Selasa, 30 April 2013

NO SAD !!! (prolog)



NO SAD !

Bismillahirrahmanirrahim

_ PROLOG _

“Sivia”
                        Gadis cantik berpipi cabby yang tengah asik dengan gelembung-gelembung balon sabunnya  langsung mengalihkan perhatiannya. Ditatapnya dengan lekat seorang wanita paruh baya yang berdiri diteras rumahnya.
                        “sudah waktunya kamu berangkat ke rumah calon tunanganmu. Cepatlah menata dirimu, ibu tidak mau perjodohanmu batal hanya karna kamu kucel seperti ini.” kata wanita paruh baya yang ternyata ibunya.
                        Tanpa banyak protes, Sivia menurut dan segera meninggalkan aktivitasnya dengan gelembung-gelembung balon sabun yang sering menjadi teman bermain sorenya. Dia langsung berjalan memasuki rumahnya dan bergegas kekamar mandi.
                     
                        Hampir setengah jam kemudian, Sivia sudah menata dirinya dengan membalut tubuhnya menggunakan dress pink-putih bermotif kotak-kotak, menjepitkan pita dengan warna senada tepat di bagian sebelah kanan rambut pendeknya. Ditangan kanannya, Sivia menenteng tas punggung berwarna pink senada juga. Sementara tangan kirinya menggeret sebuah koper besar yang penuh sesak dengan pakaian-pakaiannya.
                        “ibu, Sivia sudah siap.” Kata Sivia
                        Ira, ibunya Sivia melihat penampilan anak gadisnya dari atas sampai bawah. Beliau tersenyum hangat ketika menyadari anak gadisnya begitu cantik dengan balutan dress pink-putih dan jepitan berwarna senada yang dulu dibelikannya saat Sivia berumur 15 tahun. Tidak salah pilihannya dulu, Sivia begitu cocok dengan dress dan jepitan tersebut.
                        “ibu, kenapa melihatku seperti itu ? apa ada yang salah ? Aku takut ibu jatuh cinta padaku kalau ibu menatapku seperti itu.”
                        “hahaha, tidak Sivia, tidak ada yang salah. Sebelum kau berkata seperti itu, ibu sudah jatuh cinta melihatmu, kau cantik sekali.” puji Ira.
                        Sivia tersipu-sipu dengan pujian tersebut, lesung pipi terlihat merona dengan warna pink yang hampir senada dengan warna jepitannya.
 

*******
                     
                        Teriakan penolakan dari Alvin membuat kedua orang tuanya terpelonjak kaget. Sudah lama mereka tidak berhadapan dengan putra semata wayangnya ini. namun sekali berhadapan dan berbica dangannya, mereka hampir jantungan mendengar penolakan Alvin. wajar memang Alvin menolak seperti itu karena begitu berbicara dengan orang tuanya, mereka langsung memberitahukan kalau sebentar lagi calon tunangannya akan datang dan Alvin tidak bisa menolak lagi.
                        “kalian egois. Alvin nggak mau dijodohin seperti ini, Alvin bisa nentuin semuanya nanti. Nggak mendadak seperti ini, apalagi ini masalah tunangan dan kelak akan menjadi istri Alvin.” teriak Alvin.
                        Duta dan Winda –orang tua Alvin- saling berpandangan dan menghela nafas berat. Meskipun mereka tidak sering bertemu dengan Alvin karna sibuk bekerja, tapi mereka cukup tau sikap Alvin yang keras kepala dan susah diatur.
                        “kamu tidak bisa menolak, Alvin.” kata Duta tenang.
                        Alvin berdiri dari duduknya. dia benar-benar marah dengan sikap kedua orang tuanya. Ingin rasanya ia membentak kedua orang tuanya ini, memaki mereka, kalau bisa Alvin juga ingin langsung menerkam kedua orangtuanya dan menelannya hidup-hidup. Tapi mau gimana lagi, Alvin tidak bisa berbuat banyak, tidak bisa melawan, dia bukan tipe anak yang suka berbicara banyak dan melawa.  my life is just simple !! begitulah moto Alvin, jadi Alvin tidak pernah memperbesar masalah, ia akan mengangguk jika terpaksa dan jika menginginkan sesuatu. Selebihnya, let its flow.
                        “tenanglah Alvin, gadis yang kami jodohkan denganmu itu tidak seburuk yang ada dipikaranmu. Lagi pula ini bukan kehendak mama dan papa. Ini perintah omamu.” Kata Winda menenangkan putranya.
                        Apa pun yang dikatakan kedua orang tuanya, Alvin hanya menghela nafas berat dan berlalu meninggalkan mereka. dia berjalan keluar rumah, memasuki mobil yang terparkir depan garasinya. Setelah itu, Alvin melajukan mobilnya dan menghilang dibalik gerbang yang terbuka dan tetutup secara otomatis.

*******

                        Sivia mencoba menenangkan hatinya yang terus saja memintanya untuk menolak perjodohan ini. meskipun dari tadi dia menuruti semua keinginan ibunya, tapi itu bukan berarti Sivia mau dijodohkan dengan laki-laki yang ia sendiri tidak tahu namanya siapa. Kemarin sebenarnya Sivia sudah menolak keinginan ibunya, tapi ibunya tetap bersikukuh untuk menjodohkan Sivia. Alasannya karena itu permintaan oma Sivia sebelum meninggal, menjodohkan Sivia dengan cucu dari sahabatnya, supaya ada jalinan yang mengikat keluarganya dan keluarga sahabatnya itu dan tidak melulu menjadi sahabat, melainkan juga oma Sivia dan oma laki-laki itu ingin menjadi sebuah keluarga melalui perjodohan cucu-cucu mereka.
                        “tenanglah Sivia, perjodohan itu tidak seburuk yang kamu pikirkan.” Kata ira menenangkan anak gadisnya.
                        Melihat wajah gelisah Sivia, ira menjadi kasihan dengan anak gadisnya itu. tapi mau gimana lagi, permintaan almarhum ibunya itu merupakan wasiat sekaligus amanah terakhirnya. Ira juga tidak mungkin membatalkan pejodohan ini,  karena orang tua si laki-laki sudah mempersiapkan segalanya sampai nanti anak-anak mereka bertunangan, menikah, dan berkeluarga.
                     
                        “Sivia, ayo turun. Kita sudah sampai.”
                        Ira menyadarkan Sivia dari lamunannya. “ayo Sivia, kita sudah sampai.” Kata ira mengulang ajakannya yang tadi.
                        Sivia dan Ira keluar dari mobil mereka. halaman yang luas, rumah yang besar dan mewah, serta lapangan bola dan lapangan basket lengkap denganfasilitas-fasilitasnya menyambut pandangan mata mereka ketika keluar. Sivia berdecak kagum melihat rumah dan semuanya, baru kali ini ia melihat rumah selengkap ini.  pasti mengasikan kalau tinggal disini, Kata Sivia girang.
                        “nyonya Ira dan Nona Sivia.” Seseorang menyambut kedatangan mereka. “kalian sudah ditunggu didalam oleh tuan Duta dan Nyonya Winda. Silahkan masuk dan anggap rumah ini seperti rumah kalian.” Kata orang tersebut ramah.
                        Tanpa berkata apa-apa Sivia dan Ira masuk kedalam rumah tersebut, orang yang tadi menyambut mereka atau lebih tepatnya seorang ketua pelayan rumah tersebut menunjukkan jalan ketempat si tuan rumah menunggu mereka.
                        “selamat datang.” Sapa 6 orang pelayan yang berdiri berjejer didepan tangga.
                        Mereka tersenyum hangat menyambut Sivia dan ira.
                        Sivia dan ira balas tersenyum. Mereka tidak bisa berkata apa-apa ketika melihat  isi rumah beserta 6 pelayan yang menyambut mereka.
                        “silahkan nyonya ira dan nona Sivia, tuan Duta sudah menunggu didalam.” kata si kepala pelayan sambil membuka pintu.
                        “iya, terimakasi.” Balas ira.

                        Didalam sebuah ruangan terlihat sepasang suami istri yang seumuran dengan ira –ibu Sivia-. Mereka tersenyum menyambut kedatangan Sivia dan ibunya. Setelah bercipika cipiki, Winda mempersilahkan Sivia dan ibunya untuk duduk.
                        “Sivia azizah.” Panggil Winda memastikan.
                        “iya tante.”
                        “kamu cantik sekali, selamat datang dirumah kami.”
                        Sivia hanya mengangguk.
                        “Sivia, mulai sekarang kamu tinggal disini bersama putra kami. Sementara om dan tante akan membawa ibumu ke paris untuk menyelesaikan semua urusan perusahan yang dirintis oleh omamu dan oma Lani.” Jelas Duta.
                        Lagi-lagi Sivia mengangguk. Dia hanya tersenyum kecut mendengar penjelasan dari Duta. Yang ada dipikkiran Sivia setelah mendengar ia akan tinggal bersama calon tunangannya, pasti hari-harinya akan berjalan luar biasa setelah ini, tinggal berdua dengan laki-laki yang tidak dikenalnya dan memulai Pendekatan dengan paksaan, aahhh ! mengesalkan, pikir Sivia.
                        “yasudah Sivia, sekarang kamu boleh kekamarmu dilantai dua, semua sudah kami siapkan. Hari ini kami akan langsung berangkat ke paris, kau bisa menghubungi kami kapan pun.” Kata Duta lagi.
                        “Sivia, jaga dirimu ya nak, ibu menyayangimu.” Ira memeluk tubuh anak gadisnya sebelum Sivia pergi kekamarnya dengan diantarkan salah satu pelayan yang tadi menyambut kedatangannya.

********

                        Saking Penatnya Alvin menjadi bringas dijalanan, mobil yang dikendarainya melaju diatas kecepatan rata-rata. Dia benar-benar penat mengahadapi kedua orang tuanya, membuat pikirannya benar-benar kacau. Apalagi dengan status perjodohan bodoh yang dijatuhkan untuknya.
                        “arghhhh, kacau.” Teriak Alvin.
                        Mobil yang dikendarainya berhenti tepat dipinggir jalan.

#drrrrrrtdrrrrrrrrtdrrrrrrrt#
                        Alvin melirik handpone yang tergeletak dikursi penumpang disebelahnya. Nama ‘Papa’ yang menghiasi layar handpone tersebut membuatnya malas untuk menyentuh ataupun mengangkat hanpone tersebut. tapi setelah beberapa menit, akhirnya Alvin mengangkat telpon dari papanya.
                        “ada apa ?.” tanya Alvin malas.
                        “Alvin, cepat pulang, calon tunanganmu sudah datang.” Balas orang diseberang telepon.
                     
                        “iya, sebentar lagi Alvin pulang.”
                         “satu lagi, selama papa ke paris kau harus menjaga calon tunanganmu, baik-baik sama dia, awas saja kalo papa dengar kamu macam-macam.” Ancam papanya.
                          “iya.”
                          “yasudah kalo begitu, jaga dirimu dan jaga calon tunanganmu.”

#tuuuuutuuuuutuuuut#
                        Sambungan langsung diputus Alvin tanpa menjawab pesan dari papanya. Lama-lama Alvin merasa gondok dengan tingkah kedua orang tuanya. Sebenarnya apa peduli mereka, Seenaknya saja mereka menjodohkanku, lagi pula selama ini mereka tidak pernah memperdulikanku, omel Alvin dalam hati.
                        Untuk mencari ketenangan, Alvin menutup mata sipitnya. Menarik dan menghembuskan nafasnya perlahan untuk mencari sebuah ketenangan dan melepaskan kepenatannya. Segini saja sudah membuatnya lelah, apalagi harus menjalani perjodohannya nanti, huh !!!


===============NEXT PART==================
  

Senin, 15 April 2013

Heart Of The My Heart (cerpen)



Aku mencintainya karena sebuah kewajiban dan hak!!!
Sebelumnya, dalam mimpi pun aku tidak pernah bermimpi mendapatkannya. Kehadirannya membuatku merasa dilema, antara harus membenci dan mencintainya.  Ya!!! awalnya aku memang tidak pernah menginginkannya ada dalam hidupku, apalagi dia ada karena sebuah hubungan terlarang yang tidak seharusnya kulakukan di usiaku yang begitu dini. Namun pada akhirnya aku menerimanya karena ia berhak mendapatkan cinta dariku dan aku berkewajiban untuk  mencintainya.
Namanya Alvin Jonathan. Laki-laki berusia 15 tahun. Tubuhnya tinggi –sedikit melewati tinggiku. Berkulit Putih Bersih –bahkan tidak memiliki celah sedikit pun untuk setitik lecet atau noda. Mata sipitnya seakan-akan merupakan titisan mata elang yang memiliki ketajaman yang siap membidik mangsa. Garis-garis  lembut wajahnya terkesan mempertegas betapa tidak manusiawinya ketampanan yang dituangkan Tuhan ketika menciptakannya dalam bentuk janin. –Hampir- sempurna! begitulah aku mendiskripsikannya. Namun siapa tau apa yang berada dibalik kesempurnaan tersebut? tidak ada! selain Tuhan dan Aku.
“apa yang kau perhatikan?.” Tanyaku sambil membelai lembut rambutnya.
Sekarang kami sedang bersantai di taman kota –kegiatan yang selalu rutin kami lakukan setiap hari minggu sore. Dengan posisi yang selalu sama, aku yang duduk anteng dan dia yang tiduran dengan pangkuanku sebagai bantalan kepalanya. Untuk beberapa jam kedepan kami tidak akan mengganti posisi ini, meskipun kami seperti dua remaja yang sedang kasmaran.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Alvin malah mendongak dan menatapku dengan ekspresi yang sulitku artikan. Kemudian dia kembali kearah titik focus awalnya. Karena penasaran, aku mengikuti arah focusnya  dan apa yang kulihat cukup membuatku mengerti. aku mengerti…
“berhenti memperhatikannya, itu hanya akan membuatmu sakit.” Kataku lirih.
Alvin bergeming, ia masih tetap focus pada objek awalanya. Seakan-akan objek tersebutlah yang lebih berarti dari pada harus mendengarku. Ia akan selalu begini jika objek-objeknya selalu berhubungan dengan sosok tegap yang seharusnya menemani hidupnya selama 15 tahun ini.
“berhenti memperhatikannya al, please.” Mohonku masih sambil membelai surai hitamnya.
“tidak apa.” Sahuutnya pelan, focusnya masih tidak berubah. “yang disini sudah terlanjur sakit.” Alvin meraih tanganku yang dari tadi asik membelai surai hitamnya. Ia menghentikan gerakan tanganku yang bermain diatas rambutnya dan menuntun tangan tersebut tepat keatas dadanya.
“maafkan mo…”
“tidak apa.” Potongnya.
Ia mendongak sambil tersenyum lembut. “sakitnya tidak seberapa, asalkan yang meninggalkanku bukan mommy.” Ujarnya tulus.
Air mataku lolos begitu saja. Sesungguhnya aku bingung, apa yang membuatku menangis? tangis harukah karena mendengar kalimat terakhirnya? atau tangis sedihkah karena pada kenyataanya aku tahu sesakit apa yang dirasakannya?.
“terimakasih alv, terimakasih.” Aku memeluk tubuhnya karena hanya dengan begitu aku dapat menyampaikan betapa sayangnya aku pada anak laki-laki ini, meskipun dia terlahir karena dosa namun sesungguhnya dia adalah anak yang baik. Anak baik yang aku miliki karena kenistaan.
“terimakasih karena telah lahir dari rahimku.”
“dan aku berterimakasih karena mommy tidak menggugurkanku dulu.”
Aku memeluknya semakin erat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memluknya seperti ini. Aku sungguh bersyukur karena memilikinya Tuhan!. Anak laki-laki ini, Anak laki-laki yang kau titipkan padaku kini telah mengerti segalanya, Anak laki-laki yang kau amanahkan kepadaku kini menjadi peganganku, Anak laki-laki yang tidak kuinginkan dulu, kini menjadi hartaku yang paling berharga.

Semua anak yang terlahir karena nista
Mempunyai hak untuk melihat dunia
Dan aku bersyukur
Karena aku memberikan hak tersebut kepada anakku
Meskipun dulu dia tak kuinginkan
Namun Demi Tuhan yang menitipkannya kepadaku!!
Kini aku bersyukur memilikinya
Aku bersyukur membesarkannya
Aku bersyukur karena ASIku untuknya
Aku tidak menyesal meskipun sempat menyesal


++++++

Alvin berjalan sejajar disampingku. Dari tadi ia memilih untuk diam. Sebenarnya aku tahu ia tidak pernah mau ke acara resmi seperti ini –acara khusus untuk para pembisnis yang selalu rutin diadakan setiap tahun. Dan karena aku seorang pembisnis muda –yang cukup berpengaruh di dunia perbisnisan, aku wajib mengikuti acara ini. Dan karena aku tidak mungkin datang sendiri, jadilah aku selalu mengajak Alvin sebagai pasanganku. Setidaknya dengan posture tubuh ideal Alvin di umurnya yang ke 15, lebih banyak orang yang menganggap kami sebagai Young couple dari pada sebagai pasangan Ibu dan anak.
“Kapan kita bisa pulang?.” tanyanya dengan nada malas.
Aku mendesah kentara. Seharusnya dari awal rencana mengajak Alvin ke acara ini adalah rencana yang buruk, seahrusnya aku mengajak salah satu sahabatku -Rio atau Gabriel. “Kita baru datang Al, acaranya pun belum dimulai.” kataku menjelaskan. kini giliran Alvin yang mendesah kentara.
“sudah jangan mengeluh, nikmati saja acara ini, sekalian kau bisa mencari gadis cantik untuk dikencani disini.” godaku sambil mengerling nakal kearah Alvin.
“gadis cantik?.” Alvin menatapku tak percaya. “bisa kau ralat nona, tak ada gadis cantik disini, sejauh ini yang ku lihat hanya ada tante-tante girang sepertimu.” katanya kesal sambil merengut lucu. Dan aku hanya terkekeh pelan menanggapinya.
Kami berjalan dalam diam setelah perbincangan konyol tadi. Alvin sepertinya berusaha menikmati acara ini dan aku yang memang sudah biasa dengan acara resmi seperti ini hanya bisa menggenggam tangan Alvin –yang entah mengapa selalu membuatku merasa nyaman dan tenang.
Tiba-tiba langkah Alvin berhenti ditengah ruang acara, otomatis membuat langkahku ikut terhenti. Dengan sedikit mendongak, aku menatap wajah Alvin yang terlihat terpaku pada satu objek –objek yang aku sendiri tidak tahu.
“ada apa al?.” dia tidak menjawab.
Dengan penasaran aku mengikuti arah pandangnya. Tepat didepan kami, dengan posisi yang tidak terlalu jauh -hanya beberapa meter dari tempat kami berdiri, ada seorang laki-laki bertubuh kokoh tengah menatap kami dengan tatapan yang sulit diartikan dan Alvin membalas tatapan tersebut dengan arti yang sama –sulit diartikan.
Aku sendiri langsung membeku. Laki-laki itu. Aku mengenalnya, sangat mengenalnya. Bahkan tubuh kokoh itu sempat memberiku kehangatan dan kenikmatan sementara untuku. Garis lembut wajahnya sama percis seperti garis lembut wajah Alvin –membuat Alvin seperti berkaca ketika berhadapan dengan laki-laki itu. Bibir merah meronanya yang menggoda seperti mengingatkanku bahwa akulah salah satu penikmat setianya dulu dan sekarang aku menyesal telah menjadi penikmat setianya.
kenapa ada laki-laki itu disini? kenapa harus dia yang ada di hadapnku?
Kurasakan tubuhku melemas seperti tak lagi bertulang. Energi positif dalam tubuhku seperti terserap habis ditelan kekagetan. Aku benar-benar tak bisa bergerak, oksigen yang seharusnya dapat kuproses untuk bernafas terasa seperti jutaan butir debu yang tidak layak untuk kuhirup. Aku benar-benar mati rasa ditempat.
“hay!.” sapanya lembut. Suara khasnya yang selama 15 tahun tak kudengar kini terasa menusuk gendang telingaku, seperti menulikanku dari suara-suara lain kecuali suaranya. “Apa kabar, Sivia?.”
Aku tetap diam. Pita suaraku seperti tak berfungsi dengan benar.
“Sivia ak…”
“PERGI!!!” potongku histeris. “PERGI!!! AKU TIDAK INGIN MELIHAT LAKI-LAKI BRENGSEK SEPERTIMU.”
“Sivia kumohon dengarkan aku, aku punya penjelasan…”
“AKU TIDAK BUTUH PENJELASANMU!!!.” Raungku kalut. Genggaman tangaku ditangan Alvin semakin kueratkan, takut kenyamanan dan ketenangan tangan itu musnah begitu berhadapan dengan laki-laki didepanku ini.
“Sivia.” ia berjalan mendekat, meraih tangan bebasku yang mengepal dengan tegangnya. “please, dengarkan a….”
“TIDAK CAKKA!!! AKU TIDAK MAU MENDENGARKANMU.” aku menepis tangan tersebut dengan kasar. namun seperti tak kenal jera tangan laki-laki yang kusebut Cakka tersebut kembali berusaha meraih tanganku. namun kembali kutepis.
“KAU HARUS MENDENGARKANKU, SIVIA.” Teriaknya tepat dihadapanku. ia mencengkram pundaku.
Aku menggelengkan kepalaku dengan keras. “KENAPA AKU HARUS MENDENGARKANMU.” balasku berteriak.

BUUUG

Cakka terjungkal sesaat sebelum tubuhnya menghantam lantai. Alvin menatapnya nyalang setelah berhasil melayangkan bogemannya yang cukup keras ke pipi Cakka.
“maaf tuan, Ibu saya tidak ingin berbicara dengan ada.” kata Alvin dengan suara bergetar. Nafasnya turun naik tidak teratur. Emosinya meledak seperti ranjau yang lama terpendam didalam tanah. begitu terinjak, Ledakannya menguarkan api yang memenuhi udara sekelilingnya. “jangan dipaksa.” sambungnya.
Secara reflek aku langsung memuluk tubuh Alvin. memeluk tubuh anakku dengan erat sambil berharap pelukanku bisa membuatnya kembali tenang. Dia tidak boleh emosi. “tenanglah, tenanglah, tenanglah.” ujarku lembut ditelingnya. Aku terus mengulang kata-kata tersebut seperti zikir yang tidak pernah putus dipanjatkan umat manusia kepada tuhannya.
Nafas Alvin masih naik turun tidak teratur. Dengan lembut aku mengusap punggungnya sambil melafaskan doa. “Mommy mohon tenangkan dirimu.” bisiku kembali. “jangan emosi.” Air mataku lolos begitu saja mengiringi berbagai bisikan yang ku ucapkan.
“tak apa…” Alvin balas berbisik, suaranya terdengar sangat pelan.
Perlahan deruan nafasnya melambat seiring dengan tubuhnya yangmemberat dalam pelukanku. Dan ketakutan itu langsung memeluku erat. Ketakutan yang selama bertahun-tahun kupendam dalam hatiku. Ketakutan yang membuatku merasakan kesakitannya. Ketakutan yang menyerap habis energy positifku. Ketakutan yang akhirnya benar-benar terjadi.


Semua ini salah!!!
Seharusnya tidak ada takdir seperti ini
Seharusnya tidak ada pertemuan antara aku dan kamu
Seharusnya kamu tidak bertemu dengan permataku
Seharusnya kamu tidak hadir lagi dikehidopanku
Seharusnya, Seharusnya, Seharusnya
Seharusnya masih banyak kata seharusnya yang tidak perlu terjadi


*******

“Al…” Aku membelai surai hitamnya seperti biasa.
“Namanya Cakka Nuraga.” sebutku pelan. “Ayah kandungmu. Laki-laki yang menghamili mommy dan menghancurkan masa depan mommy dulu. Dia juga yang meninggalkan kita saat mommy mengandungmu.” Aku menarik nafas berat. “Sekarang dia kembali, meminta mommy mendengar semua alasannya, dan mommy belum siap untuk menjadi pendengar, bagaimana menurutmu?.”
Alvin tidak menjawab. Mulutnya tertutup rapat di balik masker oksigen yang selama seminggu ini menempel di mulutnya. Air mataku lolos lagi, tak tahan melihat kondisi anakku yang seperti patung hidup. Semenjak kejadian di acara satu pecan kemarin, dia tidak pernah membuka matanya lagi.
“Alvin.” panggilku lirih. Namun sama sekali tidak ada sahutan dari bibir plum merahnya. Ku angkat tangan dinginnya dan kuletakan dipipiku, membiarkan tangan tersebut merasakan cairan hangat yang kembali lolos dan menerobos keluar  dari mataku. Biasanya ia tidak suka melihatku menangis, biasanya dia selalu menyeka air mataku dengan tangan dinginnya, lalu memeluk tubuhku hingga aku berhenti menangis.
“mommy menangis, dan itu karenamu.” aduku sambil terisak. “bukankah kamu tidak suka melihat mom menangis?” aku tersenyum, namun masih terisak. “lalu apa yang kau tunggu, kenapa kau diam, kenapa tidak menghapus air mata mommy seperti biasa.” aku menatap wajah putih pucatnya dengan wajah melas, berharap dengan begitu ia kasihan padaku dan membuka matanya.
“Sivia” sebuah tangan menyentuh pundaku dan mengganggu aksi monolog  yang sedang kulakoni. Suara khasnya ketika memanggilku, tak pernah berubah sejak 15tahun dan membuatku selalu tahu siapa pemilik suara tersebut.
Aku diam. Masih menyibukan diriku dengan tangan dingin Alvin yang masih kutempelkan di pipiku.
“siv….”
“Seharusnya kau tak datang, seharusnya kau tak hadir lagi, seharusnya pertemuan kita cukup sampai 15 tahun lalu, seharusnya kau tidak bertemu dengan Alvinku.” Aku memotong panggilannya.
Perlahan aku meletakan tangan Alvin disamping tubuhnya, kutarik selimut putihnya hingga dada, dengan lembut kukecup kening Alvin sambil memejamkan mataku. Beriring do’a dalam hati, kupanjatkan sejuta harapan agar buah hatiku cepat bangun dan tidak membiarkanku menangis seperti ini.
“Kau tahu? aku membesarkannya sendiri, aku melewati segala masanya dengan susah payah, aku menjaganya agar semua ini tak terjadi, dan aku berhasil selama ini…” Cakka diam, memilih menjadi pendengar yang baik. “aku berhasil kka, aku berhasil melakukan semuanya sendiri untuk Alvin, dan sampai akhirnya kamu datang, menghancurkan segalanya, hingga semuanya terjadi, hingga ketakutanku akhirnya terjadi.”
Air mataku kembali merembes. Semua masa yang kulewati berputar dikepalaku, bermain layaknya kaset lusuh yang telah lama tersimpan rapat. Semua film-film tersebut berputar tanpa komando, Dari hari dimana aku tahu diriku hamil, hari dimana Cakka meninggalkanku, hari dimana masa depanku hancur karena ulahku sendiri, hari dimana aku siap mengakhiri janin tak bersalah buah nistaku, hari dimana akhirnya aku berusaha menerima janin dalam kandunganku, saat aku melahirkannya, saat aku membesarkan buah hatiku, saat aku menangis berjam-jaman karena vonis congenital heart disease dijatuhkan pada Alvin kecilku, semuanya berputar dalam kepalaku, semua masa yang kulewati dengan susah payah, semua usahaku untuk menjaga Alvinku dari rasa sakit, dan semuanya hancur hanya dalam hitungan menit.
“maaf.” hanya satu kata itu yang kudengar dari mulutnya. Segampang itukah? Sependek itukah? apa sebegitu mudahnya meminta maaf atas apa yang telah ia hancurkan dulu dan sekarang. dasar B*******K!!!
“aku akan melakukan apapun, asalkan kamu mau memaafkanku.” sambungnya lagi.
Aku tersenyum sinis. “benarkah?” tanyaku, ia mengangguk.
“Apapun akan kamu lakukan?.” Cakka mengangguk mantap.
“Donorkan jantungmu untuk Alvinku.” kataku setenang mungkin.
Cakka membatu ditempatnya. Tangannya yang tersampir di pundakku langsung jatuh begitu saja. Aku tersenyum sinis. Sudah kuduga, dia tidak akan mungkin mendonorkan jantungnya untuk Alvin. Laki-laki sepertinya hanya bisa bicara saja namun tak bisa berbuat.
“Aku akan melakukannya, asalkan kamu memaafkanku.” aku tertegun. Lantas berbalik menghadap Cakka. Kupandangi wajahnya secara intens, mencoba mencari sebuah kebohongan disana dan yang kutemui hanyalah sebuah kebenaran tanpa ada keraguan sedikitpun.
“buktikan.”
Ia mengangguk sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu mampu membuatku lumpuh ketika melihatnya mengembang dibibir Cakka. ah! ternyata aku masih terpikat olehnya.
“Apa aku boleh berbicara dengannya?.” tanyanya ragu. Meskipun sedikit tidak rela, aku hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan ruang rawat Alvin. Aku memilih menunggu diluar, dekat pintu, agar aku bisa mendengar apa yang akan ia bicarakan dengan Alvinku.


Haruskah seperti ini?
Aku bahkan ragu mengatakannya
karena selain benci…
Masih ada rindu untuknya,
mungkin cinta juga masih terselip disana…


********

Aku tertegun mendengar kata pertama yang keluar dari mulutnya. Air mataku kembali lolos begitu saja, antara haru dan sesak.
“Alvin.” aku melihat ia tersenyum dari kaca kecil didekat pintu. senyumku ikut mengembang.
“Namamu Alvin, kan? Kenalkan Aku Cakka Nuraga, Laki-laki bre****k  yang merupakan ayah kandungmu.” Cakka menaraik nafas beratnya. “maafkan aku, maafkan a… ay… maaf aku tidak pantas dipanggil ayah olehmu.” air mata Cakka lolos.
“maaf, selama ini aku tak bisa melihatmu tumbuh besar, tidak  bisa menemani masa-masa kecilmu hingga kini, Aku punya alasan, tapi…. sudahlah tak penting.” aku Cakka. “aku memang salah, maafkan aku…”
Tangan Cakka terangkat dan menjatuhkannya tepat diatas dada Alvin. mengelus dada tersebut dengan senyum lirihnya.  “kau anak laki-laki yang hebat, jika nanti miliku berada ditubuhmu, tolong jaga ibumu. karena aku…” ia menunduk sedikit hingga mulutnya berada 5cm dari telinga Alvin.
“karena aku masih mencintainya” bisik Cakka lembut.

*******

Aku menggenggam erat selembar kertas yang diberikan seorang polisi padaku. Polisi tersebut mengatakan bahwa surat itu ditemukan dalam genggaman Cakka dan kertas tersebut ditujukan padaku. Aku menatap kertas tersebut. Air mataku tiba-tiba menetes begitu saja, tak habis pikir mengapa laki-laki itu benar-benar melakukan apa yang aku minta. Ia tewas dalam sebuah kecelakaan pagi tadi,  mobil yang dikendarainya menghantam pembatas jalan. Sebelumnya lelaki itu mengatakan pada seorang dokter spesialis jantung bahwa ia akan mendonorkan jantungnya untuk Alvin jika ia meninggal nanti. Dan semuanya terjadi begitu cepat.
Aku semakin mengeratkan genggamanku pada kertas peninggalannya, tak berniat membaca sekarang juga. Air mataku masih mengalir tanpa bisa dihentikan. Mataku menerawang, menebus kegiatan yang terjadi didalam ruang yang ada dihadapanku.
Lampu didepan ruangan tersebut padam. Menandakan Operasi sudah selesai. Dengan langkah tersaruk-saruk, aku mendekati pintu ruang operasi.
“Bagaimana?” tanyaku cemas.
Dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Membuatku menahan napas.
“Operasi berhasil, tapi kita tunggu dulu beberapa hari sampai anggota tubuhnya yang lain bisa bekerja dengan Jantung barunya.” jelas dokter tersebut. “banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi setelah ini. Dan kami tidak bisa menjamin semuanya akan berjalan baik meskipun operasinya berhasil.”
Aku mengangguk meskipun tidak terlalu mengerti maksud dokter tersebut. Air mataku  kembali mengalir, entah karena terharu atau karena sesuatu yang semakin menjanggal dihatiku.

*******

Aku menyentuh pipi tirusnya. Otomtis membuat kelopak matanya sedikit bergerak. Setidaknya dengan begitu aku tau masih ada nyawa dalam raga itu, meskipun ia masih tak bergerak.
Sudah satu pekan berlalu. Sepekan setelah Cakka dimakamkan dan aku belum pernah mengunjungi makamnya, dan sepekan setelah operasi itu dilakukan dan Alvin belum juga menunjukan perkembembangan yang signifikan. Aku mendesah. Rasanya aku masih ingin menangis, namun mataku tak lagi mampu mengeluarkan cairan hangatnya. Air mataku sudah habis.


wajah lelah ini tak akan ada artinya,
yang aku inginkan hanyala jagoan kecilku,
tak apa aku merendeh tak berdaya kepada tuhan,
tak apa aku mengemis belas kasih tuhan,
yang aku mau hanyalah permata hatiku,
permata tertahta dalam hidupku…


Aku beringsutan ketika melihat mata itu bergerak, akhirny  terbuka juga meski terlihat sayu.  Mata sipitnya mengerjab beberapa kali, sedikit menerawang, dan menutup kembali. Aku menggigi bibirku, mata itu tak terbuka lagi dalam beberapa detik. Namun akhirnya kembali terbuka, membuatku tersenyum menyambutnya.
“m…mo…” panggilnya kurang jelas.
“mommy disini alv.” aku menggenggam tangannya dan menatap lekat wajahnya dengan haru. Air mataku menetes kembali.
“maaf” katanya pelan, Namun aku masih bisa mendengarnya. Aku tersenyum sebagai isyarat bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan atau memaafkan. Ia diam, menatapku dengan pandangan menerawang sebelum  matanya tertutup kembali seiring dengan bunyi melengking yang ntah dari mana asalnya.
Aku mematung. Alvinku. Apa yang terjadi? Seseorang, siapapun tolong Jawab aku. Kenapa tidak ada yang menjawab? kenapa hanya suara melengking ini sebagai penjawab pertanyaanku… tidak mungkin… hiks…. tidak mungkin Alvin…
Ku peluk tubuh dinginnya yang telah membeku. Aku menangis sejadi-jadinya. Masih tak kuterima jika ini kenyataan. ini tidak mungkin…. Tidak mungkin perjuanganku menjaganya berakhir sia-sia hanya dengan satu kata. Maaf. Alvinku baru saja membuka mata dan aku baru saja menyambutnya dengan haru. Tidak mungkin berakhir seperti ini. Alvin tidak mungkin meninggalkanku dengan hanya meninggalkan kata maaf…


bangunlah....
hapus air mataku dan buat aku tersenyum bahagia...
bangunlah...
karena aku alasan terkuat untukmu terus hidup....
bangulah...
karena ibu...
orang yang akan menantimu sampai kapanpun....


Aku menatap dua gundukan tanah yang belum sudah mengering. Sudah satu tahun berlalu setelah kepergian mereka berdua. Cakka dan Alvinku. Satu tahun lalu kuputuskan untuk memakamkan Alvin disamping Cakka –Ayah kandungnya. Tangisku pecah kembali meski tidak sehebat dulu –waktu Alvin meninggal. ku kecup kedua nisan tersebut.
Seharusnya tidak berakhir seperti ini. Seharus salah satu dari kalian berdiri disini bersamaku –meskipun aku menginginkan kalian berdua. Seharusnya haruskah aku melepaskan kalian berdua? meski aku tidak sanggup. Aku mencintai kalian…
“tak apa…” suara lembut itu berbisik ditelingaku secara semu.
Aku memejamkan mata mendengarkan kata-kata itu menyapa gendang telingku. Kata-kata itu, kata-kata yang selalu Alvin katakan untuk menenangkanku, menjelaskan padaku kalau semuanya akan baik-baik saja.  Air mataku jatuh kembali seiring dengan sudut bibirku yang terangkat. kata-kata itu masih selalu menyapaku selama setahun in, kata-kata itu masih syarat dengan suara lembut khas milik Alvin yang selalu menenangkanku.
“Sekarang, giliran aku yang menjaganya.” bisikan lain menyapaku.
Aku tersentak. Aku jelas mengenal si pemilik suara tersebut. Aku tersenyum. “Iya Kka, sekarang giliranmu. Jaga dia dan tunggu aku disana.” balasku dalam hati sambil mengangguk.
Kini dengan senyuman aku memandang dua gundukan tersebut. Mereka pasti baik-baik saja disana. Cakka akan menjaga Alvin untukku, dan mereka akan menunggu hingga waktuku datang untuk menghampiri mereka… Tunggu aku….



Surat Cakka ::::

Bila memang tidak ada yang abadi,
Biarku bagi apa yang bisa kubagi,
Biarku beri apa yang bisa kuberi,
Tawa disetiap hari,
Senyuman sepenuh hati,
atau cinta ini hingga nanti....
Aku masih mencintaimu, Sivia. Dulu ataupun sekarang tidak pernah berbeda. Jika dulu aku pernah meninggalkanmu, itu bukan karena aku tidak bertanggung jawab. Jujur saja aku bahagia mendengarmu mengandung anak kita dulu, Aku berfikir akan menjadi ayah yang baik untuk Alvin dan menjadi suami yang baik untukmu. Tapi takdir berkata lain, takdir membawaku menjauh darimu tanpa alasan.
Sivia… maaf…
Jika kelak jantungku berada dalam tubuh Alvin, aku mohon maafkan aku. sampaikan pada Alvin permintaan maafku juga. aku bukan seseorang yang baik untuk kalian. hanya jantung ini yang akan menjadi bukti kalau aku benar-benar mencintai kalian…
Terimakasi, Sivia….
Terimakasi telah mengandung anaku dan sudi membesarkanya sendiri. Terimakasi telah menyayanginya dan memberikannya kasih sayang yang layak meskipun tidak ada aku seumur hidupnya. katakan terimaksi pada Alvin karena telah sudi melihatku, sampaikan padanya aku berterimakasih karena ia  telah menjaga bidadari secantikmu…
Ketika kata hanyalah tinggal kata,
Tidak lagi ada jiwa yang bernaung disana,
Aku hanya bisa terpekur, tanpa suara...
Benar-benar hanya tinggal kata...
Kata ketika kau ingin menjaga dia yang berarti,
Kata ketika kau ingin bersama dia yang kau sayangi,
Kata ketika kau ingin menjadi orang yang siap berbagi,
Namun, kata hanyalah kata, bukan?
Kata berarti namun tak selamanya terjadi.


Cakka….



===================THE END==================

Kamu Bukan Pelangi (Cerpen)



Membencinya adalah awal dari rasa yang sulit ku pahami…

Mulutku diam seribu bahasa, namun hatiku terus mengucapkan sumpah serapah. Demi Tuhan! laki-laki yang berada dihadapanku ini benar-benar menyebalkan. Jika ada pertanyaan, siapa orang yang ingin kau singirkan di dari hidupmu? maka dengan senang hati aku akan menyebutkan nama laki-laki ini. Alvin Jonathan. hah! laki-laki menyebalkan yang entah ku kenal dari mana dan bagaiamana aku mengenalnya. yang jelas dia laki-laki menyebalkan yang mengusik kedamaian hidupku.

“Sivia, lihat ada pelangi.” ujarnya sambil menunjuk lengkungan sempurna yang berwana mejiku dengan semangat yang berlebihan.

Aku melengos tanpa berniat melihat objek yang ditunjuknya. aku lebih memilih menekuni bacaanku dari pada mengacuhkannya. Jika aku mengikuti apa yang ia katakana, maka laki-laki itu tidak akan pernah berhenti berulah dan terus mengoceh mengenai betapa hebatnya objek-objek sederhana yang mengelilingi kami. sebenarnya objek-objek tak penting yang sudah biasa dilihat.

“kau harus melihatnya, Sivia.” Alvin menarik paksa buku yang sedang kubaca. Lantas tangan bebasnya yang lain terus menunjuk kearah pelangi. Aku menyerah. Dengan keputus asaan aku melihat kearah pelangi yang ditunjuknya dari tadi.

Lengkungan sempurna itu langsung memenuhi bola mataku. warna-warna mejikunya seakan-akan membawaku tersadar akan satu hal. Hal yang mungkin belum kupahami namun kumengerti. Belum lepas keterpakuanku atas satu pelangi, tangan bebasnya kembali menunjuk kearah lengkungan lain yang berada diatas lengkungan tadi. Aku tercengan. Double Pelangi.

“bukankah, dua pelangi lebih menakjubkan dari pada sebuah pelangi?.” kata Alvin girang.  Tanpa sadar aku mengangguk. Dan mulai terlarut untuk terus melihatnya.

“aku menyukai pelangi, bagaimana denganmu?.” Tanya Alvin sambil terus menatap lurus kearah pelangi.

“kenapa kau menyukainya?.” tanyaku tanpa berniat menjawab pertanyaannya.

Untuk beberapa menit kedepan, ia diam. Biasanya Laki-laki ini selalu menjawab cepat.

“karena aku menyukai warnanya yang membuat langit tidak selalu dipenuhi warna biru, warna putih, warna hitam, dan warna jingga.” ia menarik nafas sebentar dan menghebuskannya dengan tenang. “dan karena pelangi selalu datang setelah hujan turun, seperti kebahagiaan yang datang setelah kesedihan. singkatnya seperti penghibur.”

Aku tertegun sebentar. Lantas menoleh menghadapnya yang sedang menerawang langit. “apa ada hubungannya dengan hidupmu?.” tanyaku tanpa sadar.

Alvin menoleh kearahku sambil tersenyum lembut. Binar matanya seolah menerangi mata hitamku secara intens. Dan hal itu membuatku merasakan sesuatu yang sulit kutafsirkan. seperti jantungku yang berdetak cepat namun berirama  ceria, seperti jutaan kupu-kupu yang terbang bebas dan terasa menggelitik perutku, seperti desiran darahku yang tidak biasa namun terasa menyenangkan.

“mungkin.” Jawabnya singkat. senyumnya masih mengembang dan matanya masih menatapku secara intens.

Aku terpaku. Dia terdiam. Cukup lama. Sampai aku tersadar senyuman itu mulai memudar, matanya mulai menyayu. Aku melihatnya dengan cepat mengganti posisi, kali ini ia lebih memilih menatap pelangi yang juga mulai memudarkan warnanya. Sampai Warna pelangi memudar, ia tetap diam. membisu. Tidak seperti biasanya dan aku merasa ada yang berbeda.


+++++++


Aku tahu, tetapi kenapa aku memilihnya?


“ke… kenapa kau diam?” Tanyaku sedikit membentaknya. Ia tertunduk lebih dalam.

“Apa kau sekarang menjadi orang bisu? ha ha ha lucu sekali.” Aku tertawa sumbang sambil menatapnya benci.

Dengan geram aku mencengkram kedua bahunya, dan menegakan kepalanya yang tertunduk semakin lama semakin dalam. “Jangan diam, jawab pertanyaanku.” bentakku lagi sambil menatap matanya dengan tatapan mengintimidasi. “Kenapa kau menggerusku kekehidupanmu kalau akhirnya kau akan meninggalkanku? HAH!.”  tanyaku untuk yang kesekian kalinya. namun Alvin masih saja diam.

 “Kau dengar aku kan, al. Jawab pertanyaanku, jangan diam. AKU TIDAK BUTUH KEBISUANMU.”

“Si… via… ak… u…” alvin mulai membuka suara. aku menatapnya semakin nyalang. “aku lupa kalau aku…”

“lupa? HA HA HA HA.” aku memotong perkataannya dan tertawa keras namun tetap bernada sumbang. Dengan muak aku mendorong tubuhnya untuk menjauh. aku tidak ingin dekat-dekat dengannya lagi, sebelum aku benar-benar terjerumus kejurang perasaanku sendiri.

“kau tahu aku pernah merasa kehilangan, dan sekarang kau mau aku merasakannya lagi.” aku menatapnya sinis. “ciiiih! kau mau membuatku hancur lagi, HAH!”

“aku tidak bermaksud.” aku mendengar suaranya yang lirih. namun apa peduliku.

“tidak bermaksud?.” tanyaku. “tidak bermaksud katamu? sudah jelas dari dulu kau berusaha mendakatiku dengan semua omong kosongmu dan semua objek-objek kolotmu itu.”

Dengan susah payah aku menahan nafas, kembali mendengus dan menatap Alvin semakin sinis. “sekarang, ketika aku sudah dekat denganmu, kau mau meninggalkan, membuatku hancur dengan rasa kehilangan lagi.” kulihat Alvin ikut menahan nafas. “kau tahu, sekarang aku mulai mencintaimu.” aku kupelan.

Alvin menatapku tidak percaya. dia menggeleng-gelengkan kepalanya kentara. “kau tidak boleh mencintaiku.” katanya keras.

Aku menatapnya sinis dan tersenyum remeh ke arahnya. “kau pikir aku mau mencintaimu setelah tahu ini.”

“Kau tidak boleh mencintaiku, Sivia.” Alvin berjalan mundur dan semakin menjauh dariku. “kau tidak boleh mencintaiku.” tubuhnya mulai membentur tembok, ku lihat tubuh itu mulai merosot perlahan. “ku mohon jangan mencintaiku.” ia menunduk dalam, mencengkram kuat dada kirinya. “karena cukup aku yang mencintaimu.”

“ha ha ha ha ha” aku tertawa sumbang, merasa bodoh mendengarkannya meracau. sekarang aku menjadi sanksi sendiri, yang bodoh aku atau dia. “ha ha ha… kau melarangku jatuh cinta, padahal kau snediri yang menggerus semakin dekat dan mencintaimu.”  aku kembali tertawa dengan air mata yang mulai meleleh.

Demi Tuhan! . Jika ada pertanyaan, siapa orang yang ingin kau singirkan di dari hidupmu? maka dengan senang hati aku akan menyebutkan nama laki-laki ini. Alvin Jonathan. aku ingin dia cepat lenyap dari hidupku, sebelum aku semakin mencintainya.

Tubuh Alvin semakin melemas. dada kirinya terasa di hunus oleh mata pedang yang berasal dari tatapan Sivia. mata gadis itu terasa semakin gencar menguliti tubuhnya, seakan mencari celah untuk kembali menghunuskan pedang tepat pada dada Alvin. seakan jantung lemah Alvin lah yang menjadi tujuan akhirnya.

“bukankah pergi sekarang sama saja dengan pergi nanti, sama-sama meninggalkanku kan.” kata Sivia sambil mengubah tatapannya. tatapan tajam tadi perlahan melembut. senyum sinisnya juga memanis. “bagaimana rasanya, apa kau sekarat? apa malaikat pencabut nyawa sudah berada didepanmu?.” Tanya Sivia sambil berderap mendekati Alvin yang mencengkram kuat dadanya.

“tenang saja, al. aku akan melihatmu disini. bukankah kau senang melihatku? bukankah kau selalu memperhatikanku? iya, kan?” Sivia kini sudah bersimpuh didepan Alvin, air matanya kembali terjatuh. “jadi untuk terakhir kalinya kau bisa melihatku lebih dekat, memperhatikanku sesukamu.”Alvin berusaha memfokuskan pengelihatannya terhadap Sivia. gadisnya itu tersenyum lembut sambil berurai air mata. Alvin membalas senyuman tersebut tanpa peduli dengan jantungnya yang rasanya akan lepas sebentar lagi.

“pergilah sekarang. aku akan melihatmu dan menemanimu.” kata Sivia. Tangan gadis tersebut terangkat dan menyentuh lebut pipi Alvin. Ia terpaku melihat Alvin membalas senyumannya. Laki-laki itu selalu memikatnya meskipun dalam keadaan seperti ini. membuat Sivia semakin membenci Alvin. membenci laki-laki itu karena membuatnya semakin tidak ingin kehilangan.

“ma… af...” Alvin mengatakan satu kata tersebut dengan susah payah. Jantungnya semakin berdetak lemah dan mati rasa.

Sivia mengangguk. Ia merengkuh tubuh Alvin dan memluknya semakin erat. “pergilah. pergi sekarang lebih baik dari pada nanti. aku tidak mau merasak kehilangan semakin jauh. karena rasanya akan jauh lebih menyakitkan dari sekarang.” kata Sivia.

“Aku mencintaimu, Alvin.” Sivia mencium kening Alvin dan kembali memeluknya semakin erat. tangisnya pecah mengiringi air matanya yang mengalir deras.

                        jantung laki-laki tak lagi berdetak. nafasnya tak legi terhembus. Sivia tahu laki-laki itu sudah pergi meninggalkannya. Ia menangis semakin kencang, menangisi laki-laki yang baru saja ia rasakan cintanya, laki-laki yang memberi tahunya tentang warna pelangi, laki-laki yang seharusnya tidak ia kenal jika akhirnya seperti ini.


Alvin, kau tau rasanya menjadi langit setelah pelanginya hilang? langit kembali terasa hambar dengan warna biru sebagai dasaranya, putih sebagai warna awannya, jingga sebagai warna senjanya, dan hitam sebagai warna malamnya. tidak ada warna-warna mejiku pelangi yang muncul dengan keindahan sesaatnya. tidak ada pelangi yang bisa membuatku tenggelam untuk memandangnya….

Alvin, aku mengerti…

ketika kau mengatakan kau menyukai pelangi karena pelangi selalu datang setelah hujan turun, seperti kebahagiaan yang datang setelah kesedihan. singkatnya seperti penghibur.’

kata-katamu waktu itu membuktikan kau bukan pelangiku, karena pelangi datang setelah hujan yang berarti kebahagiaan datang setelah kesedihan. tapi kau kebahagiaanku, kau pergi dan membuatku kehilangan yang berarti kesedihanku datang setelah kebahagiaanku, ketika kau pergi, kebahagiaanku pun ikut pergi…. kau bukan pelangi….


-------THE END------




@Ayuadianoszta97