+++MIRIS (Akhir Cerita/Kisah) #part 2+++
Cerita akan
berawal dan berakhir pada suatu saat nanti...
Sayap-sayap
kokoh harus siap bila nanti bulu-bulu lembutnya akan meluruh begitu saja di
telan rasa MIRIS...
Satu dari
jiwa akan lepas, terbang, melayang, dan hilang setelah lama terjebak dalam
persetan dunia...
Maka
sesungguhnya cinta bukan satu-satunya kekuatan yang maha dasyat untuk
membuatnya tetap tinggal...
Kepergian
yang terjadi disini bukanlah sebuah pengorbanan, namun sebuah takdir yang
tergores sempurna untuk suatu hal yang terbaik sebagai penekan setiap rasa
sakit...
Sesungguhnya
ini adalah cerita bukan kisah, cerita miris yang tiada berujung hingga raga
bagaikan di remas kuat hingga semua runtuh, MIRIS.... :’(
Di ikhlaskan
atau meng-ikhlaskan dia....
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Terik mentari semakin menyengat dan
merangsang kepermukaan indra perasa, Kulit. Saat dimana semua peralatan dan
seragam sekolah sudah harus ditanggalkan untuk hari esok. Hentakkan kaki
menjadi nada riang yang kian memutar disetiap pelosok rumah. Putaran hari
setelah pertamanan yang terjalin, satu waktu yang dilewatkan dengan susah payah
demi dia yang telah memikat hati.
“aku mencintainya.” Dua kata dan 1 kalimat
ajaib yang terlantun sempurna dari hati 3 jiwa, isyarat mengatakan kalau satu
dari mereka akan mengalami rasa miris luar biasa, atau dua dari mereka akan
menjaga hati agar dia yang terabaikan tidak akan merasakan miris.
^^
“iel, apa yang kamu pikirkan ?.” tanya alvin,
yang ditanya hanya cengengesan sambil menunjukkan deretan gigi putih yang
tertata rapi dimulutnya.
“aku mencintainya.” Gumam iel dengan nada
lantang, alvin menautkan 2 alisnya. “aku mencintainya vin.”
“siapa yang kau maksud ? sivia ?.” tanya alvin
lagi, seketika mata gabriel mulai berbinar-binar mendengar tebakkan jitu
sepupunya.
“iya vin, aku mencintainya, mencintai sivia.”
Kata gabriel. “bantu aku mendapatkannya vin.”
“ngek, tidak. Aku tidak mau, itu urusanmu.
Lagi pula aku tidak tahu menahu tentang yang beginian.” Tolak alvin
mentah-mentah. Ekspresi wajah gabriel berubah kecewa dengan tolakkan yang telak
membuat harapannya pupus. “ahhh ! gabriel, ayolah jangan buat aku menyesal
telah menolak untuk membantumu. Aku benar-benar tidak bisa.”
Alvin meninggalkan gabriel yang masih
menunjukkan raut kecewanya, kemudian masuk begitu saja kekamarnya dan mengkunci
pintu supaya tidak ada yang memasuki kamar tersebut selain dirinya. Sebentar ia
mencoba untuk menangkis ego yang tiba-tiba menyelumbung hingga ia menolak untuk
membantu gabriel. Sebenarnya dia juga bingung pada dirinya sendiri, bingung
mengapa hatinya benar-benar menentang kalau gabriel mencintai sivia.
“alvin, apa kamu mencintai sivia ? sampai kamu
menolak untuk membantukku.” Kata gabriel dari luar kamar. Alvin menyenderkan
tubuhnya pada pintu kamar dan merosotkan tubuhnya yang tiba-tiba melemas
mendengar perkataan gabriel.
“tidak, aku tidak mencintainya.” Kata alvin
pelan, sangat pelan. Ntah kenapa kalimat tersebut membuat hatinya semakin
memberontak tak karuan, membuatnya bingung sendiri.
“aku tidak percaya, kalau kamu tidak
mencintainya maka buktikanlah.” Tantang gabriel dari balik pintu, tersirat ego
disetiap kalimat yang terlontar dari mulut gabriel. Sekan tidak peduli pada
suara lemah yang sedang mati-matian menahan sesak yang menghujat telak ulu hati
alvin.
“terserah kamu saja iel, aku tidak peduli.”
“berarti kamu benar mencintai sivia juga.”
Tidak ingin berbohong, alvinpun
mengiyakan perkataan gabriel. Dia tidak mau menjadi tokoh dalam sinetron atau
bahkan tokoh dalam novel yang selalu berkorban demi sahabatnya dan terus
berpura-pura tegar dengan mengorbankan cintanya untuk sahabatnya sendiri. Ini
bukan ego, Cukup menjadi orang yang jujur sebelum ia menyakiti hatinya sendri
dengan pengakuan bodoh yang hanya akan menjadi persetan rasa.
“iya, aku mencintainya. PUAS ?” cerca alvin
masih dalam posisinya.
“hahaha, baiklah Alvin, aku puas dan aku salut
pada kejujuranmu, berjuanglah untuk merebutkan sivia dari tanganku.” Tantang
iel, tawanya meledak seakan-akan meremehkan alvin.
“hmmm ! kau juga jangan mengasihiku hanya
karna aku seorang lelaki penyakitan. Berjuanglah, aku akan merebutnya darimu
iel.” Kata alvin, nada suaranya juga terdengar menantang.
Satu cinta dan satu hanyalah obsesi,
cinta bukan tentang yang cepat atau yang lambat, tapi cinta adalah rasa yang
pantas bersanding dengan si pemikat hati. Ketika cinta memilih dengan hati dan
di ungkapkan dengan mulut, maka saat itu juga cinta berhak untuk bersatu. Lagi
pula juga Cinta tidak pernah peduli dengan seberapa lama raga dapat bertahan
atau seberapa jauh jiwa akan melayang, namun yang diperdulikan cinta adalah
seberapa kuat cinta itu menyatu dan seberapa tegar cinta itu bertahan ditengah
rasa miris.
^^
Acara malam didalam rumah. makan malam
yang diadakan silla untuk alvin. padahal agenda unutk hari ini tidak ada hal
istimewa untuk merayakan acara kecil-kecilan ini. Namun perasaan silla sebagai
ibu hanya ingin membuat alvin bahagia, ntah karna rasanya silla merasakan
setiap waktu yang berputar akan membawa langkah alvin semakin jauh dari langkah
kakinya didunia.
“hay, sivia. Leih baik kita makan di pinggir
kolam renang. Tampaknya disini terasa lebih sumpek.” Kata iel, matanya menyorot
kearah alvin yang sedang asik bercanda dengan silla dan tidak mengacuhkan
kehadiran iel dan sivia yang ada didekat mereka.”dan kelihatannya akan lebih
romantis kalau kita makan malam berdua sambil melihat keindahan langit dimalam
hari.”
Suasana tiba-tiba melengang, sivia
memilih diam dan tidak menyetujui maupun mengiyakan ajakan iel. Sementara
alvin, dia tampak sudah sangat kesal dengan tingkah gabriel yang seakan-akan
telah meluncurkan aksinya untuk mendapatkan sivia. Jelas terpahat kecemburuan
dihatinya, namun alvin tampaknya masih bisa bersikap tenang danmenahan setiap
kejolakan hatinya yang menetang keras ajakan iel untk sivia.
“ayolah via, jangan sungkan-sungkan. Alvin dan
tente silla tidak akan keberatan. Iyakan ?.” gabriel menarik paksa tangan sivia
dan membawanya menjauh dari meja makan. Sementara alvin malah tidak bergeming
sama sekali. Silla hanya mengangguk ringan, tidak keberatan dengan apa yang
dilakukan gabriel.
“alvin, kamu tidak apa-apa nak ?.” tanya silla
yang mendapati alvin hanya diam sambil meremas sendok yang masih digenggamnya.
“tidak ma.” Kata alvin pelan. “alvin mau masuk
duluan deh ma. makannya sudah cukup, alvin kenyang.” Alvin bangun dan berniat
untuk segera enyak dari meja makan sebelum silla akan menahannya dan mengtahui
kalau dirinya terbakar api cemburu.
“alvin, kamu tidak bisa bohong sama mama. Mama
tahu kamu cemburu, tapi sebaiknya kamu sadar diri. Sivia berhak mendapatkan
laki-laki terbaik seperti gabriel, menyerahlah.” Kata silla, tampaknya sekarang
dia tidak memihak pada anaknya.
Serasa raganya di matikan secara
perlahan, alvin menghentikkan langkahnya dan berbalik kearah silla. Senyum
tipis itu di pertunjukkan untuk mamanya seraya berkata. “berhentilah membuatku
sakit, mungkin sebaiknya kamu menjadi mama baru gabriel.” Kata alvin, mungkin
setiap kata yang dipilihnya terkesan kasar untuk dilontarkan kepada mamanya.
“maaf, alvin capek.”
Air mata silla menetes begitu saja,
perkataan alvin tadi membuatnya sadar kalau tidak sepantasnya ia menjatuhkan
mental alvin. seharusnya ia mendukung alvin, bukannya membela gabriel dengan
berkata seperti tadi. Tapi ada saatnya alvin melambungkan asanya dan tidak
bermimpi lebih dari masa hidupnya, apalagi semuanya tentang cinta. Silla takut
kalau nanti alvin akan terhempas lebih keras ke bidang datar takdir yang tidak
sepenuhnya memihak.
^^
Bintang tampak memudar, selumbung awan
pekat membuat tiada cahaya lain diantara bulan. Bintang yang biasa namapak
cantik dan terkhias diangkasa, kini bagai lenyap ditelan awan. Hembusan angin
ikut berpadu, membuat suasana semakin mencekang, serta merangsang telak pada
permukaan kulit. Hawa dingin bagai meraba-raba seraya perlahan memeluk
permukaan indra perasa, menyelubung tiada celah untuk kehangatan lain.
“iel, nggak ada bintang dan tampaknya hujan
sebentar lagi akan turun.” Kata sivia.
“ya vi, kau benar. Tapi baru saja kita duduk
berdua disini.” Gabriel menatap wajah via, lagi-lagi hatinya berdesir ketika
menatap wajah gadis di sebelahnya.
“aku tahu iel, tapi aku juga harus pulang.”
Sivia memilih berdiri dari pinggir
kolam renang, kakinya hendak melangkah meninggalkan gabriel yang masih diam
memandang wajahnya. Lagipula sivia merasa risih kalau terus-terusan dipandang
seperti itu, ia juga merasa kalau hati kecilnya menolak untuk terus berada
disamping gabriel karna ada rasa takut jauh dilubuk hatinya, takut kalau nanti
ada seseorang yang akan marah besar melihatnya berdua.
“baiklah vi, biar ku antar sampai depan.
Sekalian aku juga mau pulang.”
Mereka berjalan kembali kearah meja
makan, meminta izin untuk segera enyah dari rumah ini. Terakhir mata mereka
hany menangkap seorang wanita yang duduk dengan pandangan kosong dengan air
mata yang masih mengalir pelan.
“tante, ada apa ?.” tanya sivia, suaranya
terdengar kawatir.
“eh, kalian. Tidak, tante tidak apa-apa.”
Silla segera menyeka kasar air matanya, berusaha tersenyum dibalik kepedihannya.
“beneran, tante tidak apa-apa kok.” Kata
shilla. “apa kalian mau pulang ?.”
Sivia dan gabriel mengangguk, setelah itu
mereka mencium tangan shilla dan langsung pergi dari rumah tersebut. Sebelumnya
sivia sempat mencari-cari keberadaan alvin, namun tampaknya ia tidak melihat
pemuda tersebut setelah makan malam tadi.
“makasih iel, maaf ngerepotin.” Kata sivia
setelah samapai didepan pintu gerbang rumahnya, gabriel hanya mengangguk seraya
menaiki motornya, sebelumnya ia berkata “besok pagi kita balap sepeda yok vi.”
Sivia mengangguk seraya tersenyum, gabriel pun
terlihat begitu senang mendapati tawarannya disetujui oleh sivia. Hari ini
gabriel serasa menang dari alvin, apalagi tadi ia sempat melihat wajah alvin
yang merah menahan cemburu. ‘kamu sendiri yang meminta vin, aku tidak akan
mengasihimu dan semoga semua ini tidak membuat kondisimu ngedrop. Maafkan aku.’
Gebriel membantin dan mengegas motornya.
Disisi yang berbeda, sivia baru saja
menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia mulai mencoba untuk terpejam, namun
bayang-bayang wajah alvin kian memenuhi latar gelap matanya saat terpejam.
Seakan kapok, sivia tidak kembali memejamkan matanya. Ia malah memilih untuk
diam, mencari titik fokus pada lukis bintang yang ada di langit-langit
kamarnya. Namun lagi-lagi semuanya terusik oleh suara yang mendendangkan nama
alvin didalam gendang telinganya.
“arghhhh !” erang sivia, ia tidak berniat
untuk berbaring lagi. Langkahnya memutuskan untuk melihat ada pemandangan apa
dibalik balkon kamarnya.
Angin malam menyambut kedatang sivia
ketika membuka pintu balkon kamarnya, seketika itu dingin langsung memeluk
tubuh gadis itu. Namun ia tak peduli, tatapannya malah jatuh pada sisi gelap kamar dari balkon
depan, tepatnya kamar alvin.
Lampu kamar yang menjadi satu-satunya
penerang di kamar tersebut tetap saja tidak mampu membuat sivia dapat melihat
keadaan kamar tersebut. Satu-satunya yang paling jelas hanyalah, suara
barang-barang pecah yang dari tadi terus menerus mengeruhi kedamaian malam.
‘apa yang sebenarnya terjadi.’ Kata Batin sivia yang mulai penasaran.
Untuk membubuhi rasa penasarannya,
sivia mengambil senter dan menyorot bagian gelap kamar tersebut. Semua terlihat
jelas karna tirai kamar alvin tidak menutupi bagian dalam, apalagi pintu balkon pemuda tersebut hanya terbuat dari
kaca bening yang benar-benar transparan. Dari balkonnya sivia dapat melihat
kalau semua ornamen-ornamen kamar alvin berserakan dilantai, apa lagi
benda-benda yang terbuat dari kaca, kini sudah pecah dan tidak dapat dikenali
bentuknya lagi.
Di sudut gelap kamar tersebut, si
pemuda sudah terduduk dengan kepala tertunduk dan kaki yang menekuk, lengkap
dengan kedua tengan yang memeluk kaki yang teertekuk tadi. Mengenaskan sekali,
ingin rasanya sivia datang kesana dan bertanya ‘apa yng sedang terjadi ?’, tapi
nyatanya malam makin larut, hal itu membuatnya tidak bisa keluar lagi dari
rumahnya. Lagi pula alvin tidak butuh dirinya, dia kan bukan siapa-siapanya
alvin.
^^
Alvin berdiri di belakang kaca
pembatas antara balkon dan kamanya, dari sini ia bisa melihat apa yang
dilakukan sepasang anak manusia di jalanan kompleks sepagi ini. Meskipun tidak
tahan dengan pemandangan tersebut, tapi rasa penasaran yang tumbuh membuatnya
tetap bertahan untuk menyaksikan adegan tersebut. “tampaknya aku kalah,” ujar
alvin, pandangannya belum beralih sedikitpun.
“belum saatnya kamu melepaskan alat-alat medis
itu.” Tiba-tiba silla muncul dari balik pintu. “tubuhmu masih lemas karna
amukkan kemarin malam.” Kata silla, ia berjalan kesamping alvin dan ikut
melihat kearah pemandangan pagi yang menurutnya sudah berhasil membuat hati
anaknya terbakar cemburu.
“aku tidak butuh alat-alat itu, buat apa ?
buat memperpanjang penderitaanku, hahaha.” Ujar alvin, tawanya meledak begitu
saja. Tawa kepedihan bukan tawa yang menyiratkan kebahagiaan.
“baiklah kalau kau memang tidak buutuh
alat-alat medis itu, tapi tampaknya kau akan butuh obat-obatan ini.”
Alvin mengalihkan pandangannya,
matanya menatap tajam kearah beberapa obat yang disodorkan untuknya. Setelah
itu ia mengambil obat tersebut dan membuangnya kesudut kamar. “aku juga tidak
membutuhkan semua itu. Lagi pula buat apa kamu mengurusiku, bukankah kamu sudah
mempunyai gabriel untuk kau urusi dan kau bela.”
Shilla menghela nafas berat, ini
memang salahnya. Kalau sudah begini butuh kesabaran eXstra untuk menghadapi
alvin, bagaimana pun ini resiko atas perkataannya kemarin malam. Wajar saja
kalau sekarang alvin masih menyimpan kemarahanya, apa lagi amukkan kemarin malam
belum bisa membuat hati alvin tenang. Mau ngamuk sampai rumah rusak pun, tetap
tidak akan membuat pemuda tersebut tenang atas segala kegusarannya malam
kemarin.
“huh ! baiklah, Alvin jonathan. Tampaknya kau
masih marah padaku.” Alvin diam, tatapannya masih mengarah pada obat-obat yang
berserakkan karna ulahnya. “maafkan mama, mama tidak bermaksud mengatakan hal
itu.”
“kau tidak salah dan aku tidak pantas marah
padamu. Aku mengerti maksudmu, jadi kau tak perlu menjelaskannya.” Kata alvin.
“al, maafkan mama. Mama memang salah, jangan
perlakukan mama seperti ini.”
Air mata shilla menetes begitu saja,
perlakuan alvin membuatnya rapuh. Selama sekian tahun baru kali ini alvin
bersikap seperti ini kepadanya, apalagi dari kemarin malam alvin tidak
memanggilnya dengan sebutan mama. Hal tersbut benar-benar membuatnya merasa
gelisah dan galau.
Alvin terhenyak melihat air mata bening itu
menetes, untuk yang pertama kalinya ia melihat air itu menetes karna sikapnya.
“maafkan alvin.” kata alvin, ia langsung memeluk tubuh shilla dan menengkan
wanita itu. “jangan nangis ma, alvin takut.”
Pelukkan itu terbalaskan, shilla lebih
erat memeluk tubuh anaknya. Mulut kecilnya seakan terkunci, kini tangisnya
menjadi haru. ‘biarkan sejenak tubuh ini menghangatkan ku, mungkin tidak akan
ada lagi yang memelukku kelak.’ Gumam shilla dalam hati, ia begitu menikmati
setiap kehangatan tubuh anaknya.
“maafkan mama, vin. Mama janji akan selalu
mendukungmu.”
Alvin tersenyum senang, setidaknya
tidak akan ada lagi kata-kata yang membuatnya sakit hati untuk hari esok.
Pelukkannya mulai melonggar, ia mengangguk dan mempercayai kata-kata mamanya.
“baiklah nona muda, kau sudah janji.
Hahaha.”
“alvin panggil aku mama lagi.” Rengek shilla,
membuat alvin terkekeh geli melihat tingkah mamanya. Tiba-tiba ia memikirkan
sesuatu untuk membuat suasana pagi ini tidak seburam pagi tadi.
“tidak semudah itu, kau harus bermain denganku
dulu.”
“bermain ?.” tanya shilla.
“iya, kita main suit saja. Yang kalah akan
menjawab pertanyaan dari yang menang, jika kalah sampai tiga kali maka dia akan
menjadi si pengejar. Kita main kejar-kejaran, bagaimana nona ?” tantang alvin.
Shilla ragu-ragu untuk mengiyakan ajakkan
anaknya. “tidak alvin, terlalu lelah akan membuat kondisimu...”
“arghhh, tidak apa. Larinya cuman dikamar iini
saja. Ayolah, aku merindukan permainan ini.” Kata alvin, kali ini ia ingin
sedikit lebih bebas untuk bermain dengan mamanya. Beberapa saat kemudian Shilla
mengangguk, tidak ada salahnya kalau untuk hari ini saja ! pikirnya. Kemudia
pasangan iibu dan anak tersebut memulai permainan.
Suit pertama dimenangkan oleh shilla,
pertanyaan yang diajukkan benar-benar hal yang sudah pasti diangguki oleh
alvin. “apa kamu mencintai sivia ?.” Pertanyaan shilla.
“hahaha, tentu saja.” Jawab alvin dengan nada lantang.
Suit kedua kali ini dimenangkan oleh alvin,
“bagaimana wajah papa ?.” tanya alvin.
Shilla diam sebentar, membayangkan bagaimana
wajah suaminya yang dulu. “tampan, putih sepertimu. Hidung, pipi, dan styl
rambutnya persis sepertimu.”
“ahhh ! masih tampanan aku.” Narsis alvin,
sementara shilla hanya tertawa mendengarnya.
Suit ketiga lagi-lagi dimenangkan alvin,
“sekarang apakah papaku masih hidup ata sudah tidak ada ?.” tanya alvin, kali
ini shilla cukup terperanjat dibuatnya.
“hmmm...”
“jawab saja yang jujur.” Suruh alvin.
“masih hidup.” Kata shilla ragu-ragu.
“baiklah, ayo lanjutkan.”
Suit keempat dimenangkan oleh shilla, membuat
point mereka menjadi seimbang. “lebih sayang yana mana, aku atau sivia ?.”
tanya shilla.
“hmmm, mama yag pertama.” Jawab alvin.
Baiklah ! permainan terakhir, persaingan
terlihat kental antara ibu dan anak tersebut. Alvin mengamil ancang-ancang,
sementara shilla menatap alvin denga tatapan iblis. “yeahhhh, aku menang.” Seru
alvin senang. “mama kalah, hahahaa.”
Alvin berlari dan di ikuti shilla dari
belakang, sesuai peraturan mereka hanya berlari disekeliling kamar alvin, tidak
boleh keluar sedikit pun. Gelak tawa, wajah ceria, dan candaan garing terlihat
begitu kental di pagi ini. Tiba-tiba rasa bahagia itu ada dan membuat alvin
melupakan kecemburuan tadi. Lantas tidak membuatnya melupakan gadis tersebut yg
sedang bersama saingan beratnya. Tapi biarkan saja, suatu hari ini ia bertekat
untuk merrebut gadi cubbynya.
^^
Sivia dan gabreil baru saja berhenti
balap sepeda, kali ini yang menang adalah sivia dan ngabriel harus
membelikannya ice cream karba kalah. Tapi itu bukanlah hal yang sulit untuk
gabriel, membelikan ice cream untuk
sivia adalah hal yang sangat amat mudah. Apalagi uangnya terbalas oleh rasa
puasnya karna mengingat kalau tadi ia sempat melirik wajah alvin yang mungkin
sudah mulai cemburu dibuat oleh dirinya.
“hay ! belikan satu untuk alvin.” kata sivia.
“nanti biar aku yang bayar.”
“huh, tidak usah. Tante shilla tidak akan
mengizikannya untuk makan ice cream.”
“ahhh ! bodo amat, alvin harus merasakan ice
cream ini. Aku yakin dia akan mennyukainya.”
“baiklah sivia, apasih yang tidak kalau
untukmu.” Kata iel sambil menoel dagu sivia.
Setelah memesan satu ice cream untuk
alvin, mereka berdua segera bertandang kerumah shilla. Khusus untuk gabriel dan
sivia, mereka boleh keluar masuk rumah dengan luasa. Shilla telah menganggap
mereka seperti anak sendiri. “tante...” panggil sivia sambil membuka pintu
rumah. Namun tidak ada jawaban sama sekali, gadis tersebut naik kelantai 2.
Mungkin ibu dan anak tersebut sedang ada dikamar alvin, pikirnya.
“waw...” komen sivia saat membuka knop pintu
kamar alvin, pemandangan didepanna sungguh mengharukkan.
Sivia melihat alvin yang sedang
tertidur pulas diatas ranjang dengan berbagai alat medis yang tadi dilepasnya,
sementara shilla juga tertidur dengan posisi duduk di sebelah ranjang alvin.
jalinan ibu dan anak itu benar-benar terlihat begitu kental diantara alvin dan
shilla.
Beberapa menit kemudian, titik fokus
sivia jatuh pada alat-alat yang dipasang ketubuh alvn, tidak banyak hanya inpus
dan masker oksigen. Namun tetap saja hati sivia mulai bertanya-tanya ‘mengapa
alat-alat medis itu dipasang ketubuh alvin, bukankah pemuda tersebut baik-baik
saja.’ Tanyanya dalam hati.
“sivia...” panggil shilla, yang dipanggil
hanya tersenyum. sivia baru menyadari kalau wanita tersebut sudah bangun.
“maaf tante, sivia masuk tanpa izin.” Sesal
sivia.
“hahaa, sivia jangan sungkan-sungkan. Kamu
bebas kelua masuk rumah ini. Bukankah tante sudah mengatakannya.”
Shilla menghampiri sivia, menepuk pundak gadis
tersebut. “ masuklah, tante mau keluar
sebentar.” Kata shilla sambil berjalan keluar kamar.
Diluar shilla juga menemukan gabriel yang
sedang berdiri di samping pintu, “gabriel, setelah melihat kondisi adikmu.
Tante ingin berbicara denganmu.” Tutur
shilla tanpa menghadap gabriel, kakinya
tetap berjalan tanpa ada niat untuk
menghampiri gabriel.
Gabriel mengangguk mengiyakan, setelah
itu ia berjalan masuk dan berdiri tepat disamping ranjang alvin dan di samping
tempat sivia duduk. “huh ! lagi-lagi kau membuatku khawatir.” lirih gabriel,
tangan kanannya mengacak-ngacak rambut alvin yang masih tertidur. Setelah itu
gabriel keluar kamar tanpa menghiraukan keberadaan sivia yang sedari tadi
menatapnya bingung.
^^
########## Bersambung ##########
Tidak ada komentar:
Posting Komentar