Sabtu, 12 Januari 2013

BEST FRIENDS #part5


BEST FRIENDS (cerpen CRAG) #part5


Sivia menarik tangan rio untuk mendekati gerbang kokoh disebuah rumah mewah, mobil yang tadi menjadi alat transfortasi mereka sudah terparkir rapi dikejauhan 50m. “ini rumahnya alvin yang sekarang yo.” Kata sivia sambil menunjuk halaman rumah tersebut. “gue yakin alvin ada dikamarnya.”

“lo tau kamarnya ?.” tanya rio sambil berharap sepupunya –sivia- akan mengangguk. Namun tampaknya sivia malah menggeleng dan menampilkan deretan gigi-gigi putihnya tanpa rasa dosa.

“terus ?”

“mmmm, nggak tau deh.”

“ishhhh, lo begooook banget sih. Terus sekarang mau ngapain ?.”

Sivia mengatupkan mulutnya dan mencoba berfikir hal apa yang akan dilakukannya untuk bisa masuk kedalam dan menemukan kamar alvin. “kita manjat yo.” Seru sivia girang sambil menunjuk pohon besar yang berada disalah satu sisi gerbang rumah alvin. pohon tersebut menjulang tinggi hingga melewati tinggi gerbang  rumah alvin. selain itu pohon tersebut lumayan dekat dengan gerbang rumah dan itu akan memudahkan sivia dan rio untuk memanjat.

“haaah ! gila lo, nggak mau gue. Ntar kita dikira maling lagi.”

“udahlah yo, bawel banget lo. Gue kawatir banget nih sama alvin. ayolaaah kita manjat aja. Yayayyaa.” Sivia merengek sambil menggoyang-goyangkan lengan rio.

“ta...”

“please.”

“huh !!! terserah deh.”

Rio dan sivia kahirnya memanjat pohon besar tersebut. beberapa detik kemudian mereka sudah berada dibalik gerbang. Dengan senyum kemenangan sivia menatap sekeliling halaman rumah milik alvin, pandangan jatuh pada kamar gelap dengan balkon menghadap arah matahari tenggelam.  

“yo, kayaknya itu kamarnya alvin.” kata sivia sambil menunjuk kamar yang menjadi pusat perhatiannya sedari tadi, kamar gelap dengan balkon menghadap matahari tenggelam.

“lo yakin vi ?.” tanya rio.

“yakinlah, lo nggak inget apa dulu.” Sivia menerawang masa lalu, mengingat sedikit tentang alvin. “dulu alvin itu paling demen sama matahari tenggelam, terus setiap kerumahnya yang dulu, pasti kamarnya itu selalu gelap.” kata sivia sambil tersenyum hangat.

“haah ?? tau banget lo soal alvin.”

“iyadong, eh’ yaudah ayooo yo kita masuk. Kayaknya mesti manjat lagi deh.” Sivia melihat balkon kamar tersebut dan tersenyum kearah rio lagi seperti mengatakan tantang untuk sepupun yang berbunyi ‘berani nggak lo ?.’

“terserah lo deh.”


+++++

“sejak kelas 8 SMP.  Seminggu Sebelum lo cerita ke Alvin kalo lo juga cinta sama gue dan 17 hari sebelum alvin hilang dari kehidupan kita.”

Kalimat-kalimat itu terus memutar ditelinga gabriel, wajah sinis sivia ketika mengatakannya masih terbayang-bayang dengan jelas. Terlebih ketika melihat bola mata gadis itu yang sangat berbeda, tampak seperti menyimpan sejuta rahasia dengan nada-nada minor yang membuatnya penasaran.

Namun jelasnya Rasa penasaran itu tidak juga mengalahkan kerisauannya, sakit hatinya dan kekecewaanya. Semuanya masih terasa mengiris dan menyesakkan. Masih tidak ada kata terima ketika mengetahui sivia sudah menjadi milik alvin, milik sahabatanya, eheeem !! mungkin milik –MANTAN SAHABATANYA-. Tapi gabriel sadar mau tidak mau, terima tidak terima, ikhlas tidak ikhlas, ia harus tetap merelakan sivia dengan laki-laki yang disayanginya, yaitu alvin.

Sebagai pecinta yang tulus, gabriel juga mau melihat sivia bahagia, Meskipun hatinya tersakiti. Mungkin terdengan MUNAFIK dan BASI, tapi gabriel memang menginginkan itu. sivia bahagia dan alvin mungkin juga akan bahagia, Pikir gabriel.

“vin, gue mau cerita. GUE SUKA SAMA SIVIA, dia cantik banget, aaaaaaa !! senyumnya ituloh manis kayak gula. Hadoooh ! makin cinta gue sama dia.” Cerita gabriel saat itu menggebu-gebu. Alvin yang ada disebelahnya langsung tersentak kaget.

“kenpa lo vin ? kok mukanya gitu banget denger gue cerita tentang sivia.” Tanya gabriel yang melihat perubahan air muka alvin.

“eeeh’ gpp kok. Cieeee, yang jatuh cinta.” Ejek alvin sambil berusaha terlihat biasa saja.

Gabriel yang masa bodoh dengan alvin, ikut tertawa. Sebenarnya dia merasa aneh mendengar alvin yang tertawa seperti sekarang, tawanya terdengar sumbang dan terkesan aneh, tidak seperti tawa lepas alvin yang selalu bisa membuatnya merasa bahagia.

“lo bodoh gabriel, kenpa lo nggak peka sih.” Cerca gabrie pada dirinya sendiri. Ia baru menyadari kalau dulu alvin juga sangat mencintai sivia, terlihat jelas ketika bayang-bayang masa lalu itu berpusar dikepalanya, bayang-bayang wajah alvin saat itu terlihat hambar ketika mendengar  dirinya menyukai sivia.

“BODOH !!!.”

------------------------


Sivia dan rio mendesah lega ketika mereka berhasil memanjat ke balkon kamar alvin –mungkin-. Sekali-kali mereka melihat kearah tangga kayu yang mereka temukan didekat balkon dan tangga tersebutlah yang mengantarkan mereka hingga bisa berada dibalkon saat ini.

“vi, gimana sekarang ?.” tanya rio.

Tanpa menjawab sivia berjalan kearah pintu balkon, dibukanya pintu tersebut yang ternyata tidak dikunci sama sekali. kamar gelap tersebut tak menampakan apapun kecuali warna hitam, gelap, dan pekat. Sauara deruan nafas menyambut langkahnya ketika memasuki kamar tersebut lebih dalam lagi.

“alvin.” panggilnya pelan. namun tidak ada suara.

Cahaya kecil tiba-tiba menerangkan sedikit sisi kegelapan tersebut. sivia melengok kearah cahaya tersebut, ternyata cahaya itu berasal dari senter kecil yang dibawa oleh rio. sivia tersenyum lantaran seperti mengatakan ‘terima kasi; pada sepupunya itu.

Rio menyorot bagian-bagian kamar tersebut, hingga pada menit ke7 cahaya lampu senter yang dibawanya menyorot tubuh bergetar yang berada dipojokan kamar. Tubuh itu menekuk dengan kedua tangan yang memeluk lutut, wajahnya terbenam tak karuan, desah nafasnya terdengar menderu seperti seorang atlit yang baru saja berlari jauh.

“vi...” panggil rio sambil menyeret tangan sivia untuk mendekati tubuh itu.

Sivia terbelalak melihat si empunya tubuh. Alvin. pekiknya khawatir.

“al, lo kenapa ?.” tanya sivia seraya mengangkat wajah alvin. sementara rio hanya berdiri sambil terus mengarahkan sorotan senternya kearah alvin, tampaknya saat ini ia juga hanya menjadi penonton malam  pada adegan ini. 

“dingin vi.” sahut alvin, tubuhnya semakin bergetar. Wajahnya terlihat pucat ketika cahaya menyorot wajahnya.

Dengan sigap dan tanpa berfikir panjang sivia langsung memeluk tubuh alvin. mencoba menghangatkan tubuh alvin. dulu, sivia juga sering melakukan ini, memeluk tubuh alvin pada kejadian yang sama. Ini tersa de javu untuknya. Sebelum benar-benar menghilang dari masa lalunya, alvin juga sering seperti ini. dan hanya satu barang yang dapat menenangkannya.

“yo, coba lo bongkar laci meja belajar alvin. tolong cariin obatnya.” Suruh sivia tanpa melepaskan pelukannya.

Rio yang bingung hanya menurut. Dibongkarnya laci meja alvin dan ia menemukan beberapa bat yang entah obat apa. “ini vi.” rio menyerahkan obat-obat tersebut.

“lo minum dulu ya vin, belum saatnya lo berhenti.” Kata sivia sambil melepaskan pelukannya.

Sivia menjejalkan obat-obat tersebut kemulut alvin. beberapa menit kemudian tubuh alvin melemas, tak lagi ada getaran hebat seperti tadi. sivia langsung menuntun alvin ketempat tidurnya. Tanpa rasa jijik, sivia juga mengelap keringat dingin yang membasahi wajah alvin. dipandangnya wajah itu dengan tatapan miris.

“vi pulang yok, udah pagi nih.” Kata rio angkat bicara, ia menyorot jam dinding yang menunjukan pukul 02.45 pagi. Sivia mengangguk seraya kembali menatap wajah alvin yang sudah tertidur. meskipun hanya dengan sorotan cahaya kecil, wajah itu tetaplah terlihat sempurna dimatanya.

“lo harus bisa berhenti, gue pasti bantu lo. Gue sayang sama lo.” Sivia mencium kening alvin dan mengacak rambut alvin pelan. 

+++++++


Keesokan paginya, keributan terdengar dikoridor sekolah. Ntah ada apa, yag jelas dikoridor berdiri empat orang siswa, satu dari mereka menatap tajam tiga orang didepannya. Mereka adalah alvin, rio, gabriel dan cakka.

Rio menatap tak percaya kearah alvin. tak percaya kalau alvin terlihat biasa saja, padahal kemarin malam ia melihat alvin dengan keadaan ngenes.

“lo jangan cari masalah vin.” Kata cakka sambil menahan emosinya ketika melihat alvin menatap dirinya dengan tatapan membunuh. Sebenarnya apa yang dilakukan alvin, padahal mereka tidak pernah mempunyai masalah dengan pemuda tersebut, kecuali masalah masa lalu mereka.

“gue nggak cari masalah.” Kata alvin. “tapi kalian yang cari masalah.” Lanjutnya sambil beralih dari menatap cakka jadi menatap gabriel.

“kita, emang kita punya masalah apa vin ?.” tanya rio berusaha santai.

“masalah ini.” alvin memperlihatkan robekan kertas hasil ulangan alvin yang tidak sengaja digunting cakka jum’at kemarin gara-gara aslan memainkan gunting.

“gue nggak sengaja.” Kata cakka membela diri.

“halaaah... alesan aja lo.”

“udah deh vin, kita minta maaf, lagian cakka kan udah bilang nggak sengaja.” Timbrung gabriel yang membela cakka. Alvin mendelik tajam kearah gabriel.

“ciiiih, emang kata maaf lo bisa ngembaliin kertas ulangan gue.” Kata alvin sengit.

“terus mau lo apa ?.” tantang cakka.

“gue mau tanding basket sama lo semua.” Kata alvin menantang 3 orang dihadapannya.  “one by one.” Ujarnya lebih pada memperjelas tantanganya.

empat tubuh itu masih berdiri tegak dikoridor sekolah, mengundang siswa-siswi lain untuk menatap tingkah laku mereka. Perang dingin masa lalu, begitulah pernyataan akhir yang menggambarkan apa yang terjadi.

“ka... kami bertiga.” Gugup gabriel mencoba membuka suara untuk membalas tantangan sosok masa lalu itu.

“kalian bertiga tanding sama gue, dibagi tiga babak.” jelasnya lagi, “loe yang pertama.” Jari telunjuk alvin mengarah ke cakka. “loe yang terakhir.” Lalu jari telunjuknya beralih kedepan wajah gabriel. Setelah itu ia berjalan melewati ketiga tubuh lawannya sambil melempar senyum tipis, senyum yang berbeda dengan masa lalu.

“alvin.” lirih gabriel ketika tubuh alvin hampir hilang dibalik pintun kelas, “maafin kita.” Gabriel mendengus pasrah, Akhirnya kata maaf itu tersampaikan –lagi- secara langsung meskipun tidak mendapat respon dengan baik.

“ciiih, kata maaf akan keluar dari mulut gue kalau salah satu dari kalian menang dipertandingan besok.”





^^ BERSAMBUNG ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar