Senin, 05 Maret 2012

Mati RASA (cerpen)


MATI RASA (ALVIA & RIFY)

     Tawa-tawa wanita nakal itu kembali menyambuut langkahku memasuki gedung yg menjulang tinggi ini, ntah sudah untuk yang keberapa kalinya aku mendengar suara tawa itu. Telingaku sudah terbiasa untuk menyambut suara tawa mereka. Tapi, BUKAN !!! aku bukan satu dari mereka, aku hanya ingin  mencari adikku yang sudah terjerumus dalam dunia gemerlap macam ini, dunia yang sesungguhnya tidak baik untuk anak usia 15thn seperti adikku. Tapi, sudahlah ! keadaan telah berubah dan menggerusnya jauh menyimpang dari jalan tuhan.
“hay, cantiiik.” Seorang pria paruh baya menoel daguku dengan genitnya. Dasar pria hidung belang ! umpatku dalam hati seraya terus mencari-cari keberadaan adikku tanpa menggubris godaan pria tersebut.
“gadis manis, kenalan dong.” Goda yang lainnya, kali ini godaan itu datang dari laki-laki yang umurnya sepantaran denganku –mungkin-. “hay, ayolaaah ! jangan sok jual mahal denganku.” Laki-laki tadi kembali berbicara, namun kini dengan cengkaraman tangannya yang jatuh dipundakku.
“lepaskan tangmu dari pundakku, jangan macam-macam kau.” Katakku sedikit mengancam, laki-laki tersebut hanya tersenyum sumbang dan mengencangan cengkramannya, hingga pundakku kini terasa berat dan sakit, dan membuatku tidak bisa memberontak lagi.
“yon, apa yang kau lakukan ?.” tanya seseorang laki-laki yang tampaknya adalah teman dari laki-laki ini. secara bersamaan aku dan laki-laki yang dipanggil ‘yon’ itu melihat kearah orang tersebut. “lepaskan tanganmu dari gadis itu, kau menyakitinya.”
“arghhh ! baiklah yo, aku akan melepaskannya. Kau menggangguku malam ini.” laki-laki tersebut langsung melepaskan tangannya dariku dan berlalu begitu saja, meninggalkan aku bersama laki-laki yang satunya lagi.
“terima kasi.” Kataku tulus, laki-laki itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Dia membuatku tergugah dan dengan ragu-ragu aku menyambut tangannya.
“Rio.” Katanya sambil tersenyum manis.
“Ify.”
“hmmmm ! apa yang kau lakukan disini, ify ?.” tanya rio sambil meneliti penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “tampaknya kau tidak mencari kesenangan disini.” Lanjutnya lagi tanpa memberikan aku kesempatan untuk menjawap pertanyaan yang terdahulu.
“eh, iya. Aku kesini ingin mencari adikku.” Jawabku seadanya. Kali ini aku kembali celingak-celinguk mencari keberadaan adikku, biar cepat selesai dan membawanya pulang sebelum jam menunjukkan pukul 12 malam.
“adik ?.”
“iya, adikku. Namanya Alvin.”
“Alvin jonathan ?.” tanyanya lagi, aku hanya menjawabnya dengan anggukkan kecil.
     Secara tiba-tiba rio menarik tanganku untuk lebih masuk lagi kedalam gedung gemerlap ini. suara tawa wanita-wanita nakal semakin jelas terdengar ditelingaku dan hal itu membuatku merinding, sebelumnya aku tidak pernah memasuki gedung ini lebih dalam dari pada tempatku berpijak tadi.
    sebelum aku sadar mau dibawa kemana oleh rio, genggaman tangannya yang menarik tubuhku ini cukup membuat hatiku berdebar-debar. entah mengapa senyuman manis seorang rio mampu membuatku jadi merasa seperti ini.ada rasa yang berbeda, rasa yang merambat memenuhi hatiku, rasa yang perlahan membuat sudut gelap hatiku menjadi terang dan rasa yang perlahan mengukir nama rio dihati ini. ahhh ! perasaan apa ini. sadarlah ify, kau baru mengenalnya, kau baru mengenal rio. tidak boleh ada rasa yang macam-macam, tidak boleeeh. 

“apa itu adikmu ?.” tanya rio saat langkah-langkah kecil kaki kami tepat berhenti didepan seorang anak berusia 15thn yang tengah asik meneguk minuman beralkohol.
    Mataku membulat penuh melihat alvin –adikku- yang sudah berada dibawah pengaruh minuman haram tersebut. Alvin, anak berusia 15thn bagaimana mungkin bisa berkelakuan diluar nalar anak seuasianya. Baru kusadari, ternyata penyimpangan ini lebih jauh dari apa yang ada dipikiranku.

***
    ‘Tuk, tuk, tuk’, sudah berkali-kali alvin mengetukkan polpen kemeja belajar kamarnya. Sekarang ia tidak lagi berada dibawah pengaruh alkohol kemarin malam, aku memandang tajam kearahnya seraya mencoba menahan laju air mata yang kini sudah menumpuk di sudut-sudut mataku.
“jangan melakukan hal itu lagi, vin.” Pintaku yang mungkin lebih terdengar kearah permohonan.
    Sudah kesekian kalinya aku berbicara seperti ini kepadanya, namun sudah keberapa kalinya juga mulut kecil alvin tak menyahut apapun. Seperti kejadian yang lalu, dia akan membisu seperti ini kalau aku memintanya untuk berhenti melakukan hal tak berguna seperti apa yang dia lakukan di gedung gemerlap kemarin.
“bicaralah dan jawab kalau kau tidak akan melakukannya lagi.” Kataku seraya menyambar tangannya untuk kudekatkan dipipiku, “jangan buat kakakmu ini kecewa, vin. Kakak menyayangimu.”
    Akhirnya air mataku tumpah juga, membuat tangan alvin yang ada dipipiku ikut basah. Perlahan tangannya bergerak dan menyeka airmataku dengan gerakkan lembut, hanya dengan inilah aku bisa yakin kalau dia juga menyayangiku. Aku tahu alvin tidak akan pernah tahan melihat orang yang disayanginya menangis seperti ini.
“kak ify, jangan nangis. Maafin alvin, alvin akan mencobanya.” Akhirnya alvin bicara juga, aku yakin dia bisa menjauhi dunia gemerlap itu. Dia pasti bisa.
    Aku tersenyum dan memeluk tubuh kurus adikku, aku benar-benar menyayanginya dan hanya dia satu-satunya orang yang paling berharga yang kupunya saat ini. jadi Tuhan, tuntunlah adikku untuk menjahui sisi dunia yang tak kau sukai.

***

‘BRUUUUK’
“awww” 
    tubuhku jatuh kelantai setelah tubuh seseorang menabrak tubuhku dan menyebabkan semua buku-buku yang kubawa tadi ikut terjatuh dan berserakkan dilantai. Setelah bebrapa detik meringis sebuah tangan terjuntai didepanku, aku menongak dan melihat seorang laki-laki tersenyum manis kearhku.
“maaf.” Desahnya, aku menyambut uluran tangan laki-laki tersebut. saat itu aku kembali merasa jantungku berdebar-debar seperti ketika ia menarik tangaku di gedung gemerlap beberpa malam yang lalu. baiklah perlu ku akui kalau 'AKU MENCINTAINYA.' cinta pada pandangan pertam, tepatnya.
“rio.” Sebutku saat aku sudah mengacaukan lamunanku sendiri dan kini aku berdiri dari tempat jatuhku tadi. lagi-lagi dia hanya tersenyum dan mengangguk kecil. “apa yang kau lakukan di toko buku ini.” tanyaku lagi.
“hmmm, aku hanya mengantar adikku membeli novel.”
“ohhh, ku kira laki-laki sepertimu memang suka ketoko buku. Tapi ternyata aku salah, haha.”
“haha, begitulah.” ujar rio sambil menggaruk tengkuk kepalanya, sepertinya dia salah tingkah. Apalagi kalau melihat semburat warnah merah dipipinya, haha. “lalu kau sendiri dengan siapa kesini ?.”
“aku, aku bersama dia.” Aku menunjuk alvin yang sedang asik berbicara dengan seorang gadis manis yang sepertinya sepantaran dengan usia alvin sendiri.
“alvin ?.” tanya rio, aku hanya mengangguk untuk memberi jawaban. “dia bersama sivia.” Gumam rio yang lebih kepada dirinya sendiri.
“sivia ?.”
“adikku.” Jawab rio seadanya.
   Rio berjalan mendekati alvin dan sivia yang tengah larut dalam pembicaraan ala anak muda seperti mereka. Aku mengikuti langkah rio dari belakang, mencoba menebak apa yang akan dilakukannya terhadap dua remaja tersebut.
“sivia, ayo pulang.” Kata rio langsung menarik tangan sivia untuk menjauh dari alvin. aku kaget melihat reaksinya, apa yang dilakukan laki-laki itu ? mengganggu perbincangan adiknya dengan adikku atau dia tidak suka melihat kedekan alvin dan sivia.
“hay kak, jangan menarik lenganku seperti itu. Kau tak sopan.” Berontak sivia sambil sesekali meringis karna genggaman tangan rio yang begitu kuat mencengkram lengannya.
“rio, jangan sekasar itu pada adikmu.” Kataku mencoba membela sivia yang sudah hampir menangis.
“ini bukan urusanmu, ify. Jadi diamlah.” Rio menatapku tajam, sesekali keluar bentakkan kasar yang dilontarkannya untukku ataupun sivia. “dan untukmu...” jari telunjuk rio mengarah kewajah alvin, “jangan dekati sivia lagi, aku tidak mau kau merusak adikku.”
    Setelah berbicara seperti itu, rio pun pergi dari hadapan kami. Aku melihat punggung tegapnya menjauh dan menghilang dibalik pintu toko buku, setelah itu aku melihta kearah alvin. wajahnya yang tadinya berseri saat berbicara dengan sivia, kini malah memucat. Baru kali ini aku melihat wajahnya sepucat ini, apa yang terjadi pada alvin ???.

***
    Suara isak tangis terdengar dari balik pintu sebuah kamar, diluar malah terdengar suara bujukkan seorang laki-laki. Seiring berjalannya waktu isakkan tersebut melemah dan meninggalkan ruangan sepi yang hening. Sementara suara bujukkan tadi juga tak terdengar lagi, yang terdengar hanyalah suara langkah kaki yang semakin lama semakin menjauh hingga terdengar suara bantingan pintu sebagai penutup.
    Rio yang baru menutup pintunya langsung bersender dibalik pintu kamar, rasa bersalah itu menghinggapinya ketika ia sadar bahawa keegoisannya telah berhasil menyakiti hati adiknya. Ia merasa disisi lain ada dua hati yang akan tersakiti oleh rasa yang berbelit-belit iini, ia tahu kalau sivia dan alvin adalah sepasang kekasih semenjak setahun lalu, jadi bila di toko buku tempo hari ia menyebutkan alasan kalau dirinya takut alvin akan merusak sivia, maka itu adalah alsan yang salah. Bukan itu alasannya, tapi alsan satu-satunya adalah ify. Rio mencintai ify, itu alasanya.
    Rio juga ingin memiliki ify, jadi jika nanti perasaannya sudah semakin mantap maka tidak lucu kalau seorang kakak berpacaran dengan kakak pacar adiknya sendiri. Dan tidak mungkin kalau nanti dirinya dan sivia akan jatuh dalam ikatan yang sama dengan sedarah ify dan alvin. itu tidak mungkin !!!
“gue emang egois, maafin gue.”

***

    Alvin kini tengah terduduk didepan sivia yang terus menunduk. Taman yang sepi karna malam semakin larut membuat suasan mencekam disekitar mereka, tidak ada yang ingin memulai percakapan. Apalagi dengan keadaan sivia yang masih saja menunduk sambil menangis dan alvin yang malah bengong dengan tatapan sayu dan wajah pucatnya.
“sivia.” Gadis itu mendongak setelah namanya dipanggil oleh alvin, suara lemah itu cukup membuat hatinya kocar-kacir. Alvin tersenyum ramah dan langsung memeluk tubuh sivia. Ada rasa yang menariknya melakukan hal itu sebelum semuanya berakhir.

   ‘biarku peluk tubuhnya sebentar saja sebelum aku melepasnya. Biarku merasakan roman tubuhnya sebelum aku, aku tak bisa merasakannya. Biar aku mencium keningnya sebelum semuanya berakhir.
    Namun percayalah takkan ada yg berakhir, rasa ini takkan berujung. Masih ada sejuta cinta yang belum tersampaikan sebelum semuanya mencapai bagian ending. Akan ku usahakan trus menjadi bintangnya, sebelum bintangku tergapai tangan tuhan.
    Ini bukan akhir, tpi ini adalah awal cerita baru untuk kehidupan yang baru nanti. Selama hati ini memilihmu, maka takkan pernah ada yang mampu mengakhirinya. Cinta ini akan sepenuhnya teruntuk dirimu. Sakit ini akan berakhir di penghujung rasa.
    Aku mati rasa, rasaku terbunuh cinta mereka. Takkan ada lagi sakit dan takkan ada lagi bahagia. Semua benar-benar telah mati rasa, namun smua belum berakhir.’


“al..vin..” suara parau sivia mengeruhkan lamunan alvin, seketika pelukkan itu melonggar dan yang tertinggal hanya isakkan sivia dan senyuman alvin.
“maafkan aku sivia, hubungan kita cukup sampai disini.” Kata alvin mencoba untuk tegar, sivia kembali menangis dan memeluk tubuh alvin. “tananglah sivia, semuanya belum berakhir. Kita masih bisa menjadi ipar yang baik. Biarkan mereka bahagia selama kita masih bisa membuat mereka bahagia.” Kata alvin lagi.

     Tak perlu waktu lama, hanya sebentar saja. Hubungan itu berakhir jua, dua hati akhirnya tersakiti. Jalan cinta mereka memang seperti ini, bukan berakhir namun terhenti pada satu titik kenyataan. Meskipun berat namun inilah pengorbanan cinta. Tidak ada yang slah dan menyalahkan, namun memang beginilah cinta seharusnya. Cinta tidak perlu memiliki, cukup menikmati. Bila cinta hanya dinikmati akan terasa menyakitkan, maka lebbih baik memilih mati rasa dan semuanya akan terasa hambar...




----------------------THE END-------------------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar