Senin, 13 Mei 2013

NO SAD!!! (EPILOG)



                                                                                                                       


NO SAD!!!

(EPILOG)


Kebiasaan malam mereka sebelum tertidur selalu seperti ini, ketika tangan kekarnya mengalung diperut istrinya, menarik tubuh ramping tersebut agar lebih dekat dengan tubuhnya, kemudian dengan senang hati istrinya akan menenggelamkan kepalanya didada bidang suaminya, setelah itu mereka akan sama-sama mengulas tersenyum dan memejamkan mata meski belum benar-benar terlelap.

“Aku mencintaimu.” bisikan lembut itu semakin membuainya, tapi bukan untuk tertidur melainkan membuainya untuk semakin mencintai laki-laki yang sedang memeluknya ini –suaminya. Alvin Jonathan.

“Aku tau.” balasnya singkat. “karena aku juga mencintaimu.” Alvin terkekeh pelan mendengar pengakuan istrinya. Rasanya selalu bahagia mendengar Sivia membalas kata cintanya.

Mereka selalu suka waktu-waktu seperti, waktu ketika mereka menikmati kebersamaan mereka yang seakan-akan bagai candu yang selalu mereka butuhkan untuk memperkuat hubungan mereka. Tidak banyak yang mereka lakukan, hanya tidur diranjang yang sama, berpelukan sepanjang malam, saling tukar hirup aroma tubuh, sesekali mereka memuaskan hasrat mereka, dan masih banyak lagi yang mereka lakukan ketika bersama seperti ini.

Sivia memicingkan matanya menatap kalung Alvin yang berbandul cincin cantik yang sama dengan miliknya. Cincin itu adalah saksi bisu kisah cinta mereka sejak SMP, sejak ia dan Alvin masih menjadi ‘Via dan Nathan’, dua bocah ingusan yang saling mencintai layaknya pria dan wanita dewasa. Sivia menggigit bibir bawahnya dengan resah, mengingat cincin itu juga yang menyimpan banyak pertanyaannya sepanjang perjalanan kisah cintanya dengan Alvin.

“Alvin” panggil Sivia lirih sambil menyudahi aksi gigit bibirnya dan beralih mengalungkan tangannya dipunggung kokoh Alvin.

“hmmmm”

“bisa kau jelaskan semuanya?” Tanya Sivia yang jujur saja masih menyimpan banyak pertanyaan tentang segala sesuatu yang berjalan cepat tanpa bisa ia cerna satupun alur yang membawanya hingga memiliki laki-laki ini.

“Apa kau masih membutuhkan penjelasan?.”

Dengan antusiasnya Sivia mengangguk.

“tanyakan saja apa yang belum jelas.”

“hmmmm…. ke-kenapa kita kembali dipertemukan dalam perjodohan yang tidak jelas?.” Pertanyaan pertama Sivia berhasil membuat Alvin menyeringai.

“karena semua pertemuan kita adalah rencanaku dan kedua orang tua kita.” Alvin menerawang, mencoba mengingat apa yang masih bisa ia ingat.


*******FB On******

Alvin membuka matanya ketika melihat Ira –ibunya Sivia memasuki ruang rawatnya. Mata sayunya menyimpan jelas rasa khawatir pada gadisnya.

Ira hanya tersenyum lelah melihat laki-laki yang mencintai anaknya tersebut. ia terus berjalan mendekat dan duduk disofa ruang rawat Alvin bersama kedua orang tua Alvin.

“bagaimana keadaan Via?.” Winda melemparkan pertanyaannya mengenai keadaan Sivia setelah sempat melirik Alvin dan menangkap kekhawatiran dimata anaknya.

Alvin menajamkan pendengarannya. Ingin tau penjelasan dari Ira tentang keadaan gadisnya.

Sekali lagi –Ira tersenyum lelah, wanita dewasa itu menarik nafas perlahan dan menghembuskannya dengan tempo yang pelan. “Sivia mengalami Amnesia akibat kepalanya terbentur trotoar, Ia kehilangan banyak memorinya, Ia hanya mengingat beberapa tentang masa lalunya.” Jelas Ira sebelum mengambil jeda.

Alvin menutup matanya gusar, berharap gadisnya tidak kehilangan memori tentang dirinya dan kisah mereka.

“Sepertinya Via juga kehilangan memorinya tentang kejadian yang baru terjadi, termasuk kehilangan memorinya tentang Nathan.”

Hati Alvin langsung mencelos. Dewi keberuntungan sepertinya tidak memihak padanya. Sivia -nya melupakan tentang dirinya dan kisah mereka.

Dengan langkah gusar Winda menghampiri Alvin. Ia mengerti perasaan anaknya tersebut, sungguh sangat mengerti bagaimana beratnya menerima kenyataan seperti ini.

“tenanglah.” suara lirih Winda menyapa gendang telinga Alvin. Tangan halusnya membelai rambut anaknya guna menenangkan.

“aku harus bagaiamana.” gumam Alvin pelan.

Layaknya seorang penerjemah, Winda menatap Ira dan suaminya gusar. “kita harus bagaiamana?.” tanyanya seperti mengulang pertanyaan Alvin.

“Kata dokter, Sivia belum boleh diingatkan tentang memori-memorinya yang hilang, lebih baik untuk saat ini sebaiknya kita menjauhi mereka. Aku takut kalau Via melihat Nathan, ia akan mencoba mengingat memori-memorinya yang hilang dan itu akan berakibat fatal untuk Via ” Kata Ira lagi.

“apa kau siap menjauhi Via?.” Tanya Winda kepada Alvin.

Alvin diam, Selama ini ia tidak bisa jauh dari Sivia. Tapi untuk kali ini ia akan mencobanya, demi Sivia -nya. Alvin mengangguk seadanya. “Nathan siap demi Via.”

Winda ikut mengangguk, meskipun tidak yakin dengan anggukan Alvin. Ia tau benar kalau Alvin tidak pernah bisa jauh dengan Sivia, namun mau bagaimana lagi ini jalan satu-satunya. “Baiklah Ira, kau harus focus pada penyumbuhan Via, dan Nathan akan aku pindahkan ke Singapur untuk melanjutkan pengobatannya sekalian untuk antisipasi kalau saja nanti mereka bertemu.”

Ira mengangguk paham. Kemudian dengan langkah pelan Ira menghampiri Alvin, mencium kening anak laki-laki temannya itu dengan penuh rasa iba. Ia juga tidak menginginkan semua ini, ia terpaksa harus menjauhi putrinya dengan Alvin.

“berjanjilah setelah Nathan kembali, Via akan jadi milik Nathan.”

******************

Mengingat kejadian waktu itu cukup membuat Alvin meringis. Sementara Sivia yang berada dalam pelukannya mencoba menela’ah cerita Alvin.

“sudahlah jangan memikirkan masa lalu lagi.” kata Alvin sambil mengusap punggu Sivia. “lanjutkan pertanyaanmu.”

Sivia mengangguk sambil mengacaukan bayangannya tentang masa lalu mereka.

“kemana kau selama empat tahun? dan apa yang kau lakukan.”

Alvin menghembuskan nafas gusar mendengar pertanyaan Sivia yang kali ini entah mengapa membuatnya merasa penat mengingat apa yang dilakukannya selama empat tahun tanpa Sivia.

******FB On*******

Alvin menghembuskan nafas jengah begitu ia sampai dikamarnya. 2 tahun sudah ia di Jerman. Selama 2 tahun ini ia sudah berusaha sekeras mungkin agar bisa cepat menamatkan pendidikannya dan ia bisa segera ke LA untuk meniti karir bersama Cakka disana, setelahnya barulah ia bisa pulang ke Indonesia, setelah bisa melanjutkan bisnis keluarganya. Selama itu, ia juga harus tetap bisa menahan hasratnya untuk menemui gadisnya yang berada di Indonesia. Menahan kerinduannya kepada gadisnya itu terlalu lama, sama saja dengan membunuhnya secara perlahan. Dan sekarang entah mengapa ia benar-benar sangat merindukan gadis tersebut.

Dengan mata tajamnya, Alvin melirik kalender. ia kembali mengehembuskan nafas jengahnya. Pantas saja ia merindukan gadis tersebut, karena sekarang gadis itu sedang berulang tahun.

“Apa lo masih nunggu gue? lo masih cinta sama gue?.” Tanya Alvin pada gadis yang memenuhi hati dan pikirannya. Alvin tersenyum miris. Karena dua pertanyaan tersebut berhasil mengundang beribu-ribu pertanyaan yang berkecamuk dalam otak dan hatinya, pertanya-pertanyaan umum yang menanti untuk dijawab.

“Sebentar lagi dan semuanya akan berakhir.” gumamnya pelan. “lo harus nunggu gue, karena gue cinta sama lo.” kalimat yang syarat keegoisan itu meluncur bebas dari mulutnya. Untuk kali ini ia ingin bersikap egois karena ia tidak akan bisa hidup tanpa gadisnya.

Cukup ia meninggalkan gadisnya selama ini, setelah ia kembali ia akan langsung mengikat gadis tersebut untuk menjadi miliknya. hanya menjadi miliknya. karena ia mencintai gadis itu ketika ia membuka mata dan cintanya tidak akan sirna meskipun matanya tertutup. dan ia yakin gadisnya juga mencintainya…..

kalau pun tidak….

Ia akan memaksa gadis itu untuk mencintainya –lagi  dan menjadikan gadis itu mutlak miliknya.


******FB Off*******


“yang kulakukan hanya merindukanmu.” jawab Alvin sekenanya. Sekarang giliran Sivia yang terkekeh geli mendengar jawaban suaminya meskipun tidak dapat dipungkiri kalau ia senang mendengar jawaban tersebut.

“Lalu kau, bagaimana kau hidup selama aku tidak disampingmu? hmmmmm.”

“hidupku? tidak jauh berbeda dengan ceritamu.” balas Sivia singkat. ia menyesap aroma tubuh Alvin begitu dalam, harum tubuh itu selalu membuatnya candu. “aku juga selalu merindukanmu, setiap hari.”

Sivia semakin mendesak kepalanya agar lebih tenggelam dalam dada bidang Alvin, menghirup aromanya sekali lagi dan menghembuskannya dengan lembut, dan itu ia lakukan secara berulang tanpa bosan.

“karena kau adalah kehidupanku, oksigenku. Aku tidak akan bisa lepas darimu.”



******FB On********

“LO TEGA NINGGALIN GUE!!! KENAPA WAKTU ITU LO NGGAK KASI GUE SATU KESEMPATAN.” maki Sivia sambil menatap tajam, figuran foto Alvin yang selalu setia terpajang diatas meja kamarnya.

“LO JAHAT BANGET SAMA GUE.” figuran itu ia angkat setinggi mungkin dan hendak melemparnya kelantai sebelum akhirnya ia urungkan dan didekapnya dengan erat.

“gue sayang lo, gue cinta lo, gue kangen lo.” isak tangis Sivia mulai terdengar, air matanya lolos begitu saja. Bukan untuk pertama kalinya ia seperti ini, Laki-laki bernama Alvin Jonthan benar-benar membuatnya gila dan rela menangis semalaman hanya karena merindukannya.

drrrrt…. drrrrrt….

Dengan cepat Sivia menaruh kembali figuran tersebut, menyeka kasar air matanya sebelum mengangkat telpon yang masuk ke smartphone -nya dengan nada bersorak-sorak tidak sabaran untuk diangkat.

“ada apa?”

“lo abis nangis ya vi? kok suara lo gitu banget.” suara disana menyahut khawatir.

“gue fine shill, ada apa?.”

“oke oke, jadwal lo sekarang pemotretan sampul majalah.” kata shilla.

“ohya gue lupa.” Sivia meneput jidatnya. “kirimin alamatnya shill ntar gue dateng.”

“siiip.”

Sivia memutuskan sambungan sambil menghela nafas berat. Ia menghela nafas lelah, pada pasalnya selama menjadi model jadwalnya semakin padat, Apalagi semuanya diperparah oleh urusan kuliahnya dengan tugas-tugas tidak penting –yang setiap hari menumpuk, seperti meneriakinya dan memintanya untuk segera diselesaikan, belum lagi hal-hal lain yang membuat hidupnya semakin ribet.

********


Alvin tersenyum tipis mendengar cerita Sivia. Ternyata bukan hanya dirinya yang tidak bisa hidup dengan benar tanpa orang yang dicintainya. Gadisnya ini pun  tidak bisa hidup dengan benar tanpa dirinya. Hal itu cukup membuatnya merasa istimewa.

“sekarang giliranku untuk bertanya duluan?.” kata Alvin menuntut bagiannya untuk bertanya lebih dahulu. Sivia langsung menjawabnya dengan anggukan pelan yang mengandung unsur antusiasmen tinggi.

“mengapa kau mau menungguku tanpa kepastian?.” pertanyaan itu membuat Sivia menarik senyum tipis dalam dekapan Alvin.

“Apa aku boleh bertanya juga?” Tanya Sivia tanpa memperdulikan pertanyaan Alvin yang lebih awal terlontarkan.

Dengan pelan Alvin mengangguk tanpa memperdulikan pertnyaannya yang belum terjawab.

“mengapa kau begitu yakin aku mau menikah dengamu setelah kau menolak dan meninggalkanku?” Alvin tersenyum tipis sama seperti apa yang Sivia lakukan.

“Karena aku mencintaimu.” jawab mereka bersamaan. Mereka kembali tersenyum tipis.

Alvin mengeratkan pelukannya, menghirup aroma rambut Sivia yang menguar dan membuaianya untuk segera terlelap.

“Tidurlah” kata Alvin sambil menutup matanya, namun Sivia segera menepuk dada suaminya dengan keras membuat Alvin yang sudah hampir berlayar kedunia mimpi segera membuka mata kembali, ia menunduk dan menatap mata Sivia yang mendelik ganas kearahnya.

“aku masih mempunyai banyak pertanyaan.” kata Sivia dingin.

Alvin terkekeh pelan. “tapi aku sudah mengantuk Sivia.” katanya melas.

“aku tidak perduli sayang.” Sivia menyeringai.

“baiklah 1 pertanyaan.”

“2 pertanyaan.”

“ng….. oke tapi setelah itu kita tidur.”

“hmmm…” gumam Sivia sambil berfikir pertanyaan yang akan ia ajukan. “kenapa Ray memanggilmu dengan sebutan papa.”

Alvin terkekeh geli mendengar pertanyaan sivia. “kau takut aku sudah punya anak?.” Tanya Alvin balik, sementara Sivia mendengus kentara. Alvin kembali terkekeh. “Cakka yang menyuruh ray memanggilku papa, katanya aku juga harus merasakan bagaimana rasanya dipanggil Papa diumur yang sangat muda.” jelas Alvin, Sivia mengangguk-angguk paham. “lalu bagaimana rasanya?.” Tanya Sivia antusias.

“rasanya hm…. rasanya aku seperti lupa umur dan merasa jauh lebih tua dari umurku.” Alvin merengut kesal mengingat ia sempat menolak untuk dipanggil papa oleh ray, namun cakka tetap memaksa anak kecilnya itu untuk tetap memanggilnya papa biar ‘senasib sepenanggungan’ katanya. ciiiih! siapa yang memiliki anak dan siapa yang dipanggil papa, dasar-_- memikirkan hal tersebut –tentang Cakka dan Ray membuat Alvin semakin malas saja, dan ingin cepat tidur.

“hey Alvin kenapa tidur, kau masih berhutang menjawab satu lagi pertanyaanku.” Sivia menepuk dada Alvin dengan keras, membuat Alvin yang semulanya sudah menutup mata kembali membuka matanya.

“apalagi Sivia?.”

“kau masih harus menjawab satu pertanyaanku.”

“tidak bisa, kau sudah mengajukan dua pertanyaan.”

“hah?.”

“kenapa ray memanggilku papa dan bagaimana rasanya dipanggil papa. itu sudah dua pertnyaan.” sahut Alvin dingin.

“apa-apaan itu, aku…..”

“sudahlah Sivia, aku mengantuk.”

“tidak mau, jawab satu pertanyaanku lagi.” Sivia terus merengek sambil menepuk dada Alvin.

“baiklah satu pertanyaan lagi tapi kali ini kau harus membayarnya.” Alvin menyeringai setan.

Sivia mendongakan kepalanya. “maksudmu? membayar?”

“bayar dengan satu kecupan disini…” Alvin menunjuk bibirnya yang masih menyeringai.

“tidak mau, kau sudah melakukannya sepanjang hari tadi.” keluh Sivia.

“yasudah, lebih baik tidur kalau begitu.” kata Alvin kembali menutup matanya.

“oke oke oke, tapi kau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur.”

“deal?.”

“oke deal.” sahut Sivia malas. “dasar mesum.” rutuknya tidak terima, sementara Alvin malah terkekeh puas.

“lalu apa pertanyaannya?”

“kenapa kau menolakku dulu?”

Alvin menghela napas, cepat atau lambat istrinya ini akan menanyakan hal ini padanya. kenapa? apa?

“karena kau meminta kesempatan kedua  padaku.” sahut Alvin apa adanya.

Sivia mengernyit. Ia semakin bingung dengan jawaban Alvin, suaminya ini benar-benar tidak mudah ditebak jalan pikirannya.

Sadar akan kebingungan istrinya, Alvin kembali buka suara untuk menjelaskan semuanya lebih rinci. “kau meminta kesempatan kedua untuk memulai dari awal hubungan kita, sementara aku memang bukan tipe orang yang suka memberi kesempetan dalam bentuk apapun, terlebih untuk orang yang sudah mengecewakanku apalagi sampai mambuat pertunanganku gagal.”

Alvin mendelik kearah Sivia yang kembali menenggelamkan wajahnya didada bidang Alvin. Mungkin wanita itu masih merasa bersalah atas semua yang terjadi dimasa lalu.

“dan waktu itu kau meminta kesempatan kedua untuk memulai dari awal hubungan kita dan aku jelas tidak mau karena kalau dari awal berarti kita harus kembali menjadi Via dan Nathan sementara kita empat tahun lalu bukan lagi dua bocah SMP yang harus terikat oleh cinta monyet khas anak ingusan.”

Alvin tersenyum geli melihat Sivia yang terus merangsek didadanya untuk menyembunyikan wajahnya. Dengan lembut di usapnya punggung istrinya itu untuk menenangkannya.

“jadi Sivia, aku hanya menawarkan satu kesempatan, jika kau menolaknya maka tidak aka nada kesempatan yang sama.” jelas Alvin dengan nada tegas.

Sivia mengangguk paham, ia mengerti sekarang. Alvin mengeratkan pelukannya ia hendak menutup matanya lagi karena tidak ada yang perlu dijelaskan, namun niat tidur itu batal begitu mengingat satu pertanyaan yang masih mengganjal dikepalanya.

“Sivia.”

“hmmmm” Sivia mendongakan kepalanya, sementara Alvin menundukan kepalanya. untuk beberapa saat mereka terdiam dan saling melempar tatapan intens.

“bagaimana bisa ingatanmu kembali?.”

“ng…. aku juga tidak tau tapi waktu itu aku melihat cincin yang kau berikan dan semua ingatanku yang hilang langsung berputar dikepalaku.”

“apa rasanya sakiit?.”

“apanya yang sakit?”

“kepalamu. maksudku apa kepalamu sakit ketika mengingat semuanya?.”

Sivia mengangguk. “iya, tapi rasa sakit itu terbayar lunas dengan kembalinya ingatanku tentang Via dan Nathan.”

Alvin menghembuskan nafas lega.

“kau kenapa?.” Tanya Sivia melihat Alvin mendesah lega. Alvin menggeleng singkat.

“terus kenapa kau bisa kembali mencintaiku?.”

Sivia diam, mencari jawaban yang pasti. “apa kau masih membutuhkan alasannya.”

Alvin mengangguk. “aku hanya penasaran.”

Sivia mengambil jeda dengan menarik nafasnya dalam, otaknya masih terus berputar mencari jawaban yang masuk akal. “aku tidak punya alasan khusus, karena cinta memang tidak butuh alasan. Tapi aku berfikir bahwa aku bisa mencintaimu secara berulang, ketika aku sempat melupakanmu, maka cintakulah yang akan membawaku kembali mengingatmu.”

Alvin tersenyum senang mendengar jawaban Sivia. memori boleh hilang tapi cinta sejati akan selalu abadi dan menuntun kita untuk kembali.

“lalu kau, kenapa kau meninggalkanku dulu?.” Tanya Sivia –lagi.

“apa aku harus menjawabnya?.” Alvin balik bertanya sambil mendelik kearah Sivia. “kau sudah mengajukan dua pertanyaan dan aku sudah menjawabnya, sekarang kau masih mau bertanya lagi? oh ayolaaah Sivia, aku mengantuk.” kata Alvin kesal sambil menguap.

“satu lagi, aku janji.” kata Sivia sambil menunjukan wajah memelasnya.

Alvin menghela nafas berat. Ia benar-benar sudah mengantuk tapi Sivia masih terus mendesaknya, apalagi dengan raut wajah memelas seperti itu.

“karena meninggalkanmu adalah salah satu rencanaku sejak awal.” jawab Alvin enteng.

“hah?”

“jadi Sivia, sejak awal aku memang memutuskan untuk meninggalkanmu meskipun waktu itu ingatanmu sudah kembali.”

“sejak awal?.” gumam Sivia. ia mendongak untuk melihat wajah Alvin yang kebetulan masih menunduk melihat wajahnya.

“iya sejak awal, aku sudah merencanakan semuanya semenjak pertunangan kita gagal.”

“termasuk rencana meninggalkanku?.”

Alvin mengangguk membuat Sivia mendelik ganas.

“termasuk rencana kau kembali dan menikahiku?.”

Alvin kembali mengangguk.

“meskipun aku tidak mau dan tidak cinta lagi padamu.”

“iya.” jawab Alvin singkat. “kalau kau tidak mau, aku akan tetap memaksamu kedepan altar dan langsung menikahimu meskipun kau sudah tidak cinta lagi padaku karena aku mencintaimu.”

“aku tidak percaya ini, kau benar-benar gila! merencanakan semuanya sejak awal. kalau begitu untuk apa aku menunggumu dan hidup sengsara karena terus merindukanmu setiap hari kalau kau saja sudah merencanakannya dan membuatku mau tidak mau dan apapun yang terjadi aku akan tetap menjadi milikmu.” Sivia terus mengoceh, mengabaikan Alvin yang bahkan tidak bersuara sejak tadi.

Sivia hendak memukul kembali dada bidang Alvin ketika dirasakannya dada suaminya itu turun naik dengan tempo teratur. Dengan perlahan Sivia mengangkat wajahnya, mendongak dan memperhatikan wajah Alvin yang kini bergeming tanpa ekspresi, matanya pun sudah tertutup rapat. Sivia tersenyum maklum. Tidak enak rasanya kalau membangunkan suaminya yang sudah nyenyak.

Sivia mengangkat sedikit kepalanya dan memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan wajah Alvin. dengan lembut dikecupnya bibir laki-laki itu sebagai tanda bayaran atas pertanyaannya yang telah terjawab. satu kecupan untuk tanda maaf atas semua kekacauan masa lalu mereka. satu lagi kecupan lembut untuk tanda terimakasihnya atas segala yang telah laki-laki itu berikan untuknya.

Sivia menarik kembali wajahnya, lantas tersenyum melihat bibir merah plum yang telah ia kecup sebanyak tiga kali tadi. Ia tersenyum dan kembali menenggelamkan kepalanya dalam dada bidang Alvin.

“terimakasi atas ending yang membahagiakan ini. No Sad!”

Sivia menutup matanya dan terlelap dalam pelukan hangat Alvin. Suaminya tercinta.


ketika pagi….
aku melihat punggung kokohnya yang menjauh,
mencari kelengkapan untuk hidup kami,
Ia memeras keringat dan aku akan setia menantinya…

bukan lagi sebagai seseorang yang menanti sebuah kepastian,
namun menanti punggung kokoh itu berbalik,
menunjukan dada bidang tempatku tenggelam,
nanti malam :)

Ketika malam,
punggung kokoh itu tak lagi terlihat,
hanya dada bidangnya yang berhadapan denganku,
dada bidang tempatku tenggelam,
sumber segala kehangatanku ketika malam dingin.

bukan lagi malam untuk memikirkannya,
namun malam untuk menguatkan cintaku,
karena ketika esok,
aku siap mencintainya kembali,
secara berulang, namun dengan cinta yang semakin sejati…



-NO SAD!!!-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar