Minggu, 19 Februari 2012

MIRIS (Akhir Cerita/Kisah) #part 2



+++MIRIS (Akhir Cerita/Kisah) #part 2+++

Cerita akan berawal dan berakhir pada suatu saat nanti...
Sayap-sayap kokoh harus siap bila nanti bulu-bulu lembutnya akan meluruh begitu saja di telan rasa MIRIS...
Satu dari jiwa akan lepas, terbang, melayang, dan hilang setelah lama terjebak dalam persetan dunia...
Maka sesungguhnya cinta bukan satu-satunya kekuatan yang maha dasyat untuk membuatnya tetap tinggal...
Kepergian yang terjadi disini bukanlah sebuah pengorbanan, namun sebuah takdir yang tergores sempurna untuk suatu hal yang terbaik sebagai penekan setiap rasa sakit...
Sesungguhnya ini adalah cerita bukan kisah, cerita miris yang tiada berujung hingga raga bagaikan di remas kuat hingga semua runtuh, MIRIS.... :’(

Di ikhlaskan atau meng-ikhlaskan dia....

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++


Terik mentari semakin menyengat dan merangsang kepermukaan indra perasa, Kulit. Saat dimana semua peralatan dan seragam sekolah sudah harus ditanggalkan untuk hari esok. Hentakkan kaki menjadi nada riang yang kian memutar disetiap pelosok rumah. Putaran hari setelah pertamanan yang terjalin, satu waktu yang dilewatkan dengan susah payah demi dia yang telah memikat hati.
“aku mencintainya.” Dua kata dan 1 kalimat ajaib yang terlantun sempurna dari hati 3 jiwa, isyarat mengatakan kalau satu dari mereka akan mengalami rasa miris luar biasa, atau dua dari mereka akan menjaga hati agar dia yang terabaikan tidak akan merasakan miris.

^^

“iel, apa yang kamu pikirkan ?.” tanya alvin, yang ditanya hanya cengengesan sambil menunjukkan deretan gigi putih yang tertata rapi dimulutnya.
“aku mencintainya.” Gumam iel dengan nada lantang, alvin menautkan 2 alisnya. “aku mencintainya vin.”
“siapa yang kau maksud ? sivia ?.” tanya alvin lagi, seketika mata gabriel mulai berbinar-binar mendengar tebakkan jitu sepupunya.
“iya vin, aku mencintainya, mencintai sivia.” Kata gabriel. “bantu aku mendapatkannya vin.”
“ngek, tidak. Aku tidak mau, itu urusanmu. Lagi pula aku tidak tahu menahu tentang yang beginian.” Tolak alvin mentah-mentah. Ekspresi wajah gabriel berubah kecewa dengan tolakkan yang telak membuat harapannya pupus. “ahhh ! gabriel, ayolah jangan buat aku menyesal telah menolak untuk membantumu. Aku benar-benar tidak bisa.”
Alvin meninggalkan gabriel yang masih menunjukkan raut kecewanya, kemudian masuk begitu saja kekamarnya dan mengkunci pintu supaya tidak ada yang memasuki kamar tersebut selain dirinya. Sebentar ia mencoba untuk menangkis ego yang tiba-tiba menyelumbung hingga ia menolak untuk membantu gabriel. Sebenarnya dia juga bingung pada dirinya sendiri, bingung mengapa hatinya benar-benar menentang kalau gabriel mencintai sivia.
“alvin, apa kamu mencintai sivia ? sampai kamu menolak untuk membantukku.” Kata gabriel dari luar kamar. Alvin menyenderkan tubuhnya pada pintu kamar dan merosotkan tubuhnya yang tiba-tiba melemas mendengar perkataan gabriel.
“tidak, aku tidak mencintainya.” Kata alvin pelan, sangat pelan. Ntah kenapa kalimat tersebut membuat hatinya semakin memberontak tak karuan, membuatnya bingung sendiri.
“aku tidak percaya, kalau kamu tidak mencintainya maka buktikanlah.” Tantang gabriel dari balik pintu, tersirat ego disetiap kalimat yang terlontar dari mulut gabriel. Sekan tidak peduli pada suara lemah yang sedang mati-matian menahan sesak yang menghujat telak ulu hati alvin.
“terserah kamu saja iel, aku tidak peduli.”
“berarti kamu benar mencintai sivia juga.”    
Tidak ingin berbohong, alvinpun mengiyakan perkataan gabriel. Dia tidak mau menjadi tokoh dalam sinetron atau bahkan tokoh dalam novel yang selalu berkorban demi sahabatnya dan terus berpura-pura tegar dengan mengorbankan cintanya untuk sahabatnya sendiri. Ini bukan ego, Cukup menjadi orang yang jujur sebelum ia menyakiti hatinya sendri dengan pengakuan bodoh yang hanya akan menjadi persetan rasa.
“iya, aku mencintainya. PUAS ?” cerca alvin masih dalam posisinya.
“hahaha, baiklah Alvin, aku puas dan aku salut pada kejujuranmu, berjuanglah untuk merebutkan sivia dari tanganku.” Tantang iel, tawanya meledak seakan-akan meremehkan alvin.
“hmmm ! kau juga jangan mengasihiku hanya karna aku seorang lelaki penyakitan. Berjuanglah, aku akan merebutnya darimu iel.” Kata alvin, nada suaranya juga terdengar menantang.
Satu cinta dan satu hanyalah obsesi, cinta bukan tentang yang cepat atau yang lambat, tapi cinta adalah rasa yang pantas bersanding dengan si pemikat hati. Ketika cinta memilih dengan hati dan di ungkapkan dengan mulut, maka saat itu juga cinta berhak untuk bersatu. Lagi pula juga Cinta tidak pernah peduli dengan seberapa lama raga dapat bertahan atau seberapa jauh jiwa akan melayang, namun yang diperdulikan cinta adalah seberapa kuat cinta itu menyatu dan seberapa tegar cinta itu bertahan ditengah rasa miris.

^^

Acara malam didalam rumah. makan malam yang diadakan silla untuk alvin. padahal agenda unutk hari ini tidak ada hal istimewa untuk merayakan acara kecil-kecilan ini. Namun perasaan silla sebagai ibu hanya ingin membuat alvin bahagia, ntah karna rasanya silla merasakan setiap waktu yang berputar akan membawa langkah alvin semakin jauh dari langkah kakinya didunia.
“hay, sivia. Leih baik kita makan di pinggir kolam renang. Tampaknya disini terasa lebih sumpek.” Kata iel, matanya menyorot kearah alvin yang sedang asik bercanda dengan silla dan tidak mengacuhkan kehadiran iel dan sivia yang ada didekat mereka.”dan kelihatannya akan lebih romantis kalau kita makan malam berdua sambil melihat keindahan langit dimalam hari.”
Suasana tiba-tiba melengang, sivia memilih diam dan tidak menyetujui maupun mengiyakan ajakan iel. Sementara alvin, dia tampak sudah sangat kesal dengan tingkah gabriel yang seakan-akan telah meluncurkan aksinya untuk mendapatkan sivia. Jelas terpahat kecemburuan dihatinya, namun alvin tampaknya masih bisa bersikap tenang danmenahan setiap kejolakan hatinya yang menetang keras ajakan iel untk sivia.
“ayolah via, jangan sungkan-sungkan. Alvin dan tente silla tidak akan keberatan. Iyakan ?.” gabriel menarik paksa tangan sivia dan membawanya menjauh dari meja makan. Sementara alvin malah tidak bergeming sama sekali. Silla hanya mengangguk ringan, tidak keberatan dengan apa yang dilakukan gabriel.

“alvin, kamu tidak apa-apa nak ?.” tanya silla yang mendapati alvin hanya diam sambil meremas sendok yang masih digenggamnya.
“tidak ma.” Kata alvin pelan. “alvin mau masuk duluan deh ma. makannya sudah cukup, alvin kenyang.” Alvin bangun dan berniat untuk segera enyak dari meja makan sebelum silla akan menahannya dan mengtahui kalau dirinya terbakar api cemburu.
“alvin, kamu tidak bisa bohong sama mama. Mama tahu kamu cemburu, tapi sebaiknya kamu sadar diri. Sivia berhak mendapatkan laki-laki terbaik seperti gabriel, menyerahlah.” Kata silla, tampaknya sekarang dia tidak memihak pada anaknya.
Serasa raganya di matikan secara perlahan, alvin menghentikkan langkahnya dan berbalik kearah silla. Senyum tipis itu di pertunjukkan untuk mamanya seraya berkata. “berhentilah membuatku sakit, mungkin sebaiknya kamu menjadi mama baru gabriel.” Kata alvin, mungkin setiap kata yang dipilihnya terkesan kasar untuk dilontarkan kepada mamanya. “maaf, alvin capek.”
Air mata silla menetes begitu saja, perkataan alvin tadi membuatnya sadar kalau tidak sepantasnya ia menjatuhkan mental alvin. seharusnya ia mendukung alvin, bukannya membela gabriel dengan berkata seperti tadi. Tapi ada saatnya alvin melambungkan asanya dan tidak bermimpi lebih dari masa hidupnya, apalagi semuanya tentang cinta. Silla takut kalau nanti alvin akan terhempas lebih keras ke bidang datar takdir yang tidak sepenuhnya memihak.

^^

Bintang tampak memudar, selumbung awan pekat membuat tiada cahaya lain diantara bulan. Bintang yang biasa namapak cantik dan terkhias diangkasa, kini bagai lenyap ditelan awan. Hembusan angin ikut berpadu, membuat suasana semakin mencekang, serta merangsang telak pada permukaan kulit. Hawa dingin bagai meraba-raba seraya perlahan memeluk permukaan indra perasa, menyelubung tiada celah untuk kehangatan lain.
“iel, nggak ada bintang dan tampaknya hujan sebentar lagi akan turun.” Kata sivia.
“ya vi, kau benar. Tapi baru saja kita duduk berdua disini.” Gabriel menatap wajah via, lagi-lagi hatinya berdesir ketika menatap wajah gadis di sebelahnya.
“aku tahu iel, tapi aku juga harus pulang.”
Sivia memilih berdiri dari pinggir kolam renang, kakinya hendak melangkah meninggalkan gabriel yang masih diam memandang wajahnya. Lagipula sivia merasa risih kalau terus-terusan dipandang seperti itu, ia juga merasa kalau hati kecilnya menolak untuk terus berada disamping gabriel karna ada rasa takut jauh dilubuk hatinya, takut kalau nanti ada seseorang yang akan marah besar melihatnya berdua.
“baiklah vi, biar ku antar sampai depan. Sekalian aku juga mau pulang.”
Mereka berjalan kembali kearah meja makan, meminta izin untuk segera enyah dari rumah ini. Terakhir mata mereka hany menangkap seorang wanita yang duduk dengan pandangan kosong dengan air mata yang masih mengalir pelan.
“tante, ada apa ?.” tanya sivia, suaranya terdengar kawatir.
“eh, kalian. Tidak, tante tidak apa-apa.” Silla segera menyeka kasar air matanya, berusaha tersenyum dibalik kepedihannya.
 “beneran, tante tidak apa-apa kok.” Kata shilla. “apa kalian mau pulang ?.”
Sivia dan gabriel mengangguk, setelah itu mereka mencium tangan shilla dan langsung pergi dari rumah tersebut. Sebelumnya sivia sempat mencari-cari keberadaan alvin, namun tampaknya ia tidak melihat pemuda tersebut setelah makan malam tadi.

“makasih iel, maaf ngerepotin.” Kata sivia setelah samapai didepan pintu gerbang rumahnya, gabriel hanya mengangguk seraya menaiki motornya, sebelumnya ia berkata “besok pagi kita balap sepeda yok vi.”
Sivia mengangguk seraya tersenyum, gabriel pun terlihat begitu senang mendapati tawarannya disetujui oleh sivia. Hari ini gabriel serasa menang dari alvin, apalagi tadi ia sempat melihat wajah alvin yang merah menahan cemburu. ‘kamu sendiri yang meminta vin, aku tidak akan mengasihimu dan semoga semua ini tidak membuat kondisimu ngedrop. Maafkan aku.’ Gebriel membantin dan mengegas motornya.

Disisi yang berbeda, sivia baru saja menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia mulai mencoba untuk terpejam, namun bayang-bayang wajah alvin kian memenuhi latar gelap matanya saat terpejam. Seakan kapok, sivia tidak kembali memejamkan matanya. Ia malah memilih untuk diam, mencari titik fokus pada lukis bintang yang ada di langit-langit kamarnya. Namun lagi-lagi semuanya terusik oleh suara yang mendendangkan nama alvin didalam gendang telinganya.
“arghhhh !” erang sivia, ia tidak berniat untuk berbaring lagi. Langkahnya memutuskan untuk melihat ada pemandangan apa dibalik balkon kamarnya.
Angin malam menyambut kedatang sivia ketika membuka pintu balkon kamarnya, seketika itu dingin langsung memeluk tubuh gadis itu. Namun ia tak peduli, tatapannya  malah jatuh pada sisi gelap kamar dari balkon depan, tepatnya kamar alvin.
Lampu kamar yang menjadi satu-satunya penerang di kamar tersebut tetap saja tidak mampu membuat sivia dapat melihat keadaan kamar tersebut. Satu-satunya yang paling jelas hanyalah, suara barang-barang pecah yang dari tadi terus menerus mengeruhi kedamaian malam. ‘apa yang sebenarnya terjadi.’ Kata Batin sivia yang mulai penasaran.
Untuk membubuhi rasa penasarannya, sivia mengambil senter dan menyorot bagian gelap kamar tersebut. Semua terlihat jelas karna tirai kamar alvin tidak menutupi bagian dalam, apalagi pintu  balkon pemuda tersebut hanya terbuat dari kaca bening yang benar-benar transparan. Dari balkonnya sivia dapat melihat kalau semua ornamen-ornamen kamar alvin berserakan dilantai, apa lagi benda-benda yang terbuat dari kaca, kini sudah pecah dan tidak dapat dikenali bentuknya lagi.
Di sudut gelap kamar tersebut, si pemuda sudah terduduk dengan kepala tertunduk dan kaki yang menekuk, lengkap dengan kedua tengan yang memeluk kaki yang teertekuk tadi. Mengenaskan sekali, ingin rasanya sivia datang kesana dan bertanya ‘apa yng sedang terjadi ?’, tapi nyatanya malam makin larut, hal itu membuatnya tidak bisa keluar lagi dari rumahnya. Lagi pula alvin tidak butuh dirinya, dia kan bukan siapa-siapanya alvin.

^^

Alvin berdiri di belakang kaca pembatas antara balkon dan kamanya, dari sini ia bisa melihat apa yang dilakukan sepasang anak manusia di jalanan kompleks sepagi ini. Meskipun tidak tahan dengan pemandangan tersebut, tapi rasa penasaran yang tumbuh membuatnya tetap bertahan untuk menyaksikan adegan tersebut. “tampaknya aku kalah,” ujar alvin, pandangannya belum beralih sedikitpun.
“belum saatnya kamu melepaskan alat-alat medis itu.” Tiba-tiba silla muncul dari balik pintu. “tubuhmu masih lemas karna amukkan kemarin malam.” Kata silla, ia berjalan kesamping alvin dan ikut melihat kearah pemandangan pagi yang menurutnya sudah berhasil membuat hati anaknya terbakar cemburu.
“aku tidak butuh alat-alat itu, buat apa ? buat memperpanjang penderitaanku, hahaha.” Ujar alvin, tawanya meledak begitu saja. Tawa kepedihan bukan tawa yang menyiratkan kebahagiaan.
“baiklah kalau kau memang tidak buutuh alat-alat medis itu, tapi tampaknya kau akan butuh obat-obatan ini.”
Alvin mengalihkan pandangannya, matanya menatap tajam kearah beberapa obat yang disodorkan untuknya. Setelah itu ia mengambil obat tersebut dan membuangnya kesudut kamar. “aku juga tidak membutuhkan semua itu. Lagi pula buat apa kamu mengurusiku, bukankah kamu sudah mempunyai gabriel untuk kau urusi dan kau bela.”
Shilla menghela nafas berat, ini memang salahnya. Kalau sudah begini butuh kesabaran eXstra untuk menghadapi alvin, bagaimana pun ini resiko atas perkataannya kemarin malam. Wajar saja kalau sekarang alvin masih menyimpan kemarahanya, apa lagi amukkan kemarin malam belum bisa membuat hati alvin tenang. Mau ngamuk sampai rumah rusak pun, tetap tidak akan membuat pemuda tersebut tenang atas segala kegusarannya malam kemarin.
“huh ! baiklah, Alvin jonathan. Tampaknya kau masih marah padaku.” Alvin diam, tatapannya masih mengarah pada obat-obat yang berserakkan karna ulahnya. “maafkan mama, mama tidak bermaksud mengatakan hal itu.”
“kau tidak salah dan aku tidak pantas marah padamu. Aku mengerti maksudmu, jadi kau tak perlu menjelaskannya.” Kata alvin.
“al, maafkan mama. Mama memang salah, jangan perlakukan mama seperti ini.”
Air mata shilla menetes begitu saja, perlakuan alvin membuatnya rapuh. Selama sekian tahun baru kali ini alvin bersikap seperti ini kepadanya, apalagi dari kemarin malam alvin tidak memanggilnya dengan sebutan mama. Hal tersbut benar-benar membuatnya merasa gelisah dan galau.
Alvin terhenyak melihat air mata bening itu menetes, untuk yang pertama kalinya ia melihat air itu menetes karna sikapnya. “maafkan alvin.” kata alvin, ia langsung memeluk tubuh shilla dan menengkan wanita itu. “jangan nangis ma, alvin takut.”
Pelukkan itu terbalaskan, shilla lebih erat memeluk tubuh anaknya. Mulut kecilnya seakan terkunci, kini tangisnya menjadi haru. ‘biarkan sejenak tubuh ini menghangatkan ku, mungkin tidak akan ada lagi yang memelukku kelak.’ Gumam shilla dalam hati, ia begitu menikmati setiap kehangatan tubuh anaknya.
“maafkan mama, vin. Mama janji akan selalu mendukungmu.”
Alvin tersenyum senang, setidaknya tidak akan ada lagi kata-kata yang membuatnya sakit hati untuk hari esok. Pelukkannya mulai melonggar, ia mengangguk dan mempercayai kata-kata mamanya. “baiklah nona muda, kau sudah janji.  Hahaha.”
“alvin panggil aku mama lagi.” Rengek shilla, membuat alvin terkekeh geli melihat tingkah mamanya. Tiba-tiba ia memikirkan sesuatu untuk membuat suasana pagi ini tidak seburam pagi tadi.
“tidak semudah itu, kau harus bermain denganku dulu.”
“bermain ?.” tanya shilla.
“iya, kita main suit saja. Yang kalah akan menjawab pertanyaan dari yang menang, jika kalah sampai tiga kali maka dia akan menjadi si pengejar. Kita main kejar-kejaran, bagaimana nona ?” tantang alvin.
Shilla ragu-ragu untuk mengiyakan ajakkan anaknya. “tidak alvin, terlalu lelah akan membuat kondisimu...”
“arghhh, tidak apa. Larinya cuman dikamar iini saja. Ayolah, aku merindukan permainan ini.” Kata alvin, kali ini ia ingin sedikit lebih bebas untuk bermain dengan mamanya. Beberapa saat kemudian Shilla mengangguk, tidak ada salahnya kalau untuk hari ini saja ! pikirnya. Kemudia pasangan iibu dan anak tersebut memulai permainan.
Suit pertama dimenangkan oleh shilla, pertanyaan yang diajukkan benar-benar hal yang sudah pasti diangguki oleh alvin. “apa kamu mencintai sivia ?.” Pertanyaan shilla.
“hahaha, tentu saja.”  Jawab alvin dengan nada lantang.
Suit kedua kali ini dimenangkan oleh alvin, “bagaimana wajah papa ?.” tanya alvin.
Shilla diam sebentar, membayangkan bagaimana wajah suaminya yang dulu. “tampan, putih sepertimu. Hidung, pipi, dan styl rambutnya persis sepertimu.”
“ahhh ! masih tampanan aku.” Narsis alvin, sementara shilla hanya tertawa mendengarnya.
Suit ketiga lagi-lagi dimenangkan alvin, “sekarang apakah papaku masih hidup ata sudah tidak ada ?.” tanya alvin, kali ini shilla cukup terperanjat dibuatnya.
“hmmm...”
“jawab saja yang jujur.” Suruh alvin.
“masih hidup.” Kata shilla ragu-ragu. “baiklah, ayo lanjutkan.”
Suit keempat dimenangkan oleh shilla, membuat point mereka menjadi seimbang. “lebih sayang yana mana, aku atau sivia ?.” tanya shilla.
“hmmm, mama yag pertama.” Jawab alvin.
Baiklah ! permainan terakhir, persaingan terlihat kental antara ibu dan anak tersebut. Alvin mengamil ancang-ancang, sementara shilla menatap alvin denga tatapan iblis. “yeahhhh, aku menang.” Seru alvin senang. “mama kalah, hahahaa.”
Alvin berlari dan di ikuti shilla dari belakang, sesuai peraturan mereka hanya berlari disekeliling kamar alvin, tidak boleh keluar sedikit pun. Gelak tawa, wajah ceria, dan candaan garing terlihat begitu kental di pagi ini. Tiba-tiba rasa bahagia itu ada dan membuat alvin melupakan kecemburuan tadi. Lantas tidak membuatnya melupakan gadis tersebut yg sedang bersama saingan beratnya. Tapi biarkan saja, suatu hari ini ia bertekat untuk merrebut gadi cubbynya.

^^

Sivia dan gabreil baru saja berhenti balap sepeda, kali ini yang menang adalah sivia dan ngabriel harus membelikannya ice cream karba kalah. Tapi itu bukanlah hal yang sulit untuk gabriel,  membelikan ice cream untuk sivia adalah hal yang sangat amat mudah. Apalagi uangnya terbalas oleh rasa puasnya karna mengingat kalau tadi ia sempat melirik wajah alvin yang mungkin sudah mulai cemburu dibuat oleh dirinya.
“hay ! belikan satu untuk alvin.” kata sivia. “nanti biar aku yang bayar.”
“huh, tidak usah. Tante shilla tidak akan mengizikannya untuk  makan ice cream.”
“ahhh ! bodo amat, alvin harus merasakan ice cream ini. Aku yakin dia akan mennyukainya.”
“baiklah sivia, apasih yang tidak kalau untukmu.” Kata iel sambil menoel dagu sivia.

Setelah memesan satu ice cream untuk alvin, mereka berdua segera bertandang kerumah shilla. Khusus untuk gabriel dan sivia, mereka boleh keluar masuk rumah dengan luasa. Shilla telah menganggap mereka seperti anak sendiri. “tante...” panggil sivia sambil membuka pintu rumah. Namun tidak ada jawaban sama sekali, gadis tersebut naik kelantai 2. Mungkin ibu dan anak tersebut sedang ada dikamar alvin, pikirnya.
“waw...” komen sivia saat membuka knop pintu kamar alvin, pemandangan didepanna sungguh mengharukkan.
Sivia melihat alvin yang sedang tertidur pulas diatas ranjang dengan berbagai alat medis yang tadi dilepasnya, sementara shilla juga tertidur dengan posisi duduk di sebelah ranjang alvin. jalinan ibu dan anak itu benar-benar terlihat begitu kental diantara alvin dan shilla.
Beberapa menit kemudian, titik fokus sivia jatuh pada alat-alat yang dipasang ketubuh alvn, tidak banyak hanya inpus dan masker oksigen. Namun tetap saja hati sivia mulai bertanya-tanya ‘mengapa alat-alat medis itu dipasang ketubuh alvin, bukankah pemuda tersebut baik-baik saja.’ Tanyanya dalam hati.
“sivia...” panggil shilla, yang dipanggil hanya tersenyum. sivia baru menyadari kalau wanita tersebut sudah bangun.
“maaf tante, sivia masuk tanpa izin.” Sesal sivia.
“hahaa, sivia jangan sungkan-sungkan. Kamu bebas kelua masuk rumah ini. Bukankah tante sudah mengatakannya.”
Shilla menghampiri sivia, menepuk pundak gadis tersebut. “ masuklah, tante  mau keluar sebentar.” Kata shilla sambil berjalan keluar kamar.
Diluar shilla juga menemukan gabriel yang sedang berdiri di samping pintu, “gabriel, setelah melihat kondisi adikmu. Tante ingin berbicara denganmu.”  Tutur shilla tanpa menghadap gabriel, kakinya
tetap berjalan tanpa ada niat untuk menghampiri gabriel.
Gabriel mengangguk mengiyakan, setelah itu ia berjalan masuk dan berdiri tepat disamping ranjang alvin dan di samping tempat sivia duduk. “huh ! lagi-lagi kau membuatku khawatir.” lirih gabriel, tangan kanannya mengacak-ngacak rambut alvin yang masih tertidur. Setelah itu gabriel keluar kamar tanpa menghiraukan keberadaan sivia yang sedari tadi menatapnya bingung.

^^

########## Bersambung ##########

Tidak ada komentar:

Posting Komentar