(Part of He Returned With a Muslim Girl)
Langit
sedang bersahabat Sore ini, setelah beberapa jam tadi tak henti-hentinya
menurunkan air mata dan mengamuk dengan kilatnya. Sivia memanfaatkan waktu
sorenya dengan berjalan-jalan di taman kota. Kaki jenjangnya mengayun lembut seperti
mengikuti alunan musik klasik yang didengarnya melalui headset yang terhubungan langsung dengan Ipod Touch putih yang tidak pernah absen dari genggamannya.
Senyuman
manis mengembang dari bibir munyil
sivia, ketika tatapan matanya berhenti pada langit barat. Layaknya menantang
keelokan senja yang masih menggantung di barat, sivia menatapnya dengan amat
tajam, seperti enggan memberikan sebuah kemenangan untuk keelokan mutlak fenomena
umum tersebut. Namun tidak bisa, ia rasa dirinya tidak akan mampu menandingi senja.
Ah! untuk apa menandinginya, bukankah karena keelokan yang tak tertandingi
itulah yang membuat gadis tersebut sangat tergila-gila padanya, pada keelokan
senja yang tetap terlihat meski gelap sedang mengintip dari berbagai arah dan
siap melumatnya dalam gulita berkepanjangan.
Rasanya
sudah lama Ia ingin menjadi senja. Senja yang tetap elok meski malam
menantangnya di ujung waktu, meski pada akhirnya ia akan kalah dan pasrah
ditelan bulat-bulat oleh gelap. Jika kelak ia dapat seperti senja, maka ia
ingin Alvin –lah yang menjadi jingganya, menjadi penyempurna keelokannya
sepanjang umur senja setelah meninggi dan menggapai puncak kebahagiaan layaknya
Matahari siang hari.
“Bodoh” maki sivia pada dirinya, ia
mengalihkan pandangannya dari senja. “Kenapa
kau masih memikirkan laki-laki itu, sivia! sudah jelas kalian berbeda! tidak
ada takdir yang akan membuat kalian bersama!.” Sivia kembali memaki
dirinya, merutuki dirinya yang selama ini tidak pernah bisa melupakan Alvin.
Bahkan beberapa detik yang lalu, Ia sudah berani beranda-andai lagi tentang
laki-laki itu.
Tanpa
kembali menatap barat, Sivia kemudian memutar tubuhnya, berbalik,membelakangi
senja dan hendak melangkah pergi ketika
langkahnya tercekat sebelum kakinya bergerak seinci pun. Laki-laki itu. Baru
saja ia memikirkannya, sekarang ia malah melihat laki-laki itu sedang berjalan
didepannya. Sivia membeku ditempat. Meskipun laki-laki itu memunggunginya dan
berjalan cukup jauh didepannya, Ia tetap mengenali laki laki itu.
DEG!!
Alvin.
Gadis itu
menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak
mungkin! kau pasti berhalusinasi karena terus memikirkannya, Sivia menjerit
dalam hati. Laki-laki yang ia sangka adalah Alvin tersebut berjalan semakin
jauh, punggung kokohnya hampir menghilang dari jarak pandang Sivia. Tidak mau
kehilangan jejaknya sedikitpun, Dengan langkah cepat sivia berjalan mengikuti laki-laki tersebut.
DEG!!
Dada sivia
terasa dihantam batu yang beratnya berton-ton ketika melihat laki-laki itu
menghampiri seorang wanita yang duduk anteng disalaha satu meja kafe diseberang
jalan tempat sivia berdiri. Sakit. Rasanya ingin mati saja begitu melihat
wanita tersebut mencium pipi Alvin dengan ringan, mencubit pipi putih laki-laki
tersebut, lalu tertawa penuh kemenangan –seperti menunjukan pada sivia bahwa
Alvin adalah milik wanita tersebut.
Tidak! pasti kau salah lihat, sivia.
Tubuh
Sivia mendadak terasa lemas. Ia jatuh
tertunduk. Tangannya terangkat lemas, meremas bagian dadanya yang tidak lagi
terasa kosong, namun terasa penuh oleh sesak, hingga rasanya hampir meledak. Rasa sakit yang
berlipat ganda menghujam hatinya, membuatnya menangis bisu. Dipandangnya dengan
nanar tubuh Alvin dan gadis tersebut.
Mengapa
Alvin bersama gadis tersebut? Bukankah mereka berbeda? Alvin masih dengan
kalung salib yang melingkar sempurna di lehernya, sementara wanita tersebut
dengan hijab yang menutupi seluruh auratnya. Sivia menutup matanya, merasakan
bagaimana rasa sakit di hatinya menjalar keseluruh tubuh hingga ke kepalanya.
Otaknya berputar dengan deretan pertanyaan yang menanti untuk dijawab.
Bukankah
dulu laki-laki itu tidak menyambut cintanya karena alasan perbedaan tersebut?.
Antara Salib dan Tasbih. bukankah karena perbedaan tersebut jua yang membuat
benteng tinggi diantara cintanya dan laki-laki itu? lantas mengapa laki-laki
itu sekarang malah menembus benteng perbedaan tersebut bukan untuk dirinya,
melainkan untuk wanita lain –wanita muslim yang bahkan berhijab.
“Akhhhhh”
jerit sivia ketika tubuhnya terasa ditarik cepat kebelakang bersamaan dengan
sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi yang hampir saja menyerepet
tubuhnya.
Sivia
memejamkan matanya, merasakan tubuhnya terjatuh menimpa sesuatu yang langsung menyalurkan
rasa hangat keseluruh tubuhnya.
“Kalau kau
mau bunuh diri….”
DEG!
Sivia
membeku. Suara berat itu menyapa gendang telinganya, mengalun masuk ke seluruh
system sarafnya dan melumpuhkan segalanya, bahkan terasa dapat melumpuhkan
waktu. Ia mengenal pemilik suara itu, sungguh ia mengenalnya.
“jangan
dihadapanku.”
Alvin.
Suara itu
milik Alvin. Ia tahu benar karena ia selalu merindukan suara berat laki-laki
itu. Selain suaranya, Sivia juga mengenal aroma maskulin tubuh laki-laki itu, aroma
memabukan yang membuatnya jatuh semakin dalam ke jurang keterpesonaan.
Apa ini
mimpi?
jika ia,
tolong jangan bangunkan aku.
Aku rela
hidup dalam mimpi jika rasanya senyata ini.
“buka
matamu, Sivia.”
Perlahan,
sivia membuka matanya. Namun kembali menutupnya. Ia takut, takut kalau semuanya
hanya mimpi dan ketika matanya benar-benar terbuka, ia akan terbangun dari
mimpi tersebut, mimpi ketika ia merasakan kehangatan tubuh orang yang
dirindunya, mimpi ketika ia mendengar suara berat yang selalu ingin ia
dengarkan, mimpi….
“kau bisa
menutup matamu selama yang kau mau setelah kau bangun dari tubuhku, sivia.”
Suara
berat beriringan dengan hembusan nafas ringan yang menerpa permukaan leher
sivia, menimbulkan sensasi menggelitik diseluruh tubuhnya, membuat sivia ingin
tertawa hingga menangis saja. Ia benar-benar masih belum percaya bahwa
laki-laki yang sedang ditindihnya ini adalah orang yang ia rindu.
“sivia”
Kali ini
sivia benar-benar sadar dari rasa bahagia yang melumpuhkannya. Kembali ia coba
membuka matanya seiring dengan melonggarnya dekapan hangat dari sepasang tangan
yang baru beberapa detik yang lalu melingkar diperutnya.
Sivia
bangun dari posisinya. Baru saja ia sadari bahwa dari tadi ia menindih –dengan
posisi membelakangi tubuh yang ditindihnya. Setelah berhasil berdiri tegap,
dengan kikuk sivia menyodorkan tangannya, berniat membantu Alvin –yang ternyata
adalah orang yang ditindihnya.
“maaf”
ujarnya kaku.
Alvin
hanya mengangguk pelan tanpa melepaskan tatapannya dari wajah sivia. Sivia yang
ditatap seperti itu hanya menunduk sambil berusaha menyembunyikan pipinya yang
terasa panas, dan dapat ia pastikan kalau sekarang pipinya telah merah merona
saking malunya.
“Jika kau
berniat bunuh diri, jangan dihadapanku!.” kata Alvin tegas, dari nada seperti
tersimpan rasa emosi yang meluap-luap dan kekhawatiran yang kasat.
“ak…u…tid…”
Kehangatan
yang tiba-tiba menyelumbungi tubuhnya mengintrupsi perkataan sivia. Tiba-tiba
saja Alvin memeluknya, erat dan semakin erat, seperti menandakan bahwa ada
rindu yang tersampaikan melalui pelukan hangat tersebut.
“Kau membuatku takut, sivia…”
------------------------------------------------
“Waaah
siapa ini?”
Wanita
berhijab tersebut terlihat antusias begitu melihat Sivia duduk dihadapannya
dengan dituntun Alvin, sementara Alvin langsung menyingkir begitu mengangkat
telpon yang beberapa detik lalu masuk ke handponenya.
“kau sudah
lama mengenal Alvin?.”
Sivia
tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara lembut tersebut menjabah
telinganya. Ia menatap wanita berhijab itu dengan tatapan kosong. Wanita cantik
dengan wajah yang memancarkan cahaya keikhlasan, begitu berseri-seri.
“hey apa
kau bisu?.”
“eh…..”
“dari tadi
aku bertanya, tapi kau tidak menjawabnya.” wanita itu merengut, membuat sivia
tersenyum kaku.
“maaf…”
“oke, akan
ku maafkan asal kau menjawab setiap aku bertanya.” kata wanita itu sambil
tersenyum tulus.
Sivia
mengangguk kaku. Terasa canggung dengan situasi yang serba mendadak seperti
ini. Ketika ia dihadapkan dengan pertemuannya kembali dengan Alvin, yang
langsung membuat rasa terpendam itu bangkit dalam sentuhan pertamanya dengan
Alvin. Ketika ia menghadapi kenyataan bahwa wanita berhijab dihadapannya ini
adalah milik Alvin, yang mampu membuat hatinya hancur. ketika……
“kau
mendengarkanku?”
“eh….
apa?” sivia mengalihkan fokusnya ke wanita berhijab tersebut.
“jadi dari
tadi aku berbicara kau tak mendengarnya?”
“a…ku…
bu…k…..an ma…maksudku…” sivia berujar gugup berusaha menyelesaikan kalimatnya,
namun sepertinya percuma. Ia mendesah, lalu menundukan wajahnya.
“ckckck…sepertinya
kau sedang asik melamun.” wanita itu berdecak lalu tersenyum geli melihat
tingkah sivia yang –menurutnya sangat menggemaskan ketika sedang gugup.
“ya sudah,
lupakan…”
Sivia
semakin menunduk, merutuki kerja otaknya yang mendadak lemot ketika dihadapkan
dengan wanita berijab dihadapannya ini.
“by the
way, siapa namamu? kita belum berkenalan dari tadi.” wanita itu menyodorkan
tangannya ke hadapan sivia. “Aku Shilla.”
“Sivia.”
kata sivia sambil menjabat tangan wanita yang mengaku namanya –shilla tersebut.
“wah…
namamu cantik kaya kamu.” kata Shilla kembali terdengar antusias. Dari suaranya
yang antusias, sepertinya wanita itu menyimpan sebuah ‘ketertarik’ yang sangat
kentara dengan sivia.
sivia tersenyum
kaku –lagi mendengar pujian shilla.
‘apa artinya cantik kalau berhadapan dengan
orang yanglebih menarik sepertimu.’ kata sivia dalam hati.
“ihhh…
lama-lama ngeliatin kamu jadi gemes aku.”
Tiba-tiba
shilla mencubit kedua pipi cubby sivia, membuat sivia sedikit terlonjak dengan
tingkah tiba-tibanya.
“Jangan
asal cubit…” kata Alvin –yang tiba-tiba datang sambil menepis tangan shilla
dari pipi sivia.
“sirik
banget sih, sivia -nya aja ngga keberatan.” cibir shilla sambil mengerucutkan
bibirnya.
“cerewet!
ayo pulang, ini sudah petang.”
“yah ga asik banget sih, rasanya baru beberapa
menit yang lalu aku disini.” gerutu shilla.
Alvin
memutar bola matanya bosan, kalau saja wanita dihadapannya ini bukan
siapa-siapanya, sudah dipastikan akan ia tinggalkan dari tadi dan akan ia tarik
tangan gadis yang ada dihadapannya ini. Sivianya… ngomong-ngomong soal sivia,
gadis itu hanya diam dan mengambil peran sebagai penonton, melihat adegan yang
–menurutnya lumayan romantis itu membuatnya merasa….sakit…. Dengan cepat sivia
mengalihkan pandangannya sambil meremas-remas ujung bajunya sebagai pelampiasan
emosi….
“sivia ayo
ikut pulang dengan kami, nanti Alvin yang akan mengantarkanmu.”
“eh…….”
******
Entah
karena waktu yang memihak kepada mereka atau hanya karena takdir dari
keberuntungan yang memberikan mereka sedikit peluang untuk merasakan eforia,
bersama kembali, hanya mereka berdua, antara Alvin dan sivia. Diam-diam
keduanya menikmati suasana seperti ini, dimana kata rindu tak perlu digambarkan
dengan kata-kata, hanya dengan berada ditempat yang sama, bersama-sama, rasanya
sudah cukup untuk mereka.
“Apa kabar
kamu sekarang?” suara Alvin terdengar sedikit tercekat meski ia sudah berusaha
untuk setenang mungkin, sesantai mungkin, tanpa memperdulikan pemberontakan
besa-besaran dari salah satu bagian dari dirinya yang menginginkannya memeluk sivia.
“ba…baik.”
Sivia
menghela nafas….
“tapi
tidak sebaik sebelum kamu meninggalkanku.”
Hati Alvin
mencelos mendengar jawaban sivia. Ia diam kembali.
Sivia
memejamkan matanya, antara menikmati kebersamaan mereka, dan menenangkan suara
hatinya yang sudah berteriak-teriak meminta dirinya menyuarakan segala yang
terjadi selama laki-laki disampingnya itu meninggalkannya.
“maaf”
dan
semuanya kembali diam. kaku. membeku.
******
Sivia
menggenggam erat Ipod Touch milik Alvin yang masih berada
ditangannya. Matanya melirik tajam jam dinding yang menunjukan pukul 8 malam,
menandakan sudah 2 jam belakangan ini ia melamun, mengingat-ngingat
pertemuannya dengan Alvin tadi, ketika Alvin mengantarnya pulang, seakan ada
rasa tak rela, rasa takut akan ditinggalkan lagi.
“Alvin…. aku….
masih menunggumu….”
sivia dapat mendengarkan suaranya kembali
sebelum ia menutup mobil Alvin tadi, dan bayang-bayang wajah Alvin yang
tiba-tiba mengeras ketika mendengar pengakuannya terus bermain dalam otaknya.
Ekspresi laki-laki itu tak mapu ia baca.
“masuk dan istirahatlah…. malam….”
dan suara
Alvin selanjutnya adalah balasan dari pengakuannya.
Hingga
mobil laki-laki itu kemudian beralalu membawa pemiliknya dan hilang dalam
kegelapan, Ada rasa sakit yang kembali menyelinap kedalam hatinya. Sivia tau
rasa sakit apa itu, rasa sakit karena penantiannya hanya terbalaskan kata tidak
penting.
yah! apa
semuanya sudah jelas? ya! jelas sakitnya.
apa ini
saatnya kau belajar melupakannya? mungkin, jika bisa rasanya ingin amnesia
saja.
Tapi…
disini… tepat di paru-paruku, aku masih membutuhkannya untuk bernafas,
melupakannya berarti melupakan cara untuk bernafas. dan aku tidak bisa.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar