(part of Waiting My Love)
Bagaimana dengan
cinta yang merelakan cintanya pergi?
atau.....
Bagaimana dengan Cinta yang hanya
bisa menanti hingga berakhir sia-sia?
seseorang
mengatakan ‘tidak ada yang sia-sia’ di dunia ini, semuanya ‘peristiwa atau kejadian
pasti diciptakan lengkap dengan alasannya’, asalkan ‘yakin dengan akhir yang
kau pilih maka akhir itulah yang akan kau dapatkan’.
“ya aku percaya
tidak ada yang sia-sia.” Sivia bergumam pelan sambil menutup ingatannya tentang
seseorang yang mengajarkannya banyak hal. ah! bukan banyak, tapi terlalu banyak sampai otaknya tidak bisa
mencerna beberapa hal dan masih membuatnya bingung sampai sekarang.
Perlahan gadis
itu memejamkan matanya, tangannya yang satu meraba permukaan bad cover tempat tidurnya. Dapat! Sivia mengangkat
benda yang dicarinya, lalu diletakannya benda tersebut tepat di atas dadanya.
Ia menarik double kabel yang terpasang di benda tersebut. Seper-empat double
kabelnya terbelah dua –dan kedua
belahannya memiliki ujung yang terpasang benda kecil yang dapat mengeluarkan
suara. Lalu secara bersamaan Sivia meletakan kedua benda kecil tersebut di
masing-masing telinganya.
Alunan musik
klasik langsung menyapa gendang telinganya. Setiap nada seakan-akan mendobrak
masuk lebih dalam, melewati indera pendengarannya, mengalir masuk kesarap-sarap
inderanya yang lain dan terpencar kearah berlawanan –sebagian nada menyapa
otaknya, sebagian lagi memenuhi
hatinya yang kebetulan sedang kosong dan hambar.
“sebenarnya apa yang kau dengarkan, bodoh!”
Suara itu. Suara
dari masa lalunya terdengar samar –seakan-akan ingin ikut mengiringi alunan
musik klasik yang sekarang telah memenuhi otak dan hatinya. Tidak hanya itu.
Sekelebat bayangan tiba-tiba bermain tanpa intruksi –seakan-akan ingin ambil
bagian ditengah-tengah kedua suara –diantara suara masa lalu dan suara musik
klasik yang semakin gencar memenuhi bagian-bagian kosong yang rasanya semakin nyata, kekosongan yang berasal dari otak dan hatinya.
“Hey dengarkan aku!!!”
----------------------------------------------
Dengan kasar Sivia
menarik headset yang bertengger di kedua telinga Alvin sejak satu jam yang
lalu. Sudah cukup rasanya ia memperhatikan Alvin yang sibuk sendiri dengan
musik-musik yang ada di Ipod Touch
Putihnya.
Alvin tetap diam, pura-pura tidak peduli dengan headseat
yang terlepas paksa dari telinganya. Laki-laki berwajah oriental tersbut lebih
memilih menyibukan dirinya -kembali dengan memainkan layar touch screen Ipodnya. Hal tersebut jelas membuat Sivia semakin
sebal. Sekali lagi, dengan kasar Sivia menarik Ipod tersebut dari tangan Alvin,
kemudian menjauhkannya dari laki-laki tersebut.
“Tidak bisakah
kau mendengarkan ku dulu?.” Tanya Sivia sambil menyentuh wajah Alvin dengan
jari-jarinya yang lentik. Hal tersebut cukup membuat tatapan mata Alvin
melembut.
“Apa
barang-barangmu itu lebih penting dariku?.” Tanyanya lagi, namun kali ini
suaranya terdengar melembut. “Aku tidak meminta macam-macam, aku hanya ingin
didengar.”
Alvin menatapnya dalam kemudian mengangguk
pelan tanpa mengeluarkan suaranya.
Sivia tersenyum
senang dengan respon kecil tersebut. Setidaknya ia cukup senang karena akan
didengarkan, apa pun atau bagaimana pun respon Alvin, itu akan menjadi
urusannya nanti, sekarang ia hanya perlu berbicara dengan laki-laki itu.
“Aku
mencintaimu.” kalimat ajaib itu meluncur bebas dari bibir mungil sivia.
Alvin tertegun
namun tidak mengatakan apapun, ia hanya menatap Sivia lebih dalam lagi, tatapan
tanpa makna.
“Aku
mencintaimu.” Sivia kembali mengatakannya, namun Alvin tetap tidak membalas, ia
tetap bergeming.
“sungguh…..” kata Sivia, suaranya terdengar melemah karena tidak ada respon apa pun dari Alvin. Bukan! bukan karena ia pesimis namun karena ia tahu ada jurang membentang diantara mereka. Setetes air hangat keluar dari kelopak mata sivia, namun tatapan gadis tersebut
tetap terfokus pada kornea mata Alvin.
“Aku
mencintaimu."
Alvin mengangguk -menandangkan bahwa ia dengar dan ia tahu ada cinta diantara mereka. Laki-laki itu menyentuh jari-jari lentik Sivia yang masih diwajahnya, digenggamnya jari-jari tersebut dengan lembut, lalu diturunkannya secara perlahan dari wajahnya.
Rasa sesak
menghujam Sivia ketika Alvin menyingkirkan jari-jari tangannya dari wajah oriental
laki-laki tersebut, lalu dengan ringan laki-laki itu berdiri tanpa mengucapkan
apapun. Sivia mendongak, berusaha menangkap ekspresi Alvin, namun laki-laki itu
tetap dengan wajah datarnya.
“aku juga mencintaimu…...”
kata Alvin tanpa ekspresi. Kemudian laki-laki itu menunduk, hingga membuat
wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
“tapi kita
berbeda.” lanjutnya sebelum menghapus jarak diantara wajah mereka.
Mulut laki-laki
itu mengecup lembut kedua kelopak mata Sivia secara bergantian agar air mata
gadis tersebut segera berhenti keluar. Namun pada kenyataannya air mata gadis
tersebut semakin gencar berproduksi, bahkan lebih banyak.
“berhentilah
menangis.” Alvin mengangkat wajahnya, lalu berbalik pergi.
Tinggalah Sivia yang
masih membeku ditempatnya. Separuh jiwa gadis itu seperti ikut beranjak
mengikuti langkah Alvin. Sejauh laki-laki itu melangkah maka sejauh itu jua
separuh jiwanya akan mengikuti. Ia percaya separuh jiwanya akan kembali dengan
Alvin yang akan menyambut separuh jiwanya yang lain. yaaah ia percaya, sungguh
sangat percaya.
Mata Sivia mengerjab
begitu tubuh laki-laki itu tak lagi dapat ia lihat.
Alvin pergi…..
meninggalkannya….
dengan membawa
separuh jiwanya……
entah….
akan kembali…..
atau tidak……
----------------------------------------------
Sivia membuka
matanya dan menyadari kalau air matanya sudah menetes. Mengingat masa lalu
tersebut membuat dadanya terasa semakin kosong, seperti tidak ada udara yang mengisi
rongga-rongga dadanya, oksigen yang disekitarnya terasa penuh oleh debu-debu
yang tidak layak hirup. sesak. bukan! bukan hanya sesak, tapi sangat sesak. ia
butuh Alvin -nya. Oksigennya
Tangan Sivia menyentuh
kepala headsetnya –ah bukan! maksudnya headseat Alvin. Laki-laki itu bahkan
tidak pernah menagih headset dan Ipodnya. Setelah hari itu, Alvin benar-benar
menghilang dari jarak jangkaunya, bahakan dari jarak pandangnya.
Dengan ringan,
jari-jari lentik Sivia merenggut kepala
headset tersebut dari telingnya. Sebelumnya ia
tidak pernah ingin menyentuh heatsed dan Ipod tersebut. Tidak pernah ingin menyentuhnya sebelum setengah
tahun yang lalu, didorong oleh rasa penasaran Sivia akhirnya mau mendengarkan semua
lagu-lagu yang tersedia di Ipod tersebut. Namun pada kenyataannya tidak ada lagu
apapun disana, hanya ada beberapa instrument musik klasik didalamnya. intsrumen-instrumen itulah yang selalu didengarkan Alvin dulu, Instrumen yang selalu
membuatnya tenang dan sesak dalam waktu bersamaan.
Sesekali
instrument-instrumen tersebut membuatnya tersenyum ringan karena beberapa
nadanya seperti mengandung kenangan masa-masa indahnya ketika masih ada Alvin disisinya
dulu –dengan status mereka sebagai sahabat. Namun, tidak jarang
instrument-instrumen tersebut membuatnya menangis bisu karena nada klasiknya
yang seperti menyimpan kenangan pahit ketika Alvin meninggalkannya.
“aku percaya kau
akan kembali membawa jiwaku yang ikut melangkah bersamamu.” gumam Sivia pelan.
“sungguh aku
yakin….”
“karena cintaku
akan membawamu kembali, sejauh apapun kau pergi meninggalkanku.”
Tangan Sivia menggenggam
erat Ipod milik Alvin –seakan-akan ipod tersebut adalah separuh jiwa Alvin yang
tidak boleh ia lepas. Ia akan menggenggamnya, selama apapun ia harus menanti.
Tidak akan ia lepaskan begitu saja, karena separuh jiwanya masih ada pada
laki-laki itu.
Ia akan menanti
laki-laki itu datang kembali, menyambutnya dengan jiwanya yang masih tersisa. Tidak akan
ia pedulikan selama apapun ia menanti, ia percaya tidak akan ada yang sia-sia.
kalaupun nanti ia tidak dapat memiliki laki-laki itu, pasti akan ada satu
alasan yang membuatnya melepaskan laki-laki itu. Tapi untuk kali ini, Sivia yakin
bahwa Alvin akan kembali karena akhir yang ia pilih adalah akhir dimana ia dan
Alvin bisa bertemu kembali –meskipun akhir itu belum tentu akan membuatnya
bahagia tau lebih sakit dari sekarang.
“aku yakin akhir
yang aku pilih adalah akhir yang akan ku dapatkan.”
“karena aku
mencitainya dengan ketulusan.”
“karena dapat ku
pastikan cintaku adalah cinta sejatimu.”
“karena cinta
sejati akan berakhir untuk dipersatukan.”
“karena cinta sejati
adalah cinta yang tetap terjaga dengan keyakinan meski terpisah sajuh apapun
atau selama apapun.”
cintaku……
cinta
sejatinya…………
cinta yang
terjaga………