Rabu, 22 Februari 2012

MIRIS (Akhir Cerita/Kisah) #part 5


+++MIRIS (Akhir Cerita/Kisah) #part 5+++

Semua cerita terlukis sempurna..
terajut takdir dengan sejuta cinta,,,
Terulas bahagia bersama derita...
Mempersempit ruang, menyisakan kisah...
Kala Semakin jauh dan semua akan hilang,,,
Tak tersisa namun tak berakhir jua...

Bahagia atau derita K

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Seperti janji mereka, malam ini akan menjadi malam pertama saat kedua mata mereka menatap bintang di pinggir kolam renang rumah alvin. Tidak ada suara, namun mata tidak akan pernah bungkam. Kedua tangan mereka bergenggaman dalam diam, tubuh mereka terbalut kehangatan, dan kebahagian itu meryap dan menjelma menjadi ketulusan.
“alvin, apa kamu menyukai bintang ?.” tanya sivia tiba-tiba.
“tidak.” Singkatnya tanpa menoleh kearah sivia.
Sivia menautkan kedua alisnya bertanda bingung,  “kenapa kamu tidak menyukai bintang,  bintang itu kan bagus ?.” Tanya sivia, ada rasa penasaran untuk laki-laki disampingnya. Kenapa alvin tidak suka bintang, padahal diluar sana hampir semua orang menyukai bintang. Yah, setidaknya banyak yang menyukai bintang.
“ntahlah, aku tidak tahu. Aku lebih menyukai Matahari.” Jelas alvin, dia menoleh dan tersenyum kearah sivia.
“matahari ? tapi bukankah kamu tidak pernah merasakan matahari secara langsung. Lantas apa yang kamu sukai dari matahari.” Tanya sivia lagi, tampaknya dia sudah mulai penasaran.
alvin yang mendengar pertanyaan sivia hanya tertawa sumbang. Tawa yang mungkin terdengar aneh oleh sivia, tawa yang penuh kepedihan. “tidak apa, meskipun tidak pernah merasakan cahayanya secara langsung. Tapi aku tetap lebih menyukai Matahari. Matahari itu sebagai kehidupan.” Kata alvin. ‘dan sebagai kematian, untukku.’ Lanjutnya dalam hati.
Sivia hany mengangguk, tidak membenarkan atau menyalahkan. Biar saja, alvin punya hak untuk lebih menyukai matahari. Dan aku tetap menyukai bintang. “baiklah, terserah kamu. Tapi aku punya satu pertanyaan untukmu, kenapa kamu tidak boleh merasakan sinar matahari secara langsung tau kenapa kamu tidak boleh keluar rumah ?.”
Alvin diam seribu kata, ntahlah ! tapi faktanya dia juga tidak tahu kenapa dirinya tidak boleh keluar. Yang jelas, mamanya –shilla- dari dulu sampai saat ini, tidak pernah mengizinkannya keluar. Pernah ia mencari alasan mamanya tidak mengizinkannya keluar, namun  yang didapatkannya hanya isak tangis sang mama yang konon tidak ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Setiap bertanya, ia hanya mendapat jawaban yang tidak memuaskan. Dan itu membuatnya jengah untuk bertanya kembali, biar saja waktu yang menjawab ! lirihnya.
“hmmmm...” gumam alvin, bingung mau menjawab apa. Sementara hatinya saja masih bertanya-tanya tentang hal tersebut.
“siviaaaa.” Penggil seseorang dari belakang mereka, sepertinya sedikit mengganggu kebersamaan alvin dan sivia. “gue butuh loe, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan, PENTING.” Tukas gabriel.
Kontan alvin dan sivia menoleh kebelakang dan mendapatkan gabriel dengan nafas ngos-ngosan. Sejenak mereka berdiam dan saling pandang dengan alis bertautan tidak jelas. Sesaat setelah itu sivia menatap alvin, bak meminta persetujuan dari laki-laki disampingnya. Namun alvin hanya bersikap acuh tak acuh seraya membuang muka dan kembali sok sibuk dengan tatapan menerawang bintangnya.

Serasa dicuekin, sivia langsung mengambil inisiatif untuk mengiyakkan ajakkan gabriel, toh mereka tidak akan melakukan apapun, mereka hanya akan bicara –mungkin-. “vin aku pergi sebentar ya.” Izin sivia, namun lagi-lagi alvin mengacuhkannya, seakan tak peduli apapun yang akan dilakukan gadisnya dengan orang lain.
Angin kembali berhembus, membiarkan setiap hembusan memeluk tubuhnya yang kini seorang diri. Rasa cemburu itu datang lagi, setidak ini tidak lebih menyakitkan dari perasaan cemburu beberapa minggu lalu. Ada ketakutan ketika gadisnya pergi bersama yang lain, ketakutan ketika suatu saat nanti gadis itu akan pergi dan takkan kembali, atau dirinya akan pergi. Huh !!!
“terkadang hubungan itu harus berpondasi rasa percaya terhadap satu sama lain.” Shilla duduk di sebelah alvin, menggantikan posisisi sivia yang tadi menemani anknya tadi.
Alvin menoleh kearah shilla seraya tersenyum, ia seakan mengerti apa maksud mamanya. Mengerti arti sebuah kepercayaan dan artinya ia harus percaya pada gadisnya saat bersama dengan laki-laki lain. Yah ! begitu seharusnya, ia harus percaya pada sivia. Namun bukan berarti rasa cemburu itu sirna begitu saja, rasa cemburu tidak akan sirna secepat itu dan tidak akan sirna dengan mudah.
“aku tahu.” Balas alvin masih dengan senyuman manisnya.
“baiklah, mama rasa kamu sudah cukup dewasa untuk meengerti itu.” Shilla mengangkat tangangnya dan dengan ringan mengacak-ngacak rambut alvin. “jangan cemburu lagi dong.”
“hmmmm, Akan ku coba.” Kata alvin lagi.
“mama percaya kamu bisa.” Alvin tersenyum lagi, kini kepalanya digiring untuk tidur dipangkuan shilla. Dan dengan senang hati shilla menyambut hal itu. Mereka diam dlam larutan keheningan malam, mencoba memforsir setiap sayang dengan cara damai, semakin lama dan smakin besar rasanya hubungan ibu dan anak itu terjalin.
“ini.” Serah alvin kepada shilla, memberikan sebuah potongan plastik dengan beberapa huruf tercetak rapi dan foto pada bagian bawahnya. Shilla menerima hal tersebut dengan alis berkerut, bingung dengan benda yang diberikan untuknya. “besok sivia ulang tahun.” Kata alvin lagi.
Shilla mengerti, potongan pelastik pipih itu adalah kartu pelajar sivia. Kartu dimana tercantum tempat tanggal lahir sivia. Pasti anaknya –alvin- akan melakukan sesuatu untuk gadis pujaan hatinya tersebut, sesuatu yang luar biasa. Shilla bisa menebak hal tersebut.
“aku mau membuatnya bahagia, aku ingin memberikan sesuatu untuknya.” Kata alvin mengadu.
Shilla mengangguk jelas, “apa yang ingin kau lakukan untuknya ?.”
“aku ingin membuatnya bahagia.”
“mama tahu.” Kata shilla gemas. “apa yang akan kau lakukan untuk membuat sivia bahagia ?.” ulang shilla.
“hmmm, tapi apa mama akan mengizinkanku melakukannya.” Tanya alvin balik, shilla mengernyit tidak mengerti. Untuk yang satu ini, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran anaknya.
“mengapa tidak ? mama akan mengizinkanmu selama kamu bahagia melihatnya bahagia.” Shilla menunduk, menatap mata alvin yang juga menatapnya, mata sipit alvin menyiratkan keraguan.
Beberapa menit terdiam, akhirnya alvin menaikkan kelingkingnya dan mengacungkannya tepat didepan wajah shilla, tanpa mengubah posisi tidurnya. “apa mama janji akan mengizinkanku selama aku bahagia melihatnya bahagia.” Kata alvin.
                Shilla cukup ragu untuk menyambut acungan kelingking kecil alvin, nammun pada akhirnya ia tersenyum dan menyambut kelingking alvin dengan mengaitkan kelingkingnya ke jari kelingking alvin. “baiklah, tapi janji tidak selamanya bisa menjamin keputusan mama.” Balas shilla.
“a..ku... ingin mengjaknya keluar dan berjalan-jalan.” Kata alvin masih dengan nada ragu-ragu. “aku yakin dia akan bahagia dan aku juga akan bahagia melihatnya bahagia.”
Shilla tidak menanggapi keinginan alvin, meskipun ia dengan jelan mendengar langsung dari mulut anak laki-lakinya. “apa mama akan mengizinkanku ?.” tanya alvin dengan nada memohon. shilla membuang muka dan menengadah menatap langit, berharap butiran-butiran hangat itu tidak menetes sekarang juga, ia ingin menjadi lebih kuat ketika menghadapi suasana seperti sekarang ini.
Angin kembali berhembus dan memeluk tubuh alvin dengan rasa dingin yang kian menyilukkan tulang-tulang sendinya. Belum, mamanya belum sedikitpun memberikan respon apa pun tentang keinginannya. Mamanya masih diam, wajahnya masih menengadah menentang langit. “aku tidak akan memaksa mama mengizinkanku.”


^^
Mereka diam cukup lama, tidak ada suara apa pun untuk mengusir kebosanan. Tampaknya tempat yang sunyi ini juga lebih memilih tidak mengganggu aksi mereka, biar saja angin yang mengiringi, biar bulan dan bintang yang menjadi saksi bisu, dan biar tumbuhan-tumbuhan kokoh yang berperan sebagai pendengar yang baik.
Gabriel menghela nafas berat, “gue percaya sama loe vi.” Katannya pelan. “loe yang terbaik buat alvin.” lanjutnya tak kalah pelan.
Sivia diam, tampaknya dia lebih memilih menjadi tumbuhan-tumbuhan kokoh yang berperan sebagai pendengar yang baik saat ini. Biarkan gabriel menyelesaikan kata-katanya dan semua akan baik-baik saja, gumam sivia pelan.
“jujur, sejak pertama gue liat loe dan saat itu juga gue suka sama loe. Tapi semakin kesini, gue semakin merasa nggak ada cukup banyak penguat untuk mantapin hati gue untuk bilang cinta sama loe.” Tutur gabriel pelan, “emang kenyataan, pada dasarnya gue ngerti kalau gue emang gk cinta sama loe.” Kata gabriel mantap, sedikit kelegaan untuk hatinya yang tadi sempat bersetru dengan akal pikirannya.
“sebelum gue nyakitin hati loe, nyakitin hati alvin, dan nyakitin hati sahabt gue. Jadi sekarang gue mau bilang kalau semua udah selesai dan alvin adalaha pemenang hati loe seutuhnya.” Tegas gabriel dengan nada ringan.
Sivia menatap gabriel, tatapan yang menyirat ketulusan dan rasa terima kasih lebih untuk pemuda disampingnya. ntah dengan apa rasa terima kasih itu dapat tersampaikan untuk gabriel, secara tiba-tiba sivia memeluk gabriel dan menangis haru didalam pelukkan tersebut, “terima kasih, iel.” Ucapan tulus keluar dari mulut sivia, hanya dua kata itu yang bisa keluar dan diproses oleh pita suaranya.
Gabriel tersentak melihat sivia memeluknya dan mengucapkan terima kasih untuknya. Meskipun tidak mengerti tapi gabriel tetap tersenyum dan membalas pelukkan gadis tersebut dengan tulusnya.
“ayo pulang.” Ajak gabriel setelah lama diam, sivia mengurai pelukkannya dan menyeka kasar air matanya. “aku tidak mau membuatnya semakin cemburu karna membawa gadisnya lebih lama dari setengah jam.” Goda gabriel sambil mencolek dagu sivia.
“dia tidak akan cemburu, dia percaya padaku.” Kata sivia, lidahnya terjulur untuk mengejek gabriel.
“hahaha, kalau begitu kita diam saja disini lebih lama.” Gabriel tersenyum jahil dan memasang muka pengen.
“huuuu, itu sih mau mu iel.” Canda sivia sambil menoyor kepala gabriel. Setelah itu mereka tertawa bersamaan, tawa seorang sahabat kental.


^^
Alvin duduk menyandar di branda rumah, wajahnya datar tanpa ekspresi. Tatapan matanya menerawang kelangit-langit penuh bitang. Pikirannya merana memikirkan gadisnya yang tak kunjung kembali setelah setengah jam lebih.
“alvin.” panggil seseorang, yang tanpa sadar sudah berada tepat dihadapannya.
Alvin tersadar dari lamunanya dan mengubah sudut pandang matanya kearah gadis manis yang sedari tadi di tunggu. Sementara di balakang gadis tersebut seorang pemuda tengah menatapnya dengan pandangan khawatir ketika melihat raut wajah sepupunya yang tidak bisa dijelaskan, mengenaskan sekali dengan rambut acak-acakkan.
“alvin, apa yang terjadi ?.” tanya sivia lembut, mengubah sorot matnya menjadi sorot ke khawatiran yang sama dengan sorotan mata gabriel.
Bukannya menjawab, alvin malah bangun dari tempat duduknya dan langsung mememluk tubuh sivia dengan erat. Seakan-akan dengan memeluk gadis tersebut semua rasa yang membuncah dihatinya dapat tersampaikan langsung ke gadisnya. “apa yang terjadi ?.” tanya sivia mengulang pertanyaan yang tadi.
Alvin menggeleng seraya melonggarkan pelukkannya dan memandang sivia dengan tatapan teduhnya, perlahan wajah alvin mendekat dan mencium kening sivia dan perlahan merapatkan dahinya dengan dahi sivia, sampai hidung mereka juga bersentuhan. “aku bahagia.” Kata alvin sambil menyunggingkan senyumannya.
Dada sivia melapang dan tersa lega begitu mendengar kata-kata alvin. “aku juga bahagia.” Balas sivia lembut. Perlahan namun pasti, semua terjadi tepat didepan mata gabriel.
Gabriel bak saksi hidup yang melihat dua orang yang disayanginya bahagia. Gabriel melihat bagaimana rasa sayang dan rasa cinta itu tersamaikan dengan leluasa diantara sepasang anak manusia yang begitu berarti dalam hidupnya. “aku turut bahagia untuk kebahagiaan kalian.” Gabriel tersenyum lega dan ntah mengapa hatinya turut bahagia dengan adegan tersebut.


--------------BERSAMBUNG-----------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar