Senin, 15 April 2013

Heart Of The My Heart (cerpen)



Aku mencintainya karena sebuah kewajiban dan hak!!!
Sebelumnya, dalam mimpi pun aku tidak pernah bermimpi mendapatkannya. Kehadirannya membuatku merasa dilema, antara harus membenci dan mencintainya.  Ya!!! awalnya aku memang tidak pernah menginginkannya ada dalam hidupku, apalagi dia ada karena sebuah hubungan terlarang yang tidak seharusnya kulakukan di usiaku yang begitu dini. Namun pada akhirnya aku menerimanya karena ia berhak mendapatkan cinta dariku dan aku berkewajiban untuk  mencintainya.
Namanya Alvin Jonathan. Laki-laki berusia 15 tahun. Tubuhnya tinggi –sedikit melewati tinggiku. Berkulit Putih Bersih –bahkan tidak memiliki celah sedikit pun untuk setitik lecet atau noda. Mata sipitnya seakan-akan merupakan titisan mata elang yang memiliki ketajaman yang siap membidik mangsa. Garis-garis  lembut wajahnya terkesan mempertegas betapa tidak manusiawinya ketampanan yang dituangkan Tuhan ketika menciptakannya dalam bentuk janin. –Hampir- sempurna! begitulah aku mendiskripsikannya. Namun siapa tau apa yang berada dibalik kesempurnaan tersebut? tidak ada! selain Tuhan dan Aku.
“apa yang kau perhatikan?.” Tanyaku sambil membelai lembut rambutnya.
Sekarang kami sedang bersantai di taman kota –kegiatan yang selalu rutin kami lakukan setiap hari minggu sore. Dengan posisi yang selalu sama, aku yang duduk anteng dan dia yang tiduran dengan pangkuanku sebagai bantalan kepalanya. Untuk beberapa jam kedepan kami tidak akan mengganti posisi ini, meskipun kami seperti dua remaja yang sedang kasmaran.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Alvin malah mendongak dan menatapku dengan ekspresi yang sulitku artikan. Kemudian dia kembali kearah titik focus awalnya. Karena penasaran, aku mengikuti arah focusnya  dan apa yang kulihat cukup membuatku mengerti. aku mengerti…
“berhenti memperhatikannya, itu hanya akan membuatmu sakit.” Kataku lirih.
Alvin bergeming, ia masih tetap focus pada objek awalanya. Seakan-akan objek tersebutlah yang lebih berarti dari pada harus mendengarku. Ia akan selalu begini jika objek-objeknya selalu berhubungan dengan sosok tegap yang seharusnya menemani hidupnya selama 15 tahun ini.
“berhenti memperhatikannya al, please.” Mohonku masih sambil membelai surai hitamnya.
“tidak apa.” Sahuutnya pelan, focusnya masih tidak berubah. “yang disini sudah terlanjur sakit.” Alvin meraih tanganku yang dari tadi asik membelai surai hitamnya. Ia menghentikan gerakan tanganku yang bermain diatas rambutnya dan menuntun tangan tersebut tepat keatas dadanya.
“maafkan mo…”
“tidak apa.” Potongnya.
Ia mendongak sambil tersenyum lembut. “sakitnya tidak seberapa, asalkan yang meninggalkanku bukan mommy.” Ujarnya tulus.
Air mataku lolos begitu saja. Sesungguhnya aku bingung, apa yang membuatku menangis? tangis harukah karena mendengar kalimat terakhirnya? atau tangis sedihkah karena pada kenyataanya aku tahu sesakit apa yang dirasakannya?.
“terimakasih alv, terimakasih.” Aku memeluk tubuhnya karena hanya dengan begitu aku dapat menyampaikan betapa sayangnya aku pada anak laki-laki ini, meskipun dia terlahir karena dosa namun sesungguhnya dia adalah anak yang baik. Anak baik yang aku miliki karena kenistaan.
“terimakasih karena telah lahir dari rahimku.”
“dan aku berterimakasih karena mommy tidak menggugurkanku dulu.”
Aku memeluknya semakin erat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memluknya seperti ini. Aku sungguh bersyukur karena memilikinya Tuhan!. Anak laki-laki ini, Anak laki-laki yang kau titipkan padaku kini telah mengerti segalanya, Anak laki-laki yang kau amanahkan kepadaku kini menjadi peganganku, Anak laki-laki yang tidak kuinginkan dulu, kini menjadi hartaku yang paling berharga.

Semua anak yang terlahir karena nista
Mempunyai hak untuk melihat dunia
Dan aku bersyukur
Karena aku memberikan hak tersebut kepada anakku
Meskipun dulu dia tak kuinginkan
Namun Demi Tuhan yang menitipkannya kepadaku!!
Kini aku bersyukur memilikinya
Aku bersyukur membesarkannya
Aku bersyukur karena ASIku untuknya
Aku tidak menyesal meskipun sempat menyesal


++++++

Alvin berjalan sejajar disampingku. Dari tadi ia memilih untuk diam. Sebenarnya aku tahu ia tidak pernah mau ke acara resmi seperti ini –acara khusus untuk para pembisnis yang selalu rutin diadakan setiap tahun. Dan karena aku seorang pembisnis muda –yang cukup berpengaruh di dunia perbisnisan, aku wajib mengikuti acara ini. Dan karena aku tidak mungkin datang sendiri, jadilah aku selalu mengajak Alvin sebagai pasanganku. Setidaknya dengan posture tubuh ideal Alvin di umurnya yang ke 15, lebih banyak orang yang menganggap kami sebagai Young couple dari pada sebagai pasangan Ibu dan anak.
“Kapan kita bisa pulang?.” tanyanya dengan nada malas.
Aku mendesah kentara. Seharusnya dari awal rencana mengajak Alvin ke acara ini adalah rencana yang buruk, seahrusnya aku mengajak salah satu sahabatku -Rio atau Gabriel. “Kita baru datang Al, acaranya pun belum dimulai.” kataku menjelaskan. kini giliran Alvin yang mendesah kentara.
“sudah jangan mengeluh, nikmati saja acara ini, sekalian kau bisa mencari gadis cantik untuk dikencani disini.” godaku sambil mengerling nakal kearah Alvin.
“gadis cantik?.” Alvin menatapku tak percaya. “bisa kau ralat nona, tak ada gadis cantik disini, sejauh ini yang ku lihat hanya ada tante-tante girang sepertimu.” katanya kesal sambil merengut lucu. Dan aku hanya terkekeh pelan menanggapinya.
Kami berjalan dalam diam setelah perbincangan konyol tadi. Alvin sepertinya berusaha menikmati acara ini dan aku yang memang sudah biasa dengan acara resmi seperti ini hanya bisa menggenggam tangan Alvin –yang entah mengapa selalu membuatku merasa nyaman dan tenang.
Tiba-tiba langkah Alvin berhenti ditengah ruang acara, otomatis membuat langkahku ikut terhenti. Dengan sedikit mendongak, aku menatap wajah Alvin yang terlihat terpaku pada satu objek –objek yang aku sendiri tidak tahu.
“ada apa al?.” dia tidak menjawab.
Dengan penasaran aku mengikuti arah pandangnya. Tepat didepan kami, dengan posisi yang tidak terlalu jauh -hanya beberapa meter dari tempat kami berdiri, ada seorang laki-laki bertubuh kokoh tengah menatap kami dengan tatapan yang sulit diartikan dan Alvin membalas tatapan tersebut dengan arti yang sama –sulit diartikan.
Aku sendiri langsung membeku. Laki-laki itu. Aku mengenalnya, sangat mengenalnya. Bahkan tubuh kokoh itu sempat memberiku kehangatan dan kenikmatan sementara untuku. Garis lembut wajahnya sama percis seperti garis lembut wajah Alvin –membuat Alvin seperti berkaca ketika berhadapan dengan laki-laki itu. Bibir merah meronanya yang menggoda seperti mengingatkanku bahwa akulah salah satu penikmat setianya dulu dan sekarang aku menyesal telah menjadi penikmat setianya.
kenapa ada laki-laki itu disini? kenapa harus dia yang ada di hadapnku?
Kurasakan tubuhku melemas seperti tak lagi bertulang. Energi positif dalam tubuhku seperti terserap habis ditelan kekagetan. Aku benar-benar tak bisa bergerak, oksigen yang seharusnya dapat kuproses untuk bernafas terasa seperti jutaan butir debu yang tidak layak untuk kuhirup. Aku benar-benar mati rasa ditempat.
“hay!.” sapanya lembut. Suara khasnya yang selama 15 tahun tak kudengar kini terasa menusuk gendang telingaku, seperti menulikanku dari suara-suara lain kecuali suaranya. “Apa kabar, Sivia?.”
Aku tetap diam. Pita suaraku seperti tak berfungsi dengan benar.
“Sivia ak…”
“PERGI!!!” potongku histeris. “PERGI!!! AKU TIDAK INGIN MELIHAT LAKI-LAKI BRENGSEK SEPERTIMU.”
“Sivia kumohon dengarkan aku, aku punya penjelasan…”
“AKU TIDAK BUTUH PENJELASANMU!!!.” Raungku kalut. Genggaman tangaku ditangan Alvin semakin kueratkan, takut kenyamanan dan ketenangan tangan itu musnah begitu berhadapan dengan laki-laki didepanku ini.
“Sivia.” ia berjalan mendekat, meraih tangan bebasku yang mengepal dengan tegangnya. “please, dengarkan a….”
“TIDAK CAKKA!!! AKU TIDAK MAU MENDENGARKANMU.” aku menepis tangan tersebut dengan kasar. namun seperti tak kenal jera tangan laki-laki yang kusebut Cakka tersebut kembali berusaha meraih tanganku. namun kembali kutepis.
“KAU HARUS MENDENGARKANKU, SIVIA.” Teriaknya tepat dihadapanku. ia mencengkram pundaku.
Aku menggelengkan kepalaku dengan keras. “KENAPA AKU HARUS MENDENGARKANMU.” balasku berteriak.

BUUUG

Cakka terjungkal sesaat sebelum tubuhnya menghantam lantai. Alvin menatapnya nyalang setelah berhasil melayangkan bogemannya yang cukup keras ke pipi Cakka.
“maaf tuan, Ibu saya tidak ingin berbicara dengan ada.” kata Alvin dengan suara bergetar. Nafasnya turun naik tidak teratur. Emosinya meledak seperti ranjau yang lama terpendam didalam tanah. begitu terinjak, Ledakannya menguarkan api yang memenuhi udara sekelilingnya. “jangan dipaksa.” sambungnya.
Secara reflek aku langsung memuluk tubuh Alvin. memeluk tubuh anakku dengan erat sambil berharap pelukanku bisa membuatnya kembali tenang. Dia tidak boleh emosi. “tenanglah, tenanglah, tenanglah.” ujarku lembut ditelingnya. Aku terus mengulang kata-kata tersebut seperti zikir yang tidak pernah putus dipanjatkan umat manusia kepada tuhannya.
Nafas Alvin masih naik turun tidak teratur. Dengan lembut aku mengusap punggungnya sambil melafaskan doa. “Mommy mohon tenangkan dirimu.” bisiku kembali. “jangan emosi.” Air mataku lolos begitu saja mengiringi berbagai bisikan yang ku ucapkan.
“tak apa…” Alvin balas berbisik, suaranya terdengar sangat pelan.
Perlahan deruan nafasnya melambat seiring dengan tubuhnya yangmemberat dalam pelukanku. Dan ketakutan itu langsung memeluku erat. Ketakutan yang selama bertahun-tahun kupendam dalam hatiku. Ketakutan yang membuatku merasakan kesakitannya. Ketakutan yang menyerap habis energy positifku. Ketakutan yang akhirnya benar-benar terjadi.


Semua ini salah!!!
Seharusnya tidak ada takdir seperti ini
Seharusnya tidak ada pertemuan antara aku dan kamu
Seharusnya kamu tidak bertemu dengan permataku
Seharusnya kamu tidak hadir lagi dikehidopanku
Seharusnya, Seharusnya, Seharusnya
Seharusnya masih banyak kata seharusnya yang tidak perlu terjadi


*******

“Al…” Aku membelai surai hitamnya seperti biasa.
“Namanya Cakka Nuraga.” sebutku pelan. “Ayah kandungmu. Laki-laki yang menghamili mommy dan menghancurkan masa depan mommy dulu. Dia juga yang meninggalkan kita saat mommy mengandungmu.” Aku menarik nafas berat. “Sekarang dia kembali, meminta mommy mendengar semua alasannya, dan mommy belum siap untuk menjadi pendengar, bagaimana menurutmu?.”
Alvin tidak menjawab. Mulutnya tertutup rapat di balik masker oksigen yang selama seminggu ini menempel di mulutnya. Air mataku lolos lagi, tak tahan melihat kondisi anakku yang seperti patung hidup. Semenjak kejadian di acara satu pecan kemarin, dia tidak pernah membuka matanya lagi.
“Alvin.” panggilku lirih. Namun sama sekali tidak ada sahutan dari bibir plum merahnya. Ku angkat tangan dinginnya dan kuletakan dipipiku, membiarkan tangan tersebut merasakan cairan hangat yang kembali lolos dan menerobos keluar  dari mataku. Biasanya ia tidak suka melihatku menangis, biasanya dia selalu menyeka air mataku dengan tangan dinginnya, lalu memeluk tubuhku hingga aku berhenti menangis.
“mommy menangis, dan itu karenamu.” aduku sambil terisak. “bukankah kamu tidak suka melihat mom menangis?” aku tersenyum, namun masih terisak. “lalu apa yang kau tunggu, kenapa kau diam, kenapa tidak menghapus air mata mommy seperti biasa.” aku menatap wajah putih pucatnya dengan wajah melas, berharap dengan begitu ia kasihan padaku dan membuka matanya.
“Sivia” sebuah tangan menyentuh pundaku dan mengganggu aksi monolog  yang sedang kulakoni. Suara khasnya ketika memanggilku, tak pernah berubah sejak 15tahun dan membuatku selalu tahu siapa pemilik suara tersebut.
Aku diam. Masih menyibukan diriku dengan tangan dingin Alvin yang masih kutempelkan di pipiku.
“siv….”
“Seharusnya kau tak datang, seharusnya kau tak hadir lagi, seharusnya pertemuan kita cukup sampai 15 tahun lalu, seharusnya kau tidak bertemu dengan Alvinku.” Aku memotong panggilannya.
Perlahan aku meletakan tangan Alvin disamping tubuhnya, kutarik selimut putihnya hingga dada, dengan lembut kukecup kening Alvin sambil memejamkan mataku. Beriring do’a dalam hati, kupanjatkan sejuta harapan agar buah hatiku cepat bangun dan tidak membiarkanku menangis seperti ini.
“Kau tahu? aku membesarkannya sendiri, aku melewati segala masanya dengan susah payah, aku menjaganya agar semua ini tak terjadi, dan aku berhasil selama ini…” Cakka diam, memilih menjadi pendengar yang baik. “aku berhasil kka, aku berhasil melakukan semuanya sendiri untuk Alvin, dan sampai akhirnya kamu datang, menghancurkan segalanya, hingga semuanya terjadi, hingga ketakutanku akhirnya terjadi.”
Air mataku kembali merembes. Semua masa yang kulewati berputar dikepalaku, bermain layaknya kaset lusuh yang telah lama tersimpan rapat. Semua film-film tersebut berputar tanpa komando, Dari hari dimana aku tahu diriku hamil, hari dimana Cakka meninggalkanku, hari dimana masa depanku hancur karena ulahku sendiri, hari dimana aku siap mengakhiri janin tak bersalah buah nistaku, hari dimana akhirnya aku berusaha menerima janin dalam kandunganku, saat aku melahirkannya, saat aku membesarkan buah hatiku, saat aku menangis berjam-jaman karena vonis congenital heart disease dijatuhkan pada Alvin kecilku, semuanya berputar dalam kepalaku, semua masa yang kulewati dengan susah payah, semua usahaku untuk menjaga Alvinku dari rasa sakit, dan semuanya hancur hanya dalam hitungan menit.
“maaf.” hanya satu kata itu yang kudengar dari mulutnya. Segampang itukah? Sependek itukah? apa sebegitu mudahnya meminta maaf atas apa yang telah ia hancurkan dulu dan sekarang. dasar B*******K!!!
“aku akan melakukan apapun, asalkan kamu mau memaafkanku.” sambungnya lagi.
Aku tersenyum sinis. “benarkah?” tanyaku, ia mengangguk.
“Apapun akan kamu lakukan?.” Cakka mengangguk mantap.
“Donorkan jantungmu untuk Alvinku.” kataku setenang mungkin.
Cakka membatu ditempatnya. Tangannya yang tersampir di pundakku langsung jatuh begitu saja. Aku tersenyum sinis. Sudah kuduga, dia tidak akan mungkin mendonorkan jantungnya untuk Alvin. Laki-laki sepertinya hanya bisa bicara saja namun tak bisa berbuat.
“Aku akan melakukannya, asalkan kamu memaafkanku.” aku tertegun. Lantas berbalik menghadap Cakka. Kupandangi wajahnya secara intens, mencoba mencari sebuah kebohongan disana dan yang kutemui hanyalah sebuah kebenaran tanpa ada keraguan sedikitpun.
“buktikan.”
Ia mengangguk sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu mampu membuatku lumpuh ketika melihatnya mengembang dibibir Cakka. ah! ternyata aku masih terpikat olehnya.
“Apa aku boleh berbicara dengannya?.” tanyanya ragu. Meskipun sedikit tidak rela, aku hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan ruang rawat Alvin. Aku memilih menunggu diluar, dekat pintu, agar aku bisa mendengar apa yang akan ia bicarakan dengan Alvinku.


Haruskah seperti ini?
Aku bahkan ragu mengatakannya
karena selain benci…
Masih ada rindu untuknya,
mungkin cinta juga masih terselip disana…


********

Aku tertegun mendengar kata pertama yang keluar dari mulutnya. Air mataku kembali lolos begitu saja, antara haru dan sesak.
“Alvin.” aku melihat ia tersenyum dari kaca kecil didekat pintu. senyumku ikut mengembang.
“Namamu Alvin, kan? Kenalkan Aku Cakka Nuraga, Laki-laki bre****k  yang merupakan ayah kandungmu.” Cakka menaraik nafas beratnya. “maafkan aku, maafkan a… ay… maaf aku tidak pantas dipanggil ayah olehmu.” air mata Cakka lolos.
“maaf, selama ini aku tak bisa melihatmu tumbuh besar, tidak  bisa menemani masa-masa kecilmu hingga kini, Aku punya alasan, tapi…. sudahlah tak penting.” aku Cakka. “aku memang salah, maafkan aku…”
Tangan Cakka terangkat dan menjatuhkannya tepat diatas dada Alvin. mengelus dada tersebut dengan senyum lirihnya.  “kau anak laki-laki yang hebat, jika nanti miliku berada ditubuhmu, tolong jaga ibumu. karena aku…” ia menunduk sedikit hingga mulutnya berada 5cm dari telinga Alvin.
“karena aku masih mencintainya” bisik Cakka lembut.

*******

Aku menggenggam erat selembar kertas yang diberikan seorang polisi padaku. Polisi tersebut mengatakan bahwa surat itu ditemukan dalam genggaman Cakka dan kertas tersebut ditujukan padaku. Aku menatap kertas tersebut. Air mataku tiba-tiba menetes begitu saja, tak habis pikir mengapa laki-laki itu benar-benar melakukan apa yang aku minta. Ia tewas dalam sebuah kecelakaan pagi tadi,  mobil yang dikendarainya menghantam pembatas jalan. Sebelumnya lelaki itu mengatakan pada seorang dokter spesialis jantung bahwa ia akan mendonorkan jantungnya untuk Alvin jika ia meninggal nanti. Dan semuanya terjadi begitu cepat.
Aku semakin mengeratkan genggamanku pada kertas peninggalannya, tak berniat membaca sekarang juga. Air mataku masih mengalir tanpa bisa dihentikan. Mataku menerawang, menebus kegiatan yang terjadi didalam ruang yang ada dihadapanku.
Lampu didepan ruangan tersebut padam. Menandakan Operasi sudah selesai. Dengan langkah tersaruk-saruk, aku mendekati pintu ruang operasi.
“Bagaimana?” tanyaku cemas.
Dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Membuatku menahan napas.
“Operasi berhasil, tapi kita tunggu dulu beberapa hari sampai anggota tubuhnya yang lain bisa bekerja dengan Jantung barunya.” jelas dokter tersebut. “banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi setelah ini. Dan kami tidak bisa menjamin semuanya akan berjalan baik meskipun operasinya berhasil.”
Aku mengangguk meskipun tidak terlalu mengerti maksud dokter tersebut. Air mataku  kembali mengalir, entah karena terharu atau karena sesuatu yang semakin menjanggal dihatiku.

*******

Aku menyentuh pipi tirusnya. Otomtis membuat kelopak matanya sedikit bergerak. Setidaknya dengan begitu aku tau masih ada nyawa dalam raga itu, meskipun ia masih tak bergerak.
Sudah satu pekan berlalu. Sepekan setelah Cakka dimakamkan dan aku belum pernah mengunjungi makamnya, dan sepekan setelah operasi itu dilakukan dan Alvin belum juga menunjukan perkembembangan yang signifikan. Aku mendesah. Rasanya aku masih ingin menangis, namun mataku tak lagi mampu mengeluarkan cairan hangatnya. Air mataku sudah habis.


wajah lelah ini tak akan ada artinya,
yang aku inginkan hanyala jagoan kecilku,
tak apa aku merendeh tak berdaya kepada tuhan,
tak apa aku mengemis belas kasih tuhan,
yang aku mau hanyalah permata hatiku,
permata tertahta dalam hidupku…


Aku beringsutan ketika melihat mata itu bergerak, akhirny  terbuka juga meski terlihat sayu.  Mata sipitnya mengerjab beberapa kali, sedikit menerawang, dan menutup kembali. Aku menggigi bibirku, mata itu tak terbuka lagi dalam beberapa detik. Namun akhirnya kembali terbuka, membuatku tersenyum menyambutnya.
“m…mo…” panggilnya kurang jelas.
“mommy disini alv.” aku menggenggam tangannya dan menatap lekat wajahnya dengan haru. Air mataku menetes kembali.
“maaf” katanya pelan, Namun aku masih bisa mendengarnya. Aku tersenyum sebagai isyarat bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan atau memaafkan. Ia diam, menatapku dengan pandangan menerawang sebelum  matanya tertutup kembali seiring dengan bunyi melengking yang ntah dari mana asalnya.
Aku mematung. Alvinku. Apa yang terjadi? Seseorang, siapapun tolong Jawab aku. Kenapa tidak ada yang menjawab? kenapa hanya suara melengking ini sebagai penjawab pertanyaanku… tidak mungkin… hiks…. tidak mungkin Alvin…
Ku peluk tubuh dinginnya yang telah membeku. Aku menangis sejadi-jadinya. Masih tak kuterima jika ini kenyataan. ini tidak mungkin…. Tidak mungkin perjuanganku menjaganya berakhir sia-sia hanya dengan satu kata. Maaf. Alvinku baru saja membuka mata dan aku baru saja menyambutnya dengan haru. Tidak mungkin berakhir seperti ini. Alvin tidak mungkin meninggalkanku dengan hanya meninggalkan kata maaf…


bangunlah....
hapus air mataku dan buat aku tersenyum bahagia...
bangunlah...
karena aku alasan terkuat untukmu terus hidup....
bangulah...
karena ibu...
orang yang akan menantimu sampai kapanpun....


Aku menatap dua gundukan tanah yang belum sudah mengering. Sudah satu tahun berlalu setelah kepergian mereka berdua. Cakka dan Alvinku. Satu tahun lalu kuputuskan untuk memakamkan Alvin disamping Cakka –Ayah kandungnya. Tangisku pecah kembali meski tidak sehebat dulu –waktu Alvin meninggal. ku kecup kedua nisan tersebut.
Seharusnya tidak berakhir seperti ini. Seharus salah satu dari kalian berdiri disini bersamaku –meskipun aku menginginkan kalian berdua. Seharusnya haruskah aku melepaskan kalian berdua? meski aku tidak sanggup. Aku mencintai kalian…
“tak apa…” suara lembut itu berbisik ditelingaku secara semu.
Aku memejamkan mata mendengarkan kata-kata itu menyapa gendang telingku. Kata-kata itu, kata-kata yang selalu Alvin katakan untuk menenangkanku, menjelaskan padaku kalau semuanya akan baik-baik saja.  Air mataku jatuh kembali seiring dengan sudut bibirku yang terangkat. kata-kata itu masih selalu menyapaku selama setahun in, kata-kata itu masih syarat dengan suara lembut khas milik Alvin yang selalu menenangkanku.
“Sekarang, giliran aku yang menjaganya.” bisikan lain menyapaku.
Aku tersentak. Aku jelas mengenal si pemilik suara tersebut. Aku tersenyum. “Iya Kka, sekarang giliranmu. Jaga dia dan tunggu aku disana.” balasku dalam hati sambil mengangguk.
Kini dengan senyuman aku memandang dua gundukan tersebut. Mereka pasti baik-baik saja disana. Cakka akan menjaga Alvin untukku, dan mereka akan menunggu hingga waktuku datang untuk menghampiri mereka… Tunggu aku….



Surat Cakka ::::

Bila memang tidak ada yang abadi,
Biarku bagi apa yang bisa kubagi,
Biarku beri apa yang bisa kuberi,
Tawa disetiap hari,
Senyuman sepenuh hati,
atau cinta ini hingga nanti....
Aku masih mencintaimu, Sivia. Dulu ataupun sekarang tidak pernah berbeda. Jika dulu aku pernah meninggalkanmu, itu bukan karena aku tidak bertanggung jawab. Jujur saja aku bahagia mendengarmu mengandung anak kita dulu, Aku berfikir akan menjadi ayah yang baik untuk Alvin dan menjadi suami yang baik untukmu. Tapi takdir berkata lain, takdir membawaku menjauh darimu tanpa alasan.
Sivia… maaf…
Jika kelak jantungku berada dalam tubuh Alvin, aku mohon maafkan aku. sampaikan pada Alvin permintaan maafku juga. aku bukan seseorang yang baik untuk kalian. hanya jantung ini yang akan menjadi bukti kalau aku benar-benar mencintai kalian…
Terimakasi, Sivia….
Terimakasi telah mengandung anaku dan sudi membesarkanya sendiri. Terimakasi telah menyayanginya dan memberikannya kasih sayang yang layak meskipun tidak ada aku seumur hidupnya. katakan terimaksi pada Alvin karena telah sudi melihatku, sampaikan padanya aku berterimakasih karena ia  telah menjaga bidadari secantikmu…
Ketika kata hanyalah tinggal kata,
Tidak lagi ada jiwa yang bernaung disana,
Aku hanya bisa terpekur, tanpa suara...
Benar-benar hanya tinggal kata...
Kata ketika kau ingin menjaga dia yang berarti,
Kata ketika kau ingin bersama dia yang kau sayangi,
Kata ketika kau ingin menjadi orang yang siap berbagi,
Namun, kata hanyalah kata, bukan?
Kata berarti namun tak selamanya terjadi.


Cakka….



===================THE END==================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar