Senin, 13 Mei 2013

NO SAD!!! (EPILOG)



                                                                                                                       


NO SAD!!!

(EPILOG)


Kebiasaan malam mereka sebelum tertidur selalu seperti ini, ketika tangan kekarnya mengalung diperut istrinya, menarik tubuh ramping tersebut agar lebih dekat dengan tubuhnya, kemudian dengan senang hati istrinya akan menenggelamkan kepalanya didada bidang suaminya, setelah itu mereka akan sama-sama mengulas tersenyum dan memejamkan mata meski belum benar-benar terlelap.

“Aku mencintaimu.” bisikan lembut itu semakin membuainya, tapi bukan untuk tertidur melainkan membuainya untuk semakin mencintai laki-laki yang sedang memeluknya ini –suaminya. Alvin Jonathan.

“Aku tau.” balasnya singkat. “karena aku juga mencintaimu.” Alvin terkekeh pelan mendengar pengakuan istrinya. Rasanya selalu bahagia mendengar Sivia membalas kata cintanya.

Mereka selalu suka waktu-waktu seperti, waktu ketika mereka menikmati kebersamaan mereka yang seakan-akan bagai candu yang selalu mereka butuhkan untuk memperkuat hubungan mereka. Tidak banyak yang mereka lakukan, hanya tidur diranjang yang sama, berpelukan sepanjang malam, saling tukar hirup aroma tubuh, sesekali mereka memuaskan hasrat mereka, dan masih banyak lagi yang mereka lakukan ketika bersama seperti ini.

Sivia memicingkan matanya menatap kalung Alvin yang berbandul cincin cantik yang sama dengan miliknya. Cincin itu adalah saksi bisu kisah cinta mereka sejak SMP, sejak ia dan Alvin masih menjadi ‘Via dan Nathan’, dua bocah ingusan yang saling mencintai layaknya pria dan wanita dewasa. Sivia menggigit bibir bawahnya dengan resah, mengingat cincin itu juga yang menyimpan banyak pertanyaannya sepanjang perjalanan kisah cintanya dengan Alvin.

“Alvin” panggil Sivia lirih sambil menyudahi aksi gigit bibirnya dan beralih mengalungkan tangannya dipunggung kokoh Alvin.

“hmmmm”

“bisa kau jelaskan semuanya?” Tanya Sivia yang jujur saja masih menyimpan banyak pertanyaan tentang segala sesuatu yang berjalan cepat tanpa bisa ia cerna satupun alur yang membawanya hingga memiliki laki-laki ini.

“Apa kau masih membutuhkan penjelasan?.”

Dengan antusiasnya Sivia mengangguk.

“tanyakan saja apa yang belum jelas.”

“hmmmm…. ke-kenapa kita kembali dipertemukan dalam perjodohan yang tidak jelas?.” Pertanyaan pertama Sivia berhasil membuat Alvin menyeringai.

“karena semua pertemuan kita adalah rencanaku dan kedua orang tua kita.” Alvin menerawang, mencoba mengingat apa yang masih bisa ia ingat.


*******FB On******

Alvin membuka matanya ketika melihat Ira –ibunya Sivia memasuki ruang rawatnya. Mata sayunya menyimpan jelas rasa khawatir pada gadisnya.

Ira hanya tersenyum lelah melihat laki-laki yang mencintai anaknya tersebut. ia terus berjalan mendekat dan duduk disofa ruang rawat Alvin bersama kedua orang tua Alvin.

“bagaimana keadaan Via?.” Winda melemparkan pertanyaannya mengenai keadaan Sivia setelah sempat melirik Alvin dan menangkap kekhawatiran dimata anaknya.

Alvin menajamkan pendengarannya. Ingin tau penjelasan dari Ira tentang keadaan gadisnya.

Sekali lagi –Ira tersenyum lelah, wanita dewasa itu menarik nafas perlahan dan menghembuskannya dengan tempo yang pelan. “Sivia mengalami Amnesia akibat kepalanya terbentur trotoar, Ia kehilangan banyak memorinya, Ia hanya mengingat beberapa tentang masa lalunya.” Jelas Ira sebelum mengambil jeda.

Alvin menutup matanya gusar, berharap gadisnya tidak kehilangan memori tentang dirinya dan kisah mereka.

“Sepertinya Via juga kehilangan memorinya tentang kejadian yang baru terjadi, termasuk kehilangan memorinya tentang Nathan.”

Hati Alvin langsung mencelos. Dewi keberuntungan sepertinya tidak memihak padanya. Sivia -nya melupakan tentang dirinya dan kisah mereka.

Dengan langkah gusar Winda menghampiri Alvin. Ia mengerti perasaan anaknya tersebut, sungguh sangat mengerti bagaimana beratnya menerima kenyataan seperti ini.

“tenanglah.” suara lirih Winda menyapa gendang telinga Alvin. Tangan halusnya membelai rambut anaknya guna menenangkan.

“aku harus bagaiamana.” gumam Alvin pelan.

Layaknya seorang penerjemah, Winda menatap Ira dan suaminya gusar. “kita harus bagaiamana?.” tanyanya seperti mengulang pertanyaan Alvin.

“Kata dokter, Sivia belum boleh diingatkan tentang memori-memorinya yang hilang, lebih baik untuk saat ini sebaiknya kita menjauhi mereka. Aku takut kalau Via melihat Nathan, ia akan mencoba mengingat memori-memorinya yang hilang dan itu akan berakibat fatal untuk Via ” Kata Ira lagi.

“apa kau siap menjauhi Via?.” Tanya Winda kepada Alvin.

Alvin diam, Selama ini ia tidak bisa jauh dari Sivia. Tapi untuk kali ini ia akan mencobanya, demi Sivia -nya. Alvin mengangguk seadanya. “Nathan siap demi Via.”

Winda ikut mengangguk, meskipun tidak yakin dengan anggukan Alvin. Ia tau benar kalau Alvin tidak pernah bisa jauh dengan Sivia, namun mau bagaimana lagi ini jalan satu-satunya. “Baiklah Ira, kau harus focus pada penyumbuhan Via, dan Nathan akan aku pindahkan ke Singapur untuk melanjutkan pengobatannya sekalian untuk antisipasi kalau saja nanti mereka bertemu.”

Ira mengangguk paham. Kemudian dengan langkah pelan Ira menghampiri Alvin, mencium kening anak laki-laki temannya itu dengan penuh rasa iba. Ia juga tidak menginginkan semua ini, ia terpaksa harus menjauhi putrinya dengan Alvin.

“berjanjilah setelah Nathan kembali, Via akan jadi milik Nathan.”

******************

Mengingat kejadian waktu itu cukup membuat Alvin meringis. Sementara Sivia yang berada dalam pelukannya mencoba menela’ah cerita Alvin.

“sudahlah jangan memikirkan masa lalu lagi.” kata Alvin sambil mengusap punggu Sivia. “lanjutkan pertanyaanmu.”

Sivia mengangguk sambil mengacaukan bayangannya tentang masa lalu mereka.

“kemana kau selama empat tahun? dan apa yang kau lakukan.”

Alvin menghembuskan nafas gusar mendengar pertanyaan Sivia yang kali ini entah mengapa membuatnya merasa penat mengingat apa yang dilakukannya selama empat tahun tanpa Sivia.

******FB On*******

Alvin menghembuskan nafas jengah begitu ia sampai dikamarnya. 2 tahun sudah ia di Jerman. Selama 2 tahun ini ia sudah berusaha sekeras mungkin agar bisa cepat menamatkan pendidikannya dan ia bisa segera ke LA untuk meniti karir bersama Cakka disana, setelahnya barulah ia bisa pulang ke Indonesia, setelah bisa melanjutkan bisnis keluarganya. Selama itu, ia juga harus tetap bisa menahan hasratnya untuk menemui gadisnya yang berada di Indonesia. Menahan kerinduannya kepada gadisnya itu terlalu lama, sama saja dengan membunuhnya secara perlahan. Dan sekarang entah mengapa ia benar-benar sangat merindukan gadis tersebut.

Dengan mata tajamnya, Alvin melirik kalender. ia kembali mengehembuskan nafas jengahnya. Pantas saja ia merindukan gadis tersebut, karena sekarang gadis itu sedang berulang tahun.

“Apa lo masih nunggu gue? lo masih cinta sama gue?.” Tanya Alvin pada gadis yang memenuhi hati dan pikirannya. Alvin tersenyum miris. Karena dua pertanyaan tersebut berhasil mengundang beribu-ribu pertanyaan yang berkecamuk dalam otak dan hatinya, pertanya-pertanyaan umum yang menanti untuk dijawab.

“Sebentar lagi dan semuanya akan berakhir.” gumamnya pelan. “lo harus nunggu gue, karena gue cinta sama lo.” kalimat yang syarat keegoisan itu meluncur bebas dari mulutnya. Untuk kali ini ia ingin bersikap egois karena ia tidak akan bisa hidup tanpa gadisnya.

Cukup ia meninggalkan gadisnya selama ini, setelah ia kembali ia akan langsung mengikat gadis tersebut untuk menjadi miliknya. hanya menjadi miliknya. karena ia mencintai gadis itu ketika ia membuka mata dan cintanya tidak akan sirna meskipun matanya tertutup. dan ia yakin gadisnya juga mencintainya…..

kalau pun tidak….

Ia akan memaksa gadis itu untuk mencintainya –lagi  dan menjadikan gadis itu mutlak miliknya.


******FB Off*******


“yang kulakukan hanya merindukanmu.” jawab Alvin sekenanya. Sekarang giliran Sivia yang terkekeh geli mendengar jawaban suaminya meskipun tidak dapat dipungkiri kalau ia senang mendengar jawaban tersebut.

“Lalu kau, bagaimana kau hidup selama aku tidak disampingmu? hmmmmm.”

“hidupku? tidak jauh berbeda dengan ceritamu.” balas Sivia singkat. ia menyesap aroma tubuh Alvin begitu dalam, harum tubuh itu selalu membuatnya candu. “aku juga selalu merindukanmu, setiap hari.”

Sivia semakin mendesak kepalanya agar lebih tenggelam dalam dada bidang Alvin, menghirup aromanya sekali lagi dan menghembuskannya dengan lembut, dan itu ia lakukan secara berulang tanpa bosan.

“karena kau adalah kehidupanku, oksigenku. Aku tidak akan bisa lepas darimu.”



******FB On********

“LO TEGA NINGGALIN GUE!!! KENAPA WAKTU ITU LO NGGAK KASI GUE SATU KESEMPATAN.” maki Sivia sambil menatap tajam, figuran foto Alvin yang selalu setia terpajang diatas meja kamarnya.

“LO JAHAT BANGET SAMA GUE.” figuran itu ia angkat setinggi mungkin dan hendak melemparnya kelantai sebelum akhirnya ia urungkan dan didekapnya dengan erat.

“gue sayang lo, gue cinta lo, gue kangen lo.” isak tangis Sivia mulai terdengar, air matanya lolos begitu saja. Bukan untuk pertama kalinya ia seperti ini, Laki-laki bernama Alvin Jonthan benar-benar membuatnya gila dan rela menangis semalaman hanya karena merindukannya.

drrrrt…. drrrrrt….

Dengan cepat Sivia menaruh kembali figuran tersebut, menyeka kasar air matanya sebelum mengangkat telpon yang masuk ke smartphone -nya dengan nada bersorak-sorak tidak sabaran untuk diangkat.

“ada apa?”

“lo abis nangis ya vi? kok suara lo gitu banget.” suara disana menyahut khawatir.

“gue fine shill, ada apa?.”

“oke oke, jadwal lo sekarang pemotretan sampul majalah.” kata shilla.

“ohya gue lupa.” Sivia meneput jidatnya. “kirimin alamatnya shill ntar gue dateng.”

“siiip.”

Sivia memutuskan sambungan sambil menghela nafas berat. Ia menghela nafas lelah, pada pasalnya selama menjadi model jadwalnya semakin padat, Apalagi semuanya diperparah oleh urusan kuliahnya dengan tugas-tugas tidak penting –yang setiap hari menumpuk, seperti meneriakinya dan memintanya untuk segera diselesaikan, belum lagi hal-hal lain yang membuat hidupnya semakin ribet.

********


Alvin tersenyum tipis mendengar cerita Sivia. Ternyata bukan hanya dirinya yang tidak bisa hidup dengan benar tanpa orang yang dicintainya. Gadisnya ini pun  tidak bisa hidup dengan benar tanpa dirinya. Hal itu cukup membuatnya merasa istimewa.

“sekarang giliranku untuk bertanya duluan?.” kata Alvin menuntut bagiannya untuk bertanya lebih dahulu. Sivia langsung menjawabnya dengan anggukan pelan yang mengandung unsur antusiasmen tinggi.

“mengapa kau mau menungguku tanpa kepastian?.” pertanyaan itu membuat Sivia menarik senyum tipis dalam dekapan Alvin.

“Apa aku boleh bertanya juga?” Tanya Sivia tanpa memperdulikan pertanyaan Alvin yang lebih awal terlontarkan.

Dengan pelan Alvin mengangguk tanpa memperdulikan pertnyaannya yang belum terjawab.

“mengapa kau begitu yakin aku mau menikah dengamu setelah kau menolak dan meninggalkanku?” Alvin tersenyum tipis sama seperti apa yang Sivia lakukan.

“Karena aku mencintaimu.” jawab mereka bersamaan. Mereka kembali tersenyum tipis.

Alvin mengeratkan pelukannya, menghirup aroma rambut Sivia yang menguar dan membuaianya untuk segera terlelap.

“Tidurlah” kata Alvin sambil menutup matanya, namun Sivia segera menepuk dada suaminya dengan keras membuat Alvin yang sudah hampir berlayar kedunia mimpi segera membuka mata kembali, ia menunduk dan menatap mata Sivia yang mendelik ganas kearahnya.

“aku masih mempunyai banyak pertanyaan.” kata Sivia dingin.

Alvin terkekeh pelan. “tapi aku sudah mengantuk Sivia.” katanya melas.

“aku tidak perduli sayang.” Sivia menyeringai.

“baiklah 1 pertanyaan.”

“2 pertanyaan.”

“ng….. oke tapi setelah itu kita tidur.”

“hmmm…” gumam Sivia sambil berfikir pertanyaan yang akan ia ajukan. “kenapa Ray memanggilmu dengan sebutan papa.”

Alvin terkekeh geli mendengar pertanyaan sivia. “kau takut aku sudah punya anak?.” Tanya Alvin balik, sementara Sivia mendengus kentara. Alvin kembali terkekeh. “Cakka yang menyuruh ray memanggilku papa, katanya aku juga harus merasakan bagaimana rasanya dipanggil Papa diumur yang sangat muda.” jelas Alvin, Sivia mengangguk-angguk paham. “lalu bagaimana rasanya?.” Tanya Sivia antusias.

“rasanya hm…. rasanya aku seperti lupa umur dan merasa jauh lebih tua dari umurku.” Alvin merengut kesal mengingat ia sempat menolak untuk dipanggil papa oleh ray, namun cakka tetap memaksa anak kecilnya itu untuk tetap memanggilnya papa biar ‘senasib sepenanggungan’ katanya. ciiiih! siapa yang memiliki anak dan siapa yang dipanggil papa, dasar-_- memikirkan hal tersebut –tentang Cakka dan Ray membuat Alvin semakin malas saja, dan ingin cepat tidur.

“hey Alvin kenapa tidur, kau masih berhutang menjawab satu lagi pertanyaanku.” Sivia menepuk dada Alvin dengan keras, membuat Alvin yang semulanya sudah menutup mata kembali membuka matanya.

“apalagi Sivia?.”

“kau masih harus menjawab satu pertanyaanku.”

“tidak bisa, kau sudah mengajukan dua pertanyaan.”

“hah?.”

“kenapa ray memanggilku papa dan bagaimana rasanya dipanggil papa. itu sudah dua pertnyaan.” sahut Alvin dingin.

“apa-apaan itu, aku…..”

“sudahlah Sivia, aku mengantuk.”

“tidak mau, jawab satu pertanyaanku lagi.” Sivia terus merengek sambil menepuk dada Alvin.

“baiklah satu pertanyaan lagi tapi kali ini kau harus membayarnya.” Alvin menyeringai setan.

Sivia mendongakan kepalanya. “maksudmu? membayar?”

“bayar dengan satu kecupan disini…” Alvin menunjuk bibirnya yang masih menyeringai.

“tidak mau, kau sudah melakukannya sepanjang hari tadi.” keluh Sivia.

“yasudah, lebih baik tidur kalau begitu.” kata Alvin kembali menutup matanya.

“oke oke oke, tapi kau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur.”

“deal?.”

“oke deal.” sahut Sivia malas. “dasar mesum.” rutuknya tidak terima, sementara Alvin malah terkekeh puas.

“lalu apa pertanyaannya?”

“kenapa kau menolakku dulu?”

Alvin menghela napas, cepat atau lambat istrinya ini akan menanyakan hal ini padanya. kenapa? apa?

“karena kau meminta kesempatan kedua  padaku.” sahut Alvin apa adanya.

Sivia mengernyit. Ia semakin bingung dengan jawaban Alvin, suaminya ini benar-benar tidak mudah ditebak jalan pikirannya.

Sadar akan kebingungan istrinya, Alvin kembali buka suara untuk menjelaskan semuanya lebih rinci. “kau meminta kesempatan kedua untuk memulai dari awal hubungan kita, sementara aku memang bukan tipe orang yang suka memberi kesempetan dalam bentuk apapun, terlebih untuk orang yang sudah mengecewakanku apalagi sampai mambuat pertunanganku gagal.”

Alvin mendelik kearah Sivia yang kembali menenggelamkan wajahnya didada bidang Alvin. Mungkin wanita itu masih merasa bersalah atas semua yang terjadi dimasa lalu.

“dan waktu itu kau meminta kesempatan kedua untuk memulai dari awal hubungan kita dan aku jelas tidak mau karena kalau dari awal berarti kita harus kembali menjadi Via dan Nathan sementara kita empat tahun lalu bukan lagi dua bocah SMP yang harus terikat oleh cinta monyet khas anak ingusan.”

Alvin tersenyum geli melihat Sivia yang terus merangsek didadanya untuk menyembunyikan wajahnya. Dengan lembut di usapnya punggung istrinya itu untuk menenangkannya.

“jadi Sivia, aku hanya menawarkan satu kesempatan, jika kau menolaknya maka tidak aka nada kesempatan yang sama.” jelas Alvin dengan nada tegas.

Sivia mengangguk paham, ia mengerti sekarang. Alvin mengeratkan pelukannya ia hendak menutup matanya lagi karena tidak ada yang perlu dijelaskan, namun niat tidur itu batal begitu mengingat satu pertanyaan yang masih mengganjal dikepalanya.

“Sivia.”

“hmmmm” Sivia mendongakan kepalanya, sementara Alvin menundukan kepalanya. untuk beberapa saat mereka terdiam dan saling melempar tatapan intens.

“bagaimana bisa ingatanmu kembali?.”

“ng…. aku juga tidak tau tapi waktu itu aku melihat cincin yang kau berikan dan semua ingatanku yang hilang langsung berputar dikepalaku.”

“apa rasanya sakiit?.”

“apanya yang sakit?”

“kepalamu. maksudku apa kepalamu sakit ketika mengingat semuanya?.”

Sivia mengangguk. “iya, tapi rasa sakit itu terbayar lunas dengan kembalinya ingatanku tentang Via dan Nathan.”

Alvin menghembuskan nafas lega.

“kau kenapa?.” Tanya Sivia melihat Alvin mendesah lega. Alvin menggeleng singkat.

“terus kenapa kau bisa kembali mencintaiku?.”

Sivia diam, mencari jawaban yang pasti. “apa kau masih membutuhkan alasannya.”

Alvin mengangguk. “aku hanya penasaran.”

Sivia mengambil jeda dengan menarik nafasnya dalam, otaknya masih terus berputar mencari jawaban yang masuk akal. “aku tidak punya alasan khusus, karena cinta memang tidak butuh alasan. Tapi aku berfikir bahwa aku bisa mencintaimu secara berulang, ketika aku sempat melupakanmu, maka cintakulah yang akan membawaku kembali mengingatmu.”

Alvin tersenyum senang mendengar jawaban Sivia. memori boleh hilang tapi cinta sejati akan selalu abadi dan menuntun kita untuk kembali.

“lalu kau, kenapa kau meninggalkanku dulu?.” Tanya Sivia –lagi.

“apa aku harus menjawabnya?.” Alvin balik bertanya sambil mendelik kearah Sivia. “kau sudah mengajukan dua pertanyaan dan aku sudah menjawabnya, sekarang kau masih mau bertanya lagi? oh ayolaaah Sivia, aku mengantuk.” kata Alvin kesal sambil menguap.

“satu lagi, aku janji.” kata Sivia sambil menunjukan wajah memelasnya.

Alvin menghela nafas berat. Ia benar-benar sudah mengantuk tapi Sivia masih terus mendesaknya, apalagi dengan raut wajah memelas seperti itu.

“karena meninggalkanmu adalah salah satu rencanaku sejak awal.” jawab Alvin enteng.

“hah?”

“jadi Sivia, sejak awal aku memang memutuskan untuk meninggalkanmu meskipun waktu itu ingatanmu sudah kembali.”

“sejak awal?.” gumam Sivia. ia mendongak untuk melihat wajah Alvin yang kebetulan masih menunduk melihat wajahnya.

“iya sejak awal, aku sudah merencanakan semuanya semenjak pertunangan kita gagal.”

“termasuk rencana meninggalkanku?.”

Alvin mengangguk membuat Sivia mendelik ganas.

“termasuk rencana kau kembali dan menikahiku?.”

Alvin kembali mengangguk.

“meskipun aku tidak mau dan tidak cinta lagi padamu.”

“iya.” jawab Alvin singkat. “kalau kau tidak mau, aku akan tetap memaksamu kedepan altar dan langsung menikahimu meskipun kau sudah tidak cinta lagi padaku karena aku mencintaimu.”

“aku tidak percaya ini, kau benar-benar gila! merencanakan semuanya sejak awal. kalau begitu untuk apa aku menunggumu dan hidup sengsara karena terus merindukanmu setiap hari kalau kau saja sudah merencanakannya dan membuatku mau tidak mau dan apapun yang terjadi aku akan tetap menjadi milikmu.” Sivia terus mengoceh, mengabaikan Alvin yang bahkan tidak bersuara sejak tadi.

Sivia hendak memukul kembali dada bidang Alvin ketika dirasakannya dada suaminya itu turun naik dengan tempo teratur. Dengan perlahan Sivia mengangkat wajahnya, mendongak dan memperhatikan wajah Alvin yang kini bergeming tanpa ekspresi, matanya pun sudah tertutup rapat. Sivia tersenyum maklum. Tidak enak rasanya kalau membangunkan suaminya yang sudah nyenyak.

Sivia mengangkat sedikit kepalanya dan memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan wajah Alvin. dengan lembut dikecupnya bibir laki-laki itu sebagai tanda bayaran atas pertanyaannya yang telah terjawab. satu kecupan untuk tanda maaf atas semua kekacauan masa lalu mereka. satu lagi kecupan lembut untuk tanda terimakasihnya atas segala yang telah laki-laki itu berikan untuknya.

Sivia menarik kembali wajahnya, lantas tersenyum melihat bibir merah plum yang telah ia kecup sebanyak tiga kali tadi. Ia tersenyum dan kembali menenggelamkan kepalanya dalam dada bidang Alvin.

“terimakasi atas ending yang membahagiakan ini. No Sad!”

Sivia menutup matanya dan terlelap dalam pelukan hangat Alvin. Suaminya tercinta.


ketika pagi….
aku melihat punggung kokohnya yang menjauh,
mencari kelengkapan untuk hidup kami,
Ia memeras keringat dan aku akan setia menantinya…

bukan lagi sebagai seseorang yang menanti sebuah kepastian,
namun menanti punggung kokoh itu berbalik,
menunjukan dada bidang tempatku tenggelam,
nanti malam :)

Ketika malam,
punggung kokoh itu tak lagi terlihat,
hanya dada bidangnya yang berhadapan denganku,
dada bidang tempatku tenggelam,
sumber segala kehangatanku ketika malam dingin.

bukan lagi malam untuk memikirkannya,
namun malam untuk menguatkan cintaku,
karena ketika esok,
aku siap mencintainya kembali,
secara berulang, namun dengan cinta yang semakin sejati…



-NO SAD!!!-

Kamis, 02 Mei 2013

NO SAD!!! (part 12)


-NO SAD-


“Nathan dan Via itu masa lalu.”

“Sekarang hanya ada Alvin dan Sivia.”

“Gue Alvin dan Lo Sivia.”




********

(“Nathan dan Via itu masa lalu.”)


Sivia tidak bisa hidup dengan baik setelah Alvin meninggalkannya di taman waktu itu. Apalagi setelahnya Alvin tidak lagi dapat ditemui, tidak di sekolahnya, tidak di kediaman sindunata, dan tidak lagi disekitar jarak jangkau mata Sivia. Setidaknya, walaupun laki-laki itu meninggalkannya, Sivia masih berharap bisa melihatnya meski dari jauh, Namun kenyataanya 4 tahun belakangan ini, Alvin benar-benar tidak dapat dijangkaunya meski dengan matanya sendiri, laki-laki hilang seperti tak pernah hidup sebelumnya.

 Tidak gampang untuk Sivia hidup tanpa Alvin selama 4 tahun ini. Tapi karena Cintalah Sivia bisa bertahan sampai sekarang. Menunggu sesuatu yang sebenarnya tidak untuk ia tunggu. Menunggu Alvin adalah hal paling bodoh yang dilakukannya selama 21 tahun ia hidup. Tapi tak apa. Meskipun Sivia bingung untuk apa ia menunggu laki-laki tersebut, Sivia sudah bertekat untuk tetap menunggu Alvin sampai suatu saat nanti Alvin berdiri dihadapannya dan menyuruhnya untuk mencari orang lain yang lebih baik dari diri laki-laki itu sendiri. Setidaknya Sivia masi memuluku cincin cantik yang selalu setia tersemat di jari manisnya. dan Cincin inilah yang menjadi pengikatnya dengan laki-lakin itu.

ohya, apa Alvin masih menjadikan cincinnya sebagai kalung? Sivia berharap jawabannya iya.tapi tak mungkin, laki-laki itu sendiri yang meninggalkannya dan tidak memberikan kesempatan pada Sivia,  mungkin sekarang dia sudah melupakanku, atau mungkin dia sudah mempunyai kehidupan baru dengan gadis baru yang lebih cantik dariku, pikirnya kalut.  Lantas untuk apa kau menunggunya, Sivia Azizah? kau memang gadis terbodoh didunia ini! menunggu Alvin yang jelas-jelas mengatakan kalau ‘Nathan dan Via itu masa lalu’ dan mengharapkan satu kesempatan untuk memulai segalanya lagi. TIDAK MUNGKIN! harapan terlalu muluk.

“SIVIAAAAAAAAA” Teriakan itu berhasil membuat lamunannya runtuh.

Dan pemilik suara itulah yang terus menemaninya selama 4 tahun ini. Meskipun orangnya menyebalkan, tapi yah mau gimana lagi karena selama ini dialah yang menjadi sahabat setia Sivia.

“Hoooooy Sivia! mau sampai kapan lo diem kaya orang bego sambil liatin foto tuh cowok.” katanya seenak jidatnya.  “ceileeeh dibilangin bukannya sadar malah makin bengong. buruuuan, Rio udah ngomel-ngomel tuh didepan nungguin kita.”

Sivia bangkit dari tempat dudunya, dan meletakan foto Alvin yang didekapnya dari tadi. Setelahnya sambil merengut Sivia menyambar tas kecil yang tergeletak di meja pojok kamar.

“ck pacar lo Bawel banget sih, lo tularin ya? tau deh yang bentar lagi mau nikah, apa-apa harus kompak, sampai bawel-bawelnya juga lo kompakan sama dia.” Sivia menggerutu sambil menuruni anak tangga. “dulu aja lo pengennya nikah sama cowok kaya Cakka, yang kagak bawel, cool, tegas, dan blablabla.”

“SIVIA!!! STOP!!! lo juga bawel tau! lagian lo kenapa jadi bawa-bawa Cakka sih. gue udah move on sejak 3 tahun lalu.”

“iya tau sih gue yang udah move on. lagian si Cakka udah dipatenin jadi punya orang lain. nggak mungkin kan lo ngarepin suami orang hahaha.” kata Sivia sambil terkekeh nggak jelas. Mengingat 4 tahun lalu, ia melihat Shilla –sahabatnya seperti mayat hidup setelah menerima undangan pernikahan Cakka dan Ify. 

“please vi, sekali lagi lo ngomongin Cakka, gue aduin lo ke Rio.” ujar Shilla yang suaranya mulai terdengar merengek. Pasti sebentar lagi  gadis itu akan berlari ke Rio, bergelayut manja pada lengan kekar kekasihnya itu, dan mengadu dengan suara merajuk yang sok manja –dan sumpah bikin muntah orang yang denger hahaha.

“oke oke oke, gue nggak ngomongin Cakka lagi. Lagian ngapain si Rio ngajak gue ke acara bisnis yang resmi banget kayak gini. mana gue kudu pake dress lagi, ck ribet banget.”

“udah ah lo ngeluhnya, buruan deh lo!.”



*********

(“Sekarang hanya ada Alvin dan Sivia.”)



Sivia berjalan sambil menundukan kepalanya dalam-dalam, melihat lantai tempatnya melangkah. Sivia tidak berani mendongak, ruangan ini terlalu penuh dan sesak, ia takut ketika mendongak nanti ia akan semakin canggung melihat orang-orang yang berada di acara ini. Mereka kebanyakan terdiri dari orang-orang yang berpengaruh di dunia bisnis, umur mereka pun kebanyakan telah berkepala tiga ataupun empat, hanya beberapa yang seumuran dengarnya. Rio dan Shilla enatah pergi kemana. Begitu memasuki ruangan ini, mereka asik berbincang-bincang dengan pembisnis lainnya dan Sivia yang bosan lebih memilih mencari makanan atau minuman yang tersedia, sampai akhirnya ia tersesat diantara orang-orang penting yang tidak ia mengerti.

Langkah Sivia terhenti begitu menyadari ada langkah lain yang berada didepannya. Sivia menggeser langkahnya ke kiri dan langkah itu bergeser ke kanan –kembali menghalanginya. Ketika Sivia memutuskan melangkah ke kanan, langkah itu malah ke kiri. Merasa dipermainkan Sivia menghentakkan kakinya dengan kesal, ia mendengus  pasrah dan memilih menghentikan langkahnya ketika langkah yang dari tadi menghalanginya ikut terhenti.

“Kenapa papa mengikuti langkah nona cantik?.” suara yang terdengar polos tersebut membuat Sivia mengangkat wajahnya, dengan sedikit mendongak guna mencari sumber suara.

Sivia melihat pemilik suara tersebut yang ternyata adalah seorang laki-laki kecil berambut gondrong yang sedang dalam gendongan seseorang. Tubuh laki-laki kecil tersebut sedikit menghalangi wajah  orang yang menggendongnya –orang yang di panggilnya papa.

“haish haish ray kau sudah terlalu besar untuk papa gendong, tubuhmu menghalangi pengelihatan papa.” gerutu orang tersebut sambil menurunkan tubuh laki-laki kecil yang tadi digendongnya.

Laki-laki kecil tersebut mempoutkan bibirnya dengan lucu. “lihat ulahmu membuat papa mengganggu kenyaman orang lain.” omelnya sambil menegakkan tubuhnya setelah menurunkan ray.

Laki-laki itu hendak membuka mulutnya –untuk meminta maaf ketika melihat wajah Sivia yang menegang. Bukannya mengeluarkan kata maaf, Wajah laki-laki tadi ikut menegang. Mereka terdiam cukup lama. Sivia memandang laki-laki itu tanpa berkedip, begitupun dengan laki-laki tersebut. Mata mereka seakan menyorakan kata rindu yang mendalam tak kala tatapan mereka sama-sama menghunus manik-manik mata orang yang berada dihadapan mereka.

“si…v…”

“Papaaaaa aku bosan, aku ingin ke mama. Cepatlah! sampai kapan papa akan berdiam diri disini.” gerutu laki-laki kecil tadi mengintrupsi suaranya.

Laki-laki tersebut mendelik kearah ray. “cerewet sekali kau ray.” ucap laki-laki itu sinis, membuat anak kecil yang dipanggil ray langsung menunjukan mata berkaca-kacanya, ia seperti ketakutan  mendengar nada sinis laki-laki tersebut.

“hiks hiks aku ingin ke mama.” rengeknya sambil menangis tersebud-sedu. Laki-laki itu menunjukan tampang jengahnya sambil menarik tangan ray.

“baiklah baikla, tapi berhentilah menangis.” Laki-laki itu berjalan sambil menuntun tubuh kecil ray sebelum anak kecil tersebut memekikan suara cemperengnya jika menangis. Sebelum benar-benar hilang diantara keramain, laki-laki itu memutar kepalanya dan melihat kearah Sivia yang masih membeku ditempatnya. Laki-laki itu melemparkan senyum kakunya dan menghilang dibalik keramaian.

Hati Sivia mencelos, dadanya terasa lebih penuh dan sesak dibandingkan dengan ruangan ini. Tanpa dikomandokan air matanya mengalir begitu saja. Sivia berlari menembus keramaian, berharap bahwa ini semua hanya sekedar mimpi, apalagi ketika suara anak kecil tersebut menyebut laki-laki tadi dengan panggilan ‘papa’.



*******



Sivia menerawang langit gelap yang ada di atasnya. Sisa-sisa air mata masih terlihat jelas di pipinya yang cubby. Mengingat kejadian tadi membuatnya ingin menangis kembali. Takdir terlalu kejam untuknya.

“Lama tidak bertemu.” suara khas tersebut mengintrupsi pikirannya, tanpa menoleh pun ia tau siapa pemilik suara tersebut. Dengan cepat Sivia menghapus bekas air matanya.

“Apa kabar?.” tanyanya sambil mengambil posisi duduk disamping Sivia. Laki-laki itu sedikit menoleh. Matanya langsung menyelami wajah putih Sivia, mata, hidung, mulut, ah ia merindukan semua milik gadis tersebut. Sudah lama ia tidak melihatnya dan sudah lama pula ia merindukannya.

“Apa dulu lo ninggalin gue karena ini?.” Sivia bergumam tidak jelas, perlahan  kepalanya ia rebahkan dipundak laki-laki tersebut. Terpaan angin yang menyapa kulit wajahnya membuat mata bulat miliknya terpejam. Tidak benar-benar tidur, Sivia hanya ingin merasakan kebersamaannya dengan laki-laki yang selama ini ia rindukan meskipun seharusnya sikapnya tidak boleh sepert ini.

“maksud lo?” Laki-laki itu membuka mulutnya setelah lama terdiam. wajahnya semakin menegang merasakan pundaknya yang memberat akibat tindihan kepala Sivia. Bukannya keberatan, namun dengan kontak langsung seperti ini membuat jantungnya berdebar hebat seperti dulu.

“karena ada orang lain yang lo cinta selain gue.” nada suara Sivia terdengar bergetar. “anak kecil tadi, apa dia buah cinta lo sama is..tri lo, sama orang yang lo cintai?.”

“siv…” belum sempat katanya selesai, Sivia kembali mengintrupsi.

“anak lo ganteng kaya lo, pasti istri lo cantik.”  kata Sivia sambil mengangkat kepalanya dan menoleh kearah Alvin –laki-laki itu. tanpa bisa dibendung air matanya jatuh lagi. Melihat Alvin sama saja membuatnya ingin memiliki laki-laki itu lagi –jika ia diberi kesempatan.

“Sivia gue nggak ngerti arah pembicaraan lo soalnya gue b…”

“gue juga nggak ngerti kenapa selama 4 tahun ini gue nungguin orang yang jelas-jelas punya kebahagiaanya sendiri kaya lo.” potong Sivia lagi. Alvin mendengus kesal ketika Sivia membuka mulutnya hendak mengatakan hal-hal yang tidak dimengertinya, dengan cepat ia menutup bibir Sivia dengan bibirnya –cukup untuk mencegah Sivia membuka suara lagi. Bibir mereka hanya menempel karena tidak ada kerakan sedikitpun setelahnya.

“jangan suka motong kata-kata gue.” kata Alvin tegas setelah menjauhkan bibirnya dari bibir Sivia. sementara Sivia masih terlihat kaget dan syok atas aksi tak terduga yang dilakukan Alvin kepadanya barusan.

Tangan kokoh Alvin mengapit kedua pipi putih Sivia. Dengan mata teduh ditatapnya mata gadis tersebut penuh makna, ia merindukan gadisnya. “dengerin gue.” pintanya sambil tersenyum lembut. “Apapun yang terjadi gue tetep cinta sama lo.” setelah mengatakannya Alvin mencium kening Sivia dan direngkuhnya tubuh gadis tersebut untuk menyalurkan semua hasrat rindunya selama 4 tahun tidak bertemu.

“gue cinta lo.”


**********


(“Gue Alvin dan Lo Sivia.”)



suara lembut yang mengungkapkan cinta waktu itu masih menghantui Sivia sampai sebulan berlalu. Sivia memejamkan mata bulatnya, kedua tangannya menyilang diatas dadanya, masih dirasakannya kehangatan tubuh Alvin yang waktu itu memeluknya. Sudut bibirnya ia tarik selebar mungkin, membentuk lengkungan indah yang menunjukan kalau mengingat kejadian sebulan yang lalu membuatnya merasa bahagia. Belum lagi ketika ia membayangkan betapa lembutnya bibir Alvin yang menepel dibibirnya dan merebut first kissnya secara tiba-tiba. lengkap sudah kebahagiaan Sivia…

Namun yang masih ia bingungkan mengapa Alvin lagi-lagi meninggalkannya tanpa penjelas. Setelah memeluknya cukup lama, Alvin hanya tersenyum dan berjalan meninggalkan Sivia lagi sama seperti 4 tahun lalu. Dan –lagi laki-laki itu menghilang tanpa menghubunginya selama sebulan ini. Jujur saja Sivia takut kalau kali ini Alvin akan benar-benar meninggalkannya. Bukan hnya 4 tahun namun seumur hidupnya dan membiarkan Sivia menunggu lama lagi.

Sivia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran negative yang tiba-tiba menyelinap diotaknya.

drrrrrt drrrrrrrt drrrrrrrt

Smartphone yang berada disamping kepalanya bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Dengan gerakan cepat Sivia menyambar smartphone tersebut setelah memastikan siapa yang menelponnya sepagi ini.

“Sivia…”

“iya, gue sendiri. Ada apa shill?”

“sekarang lo ada jadwal pemotretan mendadak, si tua Angel butuh model buat rancangan terbarunya.” kata Shilla disebrang sana.

“kok mendadak banget, tapi it’s okay, lo kirimin aja alamat pemotretannya ntar gue kesana.”

“okay bentar lagi gue kirimin, good luck Girl.”

Sambungan terputus. Sivia mendesah jengah, tumben-tumbenan ada jadwal mendadak seperti ini biasanya Shilla selalu menolak jadwal tiba-tiba yang belum tercatat dalam notebooknya jauh-jauh hari. Ah! sahabatnya –yang merangkat menjadi menejernya itu aneh sekali.


*********



Sivia tersentak kaget begitu Angel –seorang desainers yang cukup terkenal menyodorkan sebuah pakaian yang sekarang  telah membalut tuhuh rampingnya. Pakaian sederhana namun terkesan elegan dan anggun ketika membalut tubuh Sivia secara keseluruhan, Panjangnya yang melewati melewati tinggi tubuh Sivia selalu menjadi cirri khas pakaian-pakaian sejenisnya. Wedding dress. Angel tersenyum bangga melihat buah karyanya kini dikenakan oleh orang yang cocok. Ia merasa puas –hampir menangis haru ketika rancangannya benar-benar dapat mempercantik model kesayangnya.

“kau cantik Sivia.” katanya tulus. Senyuman Sivia ikut mengembang mendengar pujian desainers paruh baya tersebut.

“Terimakasih Angel.”

“baiklah sekarang kau sudah siap potret, ayo bergegas kedepan, sebuah mobil sudah menunggumu disana.” suruh Angel sambil membereskan semua alat make upnya yang masih berserakan.

“hah?.”

“kenapa kau masih diam?.” Tanya Angel sambil mengernyitkan dahi. beberapa saat kemudian ia mengerti bahwa gadis yang beraa dihadapannya ini belum mengerti apa-apa. “ayo cepat.” dengan gerakan terburu-buru Angel menarik  tangan Sivia hingga depan gerbang kantornya.

Sebuah mobil mewah berwarna putih yang senada dengan Wedding dress Sivia langsung berhenti didepan mereka. Seorang pria dewasa berperawakan kokoh langsung turun dan membukakan pintu belakang mobil dan mempersilahkan Sivia masuk.

“cepat sana. Good luck.” seru Angel sambil mendorong tubuh Sivia masuk kedalam mobil. Meskipun tidak mengerti sama sekali, Sivia hanya menurut dan membiarkan tubuhnya terhempas dikursi mobil. suara debaman pintu yang tertutup tidak juga membuatnya tersadar apa yang terjadi. Sayup-sayup masih didengarnya suara Angel mengatakan ucapan-ucapan yang tidak jelas didengarnya sebelum mobilnya benar-benar melaju membelah jalanan.

Selama perjalanan Sivia masih terdiam, tidak membuka mulutnya sama sekali meskipun ia ingin bertanya kepada siapapun yang mau menjawab beberapa pertanyaan yang menyerang otak dan hatinya. Dengan gerakan pelan Sivia menggelengkan kepalanya untuk menghapus  pikiran-pikiran negative yang bersarang diotaknya. Pasti ini hanya pemotretan intensive sehingga semuanya harus dilakukan dari awal, iya semoga pemotertan kali ini memang bertemakan pernikahan dan mewajibkannya menjalani proses dari ketika ia masuk mubil pengantin hingga ia berada didepan altar nanti.

Begitu cepatkah waktu berjalan? mobil berhenti melaju disebuah taman hijau dimana pijakannya beralaskan rumput-rumput segar yang sepertinya tengah bergoyang riang menyambut kedatangannya, pohong-pohon menjulang tinggi seakan melambai-lambai menyambut kedatangan Sivia.

Sivia masih terpekur sebelum sebuah tangan terulur kehadapannya. Sivia tersentak. Dengan pandangan bingung ia menelusuri pemilik tangan tersebut hingga penulusarannya terhenti pada wajah kriput yang sangat amat ia kenal.

“Ayo Sivia, seseorang telah menantimu.” kata pemilik wajah tersebut.

Dengan ragu Sivia menerima uluran tangan tersebut. Riak bingung diwajahnya masih belum terusik. Pemilik wajah keripun yang diketahuinya sebagai adik mendiang ayahnya itu tersenyum hangat begitu uluran tangannya diterima. Ia menarik tangan Sivia dengan lembut, membantu gadis itu keluar dari mobil dan segera menuntunnya berjalan menyusuri karpet putih yang menuju kesatu arah.

Sem ua orang yang berada disana memandangi Sivia dengan pandangan memuja. Kecantikan natural gadis tersebut benar-benar membua semua orang yang disana harus bersedia melontorkan kata pujiannya, apalagi begitu melihat gadis tersebut mengenakan wedding dress yang membalut tubuh rampingnya.

Sementara itu, di ujung karpet putih seorang laki-laki berdiri membelakanginya. Kalau tidak salah dengan feelingnya, Sivia mengenal posture tubuh tegap dan kokoh laki-laki tersebut. Ya, Sivia sangat mengenal pemiliknya. Dan feelingnya terbukti begitu laki-laki tersebut berbalik dan menyambut tangannya yang entah sejak kapan telah terulur kehadapan laki-laki tersebut.

Alvin Jonathan.

Laki-laki itu menatapnya dengan pandangan menenangkan, seolah-olah ia tahu bahwa gadis dihadapannya sedang sangat kebingungan. Mulut Sivia seakan terkatup rapat oleh semua hal-hal yang terjadi beberapa menit ini dan hal-hal tersebut benar-benar membuatnya bingung.

“maukah kau menikah denganku, Sivia?.” Tanya Alvin lembut begitu gadis tersebut berada disampingnya dan menghadap seseorang yang akan menuntun mereka mengikrarkan  janji suci.

Sivia mengerjapkan matanya beberapa kali guna mengembalikan kesadarannya yang telah larut dalam kebingungan. Kepalanya ia dongakan untuk melihat wajah laki-laki yang ada disampingnya. Kembali ia kerjabkan mata bulatnya seakan ia masih belum benar-benar kembali dari alam mimpi, seakan-seakan ia sedang bermimpi saat ini. Bermimpi kalau sekarang ia sedang berada disebuah acara pernikahan dan itu pernikahan dirinya. bermimpi bahwa laki-laki bernama Alvin Jonathan yang disampingnya mengajaknya menikah padahal dulu pernah menolaknya. Bermimpi bahwa mimpi ini tidak akan berakhir.

“Sivia?.”

“Aku….” Sivia menundukan kepalanya. “Aku… tidak mengerti dengan semua ini… tapi aku mau menikah denganmu.” kata Sivia mantap.

Seulas senyuman terpatri dibibir Alvin, sementara Sivia semakin menundukan kepalanya, ia malu dan pipinya sekarang pasti sudah merah merona mengalahkan warna blusson pingnya.

“Aku mencintaimu Sivia.” Alvin mengeratkan genggamannya sebelum janji suci mereka terikrar.


********



Sivia tersenyum malu-malu begitu Alvin menatapnya dalam. Retina hitam kelam laki-laki itu syarat akan kasih sayang , begitu teduh dan mempu menghipnotis Sivia. Dengan perlahan Sivia menutup matanya, menikmati sentuhan hangat bibir laki-laki itu dikeningnya. Seketika kehangatan menjalar mememenuhi kepalanya, merambat masuk kedalam pori-pori kulit wajahnya, dan turun kebawah melalui kerongkongannya dan mengendap tepat diparu-parunya, membuat kehangatanyang ditimbulkan laki-laki itu menjadi oksigennya sekarang, esok, dan selamanya. Laki-laki itu adalah oksigennya sekarang, sumper udara yang akan ia hirup sepanjang hidupnya, tanpa laki-laki itu ia tidak akan bisa bernafas dan mati.

Suara tepuk tangan bergemuruh mengiringi kecupan manis Alvin yang terlepas dari kening Sivia. Seulas senyum bahagia mereka persembahkan untuk kebahagiaan mereka hari ini. Dengan rinci Sivia memperhatikan semua orang yang mengelilinginya, baru ia sadari ada Ibunya yang sedang menangis haru melihat putrinya sekarang sudah menjadi milik orang, ada Winda dan Duta –kedua orang tua Alvin yang tersenyum bangga melihat putranya berhasil mendapatkan cintanya, tak lupa juga ada Shilla dan Rio, ada Cakka dan Ify yang mengapit tubuh kecil seorang anak laki-laki –yang dipanggil ray, anak laki-laki itu menatap Alvin dengan bahagia.

“thanks for today, GOD. Aku memang tidak mengerti langkah apa yang kuambil hingga aku benar-benar berlabuh pada laki-laki yang kucintai, aku juga tidak paham dengan alur cerita ini yang sejak awal membuatku merasakan sakitnya penolakan hingga rasa jengahnya menunggu dan sekarang semuanya terbalaskan indah, aku merasakan betapa bahagianya mendapatkan kejutan seperti. thanks.”


pada akhirnya orang yang mau bertahan dengan keyakinannya akan mendapatkan kebahagiaan tak terduga :*




------THE END-----