+++MIRIS (Akhir Cerita/Kisah) #part 5+++
Semua cerita terlukis sempurna..
terajut takdir dengan sejuta cinta,,,
terajut takdir dengan sejuta cinta,,,
Terulas bahagia bersama derita...
Mempersempit ruang, menyisakan kisah...
Kala Semakin jauh dan semua akan hilang,,,
Tak tersisa namun tak berakhir jua...
Bahagia atau derita K
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seperti janji
mereka, malam ini akan menjadi malam pertama saat kedua mata mereka menatap
bintang di pinggir kolam renang rumah alvin. Tidak ada suara, namun mata tidak
akan pernah bungkam. Kedua tangan mereka bergenggaman dalam diam, tubuh mereka
terbalut kehangatan, dan kebahagian itu meryap dan menjelma menjadi ketulusan.
“alvin, apa kamu
menyukai bintang ?.” tanya sivia tiba-tiba.
“tidak.” Singkatnya tanpa menoleh kearah sivia.
“tidak.” Singkatnya tanpa menoleh kearah sivia.
Sivia
menautkan kedua alisnya bertanda bingung,
“kenapa kamu tidak menyukai bintang, bintang itu kan bagus ?.” Tanya sivia, ada rasa
penasaran untuk laki-laki disampingnya. Kenapa alvin tidak suka bintang,
padahal diluar sana hampir semua orang menyukai bintang. Yah, setidaknya banyak
yang menyukai bintang.
“ntahlah, aku tidak
tahu. Aku lebih menyukai Matahari.” Jelas alvin, dia menoleh dan tersenyum
kearah sivia.
“matahari ? tapi
bukankah kamu tidak pernah merasakan matahari secara langsung. Lantas apa yang
kamu sukai dari matahari.” Tanya sivia lagi, tampaknya dia sudah mulai
penasaran.
alvin yang
mendengar pertanyaan sivia hanya tertawa sumbang. Tawa yang mungkin terdengar
aneh oleh sivia, tawa yang penuh kepedihan. “tidak apa, meskipun tidak pernah
merasakan cahayanya secara langsung. Tapi aku tetap lebih menyukai Matahari.
Matahari itu sebagai kehidupan.” Kata alvin. ‘dan sebagai kematian, untukku.’ Lanjutnya dalam hati.
Sivia hany
mengangguk, tidak membenarkan atau menyalahkan. Biar saja, alvin punya hak
untuk lebih menyukai matahari. Dan aku tetap menyukai bintang. “baiklah,
terserah kamu. Tapi aku punya satu pertanyaan untukmu, kenapa kamu tidak boleh
merasakan sinar matahari secara langsung tau kenapa kamu tidak boleh keluar
rumah ?.”
Alvin diam
seribu kata, ntahlah ! tapi faktanya dia juga tidak tahu kenapa dirinya tidak
boleh keluar. Yang jelas, mamanya –shilla- dari dulu sampai saat ini, tidak
pernah mengizinkannya keluar. Pernah ia mencari alasan mamanya tidak
mengizinkannya keluar, namun yang
didapatkannya hanya isak tangis sang mama yang konon tidak ingin menceritakan
apa yang sebenarnya terjadi. Setiap bertanya, ia hanya mendapat jawaban yang
tidak memuaskan. Dan itu membuatnya jengah untuk bertanya kembali, biar saja
waktu yang menjawab ! lirihnya.
“hmmmm...” gumam alvin, bingung mau menjawab apa. Sementara hatinya saja masih bertanya-tanya tentang hal tersebut.
“hmmmm...” gumam alvin, bingung mau menjawab apa. Sementara hatinya saja masih bertanya-tanya tentang hal tersebut.
“siviaaaa.” Penggil
seseorang dari belakang mereka, sepertinya sedikit mengganggu kebersamaan alvin
dan sivia. “gue butuh loe, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan, PENTING.”
Tukas gabriel.
Kontan alvin
dan sivia menoleh kebelakang dan mendapatkan gabriel dengan nafas ngos-ngosan. Sejenak
mereka berdiam dan saling pandang dengan alis bertautan tidak jelas. Sesaat
setelah itu sivia menatap alvin, bak meminta persetujuan dari laki-laki
disampingnya. Namun alvin hanya bersikap acuh tak acuh seraya membuang muka dan
kembali sok sibuk dengan tatapan menerawang bintangnya.
Serasa
dicuekin, sivia langsung mengambil inisiatif untuk mengiyakkan ajakkan gabriel,
toh mereka tidak akan melakukan apapun, mereka hanya akan bicara –mungkin-.
“vin aku pergi sebentar ya.” Izin sivia, namun lagi-lagi alvin mengacuhkannya,
seakan tak peduli apapun yang akan dilakukan gadisnya dengan orang lain.
Angin kembali
berhembus, membiarkan setiap hembusan memeluk tubuhnya yang kini seorang diri.
Rasa cemburu itu datang lagi, setidak ini tidak lebih menyakitkan dari perasaan
cemburu beberapa minggu lalu. Ada ketakutan ketika gadisnya pergi bersama yang
lain, ketakutan ketika suatu saat nanti gadis itu akan pergi dan takkan
kembali, atau dirinya akan pergi. Huh !!!
“terkadang hubungan itu harus berpondasi rasa percaya terhadap satu sama lain.” Shilla duduk di sebelah alvin, menggantikan posisisi sivia yang tadi menemani anknya tadi.
“terkadang hubungan itu harus berpondasi rasa percaya terhadap satu sama lain.” Shilla duduk di sebelah alvin, menggantikan posisisi sivia yang tadi menemani anknya tadi.
Alvin menoleh
kearah shilla seraya tersenyum, ia seakan mengerti apa maksud mamanya. Mengerti
arti sebuah kepercayaan dan artinya ia harus percaya pada gadisnya saat bersama
dengan laki-laki lain. Yah ! begitu seharusnya, ia harus percaya pada sivia.
Namun bukan berarti rasa cemburu itu sirna begitu saja, rasa cemburu tidak akan
sirna secepat itu dan tidak akan sirna dengan mudah.
“aku tahu.” Balas
alvin masih dengan senyuman manisnya.
“baiklah, mama rasa kamu sudah cukup dewasa untuk meengerti itu.” Shilla mengangkat tangangnya dan dengan ringan mengacak-ngacak rambut alvin. “jangan cemburu lagi dong.”
“baiklah, mama rasa kamu sudah cukup dewasa untuk meengerti itu.” Shilla mengangkat tangangnya dan dengan ringan mengacak-ngacak rambut alvin. “jangan cemburu lagi dong.”
“hmmmm, Akan ku coba.”
Kata alvin lagi.
“mama percaya kamu bisa.” Alvin tersenyum lagi, kini kepalanya digiring untuk tidur dipangkuan shilla. Dan dengan senang hati shilla menyambut hal itu. Mereka diam dlam larutan keheningan malam, mencoba memforsir setiap sayang dengan cara damai, semakin lama dan smakin besar rasanya hubungan ibu dan anak itu terjalin.
“mama percaya kamu bisa.” Alvin tersenyum lagi, kini kepalanya digiring untuk tidur dipangkuan shilla. Dan dengan senang hati shilla menyambut hal itu. Mereka diam dlam larutan keheningan malam, mencoba memforsir setiap sayang dengan cara damai, semakin lama dan smakin besar rasanya hubungan ibu dan anak itu terjalin.
“ini.” Serah alvin
kepada shilla, memberikan sebuah potongan plastik dengan beberapa huruf
tercetak rapi dan foto pada bagian bawahnya. Shilla menerima hal tersebut
dengan alis berkerut, bingung dengan benda yang diberikan untuknya. “besok
sivia ulang tahun.” Kata alvin lagi.
Shilla
mengerti, potongan pelastik pipih itu adalah kartu pelajar sivia. Kartu dimana
tercantum tempat tanggal lahir sivia. Pasti anaknya –alvin- akan melakukan
sesuatu untuk gadis pujaan hatinya tersebut, sesuatu yang luar biasa. Shilla
bisa menebak hal tersebut.
“aku mau membuatnya
bahagia, aku ingin memberikan sesuatu untuknya.” Kata alvin mengadu.
Shilla mengangguk
jelas, “apa yang ingin kau lakukan untuknya ?.”
“aku ingin membuatnya bahagia.”
“mama tahu.” Kata shilla gemas. “apa yang akan kau lakukan untuk membuat sivia bahagia ?.” ulang shilla.
“hmmm, tapi apa mama akan mengizinkanku melakukannya.” Tanya alvin balik, shilla mengernyit tidak mengerti. Untuk yang satu ini, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran anaknya.
“aku ingin membuatnya bahagia.”
“mama tahu.” Kata shilla gemas. “apa yang akan kau lakukan untuk membuat sivia bahagia ?.” ulang shilla.
“hmmm, tapi apa mama akan mengizinkanku melakukannya.” Tanya alvin balik, shilla mengernyit tidak mengerti. Untuk yang satu ini, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran anaknya.
“mengapa tidak ? mama
akan mengizinkanmu selama kamu bahagia melihatnya bahagia.” Shilla menunduk,
menatap mata alvin yang juga menatapnya, mata sipit alvin menyiratkan keraguan.
Beberapa menit
terdiam, akhirnya alvin menaikkan kelingkingnya dan mengacungkannya tepat
didepan wajah shilla, tanpa mengubah posisi tidurnya. “apa mama janji akan
mengizinkanku selama aku bahagia melihatnya bahagia.” Kata alvin.
Shilla cukup ragu untuk
menyambut acungan kelingking kecil alvin, nammun pada akhirnya ia tersenyum dan
menyambut kelingking alvin dengan mengaitkan kelingkingnya ke jari kelingking
alvin. “baiklah, tapi janji tidak selamanya bisa menjamin keputusan mama.”
Balas shilla.
“a..ku... ingin
mengjaknya keluar dan berjalan-jalan.” Kata alvin masih dengan nada ragu-ragu.
“aku yakin dia akan bahagia dan aku juga akan bahagia melihatnya bahagia.”
Shilla tidak
menanggapi keinginan alvin, meskipun ia dengan jelan mendengar langsung dari
mulut anak laki-lakinya. “apa mama akan mengizinkanku ?.” tanya alvin dengan
nada memohon. shilla membuang muka dan menengadah menatap langit, berharap
butiran-butiran hangat itu tidak menetes sekarang juga, ia ingin menjadi lebih
kuat ketika menghadapi suasana seperti sekarang ini.
Angin kembali
berhembus dan memeluk tubuh alvin dengan rasa dingin yang kian menyilukkan
tulang-tulang sendinya. Belum, mamanya belum sedikitpun memberikan respon apa
pun tentang keinginannya. Mamanya masih diam, wajahnya masih menengadah
menentang langit. “aku tidak akan memaksa mama mengizinkanku.”
^^
Mereka diam
cukup lama, tidak ada suara apa pun untuk mengusir kebosanan. Tampaknya tempat
yang sunyi ini juga lebih memilih tidak mengganggu aksi mereka, biar saja angin
yang mengiringi, biar bulan dan bintang yang menjadi saksi bisu, dan biar
tumbuhan-tumbuhan kokoh yang berperan sebagai pendengar yang baik.
Gabriel menghela nafas
berat, “gue percaya sama loe vi.” Katannya pelan. “loe yang terbaik buat
alvin.” lanjutnya tak kalah pelan.
Sivia diam,
tampaknya dia lebih memilih menjadi tumbuhan-tumbuhan kokoh yang berperan
sebagai pendengar yang baik saat ini. Biarkan gabriel menyelesaikan
kata-katanya dan semua akan baik-baik saja, gumam sivia pelan.
“jujur, sejak pertama
gue liat loe dan saat itu juga gue suka sama loe. Tapi semakin kesini, gue
semakin merasa nggak ada cukup banyak penguat untuk mantapin hati gue untuk
bilang cinta sama loe.” Tutur gabriel pelan, “emang kenyataan, pada dasarnya
gue ngerti kalau gue emang gk cinta sama loe.” Kata gabriel mantap, sedikit
kelegaan untuk hatinya yang tadi sempat bersetru dengan akal pikirannya.
“sebelum gue nyakitin
hati loe, nyakitin hati alvin, dan nyakitin hati sahabt gue. Jadi sekarang gue
mau bilang kalau semua udah selesai dan alvin adalaha pemenang hati loe
seutuhnya.” Tegas gabriel dengan nada ringan.
Sivia menatap
gabriel, tatapan yang menyirat ketulusan dan rasa terima kasih lebih untuk
pemuda disampingnya. ntah dengan apa rasa terima kasih itu dapat tersampaikan
untuk gabriel, secara tiba-tiba sivia memeluk gabriel dan menangis haru didalam
pelukkan tersebut, “terima kasih, iel.” Ucapan tulus keluar dari mulut sivia,
hanya dua kata itu yang bisa keluar dan diproses oleh pita suaranya.
Gabriel tersentak
melihat sivia memeluknya dan mengucapkan terima kasih untuknya. Meskipun tidak
mengerti tapi gabriel tetap tersenyum dan membalas pelukkan gadis tersebut
dengan tulusnya.
“ayo pulang.” Ajak
gabriel setelah lama diam, sivia mengurai pelukkannya dan menyeka kasar air
matanya. “aku tidak mau membuatnya semakin cemburu karna membawa gadisnya lebih
lama dari setengah jam.” Goda gabriel sambil mencolek dagu sivia.
“dia tidak akan
cemburu, dia percaya padaku.” Kata sivia, lidahnya terjulur untuk mengejek
gabriel.
“hahaha, kalau begitu
kita diam saja disini lebih lama.” Gabriel tersenyum jahil dan memasang muka
pengen.
“huuuu, itu sih mau mu
iel.” Canda sivia sambil menoyor kepala gabriel. Setelah itu mereka tertawa
bersamaan, tawa seorang sahabat kental.
^^
Alvin duduk
menyandar di branda rumah, wajahnya datar tanpa ekspresi. Tatapan matanya
menerawang kelangit-langit penuh bitang. Pikirannya merana memikirkan gadisnya
yang tak kunjung kembali setelah setengah jam lebih.
“alvin.” panggil
seseorang, yang tanpa sadar sudah berada tepat dihadapannya.
Alvin tersadar
dari lamunanya dan mengubah sudut pandang matanya kearah gadis manis yang
sedari tadi di tunggu. Sementara di balakang gadis tersebut seorang pemuda
tengah menatapnya dengan pandangan khawatir ketika melihat raut wajah sepupunya
yang tidak bisa dijelaskan, mengenaskan sekali dengan rambut acak-acakkan.
“alvin, apa yang
terjadi ?.” tanya sivia lembut, mengubah sorot matnya menjadi sorot ke
khawatiran yang sama dengan sorotan mata gabriel.
Bukannya
menjawab, alvin malah bangun dari tempat duduknya dan langsung mememluk tubuh
sivia dengan erat. Seakan-akan dengan memeluk gadis tersebut semua rasa yang
membuncah dihatinya dapat tersampaikan langsung ke gadisnya. “apa yang terjadi
?.” tanya sivia mengulang pertanyaan yang tadi.
Alvin
menggeleng seraya melonggarkan pelukkannya dan memandang sivia dengan tatapan
teduhnya, perlahan wajah alvin mendekat dan mencium kening sivia dan perlahan
merapatkan dahinya dengan dahi sivia, sampai hidung mereka juga bersentuhan.
“aku bahagia.” Kata alvin sambil menyunggingkan senyumannya.
Dada sivia
melapang dan tersa lega begitu mendengar kata-kata alvin. “aku juga bahagia.”
Balas sivia lembut. Perlahan namun pasti, semua terjadi tepat didepan mata
gabriel.
Gabriel bak
saksi hidup yang melihat dua orang yang disayanginya bahagia. Gabriel melihat
bagaimana rasa sayang dan rasa cinta itu tersamaikan dengan leluasa diantara
sepasang anak manusia yang begitu berarti dalam hidupnya. “aku turut bahagia
untuk kebahagiaan kalian.” Gabriel tersenyum lega dan ntah mengapa hatinya
turut bahagia dengan adegan tersebut.
--------------BERSAMBUNG-----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar