entah untuk yang keberapa kalinya, aku terbangun namun masih terpejam
disetiap pagi. berharap ada seseorang yang akan menjadi alasanku bangun pagi lagi. nihil. dia tidak
ada untuk sesuatu yang sudah membuatku terbiasa meski hanya satu kali. dia tidak hadir untuk menjadi alasanku bangun pagi seperti hari yang lalu. tidak ada suara langkahnya yang berlari ketika
ia ingin berlari. entahlah! dia benar-benar tidak ada. hilang ataukah lenyap.
kemana dia?
aku merindukannya?
sungguh, demi apapun yang dimuka bumi ini, aku
sangat merindukan dia.
dia?
aku mengenalnya saat itu. disaat matahari
hampir tenggelam. dia adalah laki-laki mirterius yang entah mengapa langsung
membuatku tertarik. ia seperti langit
barat dan aku adalah senja yang akan berlabuh padanya, hanya padanya, langit
baratku. ia seperti jingga dan aku adalah senja yang tidak sempurna tanpanya,
tanpa jinggaku, karena dia jingganya senja.
namanya
Alvin jonathan. laki-laki yang kupandang aneh ketika pertama kali jumpa. masih
segar dalam ingatanku saat aku mencurigainya. masih hangat dipelupuk mataku
wajah orientalnya yang tak beriak, tak berekspresi. datar. kalau kau ingin
mendekatinya kau harus berfikir seribu kali. namun pesonanya akan merambat
melalui udara-udara kosong, mendekatimu dan menarikmu agar lebih dekat dengannya, dan -entah akan terjadi
pada setiap orang atau hanya diriku- kau tak perlu berfikir seribu kali, kau
akan langsung menginginkannya ketika pesonanya menjeratmu dan memaksamu
bersikap egois untuk mendapatinya.
++++++++++
Ruang tunggu yang selalu membuat orang-orang merasa jengah kini
diterangi oleh terpaan cahaya matahari di belahan barat langit. Kaca-kaca besar
yang terpasang di masing-masing dinding
seakan-akan terkesan mempersilahkan cahaya senja menyelinap masuk menerangi
seluruh ruang tunggu hingga sudut-sudutnya. Kesan angkuh sinar senja membuat
ruang tunggu tersebut terasa begitu hangat. sangat hangat. tapi tetap saja rasa jengah
mengalir disekujur tubuhku, ingin rasanya cepat enyah dari sini.
aku melihat sekitarku, guna mengurangi rasa
jengah yang semakin membeludak. luamayan banyak orang disini, mereka menunggu
sepertiku, namun mungkin hanya aku yang terkesan tak tenang. rata-rata dari
mereka mencoba menyamankan diri dengan menikmati cahaya senja yang masih saja
menebarkan kesan hangatnya.
“maaf, apa aku boleh bertanya?.”
seseorang berjas hitam tiba-tiba menghampiriku.
menanyakan apa dia boleh bertanya padahal pada dasarnya iya sudah bertanya.
lucu sekali. “tentu saja.”
“apa kau melihat laki-laki berkulit putih
sedikit pucat, bermata sipit, berwajah oriental, dan tingginya kira-kira
segini” laki-laki tersebut menunjuk telinganya dengan tergesa.
aku memasang tampang sedikit berfikir dan
menggeleng ketika aku merasa tidak pernah melihat laki-laki dengan ciri-ciri
yang disebutkan orang berjas tersebut. “terima kasih kalau begitu.” orang
tersebut membungkuk dan berlari menjauhi ruang tunggu.
aku baru menyadari orang berjas hitam
tersebuttidak sendiri, ternyata beberapa orang-orang berjas juga sedang
berusaha bertanya pada semua orang yang ada diruang tunggu ini. mereka tampak
begitu panic seperti kehilangan intan yang harganya bisa membeli bumi ini. ah!!
ada-ada saja, kenapa mereka mencari orang hilang di rumah sakit seperti ini,
apa mereka kehabisan tempat diluar sana. ck-_- aku tak peduli! dasar
orang-orang aneh.
17.44. sudah banyak waktu yang ku habiskan
untuk menunggu di ruangan ini. inilah mengapa aku membenci yang namanya “ruang
tunggu”. selalu membosankan, selalu membuatku jengah. aku memutuskan untuk
berdiri, sedikit melakukan peregangan pada otot-otot tubuhku yang mengaku. lebih
baik aku tak menunggu lagi, urusan mataku yang memang butuh dipriksa bisa ku
priksakan lain kali –kalau aku berminat.
ketika hendak melangkah menjauhi ruang tunggu,
seseorang menghalangi jalanku dari arah berlawanan. ketika aku memilih jalan
kanan, Ia melangkah kekiri. ketika aku melangkah kekiri, ia malah melangkah
kekanan. jadi aku memilih berhenti dan dia ikut berhenti. sungguhbetapa menyebalkannya orang ini.
aku mendongak, guna melihat tampang songongnya.
namun jangankan melihat wajahnya, melihat warna kulit wajahnya pun tak dapat
kulihat. seluruh tubuhnya terbalut jaket hitam polos dan sedikit gembrong.
wajahnya tertutup kepala jaket yang benar-benar membuat tidak ada satupun hal yang
dapat kau lihat. benar-benar tetutup. membuatku curiga.
“kau menghalangi langkahku bodoh.” aku berujar
tajam.
dia diam. tidak membalas atau berusaha
menyingkir dari arah jalanku. sungguh dia sangat menyebalkan. dengan kasar aku
menubruk tubuhnya hingga membuat kepala jaket yang menutupi kepalanya terjatuh,
namun apa peduliku. aku berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan laki-laki
misterius tadi.
belum sampai sepuluh langkah, langkahku
terhenti karena seseorang memegang bahuku dan mencengkramnya dengan kuat.
lantas aku berbalik. melihat ternyata laki-laki misterius itulah yang memegang
bahuku. namun baru kusadari kepala jaketnya terbuka dan menampakan wajah tampannya
yang sesuai dengan….
-apa
kau melihat laki-laki berkulit putih sedikit pucat,,,-
wajahnya putih, atau mungkin terkesan sedikit
pucat. namun terlihat bersinar ketika cahaya senja menerpa wajahnya, begitu
mempertegas garis-garis wajahnya yang merupakan pahatan sempurna Tuhan yang
Maha sempurna. lekuk-lekuk wajahnya yang terperinci begitu kontras dengan warna
putih kulitnya yang terlihat bersih.
-bermata
sipit,,,-
aku dapat menjadi saksi hidup betapa tipisnya
mata itu, hampir setipis garis –atau mungkin benar-benar akan tinggal segaris
ketika sang empunya tertawa. namun mata sipit itu tampak tajam, seperti mata
elang yang siap membidik mangsanya kapan saja. benar-benar tajam. bahkan
sorotannya terkesan menambah aksen betapa kokohnya laki-laki ini.
-berwajah
oriental,,,,-
apalagi yang bisa kupikirkan dari laki-laki yang kulit wajahnya
berwarna putih dan mempunyai mata sipit kalau bukan laki-laki yang mempunyai
wajah oriental yang Nampak mempesona. bahkan pesona tersebut akan menjeratmu
dan memaksamu untuk bersikap egois untuk mendapatkannya, meski kau akan
berfikir seribu kali untuk mendekatinya ketika matamu menanakap wajahnya yang
sedingin es, tak berekspresi, serta datar sedatar permukaan kramik yang bahkan
tak mempunyai celah lecet sedikitpun. datar dan mulus.
-dan
tingginya kira-kira segini,,,-
kau bisa bayangkan bagaimana kokohnya laki-laki
ini dengan tinggi hampir dua setengah
jengkal dari tinggiku –benar-benar setinggi telinga orang-orang berjas hitam
yang tadi bertanya padaku. demi apapun aku membeku melihatnya. ia seperti bukan
manusia padahal ia manusia sama sepertiku. ia lebih mirip dengan malaikat yang
kokoh, dengan wajah hampir sempurna, dan proporsi tubuh yang sangat ideal.
aaah!! sungguh dia laki-laki tersempurna yang pernah kujumpai.
“hay itu dia.” teriak seseorang dari arah balik
punggung laki-laki tersebut.
laki-laki itu menoleh kebelakang dan mendapati
beberapa orang berjas hitam tengah berlari kearahnya. dengan gesit laki-laki
itu melepaskan cengkramannya dari pundakku dan berlari kencang menyusuri
koridor-koridor rumah sakit yang mulai lengang karena fenomena senja telah
berganti petang.
sementara orang-orang berjas hitam tengah
mengejar laki-laki tadi, aku masih membeku ditempatku, membeo seperti orang
dungu. laki-laki itu….
+++++++++++++++++
namanya
Alvin jonathan. laki-laki pertama yang membuatku merasakan apa itu rasa egois
karena ingin memilikinya. laki-laki pertama yang menarik dan menjeratku dengan
pesonanya. laki-laki pertama yang berhasil membekukanku dengan tatapannya. dan
laki-laki pertama yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama….
++++++++++++++++++
apa
aku seperti gadis nakal karena dihukum hingga sesore ini? oh ayolaaah, aku
bukan gadis nakal atau Bengal, aku hanya dihukum karena selalu terlambat datang
kesekolah. dan hari ini adalah ke-10 kalinya aku dihukum dalam satu bulan
terkahir karena aku terlambat. bukankah itu sebuah prestasi? yeaah, prestasi
untuk orang-orang bodoh.
aku mendongak sambil menyeka kasar keringat
yang bercucuran diwajahku. hari sudah sore dan senja sedang dalam proses
menggapai puncak keelokannya dilangit barat. setelah hukuman ini aku sepertinya
bisa melihat senja dari atap sekolah, mungkin dari sana aku dapat melihat senja
lebih jelas. sejelas aku membayangkan wajah laki-laki tersebut. laki-laki
misterius yang menjeratku dengan pesonanya. ahh! kenapa aku jadi mengingat laki-laki
itu? ck-_- lupakan, sekarang aku harus focus kehukumanku terlebih dahulu.
aku kembali sibuk dengan hukumanku
–membersihkan halaman tengah sekolah. untung saja guru BP tidak menyuruhku
membersihkan halaman depan sekolah yang langsung dengan tempat parkir. kalau
guru tersebut menyuruhku membersihkan halaman depan bisa sampai pagipun tak
akan selesai.
akhirnya selesai juga. aku segera membereskan
semua alat yang kugunakan. lantas kembali menyeka keringat sambil melihat
langit barat tempat senja masih setia menggantung. tanpa sengaja dari arah atap gedung sekolah –yang kebetulan
berada dibarat tepat dibawah langit senja aku menangkap siluet seseorang. hitam
dan diam. lama kupandangi siluet itu, aku dibuat merinding setngah mampus,
dengan langkah tergesa aku berlari meninggalkan sekolah. melewati gerbang dan
berhenti dihalte bus untuk menunggu alat transportasi yang bisa membawaku
pulang sesegera mungkin.
15 menit sudah, namun tidak ada satupun
transportasi yang berhenti dihalte ini. aku memutuskan menunggu beberapa menit
lagi sambil menghapus siluet yang kulihat diatap gedung sekolah tadi.
belum selesai dengan otakku yang mencoba
menghapus sesuatu, seseorang malah duduk disampingku dan mengusik kenyamananku.
aku menoleh menghadap orang terse but dan kudapati laki-laki yang menggunakan
jaket hitam polos dengan kepala jaket menutupi wajahnya. ah!!! laki-laki
misterius ini lagi. aku membeku lagi dibuatnya.
“kau yang kemarin?.” Tanyanya dengan suara
datar.
aku tertegun. apa itu suaranya? kalau ia tolong
rekamkan aku suara beratnya yang khas dan terdengar merdu ketika menyapa
gendang telingaku.
“ng… i… ya… kau laki-laki yang dikejar
orang-orang berejas itu?.”
“seperti yang kau lihat.” balasnya singkat dan
kembali diam.
suasana petang yang lengang semakin lengang
ketika lak-laki itu tak besuara lagi. demi apapun, apa saja buat dia membuaka
suaranya, aku ingin mendengarnya lagi dan kupasytikan aku akan merekam suaranya
kali ini. aaah!! gila!!
“ini…” aku segera menghadap tangannya yang
menyodorkan sesuatu.
kalung? kenapa? eh! aku meraba leherku,
memastikan kalau kalung berhargaku masih mengalung dileher jenjangku. tapi…
kenapa tak ada? baru kusadari kalungku hilang dan kalung yang di sodorkannya
sama persis seperti kalungku.
“ku kira ini punyamu.” katanya.
“kurasa memang punyaku.” aku mengambil kalung
berliontin batu permata putih yang merupakan kalung turun temurun dari nenek
moyangku dan kalung tersebut tak boleh hilang. “terima kasih ng….”
“Alvin jonathan, kau boleh memanggilku Alvin.”
katanya sambil kembali pada posisi awalnya. diam dan tenang.
+++++++++++++++
namanya
Alvin Jonathan. cukup panggil Alvin. laki-laki yang pertama kali jumpa namun
langsung berhasil menembus dinding hidupku. laki-laki berwajah oriental,
berkulit putih pucat, bermata sipit serta mempunyai sorotan setajam elang, laki-laki
tinggi yang kehadirannya membawa warna putih hitam dalam hidupku yang penuh
dengan warna warna terang.
+++++++++++++++
“hay itu dia…” teriak seseorang dari arah
samping halte.
sepertinya aku mengenal suara teriakan ini.
sontak aku dan Alvin melihat kearah sumber suara dan mendapati dua orang berjas
–lagi- yang tengah berlari kearah kami, tepatnya kearah Alvin. sontak Alvin
berdiri dari duduknya, sedikit memperbaiki letak kepala jaketnya -agar wajahnya
benar-benar tertutup seperti biasa sebelum akhirnya ia berlari sambil menarik
tanganku untuk ikut berlari. kenapa aku harus ikut berlari?
namun tak apa, asalakan aku berlari dengan
Alvin semuanya tak akan jadi masalah. aku merasa nyaman dengannya, aku merasa
terlidungi ketika bersamanya, yang terpenting aku selalu ingin bersamanya meski
ketika berlari seperti ini.
kami terus berlari disamping langit barat yang selalu
menjadi saksi bisu sang senja dengan warna jingganya yang tak pernah terpisah.
kehangatan keduanya menebar temaran kala langkah-langkah kami semakin melebar
dengan tempo yang tak sama.
kami
terus berlari…
berlari,
seperti mengejar senja yang sebentar lagi memetang…
berlari
untuk merasakan betapa sempurna jingga bersanding kokoh dengan senja…
berlari,
terus berlari, sampai nanti kamilah yang akan menggantikan senja dan jingga…
aku
senja…
dia
jingga…
berlari,
hingga langkah kami perlahan terhenti di langit barat…
langit
barat tempat dimana senja terlukis…
langit
barat tempat dimana senja berlabuh…
langit
barat tempat dimana senja kembali pada posisinya…
dia
langit barat… tempat senja berlabuh…
dan…
aku
senja yang akan kembali pada posisinya tepat di langit barat….
(jingga,
senja, dan langit baratnya)
BRUK
tubuhku terhepas ditengah ilalang-ilalang
setinggi pinggang. ia sendiri menghempaskan tubuhnya jauh lebih dulu dariku.
kami memejamkan mata bersama, merasakan angin malam yang sesungguhnya mampu
menusuk pori-pori kulit dengan dinginnya. namun entah malam ini yang aneh atau
kehadirannya yang selalu membawa kehangatan seperti senja. tak ada dingin. tak
ada lelah meski berlari ribuan kilometer jauhnya. hanya hangat. kehangatan yang
menjalar melalui lengan kokohnya yang sangaja atau tidak sengaja kini menjadi
bantalan kepalaku.
aku menoleh kearahnya. ia masih terpejam namun
tersenyum. aku mengernyit.
“bebas” desahnya lembut, membuatku semakin
mengernyit heran.
“Alvin”
“hmmmm”
“orang-orang berejas tadi…” ia membuka matanya
dan menoleh kearahku.
mata sipitnya yang selalu menyorot tajam, kali
ini melembut. mata itu terlihat lebih meneduh, membawaku tergerus ke kenyamanan
yang tiada tara. sungguh apapun bentuk sorotan mata sipit itu –baik tajam
ataupu lembut aku menyukainya.
“mereka anjing-anjing penjagaku.”
“ma… mak…s”
“lupakan, aku ingin bebas malam ini.” ujarnya
santai sambil kembali mengalihkan tatapannya. dan ia kembali menutup matanya.
sementara aku lebih suka melihatnya, meskipun kini ribuan bintang bertabur indah bagai intan berlian diatas
angkasa. ia tetap yang terindah. menatap wajahnya tetap yang paling menarik
minatku.
“namamu?.” tanyanya tanpa mengganti posisi atau
membuka mata.
“sivia azizah, panggil sivia atau via.”
+++++++++++++++
namanya
Alvin Jonathan. dan aku Sivia Azizah. kalau nama kami disingkat akan menjadi
‘alvia’. Alvin, sivia. dua nama panggilan yang kebetulan teridiri dari 5 huruf. dan
dari nama kami kalian akan menemukan 3 huruf yang sama dan 3 huruf yang berbeda. kebetulan
lainnya yang luar biasa dari kami, kami sama-sama bermata sipit –meski matanya
hampir segaris, kami sama-sama berkulit putih –meski kulitnya terkesan putih
pucat, dan yang terpenting kami sama-sama baru saling mengenal. namun bedanya
mungkin hanya aku yang tertarik padanya, mencintainya, dan mengagumi kesempurnaanya.
Alvin
dan sivia.
++++++++++++++
aku menggosok kedua lenganku yang hanya
terbalut lengan pendek baju seragam sekolah yang masih kukenakan. Alvin
berjalan disampingkun dengan stay cool yang keliatan banget songongnya. ck-_-
laki-laki ini.
“kau kenapa?” tanyanya santai. “kedinginan?
heh! makanya lain kali bawa jaket kalau keluar rumah.”
“ini kan juga gara-gara kamu, malah ngeledek
lagi.” kataku sebal. “kalau kau tak lupa ingatan, tadi kau yang manarik
tanganku sembarangan dan disinilah aku sekarang, dijalanan bersama orang yang
baru ku kenal. ha ha ha lucu sekali.”
“kalau kau tak mau, kau bisa pulang dari tadi.”
“ciiih-_- kau pikir aku tau jalan pulang?
tempat tadi saja baru kali ini ku datangi.”
“ho’oh”
ck-_- ternyata oh ternyata laki-laki yang ku
puja karena kesempurnaannya ini benar-benar menyebalkan. aku ingin sekali
menendangnya biar dia tak dekat-dekat denganku.
“kau menyebalkan sekali.” umpatku kesal sambil
menghentakkan kaki, berjalan lebih cepat dan meninggalkannya yang masih
berjalan santai dengan songongnya.
“ngambekan ternyata” Alvin mempercepat jalannya
hingga langkahnya sejajar dengan langkahku. “nih pakai.” ia melepaskan jaket
hitam polosnya dan menyampirkannya di tubuhku.
Aku terkesiap. ku hentikan langkahku yang
otomatis membuat langkahnya terhenti. dengan sedikit mendongak, aku mencoba
melihatnya. ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan seakan ia
mengikhlaskan jaketnya untukku pakai. aku balas tersenyum dan kembali berjalan.
kami berjalan dalam diam. memperhatikan jalanan
yang diterangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seperti bintang. sesekali
aku meliriknya, memperhatikan dia yang berjalan disampingku. dan baru ksuadari
ia menggunakan seragam yang sama denganku. apa…
“kau satu sekolah denganku?.”
“seperti yang kau pikirkan.”
“tapi aku
tak pernah melihatmu.”
“terus?.”
“aku tak percaya kau satu sekolah denganku.”
“kau pikir siapa gadis yang sering kulihat
dihukum karena telat” ia menyeringai. “dan hari ini adalah ke- sepuluh kalinya
gadis itu dihukum karena terlambat dalam kurun waktusebulan terakhir.”
“kau…”
“sering melihatmu dari atap gedung sekolah.”
“jadi…”
“kita satu sekolah”
aku melongo, dia satu sekolah denganku dan
sering melihatku dihukum. terlebih dia tahu hari adalah kesepuluh kalinya aku
dihukum karena terlambat. ahhh! baiklah…
“hoaaam baiklah aku percaya sekarang.” gumamku
tidak jelas karena berbicara sambil menguap menahan kantuk.
“kau mengantuk?”
aku mengangguk mengiyakan. kemudian ia berjalan
satu langkah didepanku dan berjongkok tepat dihadapanku. aku mengernyit
bingung, tidak mengerti dengan apa yang sedang ia lakukan.
“naiklah.” perintahnya.
“ta… tapi…”
“tak apa, punggungku cukup empuk untuk
dijadikan sandaran tidur.” katanya meyakinkan.
dengan ragu aku naik kepunggungnya,
mengalungkan tanganku dilehernya. punggung kokohnya benar-benar nyaman untuk
dijadikan sandaran tidur, terlebih aroma tubuhnya yang memabukkan dan membuatku
merasa candu untuk terus menghirupnya.
perlahan aku menutup mata namun belum
benar-benar terlelap. masih dapat kudengar samar suaranya yang menyenandungkan
sebuah lagu. dan jujur saja suara senandungnya membuatku semakin larut dalam bunga
tidur. terlebih kehangatan tubuhnya benar-benar menyelimuti tubuhku dibalik
jaket. demi Tuhan inilah tidur paling menyenangkan dan paling menyenyakan yang
pernah kurasakan selama aku hidup. aku ingin kembali merasakannya di malam-malam
yang lain.
++++++++++++++++
namanya
Alvin Jonathan. laki-laki yang merelakan kehangatannya demi mengusik dinginnya
malam yang menusuk pori-pori kulit tubuhkuku. laki-laki yang ingin lagi
kurasakan kehangatan sentuhannya. laki-laki yang kehangatannya tetap mengalir
meski tak lagi kusentuh tubuhnya, meski tak lagi kudapati dirinya bersamaku,
meski tak lagi ada dia yang menghangatkanku.
++++++++++++
“ng……….”
sinar matahari tak segan-segan membangunkanku
pagi ini. sisa gelap kemarin malam langsung sirna begitu mataku
mengerjap-ngerjap kecil. aku melihat sekeliling sambil mengumpulkan nyawa.
sekali lagi aku mengerjap-ngerjap pelan. dan barulah aku sadar dimana tempatku
saat ini…
kamarku?
kenapa aku bisa ada disini? bukankah kemarin
malam aku bersama dengan Alvin? lalu? kenapa bisa?
aku segera bangun dari tempat tidur, lalu
berjalan keluar kamar dan menuruni tangga kelantai satu. segera kulangkahkan
kaki keruang makan, mencari salah satu orang rumah yang bisa menjelaskan kenapa
aku bisa tertidur lelap dikamar.
“pagi non via.” sapa seorang wanita paruh baya
sambil menyiapkan sepotong roti untuk majikannya.
“eh iya, pagi bi.” balasku linglung. aku segera
mendudukan diri dimeja makan sambil mencomot roti selai nanas kesukaanku. “eh
bi, via mau nanya. kenapa via bisa dikamar bukannya kemarin via sama ng….”
“sama den ganteng?.”
“den ganteng? maksud bibi, Alvin?.”
“iya kali non, bibi gak tau namanya. kemarin
malem emang ada yang nganter non via pulang, orangnya ganteng banget.”
“kenapa nggak bangunin via?.”
“bibi udah mau bangunin, tapi temen non via
bilang nggak usah, terus dia pamit pulang.”
aku diam. roti yang tadi sedang berada dalam
tanganku langsung kulepas begitu saja. dengan langkah cepat aku memilih
meninggalkan ruang makan, berniat kembali kekamar.
beribu-ribu pertanyaan menjejal dikepalaku?
seolah berputar dan terus menuntut untuk dijawab. laki-laki itu terlalu
misterius. Alvin jonathan.
aku merebahkan kembali tubuhku di kasur.
mengingat momen-momen hari kemarin yang entah mengapa sangat kurindukan. aku
bangun kembali. berdiri dan mendekat kearah cermin besar di kamarku.
baru kusadari, tubuhku masih terbalut jaket
hitam polosnya. pantas saja kehangatanya, sentuhannya, dan aromanya, masih bisa
kurasakan dengan jelas. kupeluk erat tubuhku sendiri, menciumi aroma jaket yang
membalut tubuhku. ahhh!!! aromanya membuatku merindukannya…
++++++++++++++++
namanya
Alvin Jonathan. laki-laki yang hadir dan hilang begitu saja dalam hidupku.
laki-laki yang tanpa kusadari langsung menjadi bagian puzzle yang paling
berarti dalam hidupku. laki-laki layaknya jingga yang menjadi penyempurna sang
senjaku.
+++++++++++++++++
hujan terus beriringan jatuh menghempas bumi.
langit barat tak lagi sekemilau hari-hari yang lalu. tak ada senja yang
menggantung disana, hanya awan gelap yang menyirnakan warna jingganya senja.
gelap dan dingin.
semua kehangatan beranjak meninggalkan tubuhku,
seperti jingga yang lenyap bersama senjanya. aku hanya terpaku menatap rintikan
hujan diluar kamar. air-air langit itu seakan enggan meninggalkan bumi meski
nanti airnya menggenang tak mendapat tempat penyerapan. deraian cepatnya seakan
memaksa setiap orang untuk ikut larut bersama harapan diluar rumah. dan
memaksaku untuk menyukai hujan meskipun aku lebih menyukai senja dan jingga.
aku memeluk tubuh sendiri seperti tak lagi ada
penghangat yang bagai penawar. hanya sebuah jaket hitam polos yang menyerap
dingin meski daya tamping tak mampu. seperti kerinduanku pada sosok itu. kerinduan
yang seakan tak lagi mendapat daya tampung dihatiku. terlalu banyak. dan hampir
membunuhku karena terlalu sesak dan penuh.
dia hilang. tak lagi menjadi penawar pagiku
untuk terbangun seperti biasa.
setelah waktu itu. 1 hari dan 1 malam yang
sangat berarti dalam hidupku. ia tak lagi dapat kutemui. tidak diruang tunggu
rumah sakit, tidak ada siluetnya diatap gedung sekolah, tidak ada dia yang
menghampiriku dihalte, tidak kutemui dia menarik tanganku untuk berlari
bersama, tidak juga kudapati dirinya tidur disampingku bersama ilalang-ilalang
yang bergoyang, tidak kurasakan lagi sentuhannya secara nyata. dia hilang,
tidak lagi dalam jangkauanku, seakan lenyap dan hanya tinggal mimpi.
semuanya hanya tinggal kenangan.
ia seperti mimpi indah yang nyata.
ia seperti khayalan semu yang terasa.
ia seperti oasis sempurna ditengah adang
ilalang.
ia jauh namun terjangkau.
ia hilang namun masih ada.
ia tak terlihat namun hadir.
ia puzzle semu yang tidak mempunyai tempat
namun dibutuhkan.
ia satu hari yang sama seperti hari lain namun lebih
berarti.
ia bukan seribu malam yang kubutuhkan namun
satu malam yang berkesan.
ia laki-laki pertama dan terakhir yang
membuatku jatuh cinta. ia temanku berjalan, sahabatku berlari, dan kekasihku
sepanjang jalan. ia jinggaku, penyempurna warna senjaku. ia langit barat
tempatku berlabuh kelak. ia …..
laki-laki
yang menjadi alasanku tak dapat mencintai hujan karena tempatnya dilangit barat
bersama senja.ia senja yang bersanding bersama jingga, ditempat dan posisi yang
sama di langit barat.
ia……
namanya
Alvin Jonathan. cukup panggil Alvin.
-----------THE
END--------
dan ini oneshoot tergaje saya yang endingnya
gantung T.T
jalan ceritanya nggak jelas, endingnya berantakan
karena ngga ada kejelasan…
yang terakhir ini onshoot yang Cuma modal kata
dan membosankan…
maaf yang udah baca J