Sabtu, 14 April 2012

Look at ALVIN's eyes #part4


Look at ALVIN’s eyes (part 4)


Masih pada senja itu, alvin belum saja mau bergeming. Kerinduan yang merasuki hatinya membuat raganya tidak dapat bergeming sedikitpun dari tempatnya sekarang. Kerinduan tersebut seakan melumpuhkan semua sistem sarapnya, membuatanya susah berfikir, bayang-bayang senyuman dan sayup-sayup suara tawa dimasa lalunya kian mengikuti setiap derap nafasnya. Lagi-lagi masa lalulah yang bermain dalam hidupnya.
‘kakak adalah kamu, kamu adalah kakak.’  Kata-kata itu, kata-kata yang selalu bisa membuatnya bisu. Kata-kata yang berujung sebagai kalimat penyatu nuraninya dengan sang kakak. Kata-kata itu seperti hantu yang terus memabayangi telinganya, membuat setiap nada kehidupan menepi hingga yang terdengar hanya suara sang kakak yang mengucapkan kalimat tersebut.
“arghhhh, shit.” Alvin mengumpat, mencoba menghilangkan apapun yang berhubungan dengan masa lalunya termasuk yang berhubungan dengan kenangannya bersama sang kakak.
Bukan. Bukannya mau melupakan masa lalunya atau melupakan kakaknya, tapi alvin hanya ingin sebentar saja terlepas dari jeratan-jeratan masa-masa tersebut, ada rasa lelah ketika alvin tahu kalau selama 2thn belakangan –semenjak kematian kakaknya- ia selalu hidup dibawah bayang-bayang kenangannya bersama kakanya.
“gue capek...” keluhnya, “biarin gue hidup tenang disini dan loe hidup tenang didunia loe.” Sorot pedih dibalik kacamata itu menggelap, membiarkan tetes-tetes hangat keluar lagi dan membuatnya terlihat lemah dengan kepasrahan.

====

Sivia berjalan gontai keluar dari rumahnya, ntah untuk apa disore ini ia ingin sekali keluar dan mengunjungi tempat favoritnya yang biasa ia kunjungi dulu bersama laki-laki masa lalunya. Untuk detik ini ia tidak bisa melepaskan roman-roman kerinduannya pada laki-laki tersebut. padahal kerap kali ia mengacuhkan bayang-bayang orang tersebut dari benaknya, tidak jarang juga sivia sering mencoba membunuh setiap inci raga orang tersebut dari memori otaknya, tapi tetap saja sivia tidak mampu untuk mengacuhkan apa yang ingin ia acuhkan atau membunuh apa yang ingin ia bunuh. BODOH ! umpatnya.
Tempat ini tidak pernah berubah, sedikitpun. Gumam sivia sambil menikmati udara sore itu. Hembusan sang angin membuat bulu kuduknya berdiri, namun tetap saja kenikmatan dan kesejukan angin sore itu membuatnya merasa nyaman.
Sivia menutup matanya. ‘kalau via kangen, tutup aja mata via.’ Mungkin kalimat itu yang menuntunnya untuk memejamkan mata. Seketika angin kembali berhembus, membuatnya merasakan kehadiran orang yang selama 3thn belakangan ini ia rindukan.
“sivia.” Bisikkan lembut tersebut menyapa telinganya, mengundang gelora rindu dalam diri sivia menguap dan hilang bersama gema-gema suara panggilan lembut tersebut.
“ikuti aku sivia.” Sivia berjalan mengikuti kemana suara lembut tersebut beranjak, kedua matanya masih tertutup.
Langkah terhenti beriring dengan hilangnya suara tersebut. hening. Sivia membuka matanya dan melihat kemana suara lembut tersebut membawanya. Masih ditempat favorit sivia ternyata, namun sedikit menepi kearah barat tempat tersebut dan membuat sivia dapat melihat seseorang yang sedang bersender dibawah pohon.
Dalam diam sivia mengamati orang tersebut, tampak kelopak mata dibalik kacamatanya menutup rapat. Sisa-sisa Tetesan hangat dari mata orang tersebut dapat dilihat dengan jelas dari tempat sivia berpijak. Perlahan, sivia mendekat dan duduk disamping orang tersebut.
Ternyata alvin, kata sivia dalam hati. Alvin yang masih memejamkan matanya tidak menyadari kehadiran sivia. Nafasnya yang menderu cepat serta peluh yang membanjiri indra perangsangnya, membuat sivia semakin bingung. Sivia menyentuh tangan alvin. ternyata tangan alvin juga terasa dingin.
“arhhh... hh... hh...” alvin bangun sambil menyibak tangan sivia yang tadi menyentuhnya. Nafasnya menderu dengan sangat cepat, ketakutan tersirat jelas dari matanya.
“al, loe ngga apa-apa kan ?.” tanya sivia khawatir. alvin langsung menoleh kearah kanannya dan terkejut menyadari kehadiran sivia disampingnya. “al, alvin.” sivia mengguncang tubuh alvin, mencoba menyadarkan alvin yang masih diam.
“eh, kenapa loe ada disini ?.” tanya alvin berusaha mengembalikan kesadarannya yang tadi sempat menguap.
“mmm, nggak tau deh. Gue kenapa ada disini ya ?.” tanya sivia balik, tapi pertanyaannya kali ini ditunjukkan lebih kepada dirinya sendiri.
“LEMOT loe !.” hardik alvin sambil menoyor kepala sivia.
“biar deh,  yang lemot juga gue ini.” balas sivia ngasal. “terus loe sendiri ngapai disini ?.”
“suka-suka gue dong.” kata alvin seenak jidatnya. Sivia mendengus kesal dan ingin meoyor balik kepala alvin, tapi tangan alvin langsung mencekalnya.
Hening. Nada-nada mayor berdendang ria, membawa suasana romantis ketika pergerakan mereka sama-sama terhenti. Namun sekejab saja sivia langsung menunduk, masih dengan ketakutannya melihat tatapan alvin. mata itu selalu membuat detak jantungnya berdegup lebih cepat dan membuat nafas tercekat sampai ditenggorokan. Sivia selalu merasa tatapan itu penuh dengan sesuatu hal yang menjanggal dihatinya, membuatnya merasa kalau ada perasaan aneh yang tumbuh liar didalam hatinya.

^^

Sivia menghempaskan tubuhnya ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah 7 kurang, setelah 20 menit yang lalu alvin mengantarnya pulang. Tangan kanannya mencoba menggapai-gapai lembar foto dibalik bantalnya. Terakhir ia menatap mata laki-laki masa lalunya yang menyimpan isyarat yang sama dengan isyarat mata alvin, namun mungkin bedanya hanya dibalik kornea mata alvin lebih banyak menyimpan rahasia.
“loe yang bawa gue ke alvin.” gumam sivia sambil merapa wajah gambar laki-laki tersebut senyumnya mengembang ketika khayalan-khayalannya mulai bermain bersama bayang-bayang alvin. “apa loe mau gue sama alvin ?.” tanya sivia nggak jelas.
Seakan merestui, angin berhembus dan membuatnya mendengar samar-samar kata persetujuan yang ikut terbawa. “arghhh, loe gila sivia. Loe ngomong apa sih.” Sivia melempar lembaran foto tersebut dan mulai terlelap sampai esok pagi yang cerah.

^^

Tirai-tirai kehidupan menyibak, membuat semua orang kembali pada aktifitas disenin paggi itu. Namun kali ini tampaknya langit sedang muram hingga mengeluarkan awan-awan hitam dengan segelintir tanda-tanda kalau sebentar lagi hujan pasti akan turun.
Keberuntungan memihak kepada para siswa-siswi yang sudah sampai disekolah karna semneit yang lalu hujan telah menderai dengan lebatnya, apalagi jarum jam sudah menunjukkan kalau bel masuk akan berbunyi sebentar lagi. Sivia duduk dibangkunya ditemani cakka yang sedari tadi menemaninya hanya untuk berbagi cerita.
“ehhh, udah masuk nih vi. gue balik kekelas dulu ya.” Kata cakka sambil beranjak dari bangku alvin yang ia duduki sedari tadi. Sivia hanya mengangguk kecil sambil tersenyum dan berjalan kedepan pintu kelasnya untuk mengantar cakka.
“bye vi.” cakka melambai sambil berjalan menjauh, sivia hanya melihat punggungnya yang semakin lama semakin hilang dibelokkan koridor.
Sivia mengalihkan pandangannya kearah halaman sekolah yang ada didepannya. Disana terlihat beberapa murid yang berlari masuk dari balik pintu gerbang kearah koridor. Alvin. sivia melihat alvin yang berjalan masuk dari balik gerbang, tubuhnya sudah basah kuyup.
“alvin.” panggil sivia sedikit teriak supaya dapat mengalahkan suara hempasan hujan. Alvin yang tidak mendengarnya tetap berjalan, wajahnya tertunduk tanpa mendongak sedikitpun. “al.” Teriak sivia lagi, kali ini alvin mengangkat wajahnya. Bibirnya membiru, wajahnya putih pucat, dan langkahnya sedikit terseok-seok.
Ada yang berbeda dari paras alvin kali ini, membuat sivia berlari menghampirinya tanpa peduli dengan guyuran hujan yang semakin melebat dan tanpa peduli genangan-genangan kecil yang berada diatas papingblock.
“alvin, loe kok hujan-hujanan sih ?.” tanya sivia dengan nada khawatir. bukannya menjawab, alvin malah langsung memeluk tubuh sivia, membuat sivia tersentak kaget.
Para siswa/siswi langsung menjadi penonton adegan tersebut, termasuk cakka yang baru saja keluar dan menatap benci alvin yang memeluk sivia. Tatapan cakka semakin menajam ketika melihat sivia membalas pelukkan alvin. ntah perasaan apa yang mendorong cakka untuk segera berlari menembus hujan dan berdiri tepat disamping alvin dan sivia. Rahangnya mengeras, perasaan cemburu jelas menyergapnya, terlebih rasa bencinya kepada alvin semakin mencapai klimaks.
Tanpa ada yang tahu, air mata itu mengalir dan meluruh bersama hujan. Kacamata yang tertempel percikan air hujan menjadi saksi air mata itu tumpah semenjak kejadian tadi. Alvin terlihat rapuh untuk saat ini, dadanya penuh akan atmosfir-atmosfir negativ yang cukup menyesakkan.
“apa yang terjadi al ?.” tanya sivia lembut. Alvin tidak menjawab, suaranya seakan menghilang dibalik hujan, mrembuatnya tidak bisa menjawab satupun dari pertanyaan sivia.
Tiba-tiba pandangannya mengabur, membayang, dan pada akhirnya ia kehilangan titik fokusnya. Sivia yang merasa bobot tubuh alvin semakin memberat membuatnya merenggangkan pelukannya. Tubuh alvin merosot begitu saja, membuat sivia panik dan segera menopangnya dengan sekuat tenaga. Sepasang tangan kekar membantunya menopang tubuh tersebut, cakka hanya tersenyum samar menyambut tatapan sivia yang seakan-akan menyiratkan kata terima kasih.

^^

Cakka diam menatap wajah alvin, wajah itu sama persis seperti wajah sahabatnya, wajah itu juga membawa ketenangan yang sama untuknya. Namun ntah mengapa mata alvin yang bersembunyi dibalik kelopaknya yang tertutup rapat malah selalu mebuatnya merasa tak berdaya, membuatnya merasa kecil diantara manusia yang berada disampingnya.
Mungkin cakka sama seperti sivia, ada ketakutan ketika menatap mata alvin yang menyorotnya tajam. Mata itu penuh rahasia dan kepedihan, membuat setiap orang yang menatapnya merasakan sensasi yang berbeda. Pandangan cakka beralih pada kaca mata yang tergeletak diatas meja, seingat cakka kacamata tersebut adalah kacamata yang diberikan cakka untuk sahabatnya, lantas mengapa kaca mata tersebut selalu melekat dimata alvin.
“kak, gimana keadaan alvin ?.” tanya sivia yang ntah sejak kapan berdiri dibelakang cakka.
“dia belom sadar vi.” kata cakka sambil berbalik dan melihat sendu kearah sivia.
“yaudah deh, kakak pulang aja. Gantian sekarang aku yang jaga alvin.” sivia menarik kursi dan duduk disebelah ranjang alvin, matanya langsung menatap wajah alvin, setelah itu tatapan matanya tidak dapat lepas lagi dari wajah tersebut.
Cakka menggeleng sambil menghempaskan tubuhnya disofa ruangan, ia tidak berminat sedikitpun untuk meninggalkan ruangan ini. “nggak vi, gue temenin loe aja.” Katanya sambil menutup matanya untuk mencoba melepas sedikit penat setelah hampir setengah hari menjaga alvin yang belum juga sadar.
“mmm, kak. Kakak benci ya sama alvin.” tanya sivia setelah lama diam.
“loe kok nanyanya gitu sih vi ?.” cakka balik bertanya.
“mmm, gue aneh aja sih kak. Keliatan banget kalau kakak nggak suka sama alvin.”
“karna dia, gue kehilangan sahabat gue.” lirih cakka pelan dan tanpa sadar. Sivia yang tadi fokus pada wajah alvin langsung menengok kebelakang dan mencoba mencari kebenaran atas apa yang baru saja keluar dari mulut cakka. “sahabat ?.”
Cakka membuka matanya, kaget dengan apa yang baru saja ia keluarkan tanpa sadar. “eh, ndak kok. Udah ah, gue mau tidur dulu.” Kata cakka dan pura-pura tidur. Sivia yang merasa aneh dengan tingkah cakka hanya mengangguk dan kembali memandangi wajah alvin.
Dalam diam, cakka berusaha menenangkan hatinya. Pertanyaan sivia tadi, cukup membuatnya bingung. sebenarnya apa dia benar-benar membenci alvin ?, pikir cakka. Tidak. Nyatanya cakka tidak terlalu membenci pemuda tersebut, apa lagi ia tidak mempunyai alasan yang kuat untuk membenci alvin. alasan karna alvin penyebab kematian sahabatnya, maka itu adalah alsan yang cukup konyol bagi cakka.
“CKLEEEK.” Suara pintu ruangan terbuka, membuat cakka sedikit membuka matanya.
Seorang gadis langsung menyembul dari balik pintu, wajahnya menyiratkan kepanikkan, terlebih lagi matanya terlihat berkaca-kaca.
“alviiiin.” Panggil orang tersebut pelan, namun cukup bisa didengar oleh sivia.
Sivia bangkit dari tempat duduknya. Terkejut dengan apa  yang dilakukan seorang gadis yang baru saja datang dan langsung menghamburkan pelukannya ketubuh alvin yang masih sama –tidak bergerak sedikitpun-.
“alvin.” ulang gadis tersebut, tatapannya mengiba kepada raga alvin. sivia sedikit berjalan mundur, memberi celah untuk gadis tersebut semakin mendekat dengan alvin. tatapan sivia membulat ketika gadis yang tidak ia kenal tersebut langsung mengecup puncak kepala alvin.
Air mata sivia mulai menyembul disudut-sudut matanya, ia belum cukup siap untuk melihat pemandangan tersebut, apalagi baru kali ini ia merasakan rasa sakit karna cemburu.
‘jangan nangis sivia.’

------------------------------------- B E R S A M B U N G --------------------------------

Hahuay alL,,,
Giman nih part 4 nya ? pasti jelek, makin gaje dan alurnya makin nggak jelas...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar