu-ribu pertanyaan yang berkecamuk dalam otak dan
hatinya, pertanya-pertanyaan umum yang menanti untuk dijawab.
“Sebentar
lagi dan semuanya akan berakhir.” gumamnya pelan. “lo harus nunggu gue, karena
gue cinta sama lo.” kalimat yang syarat keegoisan itu meluncur bebas dari
mulutnya. Untuk kali ini ia ingin bersikap egois karena ia tidak akan bisa
hidup tanpa gadisnya.
Cukup ia
meninggalkan gadisnya selama ini, setelah ia kembali ia akan langsung mengikat
gadis tersebut untuk menjadi miliknya. hanya menjadi miliknya. karena ia
mencintai gadis itu ketika ia membuka mata dan cintanya tidak akan sirna
meskipun matanya tertutup. dan ia yakin gadisnya juga mencintainya…..
kalau pun
tidak….
Ia akan
memaksa gadis itu untuk mencintainya –lagi
dan menjadikan gadis itu mutlak miliknya.
******FB
Off*******
“yang
kulakukan hanya merindukanmu.” jawab Alvin sekenanya. Sekarang giliran Sivia
yang terkekeh geli mendengar jawaban suaminya meskipun tidak dapat dipungkiri
kalau ia senang mendengar jawaban tersebut.
“Lalu kau, bagaimana
kau hidup selama aku tidak disampingmu? hmmmmm.”
“hidupku?
tidak jauh berbeda dengan ceritamu.” balas Sivia singkat. ia menyesap aroma
tubuh Alvin begitu dalam, harum tubuh itu selalu membuatnya candu. “aku juga
selalu merindukanmu, setiap hari.”
Sivia semakin
mendesak kepalanya agar lebih tenggelam dalam dada bidang Alvin, menghirup
aromanya sekali lagi dan menghembuskannya dengan lembut, dan itu ia lakukan
secara berulang tanpa bosan.
“karena kau
adalah kehidupanku, oksigenku. Aku tidak akan bisa lepas darimu.”
******FB
On********
“LO TEGA
NINGGALIN GUE!!! KENAPA WAKTU ITU LO NGGAK KASI GUE SATU KESEMPATAN.” maki Sivia
sambil menatap tajam, figuran foto Alvin yang selalu setia terpajang diatas
meja kamarnya.
“LO JAHAT
BANGET SAMA GUE.” figuran itu ia angkat setinggi mungkin dan hendak melemparnya
kelantai sebelum akhirnya ia urungkan dan didekapnya dengan erat.
“gue sayang
lo, gue cinta lo, gue kangen lo.” isak tangis Sivia mulai terdengar, air
matanya lolos begitu saja. Bukan untuk pertama kalinya ia seperti ini,
Laki-laki bernama Alvin Jonthan benar-benar membuatnya gila dan rela menangis
semalaman hanya karena merindukannya.
drrrrt….
drrrrrt….
Dengan cepat Sivia
menaruh kembali figuran tersebut, menyeka kasar air matanya sebelum mengangkat telpon
yang masuk ke smartphone -nya dengan nada bersorak-sorak tidak sabaran untuk
diangkat.
“ada apa?”
“lo abis
nangis ya vi? kok suara lo gitu banget.” suara disana menyahut khawatir.
“gue fine
shill, ada apa?.”
“oke oke,
jadwal lo sekarang pemotretan sampul majalah.” kata shilla.
“ohya gue
lupa.” Sivia meneput jidatnya. “kirimin alamatnya shill ntar gue dateng.”
“siiip.”
Sivia
memutuskan sambungan sambil menghela nafas berat. Ia menghela nafas lelah, pada
pasalnya selama menjadi model jadwalnya semakin padat, Apalagi semuanya
diperparah oleh urusan kuliahnya dengan tugas-tugas tidak penting –yang setiap
hari menumpuk, seperti meneriakinya dan memintanya untuk segera diselesaikan,
belum lagi hal-hal lain yang membuat hidupnya semakin ribet.
********
Alvin
tersenyum tipis mendengar cerita Sivia. Ternyata bukan hanya dirinya yang tidak
bisa hidup dengan benar tanpa orang yang dicintainya. Gadisnya ini pun tidak bisa hidup dengan benar tanpa dirinya.
Hal itu cukup membuatnya merasa istimewa.
“sekarang giliranku
untuk bertanya duluan?.” kata Alvin menuntut bagiannya untuk bertanya lebih
dahulu. Sivia langsung menjawabnya dengan anggukan pelan yang mengandung unsur
antusiasmen tinggi.
“mengapa kau
mau menungguku tanpa kepastian?.” pertanyaan itu membuat Sivia menarik senyum
tipis dalam dekapan Alvin.
“Apa aku
boleh bertanya juga?” Tanya Sivia tanpa memperdulikan pertanyaan Alvin yang
lebih awal terlontarkan.
Dengan pelan
Alvin mengangguk tanpa memperdulikan pertnyaannya yang belum terjawab.
“mengapa kau
begitu yakin aku mau menikah dengamu setelah kau menolak dan meninggalkanku?”
Alvin tersenyum tipis sama seperti apa yang Sivia lakukan.
“Karena aku
mencintaimu.” jawab mereka bersamaan. Mereka kembali tersenyum tipis.
Alvin
mengeratkan pelukannya, menghirup aroma rambut Sivia yang menguar dan
membuaianya untuk segera terlelap.
“Tidurlah”
kata Alvin sambil menutup matanya, namun Sivia segera menepuk dada suaminya
dengan keras membuat Alvin yang sudah hampir berlayar kedunia mimpi segera
membuka mata kembali, ia menunduk dan menatap mata Sivia yang mendelik ganas
kearahnya.
“aku masih
mempunyai banyak pertanyaan.” kata Sivia dingin.
Alvin
terkekeh pelan. “tapi aku sudah mengantuk Sivia.” katanya melas.
“aku tidak perduli
sayang.” Sivia menyeringai.
“baiklah 1
pertanyaan.”
“2
pertanyaan.”
“ng….. oke
tapi setelah itu kita tidur.”
“hmmm…” gumam
Sivia sambil berfikir pertanyaan yang akan ia ajukan. “kenapa Ray memanggilmu
dengan sebutan papa.”
Alvin terkekeh
geli mendengar pertanyaan sivia. “kau takut aku sudah punya anak?.” Tanya Alvin
balik, sementara Sivia mendengus kentara. Alvin kembali terkekeh. “Cakka yang
menyuruh ray memanggilku papa, katanya aku juga harus merasakan bagaimana
rasanya dipanggil Papa diumur yang sangat muda.” jelas Alvin, Sivia
mengangguk-angguk paham. “lalu bagaimana rasanya?.” Tanya Sivia antusias.
“rasanya hm….
rasanya aku seperti lupa umur dan merasa jauh lebih tua dari umurku.” Alvin
merengut kesal mengingat ia sempat menolak untuk dipanggil papa oleh ray, namun
cakka tetap memaksa anak kecilnya itu untuk tetap memanggilnya papa biar
‘senasib sepenanggungan’ katanya. ciiiih! siapa yang memiliki anak dan siapa
yang dipanggil papa, dasar-_- memikirkan hal tersebut –tentang Cakka dan Ray membuat
Alvin semakin malas saja, dan ingin cepat tidur.
“hey Alvin
kenapa tidur, kau masih berhutang menjawab satu lagi pertanyaanku.” Sivia
menepuk dada Alvin dengan keras, membuat Alvin yang semulanya sudah menutup
mata kembali membuka matanya.
“apalagi Sivia?.”
“kau masih
harus menjawab satu pertanyaanku.”
“tidak bisa,
kau sudah mengajukan dua pertanyaan.”
“hah?.”
“kenapa ray
memanggilku papa dan bagaimana rasanya dipanggil papa. itu sudah dua
pertnyaan.” sahut Alvin dingin.
“apa-apaan
itu, aku…..”
“sudahlah Sivia,
aku mengantuk.”
“tidak mau,
jawab satu pertanyaanku lagi.” Sivia terus merengek sambil menepuk dada Alvin.
“baiklah satu
pertanyaan lagi tapi kali ini kau harus membayarnya.” Alvin menyeringai setan.
Sivia
mendongakan kepalanya. “maksudmu? membayar?”
“bayar dengan
satu kecupan disini…” Alvin menunjuk bibirnya yang masih menyeringai.
“tidak mau,
kau sudah melakukannya sepanjang hari tadi.” keluh Sivia.
“yasudah,
lebih baik tidur kalau begitu.” kata Alvin kembali menutup matanya.
“oke oke oke,
tapi kau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur.”
“deal?.”
“oke deal.”
sahut Sivia malas. “dasar mesum.” rutuknya tidak terima, sementara Alvin malah
terkekeh puas.
“lalu apa
pertanyaannya?”
“kenapa kau
menolakku dulu?”
Alvin
menghela napas, cepat atau lambat istrinya ini akan menanyakan hal ini padanya.
kenapa? apa?
“karena kau
meminta kesempatan kedua padaku.” sahut
Alvin apa adanya.
Sivia
mengernyit. Ia semakin bingung dengan jawaban Alvin, suaminya ini benar-benar
tidak mudah ditebak jalan pikirannya.
Sadar akan
kebingungan istrinya, Alvin kembali buka suara untuk menjelaskan semuanya lebih
rinci. “kau meminta kesempatan kedua untuk memulai dari awal hubungan kita,
sementara aku memang bukan tipe orang yang suka memberi kesempetan dalam bentuk
apapun, terlebih untuk orang yang sudah mengecewakanku apalagi sampai mambuat
pertunanganku gagal.”
Alvin
mendelik kearah Sivia yang kembali menenggelamkan wajahnya didada bidang Alvin.
Mungkin wanita itu masih merasa bersalah atas semua yang terjadi dimasa lalu.
“dan waktu
itu kau meminta kesempatan kedua untuk memulai dari awal hubungan kita dan aku
jelas tidak mau karena kalau dari awal berarti kita harus kembali menjadi Via
dan Nathan sementara kita empat tahun lalu bukan lagi dua bocah SMP yang harus
terikat oleh cinta monyet khas anak ingusan.”
Alvin
tersenyum geli melihat Sivia yang terus merangsek didadanya untuk menyembunyikan
wajahnya. Dengan lembut di usapnya punggung istrinya itu untuk menenangkannya.
“jadi Sivia,
aku hanya menawarkan satu kesempatan, jika kau menolaknya maka tidak aka nada
kesempatan yang sama.” jelas Alvin dengan nada tegas.
Sivia
mengangguk paham, ia mengerti sekarang. Alvin mengeratkan pelukannya ia hendak
menutup matanya lagi karena tidak ada yang perlu dijelaskan, namun niat tidur
itu batal begitu mengingat satu pertanyaan yang masih mengganjal dikepalanya.
“Sivia.”
“hmmmm” Sivia
mendongakan kepalanya, sementara Alvin menundukan kepalanya. untuk beberapa
saat mereka terdiam dan saling melempar tatapan intens.
“bagaimana
bisa ingatanmu kembali?.”
“ng…. aku
juga tidak tau tapi waktu itu aku melihat cincin yang kau berikan dan semua
ingatanku yang hilang langsung berputar dikepalaku.”
“apa rasanya
sakiit?.”
“apanya yang
sakit?”
“kepalamu.
maksudku apa kepalamu sakit ketika mengingat semuanya?.”
Sivia
mengangguk. “iya, tapi rasa sakit itu terbayar lunas dengan kembalinya
ingatanku tentang Via dan Nathan.”
Alvin
menghembuskan nafas lega.
“kau
kenapa?.” Tanya Sivia melihat Alvin mendesah lega. Alvin menggeleng singkat.
“terus kenapa
kau bisa kembali mencintaiku?.”
Sivia diam,
mencari jawaban yang pasti. “apa kau masih membutuhkan alasannya.”
Alvin
mengangguk. “aku hanya penasaran.”
Sivia
mengambil jeda dengan menarik nafasnya dalam, otaknya masih terus berputar
mencari jawaban yang masuk akal. “aku tidak punya alasan khusus, karena cinta
memang tidak butuh alasan. Tapi aku berfikir bahwa aku bisa mencintaimu secara
berulang, ketika aku sempat melupakanmu, maka cintakulah yang akan membawaku
kembali mengingatmu.”
Alvin
tersenyum senang mendengar jawaban Sivia. memori boleh hilang tapi cinta sejati
akan selalu abadi dan menuntun kita untuk kembali.
“lalu kau,
kenapa kau meninggalkanku dulu?.” Tanya Sivia –lagi.
“apa aku
harus menjawabnya?.” Alvin balik bertanya sambil mendelik kearah Sivia. “kau
sudah mengajukan dua pertanyaan dan aku sudah menjawabnya, sekarang kau masih
mau bertanya lagi? oh ayolaaah Sivia, aku mengantuk.” kata Alvin kesal sambil
menguap.
“satu lagi,
aku janji.” kata Sivia sambil menunjukan wajah memelasnya.
Alvin
menghela nafas berat. Ia benar-benar sudah mengantuk tapi Sivia masih terus
mendesaknya, apalagi dengan raut wajah memelas seperti itu.
“karena meninggalkanmu
adalah salah satu rencanaku sejak awal.” jawab Alvin enteng.
“hah?”
“jadi Sivia,
sejak awal aku memang memutuskan untuk meninggalkanmu meskipun waktu itu
ingatanmu sudah kembali.”
“sejak
awal?.” gumam Sivia. ia mendongak untuk melihat wajah Alvin yang kebetulan
masih menunduk melihat wajahnya.
“iya sejak
awal, aku sudah merencanakan semuanya semenjak pertunangan kita gagal.”
“termasuk
rencana meninggalkanku?.”
Alvin
mengangguk membuat Sivia mendelik ganas.
“termasuk
rencana kau kembali dan menikahiku?.”
Alvin kembali
mengangguk.
“meskipun aku
tidak mau dan tidak cinta lagi padamu.”
“iya.” jawab
Alvin singkat. “kalau kau tidak mau, aku akan tetap memaksamu kedepan altar dan
langsung menikahimu meskipun kau sudah tidak cinta lagi padaku karena aku
mencintaimu.”
“aku tidak
percaya ini, kau benar-benar gila! merencanakan semuanya sejak awal. kalau
begitu untuk apa aku menunggumu dan hidup sengsara karena terus merindukanmu
setiap hari kalau kau saja sudah merencanakannya dan membuatku mau tidak mau
dan apapun yang terjadi aku akan tetap menjadi milikmu.” Sivia terus mengoceh,
mengabaikan Alvin yang bahkan tidak bersuara sejak tadi.
Sivia hendak
memukul kembali dada bidang Alvin ketika dirasakannya dada suaminya itu turun
naik dengan tempo teratur. Dengan perlahan Sivia mengangkat wajahnya, mendongak
dan memperhatikan wajah Alvin yang kini bergeming tanpa ekspresi, matanya pun
sudah tertutup rapat. Sivia tersenyum maklum. Tidak enak rasanya kalau
membangunkan suaminya yang sudah nyenyak.
Sivia
mengangkat sedikit kepalanya dan memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan
wajah Alvin. dengan lembut dikecupnya bibir laki-laki itu sebagai tanda bayaran
atas pertanyaannya yang telah terjawab. satu kecupan untuk tanda maaf atas
semua kekacauan masa lalu mereka. satu lagi kecupan lembut untuk tanda
terimakasihnya atas segala yang telah laki-laki itu berikan untuknya.
Sivia menarik
kembali wajahnya, lantas tersenyum melihat bibir merah plum yang telah ia kecup
sebanyak tiga kali tadi. Ia tersenyum dan kembali menenggelamkan kepalanya
dalam dada bidang Alvin.
“terimakasi
atas ending yang membahagiakan ini. No Sad!”
Sivia menutup
matanya dan terlelap dalam pelukan hangat Alvin. Suaminya tercinta.
ketika pagi….
aku melihat
punggung kokohnya yang menjauh,
mencari
kelengkapan untuk hidup kami,
Ia memeras
keringat dan aku akan setia menantinya…
bukan lagi
sebagai seseorang yang menanti sebuah kepastian,
namun menanti
punggung kokoh itu berbalik,
menunjukan
dada bidang tempatku tenggelam,
nanti malam
:)
Ketika malam,
punggung
kokoh itu tak lagi terlihat,
hanya dada
bidangnya yang berhadapan denganku,
dada bidang
tempatku tenggelam,
sumber segala
kehangatanku ketika malam dingin.
bukan lagi
malam untuk memikirkannya,
namun malam
untuk menguatkan cintaku,
karena ketika
esok,
aku siap
mencintainya kembali,
secara
berulang, namun dengan cinta yang semakin sejati…
-NO SAD!!!-