Senin, 15 April 2013

Kamu Bukan Pelangi (Cerpen)



Membencinya adalah awal dari rasa yang sulit ku pahami…

Mulutku diam seribu bahasa, namun hatiku terus mengucapkan sumpah serapah. Demi Tuhan! laki-laki yang berada dihadapanku ini benar-benar menyebalkan. Jika ada pertanyaan, siapa orang yang ingin kau singirkan di dari hidupmu? maka dengan senang hati aku akan menyebutkan nama laki-laki ini. Alvin Jonathan. hah! laki-laki menyebalkan yang entah ku kenal dari mana dan bagaiamana aku mengenalnya. yang jelas dia laki-laki menyebalkan yang mengusik kedamaian hidupku.

“Sivia, lihat ada pelangi.” ujarnya sambil menunjuk lengkungan sempurna yang berwana mejiku dengan semangat yang berlebihan.

Aku melengos tanpa berniat melihat objek yang ditunjuknya. aku lebih memilih menekuni bacaanku dari pada mengacuhkannya. Jika aku mengikuti apa yang ia katakana, maka laki-laki itu tidak akan pernah berhenti berulah dan terus mengoceh mengenai betapa hebatnya objek-objek sederhana yang mengelilingi kami. sebenarnya objek-objek tak penting yang sudah biasa dilihat.

“kau harus melihatnya, Sivia.” Alvin menarik paksa buku yang sedang kubaca. Lantas tangan bebasnya yang lain terus menunjuk kearah pelangi. Aku menyerah. Dengan keputus asaan aku melihat kearah pelangi yang ditunjuknya dari tadi.

Lengkungan sempurna itu langsung memenuhi bola mataku. warna-warna mejikunya seakan-akan membawaku tersadar akan satu hal. Hal yang mungkin belum kupahami namun kumengerti. Belum lepas keterpakuanku atas satu pelangi, tangan bebasnya kembali menunjuk kearah lengkungan lain yang berada diatas lengkungan tadi. Aku tercengan. Double Pelangi.

“bukankah, dua pelangi lebih menakjubkan dari pada sebuah pelangi?.” kata Alvin girang.  Tanpa sadar aku mengangguk. Dan mulai terlarut untuk terus melihatnya.

“aku menyukai pelangi, bagaimana denganmu?.” Tanya Alvin sambil terus menatap lurus kearah pelangi.

“kenapa kau menyukainya?.” tanyaku tanpa berniat menjawab pertanyaannya.

Untuk beberapa menit kedepan, ia diam. Biasanya Laki-laki ini selalu menjawab cepat.

“karena aku menyukai warnanya yang membuat langit tidak selalu dipenuhi warna biru, warna putih, warna hitam, dan warna jingga.” ia menarik nafas sebentar dan menghebuskannya dengan tenang. “dan karena pelangi selalu datang setelah hujan turun, seperti kebahagiaan yang datang setelah kesedihan. singkatnya seperti penghibur.”

Aku tertegun sebentar. Lantas menoleh menghadapnya yang sedang menerawang langit. “apa ada hubungannya dengan hidupmu?.” tanyaku tanpa sadar.

Alvin menoleh kearahku sambil tersenyum lembut. Binar matanya seolah menerangi mata hitamku secara intens. Dan hal itu membuatku merasakan sesuatu yang sulit kutafsirkan. seperti jantungku yang berdetak cepat namun berirama  ceria, seperti jutaan kupu-kupu yang terbang bebas dan terasa menggelitik perutku, seperti desiran darahku yang tidak biasa namun terasa menyenangkan.

“mungkin.” Jawabnya singkat. senyumnya masih mengembang dan matanya masih menatapku secara intens.

Aku terpaku. Dia terdiam. Cukup lama. Sampai aku tersadar senyuman itu mulai memudar, matanya mulai menyayu. Aku melihatnya dengan cepat mengganti posisi, kali ini ia lebih memilih menatap pelangi yang juga mulai memudarkan warnanya. Sampai Warna pelangi memudar, ia tetap diam. membisu. Tidak seperti biasanya dan aku merasa ada yang berbeda.


+++++++


Aku tahu, tetapi kenapa aku memilihnya?


“ke… kenapa kau diam?” Tanyaku sedikit membentaknya. Ia tertunduk lebih dalam.

“Apa kau sekarang menjadi orang bisu? ha ha ha lucu sekali.” Aku tertawa sumbang sambil menatapnya benci.

Dengan geram aku mencengkram kedua bahunya, dan menegakan kepalanya yang tertunduk semakin lama semakin dalam. “Jangan diam, jawab pertanyaanku.” bentakku lagi sambil menatap matanya dengan tatapan mengintimidasi. “Kenapa kau menggerusku kekehidupanmu kalau akhirnya kau akan meninggalkanku? HAH!.”  tanyaku untuk yang kesekian kalinya. namun Alvin masih saja diam.

 “Kau dengar aku kan, al. Jawab pertanyaanku, jangan diam. AKU TIDAK BUTUH KEBISUANMU.”

“Si… via… ak… u…” alvin mulai membuka suara. aku menatapnya semakin nyalang. “aku lupa kalau aku…”

“lupa? HA HA HA HA.” aku memotong perkataannya dan tertawa keras namun tetap bernada sumbang. Dengan muak aku mendorong tubuhnya untuk menjauh. aku tidak ingin dekat-dekat dengannya lagi, sebelum aku benar-benar terjerumus kejurang perasaanku sendiri.

“kau tahu aku pernah merasa kehilangan, dan sekarang kau mau aku merasakannya lagi.” aku menatapnya sinis. “ciiiih! kau mau membuatku hancur lagi, HAH!”

“aku tidak bermaksud.” aku mendengar suaranya yang lirih. namun apa peduliku.

“tidak bermaksud?.” tanyaku. “tidak bermaksud katamu? sudah jelas dari dulu kau berusaha mendakatiku dengan semua omong kosongmu dan semua objek-objek kolotmu itu.”

Dengan susah payah aku menahan nafas, kembali mendengus dan menatap Alvin semakin sinis. “sekarang, ketika aku sudah dekat denganmu, kau mau meninggalkan, membuatku hancur dengan rasa kehilangan lagi.” kulihat Alvin ikut menahan nafas. “kau tahu, sekarang aku mulai mencintaimu.” aku kupelan.

Alvin menatapku tidak percaya. dia menggeleng-gelengkan kepalanya kentara. “kau tidak boleh mencintaiku.” katanya keras.

Aku menatapnya sinis dan tersenyum remeh ke arahnya. “kau pikir aku mau mencintaimu setelah tahu ini.”

“Kau tidak boleh mencintaiku, Sivia.” Alvin berjalan mundur dan semakin menjauh dariku. “kau tidak boleh mencintaiku.” tubuhnya mulai membentur tembok, ku lihat tubuh itu mulai merosot perlahan. “ku mohon jangan mencintaiku.” ia menunduk dalam, mencengkram kuat dada kirinya. “karena cukup aku yang mencintaimu.”

“ha ha ha ha ha” aku tertawa sumbang, merasa bodoh mendengarkannya meracau. sekarang aku menjadi sanksi sendiri, yang bodoh aku atau dia. “ha ha ha… kau melarangku jatuh cinta, padahal kau snediri yang menggerus semakin dekat dan mencintaimu.”  aku kembali tertawa dengan air mata yang mulai meleleh.

Demi Tuhan! . Jika ada pertanyaan, siapa orang yang ingin kau singirkan di dari hidupmu? maka dengan senang hati aku akan menyebutkan nama laki-laki ini. Alvin Jonathan. aku ingin dia cepat lenyap dari hidupku, sebelum aku semakin mencintainya.

Tubuh Alvin semakin melemas. dada kirinya terasa di hunus oleh mata pedang yang berasal dari tatapan Sivia. mata gadis itu terasa semakin gencar menguliti tubuhnya, seakan mencari celah untuk kembali menghunuskan pedang tepat pada dada Alvin. seakan jantung lemah Alvin lah yang menjadi tujuan akhirnya.

“bukankah pergi sekarang sama saja dengan pergi nanti, sama-sama meninggalkanku kan.” kata Sivia sambil mengubah tatapannya. tatapan tajam tadi perlahan melembut. senyum sinisnya juga memanis. “bagaimana rasanya, apa kau sekarat? apa malaikat pencabut nyawa sudah berada didepanmu?.” Tanya Sivia sambil berderap mendekati Alvin yang mencengkram kuat dadanya.

“tenang saja, al. aku akan melihatmu disini. bukankah kau senang melihatku? bukankah kau selalu memperhatikanku? iya, kan?” Sivia kini sudah bersimpuh didepan Alvin, air matanya kembali terjatuh. “jadi untuk terakhir kalinya kau bisa melihatku lebih dekat, memperhatikanku sesukamu.”Alvin berusaha memfokuskan pengelihatannya terhadap Sivia. gadisnya itu tersenyum lembut sambil berurai air mata. Alvin membalas senyuman tersebut tanpa peduli dengan jantungnya yang rasanya akan lepas sebentar lagi.

“pergilah sekarang. aku akan melihatmu dan menemanimu.” kata Sivia. Tangan gadis tersebut terangkat dan menyentuh lebut pipi Alvin. Ia terpaku melihat Alvin membalas senyumannya. Laki-laki itu selalu memikatnya meskipun dalam keadaan seperti ini. membuat Sivia semakin membenci Alvin. membenci laki-laki itu karena membuatnya semakin tidak ingin kehilangan.

“ma… af...” Alvin mengatakan satu kata tersebut dengan susah payah. Jantungnya semakin berdetak lemah dan mati rasa.

Sivia mengangguk. Ia merengkuh tubuh Alvin dan memluknya semakin erat. “pergilah. pergi sekarang lebih baik dari pada nanti. aku tidak mau merasak kehilangan semakin jauh. karena rasanya akan jauh lebih menyakitkan dari sekarang.” kata Sivia.

“Aku mencintaimu, Alvin.” Sivia mencium kening Alvin dan kembali memeluknya semakin erat. tangisnya pecah mengiringi air matanya yang mengalir deras.

                        jantung laki-laki tak lagi berdetak. nafasnya tak legi terhembus. Sivia tahu laki-laki itu sudah pergi meninggalkannya. Ia menangis semakin kencang, menangisi laki-laki yang baru saja ia rasakan cintanya, laki-laki yang memberi tahunya tentang warna pelangi, laki-laki yang seharusnya tidak ia kenal jika akhirnya seperti ini.


Alvin, kau tau rasanya menjadi langit setelah pelanginya hilang? langit kembali terasa hambar dengan warna biru sebagai dasaranya, putih sebagai warna awannya, jingga sebagai warna senjanya, dan hitam sebagai warna malamnya. tidak ada warna-warna mejiku pelangi yang muncul dengan keindahan sesaatnya. tidak ada pelangi yang bisa membuatku tenggelam untuk memandangnya….

Alvin, aku mengerti…

ketika kau mengatakan kau menyukai pelangi karena pelangi selalu datang setelah hujan turun, seperti kebahagiaan yang datang setelah kesedihan. singkatnya seperti penghibur.’

kata-katamu waktu itu membuktikan kau bukan pelangiku, karena pelangi datang setelah hujan yang berarti kebahagiaan datang setelah kesedihan. tapi kau kebahagiaanku, kau pergi dan membuatku kehilangan yang berarti kesedihanku datang setelah kebahagiaanku, ketika kau pergi, kebahagiaanku pun ikut pergi…. kau bukan pelangi….


-------THE END------




@Ayuadianoszta97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar