Rabu, 18 April 2012

Look at ALVIN’s eyes #part6


Look at ALVIN’s eyes (part6)
#KLISE MASA LALU

Cakka berlari menembus kerumunan koridor, langkah cepatnya terpacu pada satu tujuan diujung koridor. Ia tidak ingin terlambat sedikitpun, apalagi ini masalah yang sangat rumit. Masalah yang menyangkut dirinya dan sahabatnya.
“shit lo, vin.” Suara itu terdengar sampai keluar UKS, membuat cakka juga dapat mendengar suara tersebut.
Cakka menerobos kerumunan UKS, matanya langsung melihat sosok sivia yang berdiri dibelakang alvin. cakka juga melihat sepasang anak manusia yang ia kenali sebagai ify dan rio. ify berdiri disamping rio, ia menggenggam tangan rio dengan eratnya, entah untuk menenangkan kekasihnya –rio-  atau hanya untuk meredakan ketakutannya sendiri.
“stoooop, RIO !!!.” teriak cakka sebelum rio mau membuka mulutnya lagi. “JANGAN SEKARANG.” Cakka mendekat kearah rio, ia juga ingin menenangkan emosi sahabatnya itu. Cakka tahu apa yang akan dilakukan rio, namun menurutnya bukan sekarang waktu untuk membuka semuanya, apalagi ada sivia disana karna memang sivia lah satu-satunya objek yang tidak tahu apa-apa.
“nggak ka, dia harus tau semuanya. Semua tentang kematian gabriel, semua tentang keegoisannya, semua tentang kesalahannya dimasa lalu.” Teriak rio balik. Rio menepis tangan cakka yang akan menyentuhnya, ia juga melepaskan genggaman ify dan mendekat kearah alvin yang memilih diam.
Gabriel !!! deg, deg, deg. Jantung sivia berpacu cepat mendengar nama laki-laki masa lalunya disebut-sebut, apalagi kata ‘kematian’ terselip didepan nama itu. Air mata sivia mengalir pelan. ‘tidak mungkin,,, gabriel,,, tidak mungkin gabriel sudah meninggal. Arghhhh !!! TIDAK MUNGKIN.’ Sivia bergeming dari belakang punggung alvin, langkahnya memilih berjalan kesamping alvin.
“apa maksud loe ??.” teriak sivia sambil menatap rio tajam. Rio mengalihkan pandangannya dari alvin dan beralih untuk menatap sivia –sinis-, setelah itu ia kembali menatap alvin dengan tatapan benci.
“semua gara-gara loe.” Teriaknya  sambil menghantam wajah alvin.
Alvin yang belum siap menerima pukulan tersebut langsung tersungkur, kacamata yang selalu setia melindungi matanya langsung terlepas dan pecah begitu saja. “loe itu bener-bener pembawa sial. Gabriel nggak pantes punya adik egois kayak loe.” Cercanya sambil mengambil ancang-ancang untuk menendang alvin.
“hentikkan rio.” teriak cakka lagi, kali ini ia menarik rio agar tidak melayangkan tendangan atau pukulan lagi untuk alvin. sementara alvin, ia hanya diam tanpa melawan atau membalas pukulan rio, ia lebih memilih untuk mendengarkan semua perkataan rio.
“cakka jangan tahan gue. Loe juga nggak tahu apa-apa tentang kematian Gabriel.” Rio memberontak agar cakka melepaskan tangannya dan membiarkannya memukul alvin lagi.
Pegangan cakka melonggar ketika rio menyebut-nyebut tentang kematian sahabatnya itu. apa maksud rio ? seingatnya gabriel meninggal hanya karna penyakit jantung yang dideritanya, tapi kata-kata rio seakan-akan menghantarkannya pada satu rahasia dibalik kematian sahabatnya itu, rahasia yang hanya mengarah pada alvin dan rahasia yang menjadikan alvin sebagai satu-satunya terdakwa dalam hal ini.
Suasana melengang ketika tangan rio terlepas. semuanya memilih diam, mereka memilih mendengarkan apa yang akan dikatakan rio. hanya tangisan sivia yang terdengar, tangisan itu  berubah menjadi isakkan ketikka rio mulai memutar ingatannya yang kembali ke 2thn yang lalu.
Ingatan, ingatan dimana hanya dia yang menjadi satu-satunya saksi perseteruan alvin dan gabriel pada malam rabu 2thn lalu. Tidak ada saksi lain saat itu, hanya dia –rio-, hanya riolah yang mendengarkan adu mulut dua kakak beradik tersebut. rio yang menjadi sepupunya alvin atau tepatnya juga menjadi kembarannya shilla hanya diam dan memilih menjadi penonton mereka.

“arghhhhhhhh.” Erang alvin saat itu. Rasa sakit dikepalanya benar-benar menghilangkan kendali dirinya. Saat itu semua barang-barang yang ada diatas mejanya telah hancur dan tak berbentuk lagi. Tidak seorang pun yang peduli, tidak gabriel maupun mamanya. Semuanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, gabriel sibuk dengan kekasihnya –sivia, sementara mamanya sibuk dengan bisnisnya dan memilih meninggalkan mereka hanya karna membenci alvin. ralat, mamanya bukan memebenci alvin, namun membenci mata tajam yang alvin miliki. Konon katanya mata itu sangat mirip dengan mata papanya  yang sudah tiada. mata itu lebih banyak menyiratkan kebincian, membuat siapapun yang melihatnya akan bergidik ngeri dan memilih untuk tidak melihat mata itu, termasuk mama alvin. 
Tersisih. Begitulah yang dirasakan alvin saat itu. Padahal dulu hanya gabriel yang menemaninya, hanya gabriel yang bisa mengertinya, hanya gabriel satu-satunya orang yang mau dijadikan tempat berbagi rasa sakit. Namun seiring berjalannya waktu, hingga pada saat dimana gabriel mulai menemukan cintanya dan arti sebuah persahabatan, alvin merasa dirinya benar-benar tersisih. Gabriel jadi tidak pernah ada disampingnya, melupakkannya, bahkan mengacuhkannya begitu saja. Gabriel lebih sering membiarkannya sendiri, membiarkannya merasa kesepian, dan membuatnya merasakan sakit sendiri.
“alvin, alvin, alvin.” teriak gabriel dan rio sambil menggedor-gedor pintu kamar alvin, tak dapat  dipungkiri lagi kalau saat itu gabriel benar-benar  merasa takut. Takut kalau adiknya tercinta melakukan hal yang tidak-tidak, apalagi alvin termasuk dalam daftar orang-orang nekat.
“alvin, buka pintunya.” Teriak gabriel lagi, namun tidak ada blasan sama sekali. Hanya suara teriakkan dan barang-barang pecah yang menjadi sahutan dari dalam kamar tersebut.
“dobrak aja iel.” Suruh rio.
Gabriel mengambil ancang-ancang untuk mendobrak kamar tersebut. “BRAAAK.” Dengan Sekali dobrakan pintu terbuka. Gabriel langsung menghampiri alvin yang terduduk dipojok kamar, suara isak tangis alvin terasa begitu menyayat hati gabriel. Tidak pernah sekalipun gabriel mendengar alvin menangis sampai terisak seperti itu, pengecualian untuk hari ini.
“jangan sentuh gue.” Kata alvin  pelan.
Langkah gabriel terhenti mendengar perintah adiknya, padahal ingin rasanya ia memeluk tubuh alvin saat itu, ingin lagi ia menenangkan adik kesayangannya itu. “alvin, kamu kenapa ? cerita ya sama kak iel.” Bujuk gabriel.
“LOE BUKAN KAKAK GUE, LOE BUKAN KAK GABRIEL GUE, PEDULI APA LOE SAMA GUE, SANA URUS AJA PACAR SAMA TEMEN-TEMEN LOE, JANGAN URUSIN GUE.” Bentak alvin.
“alvin, maafin kak iel ya.” Kata gabriel lagi, langkahnya kembali berjalan kearah alvin. “kakak...”
“jangan deketin gue.” Alvin berdiri dari duduknya. Ia langsung mendorong gabriel agar  tubuh kakaknya itu tidak mendekatinya lagi. “LOE BUKAN KAKAK GUE. GUE BENCI LOE.” Teriak alvin.
Gabriel diam, dadanya tersa sakit saat ini. kata-kata benci yang dikeluarkan alvin tadi adalah kata-kata yang sama  yang baru saja kekasihnya keluarkan. Kini dua orang yang paling berarti dalam hidupnya telah membencinya, membuat jantungnya seakan-akan dimatikan secara perlahan saat itu juga.
“al, maafin kakak. Jangan benci sama kakak, apapun akan kakak lakuin asal kamu tidak membenci kakak.” Kata gabriel lagi.
Alvin menatap tajam kearah gabriel, tatapan yang benar-benar penuh kebencian, tatapan yang mebuat siapapun yang melihatnya akan ketakutan setengah mati. “gue akan maafin loe, asalkan loe mau terjun dari balkon kamar gue.” Kata alvin ngasal, setelah itu ia berjalan tertatih-tatih keluar kearah pintu kamarnya, tidak ia perdulikan lagi gabriel maupun rio.
“alvin, loe apa-apaan sih. loe itu egois banget, ngapain loe nyuruh gabriel terjun dari lantai dua.” Kata rio sambil menahan langkah alvin dengan mencengkram tangannya.
alvin berhenti berjalan, ia menatap rio tajam, tatapan yang sama dengan tatapan yang baru saja ia berikan ke gabriel. Perlahan rio mulai melepaskan tangannya yang mencengkram tangan alvin. tak dapat dipungkiri lagi kalau rio juga ketakutan melihat tatapan tersebut, terlalu menyeramkan jika terus dilihat.”loe  jangan ikut campur.” Alvin mendorong rio,  hingga rio  tersungkur kearah  piano putih yang ada disampingnya. kepala rio membentur pinggiran piano dan mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Alvin kembali berjalan, namun langkahnya kembali terhenti ketika mendengar teriakan dari arah balkon. “gabriel.” Teriaknya dan berlari tunggang langgang kearah balkon.
Jantung gabriel benar-benar terasa sesak dan penuh oleh rasa sakit, genggaman tangannya pada penyangga balkon hampir terlepas sebelum sebuah tangan meraih tangannya dan berusaha mengangkatnya kembali keatas.
“BODOH.” Cerca alvin sambil berusaha menarik gabriel kembali. rasa Sakit dikepalanya kembali menyerang, membuat konsentrasinya terpecah oleh rasa sakit tersebut.
Gabriel tersenyum mendengar cercaan alvin, setidaknya dibalik cercaan tersebut masih ada kepedulian untuknya. Alvin tidak sepenuhnya membenci gabriel, begitulah hipotesis yang diambil gabriel saat melihat kepanikkan diwajah alvin.
“arghhhh.” Erang alvin, ia sudah tidak kuat mengangkat gabriel. Namun ia juga tidak mau membiarkan gabriel terjatuh. Biar saja jatuh bersama, pasrah alvin dalam hati.
Tangan lain, tangan yang lebih kuat membantu alvin mengangkat gabriel. Alvin melihat si empunya tangan. Shilla. Gadis kembaran rio tersebut membantunya mengangkat gabriel. Setelah tubuh gabriel terangkat, rasa sakit dikepalanya semakin menyiksa, membuatnya jatuh dan kembali mengerang.
Kenapa sesakit ini ?, tanya alvin sambil meremas kepalanya. Gabriel yang panik melihat alvin langsung menghampiri  tubuh alvin, tanpa peduli rasa sakit yang juga kian menyiksa dijantungnya.”al, loe nggak papa, kan ?.” tanya gabriel sambil mengangkat kepala alvin kepangkuannya.
“iel, bawa kerumah sakit aja.” Suruh shilla.
Gabriel mengangguk dan berusaha mengangkat alvin, namun tidak bisa. Kali ini rasa sakit dijantungnya semakin menjadi-jadi. Membuat gabriel jatuh dan tak sadarkan diri tepat disamping alvin yang masih setengah sadar.
Shilla diam, tubuhnya membatu melihat kakak beradik tersebut tak sadarkan diri. Sementara disisi lain rio juga butuh pertolongan. shilla tersadar ketika seseorang menyentuh pundaknya. “telpon ambulan shil.” Kata orang tersebut. shilla berbalik  dan mendapati cakka berdiri dibelakangnya.
Ketika Dirumah sakit baik Gabriel maupun  alvin sama-sama mendapatkan perawatan yang serius, terlebih buat gabriel yang sistem kerja jantungnya semakin menurun akibat dari beberapa tekanan yang dirasakannya pada saat mendengar kata-kata benci dari alvin dan sivia, dan akibat dari kenekatannya saat menuruti permintaan alvin untuk meloncat dari lantai dua.

Rio menutup ingatannya. Setelah kejadian itu, rio benar-benar membenci alvin. menurutnya semua kejadian dimasalalu tersebut adalah salah alvin. alvin terlalu egois saat itu, alvin adalah anak laki-laki terbodoh karna telah memperlakukan gabriel seenak maunya.
“loe, semua salah loe.” Tiba-tiba sivia berteriak kearah alvin, tangisnnya kembali pecah. Sivia benar-benar tak menyangka kalau alvinlah adik yang selalu dibela gabriel, bahkan sivia juga menganggap  alvin adalah penyebab dari setiap perkelahiannya dengan gabriel karna gabriel lebih membela adiknya dibandingkan dirinya.
“gabriel selalu bela loe saat gue suruh dia  ngejauhin loe, loe adiknya yang selalu buat gue dan gabriel bertengkar, loe egois, loe.... arghhh !! shit.” Sivia membentak alvin. “GUE BENCI LOE.” Bentaknya lagi.
Tampaknya Sivia belum bisa menerima kenyataan masa lalu tersebut, ia belum menerima kalau gabriel sudah tiada, padahal gabriel-lah laki-laki masa lalu yang selalu ia rindukan, laki-laki yang selalu ia tunggu kedatangannya semenjak 2thn lalu, dan gabriel –lah laki-laki yang –mungkin- masih menempati tahta tertinggi dihatinya.
“sumua gara-gara loe. Loe yang nggak tahu  diri, gabriel sayang banget sama loe, dia lebih sayang sama loe dari pada gue, tapi loe... arghhhh !!!”
‘PLAK’ sivia menampar alvin sebagai penutup kemarahannya.
Alvin yang ditampar pun hanya diam, ia tak melawan atau membalas perlakuan sivia. Alvin sadar kalau disini dirinya –lah yang pantas disalahkan, hanya dia. “IYA, YANG SALAH EMANG GUE. GUE YANG PEMBAWA SIAL, GUE YANG EGOIS, DAN GUE YANG NGGAK TAHU DIRI.” Alvin membentak sivia, menatap gadis itu tajam setajam-tajamnya (?). sivia mundur beberapa langkah, keberaniannya tiba-tiba menguap melihat soratan tajam mata alvin yang menatapnya, kali ini tatapan mata itu lebih menakutkan dari pada hari-hari yang lalu.
“berhenti kalian semua, jangan berkelahi disini.” Zahra tiba-tiba datang bersama shilla, ia menatap anak didiknya satu-persatu hingga dimana tatapannya jatuh pada sosok alvin yang terlehat mengenaskan. “apa yang kalian lakukan ?.” tanya zahra pada siapapun yang mau menjawab, terlebih pada adik kandungnya si rio.
“arghhhhh. BERHENTI SALAHIN GUE.” Alvin tiba-tiba histeris. Ia mundur beberapa langkah sambil menjambak rambutnya sendiri, rasa sakit dikepalanya tiba-tiba datang dan menjerat setiap pergerakannya. Alvin berjalan keluar UKS, menjauh dari hingar-bingar tentang masa lalunya. Langkahnya yang tadi pelan, tiba-tiba berubah menjadi langkah yang cepat, seperti terkesan berlari. Pelan-perlahan tubuh alvin hilang dibalik kerumunan siswa yang menjadi penonton setia sejak sejam yang lalu.

^^

“ini salah, INI SALAH.” Teriak cakka diantara keheningan UKS, baik rio, sivia, ify, shilla, ataupun zahra belum juga beranjak dari ruangan tersebut, sementara siswa-siswi yang lain sudah kembali kekelas mereka masing-masing. “LOE SEMUA NGGAK BERHAK SALAHIN ALVIN, ALVIN NGGAK SALAH. YANG SALAH ITU KITA, KITA YANG NGGAK PERNAH NGERTI PERASAAN DIA SAMA SEKALI, KITA YANG DULU SUDAH AMBIL PERHATIAN GABRIEL DARI DIA. LOE SEMUA NGGAK TAHU KALAU GABRIEL ITU LEBIH DARI APAPUN UNTUK ALVIN.” teriak cakka lagi, ntah apa yang dirasakannya saat ini. semua diam, tak menyahut ataupun menjawab, ada sedikit kebenaran dikalimat cakka tersebut. mereka memang tidak mengerti alvin, tidak untuk sekarang ataupun nanti.
Cakka bergeming, mendekati sisa-sisa kacamata alvin yang pecah dan tak berbentuk lagi. Sebuah PIN biru juga tergeletak disamping kerangka kacamata tersebut. cakka mengingat tentang pin itu, pin yang hanya dimiliki oleh alvin dan gabriel. Dulu gabriel pernah menceritakkan pin tersebut, pin merah yang dimiliki gabriel dan pin biru  yang dimiliki alvin, lambang mata yang ada ditengah pin tersebut mempunyai makna tersendiri untuk alvin dan gabriel.

“loh iel, pin apa tuh yang ada dibaju loe ?” cakka menunjuk pin merah yang ada diatas saku baju sekolah gabriel.
“ini  hadiah ulang tahun dari mama, nggak tahu deh maksudnya apa. Yang jelas mama ngasi warna merah buat gue dan warna biru buat alvin. gimana kka pinnya, bagus kan ?.” kata gabriel bangga.
“halaaaah, pin yang kayak gitu juga banyak dipasar malem. Bangga banget loe punya pin kayak gitu.” Cibir cakka sambil menoyor kepala gabriel.
“eitsss, asal banget loe ngomong, ini nggak dijual kka, ini langsung dibuat mama sendiri.” Kata gabriel. “lihat nih lambang matanya, ini artinya mata itu nggak pernah bisa bohong, apapun yang kita rasakan selalu terlihat dari sorotan mata kita sendiri, kita juga bisa lihat perasaan orang dari sorotan matanya. NGERTI LOE ?.” kata gabriel lagi.
“ah !!! iye, iye. Lebay banget sih loe jadi orang.”
“haha, biar deh, lebay-lebay gini gue juga tetep ganteng.” Narsis gabriel sambil menjulurkan lidahnya.
“yaelaaah, loe narsisi banget sih yel.” Cibir cakka. “eh’iya. Gue lupa, Happy birthday ya. Makin tua deh loe, hahaha.” Cakka menyalami gabriel sambil tersenyum sumbringah pada sahabatnya tersebut.
“hadiahnya ?.” tagih gabriel sambil menaik nurun kan alis matanya. Cakka menepuk jidatnya dan merengut kesal pada gabriel. “gue belom beli iel, ini deh gue kasi kacamata kesayangan gue. Kaca mata -2, gue udah nggak min lagi, jadi gue kasi ke elo deh sebagai hadiahnya.” Kata cakka sambil nyengir.
“nyeeeh-_-!! Barang bekas dijadiin hadiah.”
“hehehe.”
Gabriel menerima kaamata tersebut, tapi bukan ia yang memakainya. Kacamata pemberian cakka tersebut gabriel berikan untuk alvin, karna mungkin alvin lebih membutuhkannya, apalagi beberapa hari belakangan ini alvins ering mengeluh kalau matanya tidak berfungsi dengan baik lagi.

Behenti, sudah cukup memori-memori itu berputar. Cakka berlari saat memori masa lalunya tersebut berhenti berputar, ia berlari keparkiran sekolah. Setelah itu ia melajukkan motornya kerumah alvin, ntah kenapa perasaannya jadi tidak enak pada pemuda tersebut. “loe harus jagain alvin buat gue, alvin itu nyawa gue, alvin adalah hidup gue. Jangan biarin dia nangis ataupun sendirian.” Pesan terakhir gabriel berputar dikepalanya, pesan yang memintanya untuk menjaga alvin, namun pesan itu juga yang ia abaikan selam 2thn  belakangan ini.
“maafin gue iel, gue nggak bisa jagain alvin buat loe.”

--------------------------BERSAMBUNG--------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar