Look at
ALVIN’s eyes (part6)
#KLISE
MASA LALU
Cakka
berlari menembus kerumunan koridor, langkah cepatnya terpacu pada satu tujuan
diujung koridor. Ia tidak ingin terlambat sedikitpun, apalagi ini masalah yang
sangat rumit. Masalah yang menyangkut dirinya dan sahabatnya.
“shit lo,
vin.” Suara itu terdengar sampai keluar UKS, membuat cakka juga dapat mendengar
suara tersebut.
Cakka
menerobos kerumunan UKS, matanya langsung melihat sosok sivia yang berdiri
dibelakang alvin. cakka juga melihat sepasang anak manusia yang ia kenali
sebagai ify dan rio. ify berdiri disamping rio, ia menggenggam tangan rio
dengan eratnya, entah untuk menenangkan kekasihnya –rio- atau hanya untuk meredakan ketakutannya
sendiri.
“stoooop,
RIO !!!.” teriak cakka sebelum rio mau membuka mulutnya lagi. “JANGAN
SEKARANG.” Cakka mendekat kearah rio, ia juga ingin menenangkan emosi
sahabatnya itu. Cakka tahu apa yang akan dilakukan rio, namun menurutnya bukan
sekarang waktu untuk membuka semuanya, apalagi ada sivia disana karna memang
sivia lah satu-satunya objek yang tidak tahu apa-apa.
“nggak ka,
dia harus tau semuanya. Semua tentang kematian gabriel, semua tentang
keegoisannya, semua tentang kesalahannya dimasa lalu.” Teriak rio balik. Rio
menepis tangan cakka yang akan menyentuhnya, ia juga melepaskan genggaman ify
dan mendekat kearah alvin yang memilih diam.
Gabriel !!! deg, deg, deg. Jantung sivia
berpacu cepat mendengar nama laki-laki masa lalunya disebut-sebut, apalagi kata
‘kematian’ terselip didepan nama itu.
Air mata sivia mengalir pelan. ‘tidak
mungkin,,, gabriel,,, tidak mungkin gabriel sudah meninggal. Arghhhh !!! TIDAK
MUNGKIN.’ Sivia bergeming dari belakang punggung alvin, langkahnya memilih
berjalan kesamping alvin.
“apa maksud loe ??.” teriak sivia sambil menatap rio tajam. Rio mengalihkan pandangannya dari alvin dan beralih untuk menatap sivia –sinis-, setelah itu ia kembali menatap alvin dengan tatapan benci.
“apa maksud loe ??.” teriak sivia sambil menatap rio tajam. Rio mengalihkan pandangannya dari alvin dan beralih untuk menatap sivia –sinis-, setelah itu ia kembali menatap alvin dengan tatapan benci.
“semua
gara-gara loe.” Teriaknya sambil
menghantam wajah alvin.
Alvin
yang belum siap menerima pukulan tersebut langsung tersungkur, kacamata yang
selalu setia melindungi matanya langsung terlepas dan pecah begitu saja. “loe
itu bener-bener pembawa sial. Gabriel nggak pantes punya adik egois kayak loe.”
Cercanya sambil mengambil ancang-ancang untuk menendang alvin.
“hentikkan
rio.” teriak cakka lagi, kali ini ia menarik rio agar tidak melayangkan
tendangan atau pukulan lagi untuk alvin. sementara alvin, ia hanya diam tanpa
melawan atau membalas pukulan rio, ia lebih memilih untuk mendengarkan semua
perkataan rio.
“cakka
jangan tahan gue. Loe juga nggak tahu apa-apa tentang kematian Gabriel.” Rio
memberontak agar cakka melepaskan tangannya dan membiarkannya memukul alvin
lagi.
Pegangan
cakka melonggar ketika rio menyebut-nyebut tentang kematian sahabatnya itu. apa
maksud rio ? seingatnya gabriel meninggal hanya karna penyakit jantung yang
dideritanya, tapi kata-kata rio seakan-akan menghantarkannya pada satu rahasia
dibalik kematian sahabatnya itu, rahasia yang hanya mengarah pada alvin dan
rahasia yang menjadikan alvin sebagai satu-satunya terdakwa dalam hal ini.
Suasana
melengang ketika tangan rio terlepas. semuanya memilih diam, mereka memilih
mendengarkan apa yang akan dikatakan rio. hanya tangisan sivia yang terdengar,
tangisan itu berubah menjadi isakkan
ketikka rio mulai memutar ingatannya yang kembali ke 2thn yang lalu.
Ingatan,
ingatan dimana hanya dia yang menjadi satu-satunya saksi perseteruan alvin dan
gabriel pada malam rabu 2thn lalu. Tidak ada saksi lain saat itu, hanya dia
–rio-, hanya riolah yang mendengarkan adu mulut dua kakak beradik tersebut. rio
yang menjadi sepupunya alvin atau tepatnya juga menjadi kembarannya shilla
hanya diam dan memilih menjadi penonton mereka.
“arghhhhhhhh.” Erang alvin saat itu.
Rasa sakit dikepalanya benar-benar menghilangkan kendali dirinya. Saat itu
semua barang-barang yang ada diatas mejanya telah hancur dan tak berbentuk
lagi. Tidak seorang pun yang peduli, tidak gabriel maupun mamanya. Semuanya
sibuk dengan urusan mereka masing-masing, gabriel sibuk dengan kekasihnya
–sivia, sementara mamanya sibuk dengan bisnisnya dan memilih meninggalkan
mereka hanya karna membenci alvin. ralat, mamanya bukan memebenci alvin, namun
membenci mata tajam yang alvin miliki. Konon katanya mata itu sangat mirip
dengan mata papanya yang sudah tiada.
mata itu lebih banyak menyiratkan kebincian, membuat siapapun yang melihatnya
akan bergidik ngeri dan memilih untuk tidak melihat mata itu, termasuk mama alvin.
Tersisih. Begitulah yang dirasakan
alvin saat itu. Padahal dulu hanya gabriel yang menemaninya, hanya gabriel yang
bisa mengertinya, hanya gabriel satu-satunya orang yang mau dijadikan tempat
berbagi rasa sakit. Namun seiring berjalannya waktu, hingga pada saat dimana
gabriel mulai menemukan cintanya dan arti sebuah persahabatan, alvin merasa
dirinya benar-benar tersisih. Gabriel jadi tidak pernah ada disampingnya,
melupakkannya, bahkan mengacuhkannya begitu saja. Gabriel lebih sering
membiarkannya sendiri, membiarkannya merasa kesepian, dan membuatnya merasakan
sakit sendiri.
“alvin, alvin, alvin.” teriak gabriel dan rio
sambil menggedor-gedor pintu kamar alvin, tak dapat dipungkiri lagi kalau saat itu gabriel
benar-benar merasa takut. Takut kalau adiknya
tercinta melakukan hal yang tidak-tidak, apalagi alvin termasuk dalam daftar
orang-orang nekat.
“alvin, buka pintunya.” Teriak gabriel lagi,
namun tidak ada blasan sama sekali. Hanya suara teriakkan dan barang-barang
pecah yang menjadi sahutan dari dalam kamar tersebut.
“dobrak aja iel.” Suruh rio.
Gabriel mengambil ancang-ancang untuk
mendobrak kamar tersebut. “BRAAAK.” Dengan Sekali dobrakan pintu terbuka.
Gabriel langsung menghampiri alvin yang terduduk dipojok kamar, suara isak
tangis alvin terasa begitu menyayat hati gabriel. Tidak pernah sekalipun
gabriel mendengar alvin menangis sampai terisak seperti itu, pengecualian untuk
hari ini.
“jangan sentuh gue.” Kata alvin pelan.
Langkah gabriel terhenti mendengar
perintah adiknya, padahal ingin rasanya ia memeluk tubuh alvin saat itu, ingin
lagi ia menenangkan adik kesayangannya itu. “alvin, kamu kenapa ? cerita ya
sama kak iel.” Bujuk gabriel.
“LOE BUKAN KAKAK GUE, LOE BUKAN KAK GABRIEL
GUE, PEDULI APA LOE SAMA GUE, SANA URUS AJA PACAR SAMA TEMEN-TEMEN LOE, JANGAN
URUSIN GUE.” Bentak alvin.
“alvin, maafin kak iel ya.” Kata gabriel lagi,
langkahnya kembali berjalan kearah alvin. “kakak...”
“jangan deketin gue.” Alvin berdiri dari
duduknya. Ia langsung mendorong gabriel agar tubuh kakaknya itu tidak mendekatinya lagi.
“LOE BUKAN KAKAK GUE. GUE BENCI LOE.” Teriak alvin.
Gabriel diam, dadanya tersa sakit saat
ini. kata-kata benci yang dikeluarkan alvin tadi adalah kata-kata yang sama yang baru saja kekasihnya keluarkan. Kini dua
orang yang paling berarti dalam hidupnya telah membencinya, membuat jantungnya
seakan-akan dimatikan secara perlahan saat itu juga.
“al, maafin kakak. Jangan benci sama kakak,
apapun akan kakak lakuin asal kamu tidak membenci kakak.” Kata gabriel lagi.
Alvin menatap tajam kearah gabriel,
tatapan yang benar-benar penuh kebencian, tatapan yang mebuat siapapun yang
melihatnya akan ketakutan setengah mati. “gue akan maafin loe, asalkan loe mau
terjun dari balkon kamar gue.” Kata alvin ngasal, setelah itu ia berjalan
tertatih-tatih keluar kearah pintu kamarnya, tidak ia perdulikan lagi gabriel
maupun rio.
“alvin, loe apa-apaan sih. loe itu egois
banget, ngapain loe nyuruh gabriel terjun dari lantai dua.” Kata rio sambil
menahan langkah alvin dengan mencengkram tangannya.
alvin berhenti berjalan, ia menatap
rio tajam, tatapan yang sama dengan tatapan yang baru saja ia berikan ke
gabriel. Perlahan rio mulai melepaskan tangannya yang mencengkram tangan alvin.
tak dapat dipungkiri lagi kalau rio juga ketakutan melihat tatapan tersebut, terlalu
menyeramkan jika terus dilihat.”loe
jangan ikut campur.” Alvin mendorong rio, hingga rio
tersungkur kearah piano putih
yang ada disampingnya. kepala rio membentur pinggiran piano dan mengeluarkan
darah yang cukup banyak.
Alvin kembali berjalan, namun
langkahnya kembali terhenti ketika mendengar teriakan dari arah balkon.
“gabriel.” Teriaknya dan berlari tunggang langgang kearah balkon.
Jantung gabriel benar-benar terasa sesak dan
penuh oleh rasa sakit, genggaman tangannya pada penyangga balkon hampir
terlepas sebelum sebuah tangan meraih tangannya dan berusaha mengangkatnya
kembali keatas.
“BODOH.” Cerca alvin sambil berusaha menarik
gabriel kembali. rasa Sakit dikepalanya kembali menyerang, membuat
konsentrasinya terpecah oleh rasa sakit tersebut.
Gabriel tersenyum mendengar cercaan
alvin, setidaknya dibalik cercaan tersebut masih ada kepedulian untuknya. Alvin
tidak sepenuhnya membenci gabriel, begitulah hipotesis yang diambil gabriel
saat melihat kepanikkan diwajah alvin.
“arghhhh.” Erang alvin, ia sudah tidak kuat
mengangkat gabriel. Namun ia juga tidak mau membiarkan gabriel terjatuh. Biar
saja jatuh bersama, pasrah alvin dalam hati.
Tangan lain, tangan yang lebih kuat
membantu alvin mengangkat gabriel. Alvin melihat si empunya tangan. Shilla.
Gadis kembaran rio tersebut membantunya mengangkat gabriel. Setelah tubuh
gabriel terangkat, rasa sakit dikepalanya semakin menyiksa, membuatnya jatuh
dan kembali mengerang.
Kenapa sesakit ini ?, tanya alvin
sambil meremas kepalanya. Gabriel yang panik melihat alvin langsung menghampiri
tubuh alvin, tanpa peduli rasa sakit
yang juga kian menyiksa dijantungnya.”al, loe nggak papa, kan ?.” tanya gabriel
sambil mengangkat kepala alvin kepangkuannya.
“iel, bawa kerumah sakit aja.” Suruh shilla.
Gabriel mengangguk dan berusaha
mengangkat alvin, namun tidak bisa. Kali ini rasa sakit dijantungnya semakin
menjadi-jadi. Membuat gabriel jatuh dan tak sadarkan diri tepat disamping alvin
yang masih setengah sadar.
Shilla diam, tubuhnya membatu melihat
kakak beradik tersebut tak sadarkan diri. Sementara disisi lain rio juga butuh
pertolongan. shilla tersadar ketika seseorang menyentuh pundaknya. “telpon
ambulan shil.” Kata orang tersebut. shilla berbalik dan mendapati cakka berdiri dibelakangnya.
Ketika Dirumah sakit baik Gabriel
maupun alvin sama-sama mendapatkan
perawatan yang serius, terlebih buat gabriel yang sistem kerja jantungnya
semakin menurun akibat dari beberapa tekanan yang dirasakannya pada saat
mendengar kata-kata benci dari alvin dan sivia, dan akibat dari kenekatannya
saat menuruti permintaan alvin untuk meloncat dari lantai dua.
Rio
menutup ingatannya. Setelah kejadian itu, rio benar-benar membenci alvin.
menurutnya semua kejadian dimasalalu tersebut adalah salah alvin. alvin terlalu
egois saat itu, alvin adalah anak laki-laki terbodoh karna telah memperlakukan
gabriel seenak maunya.
“loe,
semua salah loe.” Tiba-tiba sivia berteriak kearah alvin, tangisnnya kembali
pecah. Sivia benar-benar tak menyangka kalau alvinlah adik yang selalu dibela
gabriel, bahkan sivia juga menganggap
alvin adalah penyebab dari setiap perkelahiannya dengan gabriel karna
gabriel lebih membela adiknya dibandingkan dirinya.
“gabriel
selalu bela loe saat gue suruh dia ngejauhin
loe, loe adiknya yang selalu buat gue dan gabriel bertengkar, loe egois,
loe.... arghhh !! shit.” Sivia membentak alvin. “GUE BENCI LOE.” Bentaknya
lagi.
Tampaknya
Sivia belum bisa menerima kenyataan masa lalu tersebut, ia belum menerima kalau
gabriel sudah tiada, padahal gabriel-lah laki-laki masa lalu yang selalu ia
rindukan, laki-laki yang selalu ia tunggu kedatangannya semenjak 2thn lalu, dan
gabriel –lah laki-laki yang –mungkin- masih menempati tahta tertinggi
dihatinya.
“sumua
gara-gara loe. Loe yang nggak tahu diri,
gabriel sayang banget sama loe, dia lebih sayang sama loe dari pada gue, tapi
loe... arghhhh !!!”
‘PLAK’ sivia menampar alvin sebagai penutup kemarahannya.
‘PLAK’ sivia menampar alvin sebagai penutup kemarahannya.
Alvin
yang ditampar pun hanya diam, ia tak melawan atau membalas perlakuan sivia.
Alvin sadar kalau disini dirinya –lah yang pantas disalahkan, hanya dia. “IYA,
YANG SALAH EMANG GUE. GUE YANG PEMBAWA SIAL, GUE YANG EGOIS, DAN GUE YANG NGGAK
TAHU DIRI.” Alvin membentak sivia, menatap gadis itu tajam setajam-tajamnya
(?). sivia mundur beberapa langkah, keberaniannya tiba-tiba menguap melihat
soratan tajam mata alvin yang menatapnya, kali ini tatapan mata itu lebih
menakutkan dari pada hari-hari yang lalu.
“berhenti
kalian semua, jangan berkelahi disini.” Zahra tiba-tiba datang bersama shilla,
ia menatap anak didiknya satu-persatu hingga dimana tatapannya jatuh pada sosok
alvin yang terlehat mengenaskan. “apa yang kalian lakukan ?.” tanya zahra pada
siapapun yang mau menjawab, terlebih pada adik kandungnya si rio.
“arghhhhh.
BERHENTI SALAHIN GUE.” Alvin tiba-tiba histeris. Ia mundur beberapa langkah
sambil menjambak rambutnya sendiri, rasa sakit dikepalanya tiba-tiba datang dan
menjerat setiap pergerakannya. Alvin berjalan keluar UKS, menjauh dari
hingar-bingar tentang masa lalunya. Langkahnya yang tadi pelan, tiba-tiba
berubah menjadi langkah yang cepat, seperti terkesan berlari. Pelan-perlahan
tubuh alvin hilang dibalik kerumunan siswa yang menjadi penonton setia sejak
sejam yang lalu.
^^
“ini
salah, INI SALAH.” Teriak cakka diantara keheningan UKS, baik rio, sivia, ify,
shilla, ataupun zahra belum juga beranjak dari ruangan tersebut, sementara
siswa-siswi yang lain sudah kembali kekelas mereka masing-masing. “LOE SEMUA
NGGAK BERHAK SALAHIN ALVIN, ALVIN NGGAK SALAH. YANG SALAH ITU KITA, KITA YANG
NGGAK PERNAH NGERTI PERASAAN DIA SAMA SEKALI, KITA YANG DULU SUDAH AMBIL
PERHATIAN GABRIEL DARI DIA. LOE SEMUA NGGAK TAHU KALAU GABRIEL ITU LEBIH DARI
APAPUN UNTUK ALVIN.” teriak cakka lagi, ntah apa yang dirasakannya saat ini.
semua diam, tak menyahut ataupun menjawab, ada sedikit kebenaran dikalimat
cakka tersebut. mereka memang tidak mengerti alvin, tidak untuk sekarang
ataupun nanti.
Cakka
bergeming, mendekati sisa-sisa kacamata alvin yang pecah dan tak berbentuk
lagi. Sebuah PIN biru juga tergeletak disamping kerangka kacamata tersebut. cakka
mengingat tentang pin itu, pin yang hanya dimiliki oleh alvin dan gabriel. Dulu
gabriel pernah menceritakkan pin tersebut, pin merah yang dimiliki gabriel dan
pin biru yang dimiliki alvin, lambang
mata yang ada ditengah pin tersebut mempunyai makna tersendiri untuk alvin dan
gabriel.
“loh iel, pin apa tuh yang ada dibaju loe ?”
cakka menunjuk pin merah yang ada diatas saku baju sekolah gabriel.
“ini
hadiah ulang tahun dari mama, nggak tahu deh maksudnya apa. Yang jelas
mama ngasi warna merah buat gue dan warna biru buat alvin. gimana kka pinnya,
bagus kan ?.” kata gabriel bangga.
“halaaaah, pin yang kayak gitu juga banyak
dipasar malem. Bangga banget loe punya pin kayak gitu.” Cibir cakka sambil
menoyor kepala gabriel.
“eitsss, asal banget loe ngomong, ini nggak
dijual kka, ini langsung dibuat mama sendiri.” Kata gabriel. “lihat nih lambang
matanya, ini artinya mata itu nggak pernah bisa bohong, apapun yang kita
rasakan selalu terlihat dari sorotan mata kita sendiri, kita juga bisa lihat
perasaan orang dari sorotan matanya. NGERTI LOE ?.” kata gabriel lagi.
“ah !!! iye, iye. Lebay banget sih loe jadi
orang.”
“haha, biar deh, lebay-lebay gini gue juga
tetep ganteng.” Narsis gabriel sambil menjulurkan lidahnya.
“yaelaaah, loe narsisi banget sih yel.” Cibir
cakka. “eh’iya. Gue lupa, Happy birthday ya. Makin tua deh loe, hahaha.” Cakka
menyalami gabriel sambil tersenyum sumbringah pada sahabatnya tersebut.
“hadiahnya ?.” tagih gabriel sambil menaik nurun kan alis matanya. Cakka menepuk jidatnya dan merengut kesal pada gabriel. “gue belom beli iel, ini deh gue kasi kacamata kesayangan gue. Kaca mata -2, gue udah nggak min lagi, jadi gue kasi ke elo deh sebagai hadiahnya.” Kata cakka sambil nyengir.
“hadiahnya ?.” tagih gabriel sambil menaik nurun kan alis matanya. Cakka menepuk jidatnya dan merengut kesal pada gabriel. “gue belom beli iel, ini deh gue kasi kacamata kesayangan gue. Kaca mata -2, gue udah nggak min lagi, jadi gue kasi ke elo deh sebagai hadiahnya.” Kata cakka sambil nyengir.
“nyeeeh-_-!! Barang bekas dijadiin hadiah.”
“hehehe.”
Gabriel menerima kaamata tersebut,
tapi bukan ia yang memakainya. Kacamata pemberian cakka tersebut gabriel
berikan untuk alvin, karna mungkin alvin lebih membutuhkannya, apalagi beberapa
hari belakangan ini alvins ering mengeluh kalau matanya tidak berfungsi dengan
baik lagi.
Behenti,
sudah cukup memori-memori itu berputar. Cakka berlari saat memori masa lalunya
tersebut berhenti berputar, ia berlari keparkiran sekolah. Setelah itu ia
melajukkan motornya kerumah alvin, ntah kenapa perasaannya jadi tidak enak pada
pemuda tersebut. “loe harus jagain alvin
buat gue, alvin itu nyawa gue, alvin adalah hidup gue. Jangan biarin dia nangis
ataupun sendirian.” Pesan terakhir gabriel berputar dikepalanya, pesan yang
memintanya untuk menjaga alvin, namun pesan itu juga yang ia abaikan selam
2thn belakangan ini.
“maafin
gue iel, gue nggak bisa jagain alvin buat loe.”
--------------------------BERSAMBUNG--------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar