Selasa, 15 Oktober 2013

Lebih Dariku (HRWaMG)




(Part of He Returned With a Muslim Girl)


Langit sedang bersahabat Sore ini, setelah beberapa jam tadi tak henti-hentinya menurunkan air mata dan mengamuk dengan kilatnya. Sivia memanfaatkan waktu sorenya dengan berjalan-jalan di taman kota. Kaki jenjangnya mengayun lembut seperti mengikuti alunan musik klasik yang didengarnya melalui headset yang terhubungan langsung dengan Ipod Touch putih yang tidak pernah absen dari genggamannya.

Senyuman manis mengembang  dari bibir munyil sivia, ketika tatapan matanya berhenti pada langit barat. Layaknya menantang keelokan senja yang masih menggantung di barat, sivia menatapnya dengan amat tajam, seperti enggan memberikan sebuah kemenangan untuk keelokan mutlak fenomena umum tersebut. Namun tidak bisa, ia rasa dirinya tidak akan mampu menandingi senja. Ah! untuk apa menandinginya, bukankah karena keelokan yang tak tertandingi itulah yang membuat gadis tersebut sangat tergila-gila padanya, pada keelokan senja yang tetap terlihat meski gelap sedang mengintip dari berbagai arah dan siap melumatnya dalam gulita berkepanjangan.

Rasanya sudah lama Ia ingin menjadi senja. Senja yang tetap elok meski malam menantangnya di ujung waktu, meski pada akhirnya ia akan kalah dan pasrah ditelan bulat-bulat oleh gelap. Jika kelak ia dapat seperti senja, maka ia ingin Alvin –lah yang menjadi jingganya, menjadi penyempurna keelokannya sepanjang umur senja setelah meninggi dan menggapai puncak kebahagiaan layaknya Matahari siang hari.

“Bodoh” maki sivia pada dirinya, ia mengalihkan pandangannya dari senja. “Kenapa kau masih memikirkan laki-laki itu, sivia! sudah jelas kalian berbeda! tidak ada takdir yang akan membuat kalian bersama!.” Sivia kembali memaki dirinya, merutuki dirinya yang selama ini tidak pernah bisa melupakan Alvin. Bahkan beberapa detik yang lalu, Ia sudah berani beranda-andai lagi tentang laki-laki itu.

Tanpa kembali menatap barat, Sivia kemudian memutar tubuhnya, berbalik,membelakangi senja  dan hendak melangkah pergi ketika langkahnya tercekat sebelum kakinya bergerak seinci pun. Laki-laki itu. Baru saja ia memikirkannya, sekarang ia malah melihat laki-laki itu sedang berjalan didepannya. Sivia membeku ditempat. Meskipun laki-laki itu memunggunginya dan berjalan cukup jauh didepannya, Ia tetap mengenali laki laki itu.

DEG!!

Alvin.

Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak mungkin! kau pasti berhalusinasi karena terus memikirkannya, Sivia menjerit dalam hati. Laki-laki yang ia sangka adalah Alvin tersebut berjalan semakin jauh, punggung kokohnya hampir menghilang dari jarak pandang Sivia. Tidak mau kehilangan jejaknya sedikitpun, Dengan langkah cepat  sivia berjalan mengikuti laki-laki tersebut.

DEG!!

Dada sivia terasa dihantam batu yang beratnya berton-ton ketika melihat laki-laki itu menghampiri seorang wanita yang duduk anteng disalaha satu meja kafe diseberang jalan tempat sivia berdiri. Sakit. Rasanya ingin mati saja begitu melihat wanita tersebut mencium pipi Alvin dengan ringan, mencubit pipi putih laki-laki tersebut, lalu tertawa penuh kemenangan –seperti menunjukan pada sivia bahwa Alvin adalah milik wanita tersebut.

Tidak! pasti kau salah lihat, sivia.

Tubuh Sivia mendadak terasa lemas. Ia  jatuh tertunduk. Tangannya terangkat lemas, meremas bagian dadanya yang tidak lagi terasa kosong, namun terasa penuh oleh sesak, hingga  rasanya hampir meledak. Rasa sakit yang berlipat ganda menghujam hatinya, membuatnya menangis bisu. Dipandangnya dengan nanar tubuh Alvin dan gadis tersebut.

Mengapa Alvin bersama gadis tersebut? Bukankah mereka berbeda? Alvin masih dengan kalung salib yang melingkar sempurna di lehernya, sementara wanita tersebut dengan hijab yang menutupi seluruh auratnya. Sivia menutup matanya, merasakan bagaimana rasa sakit di hatinya menjalar keseluruh tubuh hingga ke kepalanya. Otaknya berputar dengan deretan pertanyaan yang menanti untuk dijawab.

Bukankah dulu laki-laki itu tidak menyambut cintanya karena alasan perbedaan tersebut?. Antara Salib dan Tasbih. bukankah karena perbedaan tersebut jua yang membuat benteng tinggi diantara cintanya dan laki-laki itu? lantas mengapa laki-laki itu sekarang malah menembus benteng perbedaan tersebut bukan untuk dirinya, melainkan untuk wanita lain –wanita muslim yang bahkan berhijab.

“Akhhhhh” jerit sivia ketika tubuhnya terasa ditarik cepat kebelakang bersamaan dengan sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi yang hampir saja menyerepet tubuhnya.

Sivia memejamkan matanya, merasakan tubuhnya terjatuh menimpa sesuatu yang langsung menyalurkan rasa hangat keseluruh tubuhnya.

“Kalau kau mau bunuh diri….”

DEG!

Sivia membeku. Suara berat itu menyapa gendang telinganya, mengalun masuk ke seluruh system sarafnya dan melumpuhkan segalanya, bahkan terasa dapat melumpuhkan waktu. Ia mengenal pemilik suara itu, sungguh ia mengenalnya.

“jangan dihadapanku.”

Alvin.

Suara itu milik Alvin. Ia tahu benar karena ia selalu merindukan suara berat laki-laki itu. Selain suaranya, Sivia juga mengenal aroma maskulin tubuh laki-laki itu, aroma memabukan yang membuatnya jatuh semakin dalam ke jurang keterpesonaan.

Apa ini mimpi?

jika ia, tolong jangan bangunkan aku.

Aku rela hidup dalam mimpi jika rasanya senyata ini.

“buka matamu, Sivia.”

Perlahan, sivia membuka matanya. Namun kembali menutupnya. Ia takut, takut kalau semuanya hanya mimpi dan ketika matanya benar-benar terbuka, ia akan terbangun dari mimpi tersebut, mimpi ketika ia merasakan kehangatan tubuh orang yang dirindunya, mimpi ketika ia mendengar suara berat yang selalu ingin ia dengarkan, mimpi….

“kau bisa menutup matamu selama yang kau mau setelah kau bangun dari tubuhku, sivia.”

Suara berat beriringan dengan hembusan nafas ringan yang menerpa permukaan leher sivia, menimbulkan sensasi menggelitik diseluruh tubuhnya, membuat sivia ingin tertawa hingga menangis saja. Ia benar-benar masih belum percaya bahwa laki-laki yang sedang ditindihnya ini adalah orang yang ia rindu.

“sivia”

Kali ini sivia benar-benar sadar dari rasa bahagia yang melumpuhkannya. Kembali ia coba membuka matanya seiring dengan melonggarnya dekapan hangat dari sepasang tangan yang baru beberapa detik yang lalu melingkar diperutnya.

Sivia bangun dari posisinya. Baru saja ia sadari bahwa dari tadi ia menindih –dengan posisi membelakangi tubuh yang ditindihnya. Setelah berhasil berdiri tegap, dengan kikuk sivia menyodorkan tangannya, berniat membantu Alvin –yang ternyata adalah orang yang ditindihnya.

“maaf” ujarnya kaku.

Alvin hanya mengangguk pelan tanpa melepaskan tatapannya dari wajah sivia. Sivia yang ditatap seperti itu hanya menunduk sambil berusaha menyembunyikan pipinya yang terasa panas, dan dapat ia pastikan kalau sekarang pipinya telah merah merona saking malunya.

“Jika kau berniat bunuh diri, jangan dihadapanku!.” kata Alvin tegas, dari nada seperti tersimpan rasa emosi yang meluap-luap dan kekhawatiran yang kasat.

“ak…u…tid…”

Kehangatan yang tiba-tiba menyelumbungi tubuhnya mengintrupsi perkataan sivia. Tiba-tiba saja Alvin memeluknya, erat dan semakin erat, seperti menandakan bahwa ada rindu yang tersampaikan melalui pelukan hangat tersebut.

“Kau membuatku takut, sivia…”

------------------------------------------------


“Waaah siapa ini?”

Wanita berhijab tersebut terlihat antusias begitu melihat Sivia duduk dihadapannya dengan dituntun Alvin, sementara Alvin langsung menyingkir begitu mengangkat telpon yang beberapa detik lalu masuk ke handponenya.

“kau sudah lama mengenal Alvin?.”

Sivia tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara lembut tersebut menjabah telinganya. Ia menatap wanita berhijab itu dengan tatapan kosong. Wanita cantik dengan wajah yang memancarkan cahaya keikhlasan, begitu berseri-seri.

“hey apa kau bisu?.”

“eh…..”

“dari tadi aku bertanya, tapi kau tidak menjawabnya.” wanita itu merengut, membuat sivia tersenyum kaku.

“maaf…”

“oke, akan ku maafkan asal kau menjawab setiap aku bertanya.” kata wanita itu sambil tersenyum tulus.

Sivia mengangguk kaku. Terasa canggung dengan situasi yang serba mendadak seperti ini. Ketika ia dihadapkan dengan pertemuannya kembali dengan Alvin, yang langsung membuat rasa terpendam itu bangkit dalam sentuhan pertamanya dengan Alvin. Ketika ia menghadapi kenyataan bahwa wanita berhijab dihadapannya ini adalah milik Alvin, yang mampu membuat hatinya hancur. ketika……

“kau mendengarkanku?”

“eh…. apa?” sivia mengalihkan fokusnya ke wanita berhijab tersebut.

“jadi dari tadi aku berbicara kau tak mendengarnya?”

“a…ku… bu…k…..an ma…maksudku…” sivia berujar gugup berusaha menyelesaikan kalimatnya, namun sepertinya percuma. Ia mendesah, lalu menundukan wajahnya.

“ckckck…sepertinya kau sedang asik melamun.” wanita itu berdecak lalu tersenyum geli melihat tingkah sivia yang –menurutnya sangat menggemaskan ketika sedang gugup.

“ya sudah, lupakan…”

Sivia semakin menunduk, merutuki kerja otaknya yang mendadak lemot ketika dihadapkan dengan wanita berijab dihadapannya ini.

“by the way, siapa namamu? kita belum berkenalan dari tadi.” wanita itu menyodorkan tangannya ke hadapan sivia. “Aku Shilla.”

“Sivia.” kata sivia sambil menjabat tangan wanita yang mengaku namanya –shilla tersebut.

“wah… namamu cantik kaya kamu.” kata Shilla kembali terdengar antusias. Dari suaranya yang antusias, sepertinya wanita itu menyimpan sebuah ‘ketertarik’ yang sangat kentara dengan sivia.

sivia tersenyum kaku –lagi mendengar pujian shilla.

‘apa artinya cantik kalau berhadapan dengan orang yanglebih menarik sepertimu.’ kata sivia dalam hati.

“ihhh… lama-lama ngeliatin kamu jadi gemes aku.”

Tiba-tiba shilla mencubit kedua pipi cubby sivia, membuat sivia sedikit terlonjak dengan tingkah tiba-tibanya.

“Jangan asal cubit…” kata Alvin –yang tiba-tiba datang sambil menepis tangan shilla dari pipi sivia.

“sirik banget sih, sivia -nya aja ngga keberatan.” cibir shilla sambil mengerucutkan bibirnya.

“cerewet! ayo pulang, ini sudah petang.”

“yah  ga asik banget sih, rasanya baru beberapa menit yang lalu aku disini.” gerutu shilla.

Alvin memutar bola matanya bosan, kalau saja wanita dihadapannya ini bukan siapa-siapanya, sudah dipastikan akan ia tinggalkan dari tadi dan akan ia tarik tangan gadis yang ada dihadapannya ini. Sivianya… ngomong-ngomong soal sivia, gadis itu hanya diam dan mengambil peran sebagai penonton, melihat adegan yang –menurutnya lumayan romantis itu membuatnya merasa….sakit…. Dengan cepat sivia mengalihkan pandangannya sambil meremas-remas ujung bajunya sebagai pelampiasan emosi….
“sivia ayo ikut pulang dengan kami, nanti Alvin yang akan mengantarkanmu.”

“eh…….”



******


Entah karena waktu yang memihak kepada mereka atau hanya karena takdir dari keberuntungan yang memberikan mereka sedikit peluang untuk merasakan eforia, bersama kembali, hanya mereka berdua, antara Alvin dan sivia. Diam-diam keduanya menikmati suasana seperti ini, dimana kata rindu tak perlu digambarkan dengan kata-kata, hanya dengan berada ditempat yang sama, bersama-sama, rasanya sudah cukup untuk mereka.

“Apa kabar kamu sekarang?” suara Alvin terdengar sedikit tercekat meski ia sudah berusaha untuk setenang mungkin, sesantai mungkin, tanpa memperdulikan pemberontakan besa-besaran dari salah satu bagian dari dirinya yang menginginkannya memeluk sivia.

“ba…baik.”

Sivia menghela nafas….

“tapi tidak sebaik sebelum kamu meninggalkanku.”

Hati Alvin mencelos mendengar jawaban sivia. Ia diam kembali.

Sivia memejamkan matanya, antara menikmati kebersamaan mereka, dan menenangkan suara hatinya yang sudah berteriak-teriak meminta dirinya menyuarakan segala yang terjadi selama laki-laki disampingnya itu meninggalkannya.

“maaf”

dan semuanya kembali diam. kaku. membeku.


******


Sivia menggenggam erat Ipod Touch milik Alvin yang masih berada ditangannya. Matanya melirik tajam jam dinding yang menunjukan pukul 8 malam, menandakan sudah 2 jam belakangan ini ia melamun, mengingat-ngingat pertemuannya dengan Alvin tadi, ketika Alvin mengantarnya pulang, seakan ada rasa tak rela, rasa takut akan ditinggalkan lagi.

“Alvin…. aku…. masih menunggumu….”  

sivia dapat mendengarkan suaranya kembali sebelum ia menutup mobil Alvin tadi, dan bayang-bayang wajah Alvin yang tiba-tiba mengeras ketika mendengar pengakuannya terus bermain dalam otaknya. Ekspresi laki-laki itu tak mapu ia baca.

“masuk dan istirahatlah…. malam….”

dan suara Alvin selanjutnya adalah balasan dari pengakuannya.

Hingga mobil laki-laki itu kemudian beralalu membawa pemiliknya dan hilang dalam kegelapan, Ada rasa sakit yang kembali menyelinap kedalam hatinya. Sivia tau rasa sakit apa itu, rasa sakit karena penantiannya hanya terbalaskan kata tidak penting.

yah! apa semuanya sudah jelas? ya! jelas sakitnya.

apa ini saatnya kau belajar melupakannya? mungkin, jika bisa rasanya ingin amnesia saja.

Tapi… disini… tepat di paru-paruku, aku masih membutuhkannya untuk bernafas, melupakannya berarti melupakan cara untuk bernafas. dan aku tidak bisa.

******