Look at
ALVIN’s eyes (part 4)
Masih pada senja itu, alvin belum saja mau
bergeming. Kerinduan yang merasuki hatinya membuat raganya tidak dapat
bergeming sedikitpun dari tempatnya sekarang. Kerinduan tersebut seakan
melumpuhkan semua sistem sarapnya, membuatanya susah berfikir, bayang-bayang
senyuman dan sayup-sayup suara tawa dimasa lalunya kian mengikuti setiap derap
nafasnya. Lagi-lagi masa lalulah yang bermain dalam hidupnya.
‘kakak
adalah kamu, kamu adalah kakak.’ Kata-kata itu, kata-kata yang selalu bisa
membuatnya bisu. Kata-kata yang berujung sebagai kalimat penyatu nuraninya
dengan sang kakak. Kata-kata itu seperti hantu yang terus memabayangi
telinganya, membuat setiap nada kehidupan menepi hingga yang terdengar hanya
suara sang kakak yang mengucapkan kalimat tersebut.
“arghhhh, shit.” Alvin mengumpat, mencoba menghilangkan
apapun yang berhubungan dengan masa lalunya termasuk yang berhubungan dengan
kenangannya bersama sang kakak.
Bukan. Bukannya mau melupakan masa lalunya
atau melupakan kakaknya, tapi alvin hanya ingin sebentar saja terlepas dari
jeratan-jeratan masa-masa tersebut, ada rasa lelah ketika alvin tahu kalau
selama 2thn belakangan –semenjak kematian kakaknya- ia selalu hidup dibawah
bayang-bayang kenangannya bersama kakanya.
“gue capek...” keluhnya, “biarin gue hidup tenang disini
dan loe hidup tenang didunia loe.” Sorot pedih dibalik kacamata itu menggelap,
membiarkan tetes-tetes hangat keluar lagi dan membuatnya terlihat lemah dengan
kepasrahan.
====
Sivia berjalan gontai keluar dari rumahnya,
ntah untuk apa disore ini ia ingin sekali keluar dan mengunjungi tempat
favoritnya yang biasa ia kunjungi dulu bersama laki-laki masa lalunya. Untuk
detik ini ia tidak bisa melepaskan roman-roman kerinduannya pada laki-laki
tersebut. padahal kerap kali ia mengacuhkan bayang-bayang orang tersebut dari
benaknya, tidak jarang juga sivia sering mencoba membunuh setiap inci raga
orang tersebut dari memori otaknya, tapi tetap saja sivia tidak mampu untuk
mengacuhkan apa yang ingin ia acuhkan atau membunuh apa yang ingin ia bunuh. BODOH ! umpatnya.
Tempat
ini tidak pernah berubah, sedikitpun. Gumam
sivia sambil menikmati udara sore itu. Hembusan sang angin membuat bulu
kuduknya berdiri, namun tetap saja kenikmatan dan kesejukan angin sore itu
membuatnya merasa nyaman.
Sivia menutup matanya. ‘kalau via kangen, tutup aja mata via.’ Mungkin kalimat itu yang
menuntunnya untuk memejamkan mata. Seketika angin kembali berhembus, membuatnya
merasakan kehadiran orang yang selama 3thn belakangan ini ia rindukan.
“sivia.” Bisikkan lembut tersebut menyapa telinganya,
mengundang gelora rindu dalam diri sivia menguap dan hilang bersama gema-gema
suara panggilan lembut tersebut.
“ikuti aku sivia.” Sivia berjalan mengikuti kemana suara
lembut tersebut beranjak, kedua matanya masih tertutup.
Langkah terhenti beriring dengan hilangnya
suara tersebut. hening. Sivia membuka matanya dan melihat kemana suara lembut
tersebut membawanya. Masih ditempat favorit sivia ternyata, namun sedikit
menepi kearah barat tempat tersebut dan membuat sivia dapat melihat seseorang
yang sedang bersender dibawah pohon.
Dalam diam sivia mengamati orang tersebut,
tampak kelopak mata dibalik kacamatanya menutup rapat. Sisa-sisa Tetesan hangat
dari mata orang tersebut dapat dilihat dengan jelas dari tempat sivia berpijak.
Perlahan, sivia mendekat dan duduk disamping orang tersebut.
Ternyata alvin, kata sivia dalam hati. Alvin yang masih
memejamkan matanya tidak menyadari kehadiran sivia. Nafasnya yang menderu cepat
serta peluh yang membanjiri indra perangsangnya, membuat sivia semakin bingung.
Sivia menyentuh tangan alvin. ternyata tangan alvin juga terasa dingin.
“arhhh... hh... hh...” alvin bangun sambil menyibak
tangan sivia yang tadi menyentuhnya. Nafasnya menderu dengan sangat cepat,
ketakutan tersirat jelas dari matanya.
“al, loe ngga apa-apa kan ?.” tanya sivia khawatir. alvin
langsung menoleh kearah kanannya dan terkejut menyadari kehadiran sivia
disampingnya. “al, alvin.” sivia mengguncang tubuh alvin, mencoba menyadarkan
alvin yang masih diam.
“eh, kenapa loe ada disini ?.” tanya alvin berusaha
mengembalikan kesadarannya yang tadi sempat menguap.
“mmm, nggak tau deh. Gue kenapa ada disini ya ?.” tanya
sivia balik, tapi pertanyaannya kali ini ditunjukkan lebih kepada dirinya
sendiri.
“LEMOT loe !.” hardik alvin sambil menoyor kepala sivia.
“biar deh, yang
lemot juga gue ini.” balas sivia ngasal. “terus loe sendiri ngapai disini ?.”
“suka-suka gue dong.” kata alvin seenak jidatnya. Sivia
mendengus kesal dan ingin meoyor balik kepala alvin, tapi tangan alvin langsung
mencekalnya.
Hening. Nada-nada mayor berdendang ria,
membawa suasana romantis ketika pergerakan mereka sama-sama terhenti. Namun
sekejab saja sivia langsung menunduk, masih dengan ketakutannya melihat tatapan
alvin. mata itu selalu membuat detak jantungnya berdegup lebih cepat dan
membuat nafas tercekat sampai ditenggorokan. Sivia selalu merasa tatapan itu
penuh dengan sesuatu hal yang menjanggal dihatinya, membuatnya merasa kalau ada
perasaan aneh yang tumbuh liar didalam hatinya.
^^
Sivia menghempaskan tubuhnya ketika jarum jam
menunjukkan pukul setengah 7 kurang, setelah 20 menit yang lalu alvin
mengantarnya pulang. Tangan kanannya mencoba menggapai-gapai lembar foto
dibalik bantalnya. Terakhir ia menatap mata laki-laki masa lalunya yang
menyimpan isyarat yang sama dengan isyarat mata alvin, namun mungkin bedanya
hanya dibalik kornea mata alvin lebih banyak menyimpan rahasia.
“loe yang bawa gue ke alvin.” gumam sivia sambil merapa
wajah gambar laki-laki tersebut senyumnya mengembang ketika
khayalan-khayalannya mulai bermain bersama bayang-bayang alvin. “apa loe mau
gue sama alvin ?.” tanya sivia nggak jelas.
Seakan merestui, angin berhembus dan
membuatnya mendengar samar-samar kata persetujuan yang ikut terbawa. “arghhh,
loe gila sivia. Loe ngomong apa sih.” Sivia melempar lembaran foto tersebut dan
mulai terlelap sampai esok pagi yang cerah.
^^
Tirai-tirai kehidupan menyibak, membuat semua
orang kembali pada aktifitas disenin paggi itu. Namun kali ini tampaknya langit
sedang muram hingga mengeluarkan awan-awan hitam dengan segelintir tanda-tanda
kalau sebentar lagi hujan pasti akan turun.
Keberuntungan memihak kepada para siswa-siswi
yang sudah sampai disekolah karna semneit yang lalu hujan telah menderai dengan
lebatnya, apalagi jarum jam sudah menunjukkan kalau bel masuk akan berbunyi
sebentar lagi. Sivia duduk dibangkunya ditemani cakka yang sedari tadi
menemaninya hanya untuk berbagi cerita.
“ehhh, udah masuk nih vi. gue balik kekelas dulu ya.”
Kata cakka sambil beranjak dari bangku alvin yang ia duduki sedari tadi. Sivia
hanya mengangguk kecil sambil tersenyum dan berjalan kedepan pintu kelasnya
untuk mengantar cakka.
“bye vi.” cakka melambai sambil berjalan menjauh, sivia
hanya melihat punggungnya yang semakin lama semakin hilang dibelokkan koridor.
Sivia mengalihkan pandangannya kearah halaman
sekolah yang ada didepannya. Disana terlihat beberapa murid yang berlari masuk
dari balik pintu gerbang kearah koridor. Alvin. sivia melihat alvin yang
berjalan masuk dari balik gerbang, tubuhnya sudah basah kuyup.
“alvin.” panggil sivia sedikit teriak supaya dapat
mengalahkan suara hempasan hujan. Alvin yang tidak mendengarnya tetap berjalan,
wajahnya tertunduk tanpa mendongak sedikitpun. “al.” Teriak sivia lagi, kali
ini alvin mengangkat wajahnya. Bibirnya membiru, wajahnya putih pucat, dan
langkahnya sedikit terseok-seok.
Ada yang berbeda dari paras alvin kali ini,
membuat sivia berlari menghampirinya tanpa peduli dengan guyuran hujan yang
semakin melebat dan tanpa peduli genangan-genangan kecil yang berada diatas
papingblock.
“alvin, loe kok hujan-hujanan sih ?.” tanya sivia dengan
nada khawatir. bukannya menjawab, alvin malah langsung memeluk tubuh sivia,
membuat sivia tersentak kaget.
Para siswa/siswi langsung menjadi penonton
adegan tersebut, termasuk cakka yang baru saja keluar dan menatap benci alvin
yang memeluk sivia. Tatapan cakka semakin menajam ketika melihat sivia membalas
pelukkan alvin. ntah perasaan apa yang mendorong cakka untuk segera berlari
menembus hujan dan berdiri tepat disamping alvin dan sivia. Rahangnya mengeras,
perasaan cemburu jelas menyergapnya, terlebih rasa bencinya kepada alvin
semakin mencapai klimaks.
Tanpa ada yang tahu, air mata itu mengalir
dan meluruh bersama hujan. Kacamata yang tertempel percikan air hujan menjadi
saksi air mata itu tumpah semenjak kejadian tadi. Alvin terlihat rapuh untuk
saat ini, dadanya penuh akan atmosfir-atmosfir negativ yang cukup menyesakkan.
“apa yang terjadi al ?.” tanya sivia lembut. Alvin tidak
menjawab, suaranya seakan menghilang dibalik hujan, mrembuatnya tidak bisa
menjawab satupun dari pertanyaan sivia.
Tiba-tiba pandangannya mengabur, membayang,
dan pada akhirnya ia kehilangan titik fokusnya. Sivia yang merasa bobot tubuh
alvin semakin memberat membuatnya merenggangkan pelukannya. Tubuh alvin merosot
begitu saja, membuat sivia panik dan segera menopangnya dengan sekuat tenaga.
Sepasang tangan kekar membantunya menopang tubuh tersebut, cakka hanya
tersenyum samar menyambut tatapan sivia yang seakan-akan menyiratkan kata
terima kasih.
^^
Cakka diam menatap wajah alvin, wajah itu
sama persis seperti wajah sahabatnya, wajah itu juga membawa ketenangan yang
sama untuknya. Namun ntah mengapa mata alvin yang bersembunyi dibalik
kelopaknya yang tertutup rapat malah selalu mebuatnya merasa tak berdaya,
membuatnya merasa kecil diantara manusia yang berada disampingnya.
Mungkin cakka sama seperti sivia, ada
ketakutan ketika menatap mata alvin yang menyorotnya tajam. Mata itu penuh
rahasia dan kepedihan, membuat setiap orang yang menatapnya merasakan sensasi
yang berbeda. Pandangan cakka beralih pada kaca mata yang tergeletak diatas
meja, seingat cakka kacamata tersebut adalah kacamata yang diberikan cakka
untuk sahabatnya, lantas mengapa kaca mata tersebut selalu melekat dimata
alvin.
“kak, gimana keadaan alvin ?.” tanya sivia yang ntah
sejak kapan berdiri dibelakang cakka.
“dia belom sadar vi.” kata cakka sambil berbalik dan melihat
sendu kearah sivia.
“yaudah deh, kakak pulang aja. Gantian sekarang aku yang
jaga alvin.” sivia menarik kursi dan duduk disebelah ranjang alvin, matanya
langsung menatap wajah alvin, setelah itu tatapan matanya tidak dapat lepas
lagi dari wajah tersebut.
Cakka menggeleng sambil menghempaskan
tubuhnya disofa ruangan, ia tidak berminat sedikitpun untuk meninggalkan
ruangan ini. “nggak vi, gue temenin loe aja.” Katanya sambil menutup matanya
untuk mencoba melepas sedikit penat setelah hampir setengah hari menjaga alvin
yang belum juga sadar.
“mmm, kak. Kakak benci ya sama alvin.” tanya sivia
setelah lama diam.
“loe kok nanyanya gitu sih vi ?.” cakka balik bertanya.
“mmm, gue aneh aja sih kak. Keliatan banget kalau kakak
nggak suka sama alvin.”
“karna dia, gue kehilangan sahabat gue.” lirih cakka
pelan dan tanpa sadar. Sivia yang tadi fokus pada wajah alvin langsung menengok
kebelakang dan mencoba mencari kebenaran atas apa yang baru saja keluar dari mulut
cakka. “sahabat ?.”
Cakka membuka matanya, kaget dengan apa yang
baru saja ia keluarkan tanpa sadar. “eh, ndak kok. Udah ah, gue mau tidur
dulu.” Kata cakka dan pura-pura tidur. Sivia yang merasa aneh dengan tingkah
cakka hanya mengangguk dan kembali memandangi wajah alvin.
Dalam diam, cakka berusaha menenangkan
hatinya. Pertanyaan sivia tadi, cukup membuatnya bingung. sebenarnya apa dia
benar-benar membenci alvin ?, pikir cakka. Tidak. Nyatanya cakka tidak terlalu
membenci pemuda tersebut, apa lagi ia tidak mempunyai alasan yang kuat untuk
membenci alvin. alasan karna alvin penyebab kematian sahabatnya, maka itu
adalah alsan yang cukup konyol bagi cakka.
“CKLEEEK.”
Suara pintu ruangan terbuka, membuat cakka sedikit membuka matanya.
Seorang
gadis langsung menyembul dari balik pintu, wajahnya menyiratkan kepanikkan,
terlebih lagi matanya terlihat berkaca-kaca.
“alviiiin.”
Panggil orang tersebut pelan, namun cukup bisa didengar oleh sivia.
Sivia
bangkit dari tempat duduknya. Terkejut dengan apa yang dilakukan seorang gadis yang baru saja
datang dan langsung menghamburkan pelukannya ketubuh alvin yang masih sama
–tidak bergerak sedikitpun-.
“alvin.”
ulang gadis tersebut, tatapannya mengiba kepada raga alvin. sivia sedikit
berjalan mundur, memberi celah untuk gadis tersebut semakin mendekat dengan
alvin. tatapan sivia membulat ketika gadis yang tidak ia kenal tersebut
langsung mengecup puncak kepala alvin.
Air mata sivia mulai menyembul disudut-sudut
matanya, ia belum cukup siap untuk melihat pemandangan tersebut, apalagi baru
kali ini ia merasakan rasa sakit karna cemburu.
‘jangan
nangis sivia.’
------------------------------------- B E R S A M B U N G
--------------------------------
Hahuay
alL,,,
Giman nih
part 4 nya ? pasti jelek, makin gaje dan alurnya makin nggak jelas...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar