Kamis, 11 Juli 2013

Lebih Dariku (WML)







(part of Waiting My Love)
 


Bagaimana dengan cinta yang merelakan cintanya pergi?

atau.....

Bagaimana dengan Cinta yang hanya bisa menanti hingga berakhir sia-sia?


seseorang mengatakan ‘tidak ada yang sia-sia’ di dunia ini, semuanya ‘peristiwa atau kejadian pasti diciptakan lengkap dengan alasannya’, asalkan ‘yakin dengan akhir yang kau pilih maka akhir itulah yang akan kau dapatkan’.

“ya aku percaya tidak ada yang sia-sia.” Sivia bergumam pelan sambil menutup ingatannya tentang seseorang yang mengajarkannya banyak hal. ah! bukan banyaktapi terlalu banyak sampai otaknya tidak bisa mencerna beberapa hal dan masih membuatnya bingung sampai sekarang.

Perlahan gadis itu memejamkan matanya, tangannya yang satu meraba permukaan bad cover tempat tidurnya. Dapat! Sivia mengangkat benda yang dicarinya, lalu diletakannya benda tersebut tepat di atas dadanya. Ia menarik double kabel yang terpasang di benda tersebut. Seper-empat double kabelnya  terbelah dua –dan kedua belahannya memiliki ujung yang terpasang benda kecil yang dapat mengeluarkan suara. Lalu secara bersamaan Sivia meletakan kedua benda kecil tersebut di masing-masing telinganya.

Alunan musik klasik langsung menyapa gendang telinganya. Setiap nada seakan-akan mendobrak masuk lebih dalam, melewati indera pendengarannya, mengalir masuk kesarap-sarap inderanya yang lain dan terpencar kearah berlawanan –sebagian nada menyapa otaknya,  sebagian lagi memenuhi hatinya yang kebetulan sedang kosong dan hambar.

“sebenarnya apa yang kau dengarkan, bodoh!”

Suara itu. Suara dari masa lalunya terdengar samar –seakan-akan ingin ikut mengiringi alunan musik klasik yang sekarang telah memenuhi otak dan hatinya. Tidak hanya itu. Sekelebat bayangan tiba-tiba bermain tanpa intruksi –seakan-akan ingin ambil bagian ditengah-tengah kedua suara –diantara suara masa lalu dan suara musik klasik yang semakin gencar memenuhi bagian-bagian kosong yang rasanya semakin nyata, kekosongan yang berasal dari otak dan hatinya.

“Hey dengarkan aku!!!”

----------------------------------------------

Dengan kasar Sivia menarik headset yang bertengger di kedua telinga Alvin sejak satu jam yang lalu. Sudah cukup rasanya ia memperhatikan Alvin yang sibuk sendiri dengan musik-musik yang ada di Ipod Touch Putihnya.

Alvin tetap  diam, pura-pura tidak peduli dengan headseat yang terlepas paksa dari telinganya. Laki-laki berwajah oriental tersbut lebih memilih menyibukan dirinya -kembali dengan memainkan layar touch screen Ipodnya. Hal tersebut jelas membuat Sivia semakin sebal. Sekali lagi, dengan kasar Sivia menarik Ipod tersebut dari tangan Alvin, kemudian menjauhkannya dari laki-laki tersebut.

“Tidak bisakah kau mendengarkan ku dulu?.” Tanya Sivia sambil menyentuh wajah Alvin dengan jari-jarinya yang lentik. Hal tersebut cukup membuat tatapan mata Alvin melembut.

“Apa barang-barangmu itu lebih penting dariku?.” Tanyanya lagi, namun kali ini suaranya terdengar melembut. “Aku tidak meminta macam-macam, aku hanya ingin didengar.”

Alvin menatapnya dalam kemudian mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suaranya.

Sivia tersenyum senang dengan respon kecil tersebut. Setidaknya ia cukup senang karena akan didengarkan, apa pun atau bagaimana pun respon Alvin, itu akan menjadi urusannya nanti, sekarang ia hanya perlu berbicara dengan laki-laki itu.

“Aku mencintaimu.” kalimat ajaib itu meluncur bebas dari bibir mungil sivia.

Alvin tertegun namun tidak mengatakan apapun, ia hanya menatap Sivia lebih dalam lagi, tatapan tanpa makna.

“Aku mencintaimu.” Sivia kembali mengatakannya, namun Alvin tetap tidak membalas, ia tetap bergeming.

“sungguh…..” kata Sivia, suaranya terdengar melemah karena tidak ada respon apa pun dari Alvin. Bukan! bukan karena ia pesimis namun karena ia tahu ada jurang membentang diantara mereka. Setetes air hangat keluar dari kelopak mata sivia, namun tatapan gadis tersebut tetap terfokus pada kornea mata Alvin.

“Aku mencintaimu."

Alvin mengangguk -menandangkan bahwa ia dengar dan ia tahu ada cinta diantara mereka. Laki-laki itu menyentuh jari-jari lentik Sivia yang masih diwajahnya, digenggamnya jari-jari tersebut dengan lembut, lalu diturunkannya secara perlahan dari wajahnya.

Rasa sesak menghujam Sivia ketika Alvin menyingkirkan jari-jari tangannya dari wajah oriental laki-laki tersebut, lalu dengan ringan laki-laki itu berdiri tanpa mengucapkan apapun. Sivia mendongak, berusaha menangkap ekspresi Alvin, namun laki-laki itu tetap dengan wajah datarnya.

“aku juga mencintaimu…...” kata Alvin tanpa ekspresi. Kemudian laki-laki itu menunduk, hingga membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

“tapi kita berbeda.” lanjutnya sebelum menghapus jarak diantara wajah mereka.

Mulut laki-laki itu mengecup lembut kedua kelopak mata Sivia secara bergantian agar air mata gadis tersebut segera berhenti keluar. Namun pada kenyataannya air mata gadis tersebut semakin gencar berproduksi, bahkan lebih banyak.

“berhentilah menangis.” Alvin mengangkat wajahnya, lalu berbalik pergi.

Tinggalah Sivia yang masih membeku ditempatnya. Separuh jiwa gadis itu seperti ikut beranjak mengikuti langkah Alvin. Sejauh laki-laki itu melangkah maka sejauh itu jua separuh jiwanya akan mengikuti. Ia percaya separuh jiwanya akan kembali dengan Alvin yang akan menyambut separuh jiwanya yang lain. yaaah ia percaya, sungguh sangat percaya.

Mata Sivia mengerjab begitu tubuh laki-laki itu tak lagi dapat ia lihat.

Alvin pergi…..

meninggalkannya….

dengan membawa separuh jiwanya……

entah….

akan kembali…..

 atau tidak……


----------------------------------------------


Sivia membuka matanya dan menyadari kalau air matanya sudah menetes. Mengingat masa lalu tersebut membuat dadanya terasa semakin kosong, seperti tidak ada udara yang mengisi rongga-rongga dadanya, oksigen yang disekitarnya terasa penuh oleh debu-debu yang tidak layak hirup. sesak. bukan! bukan hanya sesak, tapi sangat sesak. ia butuh Alvin -nya. Oksigennya

Tangan Sivia menyentuh kepala headsetnya –ah bukan! maksudnya headseat Alvin. Laki-laki itu bahkan tidak pernah menagih headset dan Ipodnya. Setelah hari itu, Alvin benar-benar menghilang dari jarak jangkaunya, bahakan dari jarak pandangnya. 

Dengan ringan, jari-jari lentik Sivia merenggut  kepala headset tersebut dari telingnya. Sebelumnya ia tidak pernah ingin menyentuh heatsed dan Ipod tersebut. Tidak pernah ingin menyentuhnya sebelum setengah tahun yang lalu, didorong oleh rasa penasaran Sivia akhirnya mau mendengarkan semua lagu-lagu yang tersedia di Ipod tersebut. Namun pada kenyataannya tidak ada lagu apapun disana, hanya ada beberapa instrument musik klasik didalamnya. intsrumen-instrumen itulah yang selalu didengarkan Alvin dulu, Instrumen yang selalu membuatnya tenang dan sesak dalam waktu bersamaan.

Sesekali instrument-instrumen tersebut membuatnya tersenyum ringan karena beberapa nadanya seperti mengandung kenangan masa-masa indahnya ketika masih ada Alvin disisinya dulu –dengan status mereka sebagai sahabat. Namun, tidak jarang instrument-instrumen tersebut membuatnya menangis bisu karena nada klasiknya yang seperti menyimpan kenangan pahit ketika Alvin meninggalkannya.

“aku percaya kau akan kembali membawa jiwaku yang ikut melangkah bersamamu.” gumam Sivia pelan.

“sungguh aku yakin….”

“karena cintaku akan membawamu kembali, sejauh apapun kau pergi meninggalkanku.”

Tangan Sivia menggenggam erat Ipod milik Alvin –seakan-akan ipod tersebut adalah separuh jiwa Alvin yang tidak boleh ia lepas. Ia akan menggenggamnya, selama apapun ia harus menanti. Tidak akan ia lepaskan begitu saja, karena separuh jiwanya masih ada pada laki-laki itu.

Ia akan menanti laki-laki itu datang kembali, menyambutnya dengan jiwanya yang masih tersisa. Tidak akan ia pedulikan selama apapun ia menanti, ia percaya tidak akan ada yang sia-sia. kalaupun nanti ia tidak dapat memiliki laki-laki itu, pasti akan ada satu alasan yang membuatnya melepaskan laki-laki itu. Tapi untuk kali ini, Sivia yakin bahwa Alvin akan kembali karena akhir yang ia pilih adalah akhir dimana ia dan Alvin bisa bertemu kembali –meskipun akhir itu belum tentu akan membuatnya bahagia tau lebih sakit dari sekarang.

“aku yakin akhir yang aku pilih adalah akhir yang akan ku dapatkan.”

“karena aku mencitainya dengan ketulusan.”

“karena dapat ku pastikan cintaku adalah cinta sejatimu.”

“karena cinta sejati akan berakhir untuk dipersatukan.”

“karena cinta sejati adalah cinta yang tetap terjaga dengan keyakinan meski terpisah sajuh apapun atau selama apapun.”


cintaku……

cinta sejatinya…………

cinta yang terjaga………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar