Sebelum baca part 6 ini, please perhatikan bebrapa hal yang nanti akan membuat kalian bingung!!!
Keterangan :::
Yang bergaris miring itu Flasback –nya
FB Off => Flasback off
Banyak typo jadi mohon dimaklumin kalo ada kata2 aneh yang nggak kalian ngerti
OOC –terutama peran Alvin
Nah itu naja, silahkan dinikmatin n.n
-Pra-tunangan-
“Nathan” gadis berseragam SMP melambai pada laki-laki yang berlari mendekatinya
sambil menenteng gitar. Laki-laki itu tersenyum samar sambil menetralkan
nafasnya yang masih memburu karena habis berlari.
“maaf vi, Nathan telat.” Kata laki-laki tersebut.
Gadis berseragam SMP tersebut mengangguk maklum.
Ia tersenyum geli melihat Nathan –laki-laki yang dari tadi ditunggunya masih
sulit mengatur nafas. Via menegakkan
tubuh Nathan dan menghadapkan wajah laki-laki tersebut tepat menghadap
wajahnya, kemudian tanpa rasa jijik disekanya keringat sebesar biji jagung yang
keluar dari pori-pori wajah Nathan.
“dari mana aja nath, kok telat.”
“Nathan abis beli ini untuk via.”
Nathan mengeluarkan sebuah kotak terbungkus
kertas kado berwarna merah –warna kesukaannya dan via-. Ditaruhnya gitar yang
tadi ditentengnya. Nathan membuka tutup kotak tersebut hingga memperlihatkan
sepasang cincin berwarna putih yang berpadu dengan ukiran berwarna merah yang
mengukir nama kecil disekeliling cincin.
“gimana, Via suka?” Tanya Nathan sambil menyelami
wajah gadis yang berseragam smp yg ada dihadapannya. Raut wajah Via sulit
dartikan Nathan, ntah senang, kaget, terharu, atau entahlah.
“Via suka?” Nathan menggigit bibir bawahnya gemas,
ia takut via-nya tidak suka.
Via diam. Ekspresi wajahnya tidak dapat
diartikan. Pelupuk matanya tampak tergenang, dan meluncurkan setetes air mata.
Membuat Nathan semakin bingung. Tapi
didetik selanjutnya, via menubruk tubuh Nathan dan dipeluknya tubuh laki-laki
itu seerat yang dia bisa. Via menenggelamkan wajahnya kedalam dada Nathan. Ia
tersenyum bahagia, air matanya masih menetes haru.
“via suka nath”
Nathan mengerjapkan matanya beberapa kali. Tubuhnya
menghangat dipeluk gadis smp yang sekarang menjadi miliknya. Tangannya bergerak
reflex balik memeluk tubuh gadis tersebut, mencoba memberi kehangatan yang sama
seperti yang ia rasakan. Sementara Otaknya berkerja keras untuk meyakini kalau
dirinya sedang tidak bermimpi sekarang. Gadis smp itu sekarang miliknya. Via
milik Nathan.
“kalau begitu via jadi milik Nathan
sekarang”
******FB off******
Alvin berdiri
menatap cerminan dirinya. Wajah putih pucatnya terlihat semakin tampan dengan
garis-garis tegas yang selalu menampakkan pahatan mahakarya sempurna sang penguasa. Tubuhnya
terbalut Tuxedo hitam Black La Strada, membuat Alvin terlihat semakin tampan dan
lebih dewasa.
Sudut
bibirnya sedikit ditarik, menampilkan senyuman tipis khas seorang Alvin
jonathan. Ia tersenyum atas isi Otaknya yang dirancang seperti computer Pentium
IV dengan berbagai macam rencana berupa file dengan rename ‘cara mendapatkan Sivia
azizah jika acara petunangan ini gagal’. Oh baiklah, seharus kita tau bocah ice
yang satu ini hanya akan bersikap baik sekaali –dengan membiarkan Sivia lolos
satu kali- dan dengan kemampuan otak super kilat bocah ice kita yang bernama Alvin
jonathan ini akan memikirkan segudang cara licik untuk membuat Sivia menjadi miliknya
–lagi. –mungkin bukan sebagai tunangan lagi namun ia akan memikirkan cara menarik
Sivia langsung kedepan altar dan menikahi gadis itu secara paksa dan setelah
itu ia baru akan memikirkan cara untuk membuat gadisnya itu jatuh cinta –lagi
kepadanya. Kau benar-benr licik Alvin jo, hahaha. Tapi siapa yang peduli!. Alvin
menarik sudut bibirnya lebih keatas dan menampilkan senyuman –oke saya salah-
lebih tepatnya seringaian iblis yang entah sejak kapan bisa ia lakukan.
“Alv, 5 menit
lagi acaranya dimulai. Jangan bilang lo udah gila karena mukirin Sivia datang
atau enggak” kepala Cakka menyembul dari balik pintu kamar Alvin. Laki-laki
keluarga nuraga itu terlihat tampan dengan tuxedo hitam yang hamper sama dengan
tuxedo yang membalut tubuh Alvin.
Alvin menatap
Cakka sinis dari kaca yang dapat mencerminkan kepala Cakka yang menyembul dari
balik pintu.
“damai Vin!!
Abisan elo sih liat kaca sambil senyum-senyum gitu.” Cakka nyengir. “turun
buruan, tamu udah banyak noh di bawah.” Setelah mengatakan itu, Cakka langsung
menarik kepalanya dan menutup pintu hingga tidak lagi terlihat oleh Alvin.
Huh!!
baiklah, Alvin
jo apa yang dikatakan Cakka memang benar. Lo udah gila sekarang, gila gara-gara
Sivia azizah, ck. Alvin menggeleng-gelengkan kepala frustasi. Ia menatap cerminana wajahnya
sekali lagi. Dan ia tersenyum geli atas dirinya yang sudah gila menyusun
rencana-rencana yang errrr -mungkin sedikit kurang waras untuk menarik Sivia
kedepan altar.
Sebelum
benar-benar meninggalkan kamarnya Alvin meraba bagian dalam kemeja –disekitar
lehernya atau mungkin sedikit diatas dadanya-
yang berada didalam tuxedonya. Disana tersembunyi sebuaah kalung
berbandul cincin berwarna putih yang berpadu dengan ukiran berwarna merah yang
mengukir nama kecil disekeliling cincin.
Melihat
cincin itu seperti mengulang kembali masa itu.
*****FB on*****
Via mendengus kesal melihat Nathan yang
menyelingkuhinya dengan sebuah gitar. Ia merasa terabaikan dan bodohnya lagi ia
cemburu. Sivia azizah ceburu dengan sebuah gitar. Itu gila! Tapi jika kalian
diacuhkan selama dua jam hanya karena sebuah gitar yang tidak mempunyai perasaan
bosan atau kesal maka kalian patut cemburu.
“nath”
1,,, 2,,, ti…
“hmmmm”
Demi dewi perasaan, laki-laki yang sedang asik
memainkan gitar dihadapannya ini membuat via merasa kalau laki-laki tersebut
benar-benar tidak mempunyai perasaan. Ia menunggu selama dua jam, memanggil
laki-laki tersebut dengan lembut sebanyak lebih dari 50 kali, dan hanya
mendapatkan jawaban “hmmmm” sebanyak 5 kali. Aissh-_- habis sudah kesabaran
via.
“ALVIN JONATHAN, APA LO GAK PUNYA PERASAAN, LO
UDAH CUEKIN GUE 2 JAM-AN, GUE UDAH
MANGGIL 50 KALI LEBIH DAN LO CUMA BILANG HMMM 5 KALI. LO BENER2 ARGHHH… GUE
BENCI LO.” via bangun dari duduknya, berdiri tegap didepan Alvin layaknya ia
sedaang menantang musuh. Kesabarannya sudah habis sekarang.
Entah setan apa yang merasuki via, ia merebut
gitar Nathan dengan kesal dan melemparnya hingga terhempas kelantai seteleh
sebelumnya terlempar kedinding.
Dihembuskannya nafas fustasi, ia mendongak
menatap gadisnya semenetra yang ditatap balas mematap sinis. Sekali lagi ia
menghembuskan nafas frustasi. “vi, please jangan teriak, ini pesta pertunangan Cakka
dan Ify, lo jaga sikap sedikit.” Kata Nathan menahn emosi dan berbicara
setenang mungkin.
Kalau bisa diperlihatkan mungkin sekarang asap
sedang mengepul keluar dari kepala, hidung, dan telinga via, tatapan sinisnya
semakin tajam dan telak seperti menghancurkan kornea mata Alvin –yang
ditatapnya-. Emosinya semakin menguar dan bercampur dengan udara panas yang
entah sejak kapan menjadi suhu dominan malam ini. Sekarang ia benar-benar membenci
kekasihnya. Selama 2 jam lebih dia menunggu dan sekarang ia hanya mendengar
jawaban sialan yang terdengar seperti omelan. Oh sh*t!! terkutuklah kau Alvin
jonathan.
“ lo cuekin gue 2 jam dan sekarang lo malah
seenak jidat lo nyuruh gue jaga sikap.”
“sorry, gue gak bermaksud, sebentar lagi gue
bakalan main gitar didepan orang banyak, gue rasa gue butuh persiapan.” Ujar
Nathan penuh penyesalan, ia menunduk penuh rasa bersalah. Ia memang salah.
“serah lo.”
Dengan langkah lebar Sivia pergi meninggalkan
nathan. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri setelah meluapkan emosinya yang
cukup besar. Sementara Nathan masih menunduk. Orang-orang yang ada diacara
pertunangan Cakka memilih diam, termasuk Shilla, Cakka, dan Ify yang dari tadi
memilih menjadi penonton diam bersama tamu undungan yang lainnya.
“nath kejar via –nya” Winda selaku ibu Nathan
yang dari tadi menonton adegan tersebut segera membuka suara dan membangunkan
Nathan yang masih tetap mematung di posisinya.
Dengan kebingungan Nathan hanya menurut saja. Ia
berjalan melewati beberapa tamu undangan yang masih menatapnya iba.
****FB off****
Shilla
menarik tangan Sivia kedalam kamarnya. Ia mondar-mandir untuk memikirkan apa
yang harus ia lakukan sekarang. Jam 8. Shilla melirik jam dinding yang dengan
egoisnya bergerak ke angka-angka yang bilangannya lebih besar. 15.23. dan jarum
jam tersebut akan terus memacu ke angka 8 jika ia tidak melakukan sesuatu.
“vi lo harus
ke acara pertunangan lo.” Kata Shilla mantap.
Sivia
mengernyit heran. Bukankah ia ke rumah Shilla untuk menghindari pertunangan
tersebut, tapi sekarang dengan mantapnya Shilla menyuruhnya ke menghadiri
acayang yang –mungkin- tidak diinginkannya itu.
“tapi shill,
pertunangan itu nggak mungkin, gue baru kenal Alvin beberapa bulan dan nggak
semudah itu gue nerima Alvin jadi tunangan gue. Gue bahkan belum pernah
pacaran.” Kata Sivia melas. Ia mengabaikan perasaan aneh yang
mempora-porandakan hatinya.
“nggak, vi.
Lo yang salah. Lo harus hadirin pertunangan itu. Lo harus percaya sama gue, percaya
sama gue.” Shilla mencengkram pelan kedua bahu Sivia dan memaksa sahabatnya itu
untuk menatap matanya dan mempercayai dirinya. “percaya sama gue, lo kenal Alvin
lebih dari lo kenal diri lo sendiri. Gue nggak mau lo nyesel.” Shilla mencoba
meyakinkan.
Dengan
perasaan bingung bercampur dengan perasaan aneh yang berada di ulu hatinya, Sivia
hanya diam. Ia dilemma. Apa maksud perkataan Shilla, ia baru mengenal Alvin
beberapa bulan belakangan ini, bagaimana mungkin ia bisa mengenal Alvin lebih
dari ia mengenal dirinya sendiri. Lagi pula apa yang akan ia sesali?
“lo nggak
usah bingung, apapun yang lo rasain sama Alvin akan lebih jelas nanti, lo boleh
lupain segalanya tapi gue yakin masih ada perasaan yang sulit lo ngertiin jauh
didalam sini.” Shilla menunjuk dadanya. Ia tersenyum meyakinkan.
“tunggu gue
disini, gue balik sebentar lagi setelah itu kita pergi kesalon, oke.” Shilla
berjalan keluar kamarnya, meninggalkan Sivia yang masih membatu.
Perlahan,
tangannya memegang dadanya. Perasaan yang sulit lo ngertiin jauh didalam sini.
Suara Shilla terus menyapa gendang telinga secara semu. Jelas sudah, perasaan
itu tertuju dan bermuara pada satu nama. Namun Sivia belum yakin, iya
memejamkan matanya dan kali ini benar-benar diyakinkan oleh satu wajah yang
memenuhi sisi gelap matanya. Nama dan wajah itu….
****FB on****
Langkah yang terkesan pelan dengan perlahan
berubah tempo menjadi cepat, cepat dan kini berlari. Ia menerobos puluhan tamu
yang berada di gedung. Tak lagi dipedulikan beberapa orang yang mengikuti
langkahnya dari belakang, yang ia pedulikan hanyalah gadisnya, via-nya.
Tepat didepan pintu gerbang gedung, ia menemukan
sosok gadisnya yang masih berlari dengan langkah terseok-seok. terlihat jelas
bahu gadisnya sedikit berguncang, gasinya pasti menangis dan itu karenanya.
“VIAAAA” teriakan tersebut membuat langkah via
berhenti.
Nathan tersenyum, setidaknya ia tahu sekesal
apapun gadis tersebut, ia masih mau mendengar panggilannya. Dan berhenti tepat
disana, tidak jauh darinya.
“maafin gue, gue salah.” Nathan berujar pelan.
Suaranya terdengar bergetar, pelupuk matanya pun kini meneteskan setetes air
mata yang jarang ia keluarkan.
Via tertegun. Nathan menangis tepat dihadapannya.
Begitu terluka kah laki-laki itu karena telah membuat hatinya sakit.
“Nathan lebih sakit lihat via sakit hati
gara-gara tingkah Nathan” air matanya jatuh lagi.
Masih dengan diam. Tatapan mata via melembut.
Dilihatnya kesungguhan dimata Nathan. Tidak ada lagi alasannya untuk menolak
kata maaf Nathan.
Sivia tersenyum hangat.
****FB off****
08.10
Alvin
menghentak-hentakan sepatunya kesal. acara seharusnya sudah dimulai sejak 10
menit yang lalu, namun acara tukar cincin belum juga dilakukan. Apalagi
masalahnya kalau bukan karena gadis calon tunangannya belum terlihat. Sementara
semua tamu sudah hampir datang semua. Ia semakin pusing mendengar pertanyaan
kedua orang tuanya dan ibu Sivia ‘dimana Siviaa?’. Oh ayolah jangan
menanyakannya lagi, sebelum kepalanya pecah dan mengeluarkan semua isi otaknya
yang sudah menyusun rencana-rencana terkutuk untuk menarik Sivia ke depan altar
jika pertunangan ini gagal.
‘dia akan
datang Alvin’ Sekelebat suara-suara yang datangnya entah dari mana terus
menghantam ulu hatinya dan membuat keteguhannya sedikit lebih kuat.
08.35
Alvin berjalan
gelisah kearah jendela dipojok ruangan. Ia terus melihat kearah gerbang dan
berharap gadis tunangannya sedang turun dari mobil dan bergegas masuk kedalam
gedung unuk memulai acara tukar cincin. Tapi tampaknya dewa keberuntungan tidak
memihak kepadanya, gerbang tersebut tetap terlihat menganga lebar namun tidak
memuntah sesuatu yang ia harapkan kehadirannya.
Tamu-tamu
undangan masih larut dalam pesta, Cakka dari tadi sibuk menekan keypad
smartphone –nya –entah menghubungi siapa, sementara kedua orang tuanya sudah
bermandikan keringat –mereka juga takut kalau Sivia tidak datang, tapi
tampaknya Alvinlah yang paling takut itu terjadi.
‘dia pasti
datang Alvin’ suara itu kini berpusar dikepalanya, menjernihkan keyakinannya
yang tadi sempat mengeruh.
08.49
Alvin tetap
pada tempatnya, didepan jendela yang berhubungan langsung dengan halaman
gedung. Matanya tetap terfokus pada gerbang. Sesekali ia mendesah,
kegelisahannya semakin menguar, kali ini ketakutan ikut menghantam tubuhnya,
membuatnya lemas.
“Vin, lo
nggak papa, kan?.” Ify menepuk pundak Alvin lembut, membuat adik sepupunya itu
menoleh dan menatapnya dengan mata sayu.
Alvin hanya
mengangguk dan menampilkan senyum tipisnya –senyuman yang hamper tak terlihat
di mata Ify.
“dia pasti datang Vin, aku yakin.” Kata Ify
meneguhkan.
Lagi-lagi Alvin mengangguk.setelahnya Ify
meninggalkan Alvin, ia tahu Alvin butuh sendirian untuk menenangkan dirinya
yang terselubung kegelisahan dan ketakutan.
‘dia harus
datang’ kali ini suara itu –lagi- berkelebat tepat didada Alvin. Sesak yang
yang dirasanya semakin menjadi, sepertinya suara itu adalah bentuk dari
obsesinya yang merayap dari dadanya dan terus naik menyekat tenggorokannya,
hingga membuat Alvin sulit untuk bernafas. Terlalu sesak.
08.57
Tak ada tanda
Sivia akan datang. Hanya sekelebat kendaraan yang berlalu lalang didepan
gerbang –karena letak gedung memang berada di pinggir jalan raya besar. Sivianya
tidak datang. Sivianya tidak disini.
Tubuh Alvin
semakin lemas, hingga ia hampir terjatuh kalau saja punggungnya tidak bersandar
pada tembok disamping jendela. Wajah putih pucatnya semakin pucat sekarang.
Otaknya yang berproses seperti computer Pentium IV terasa diremas-remas
kenyataan hingga akhirnya error, hang dan tinggal menunggu di shut down dengan
paksa.
‘Siviamu
tidak akan datang’ kata-kata tersebut sepertinya tertulis secara besar-besaran
di monitor otaknya. Dan tulisan itu sepertinya berhasil mematikan suara-suara
penegar yang sedari tadi menguatakannya.
*****FB on*****
Nathan lega melihat Sivia kini tersenyum
kepadanya. Disekanya air mata yang tadi sempat keluar tanpa izin.
“via maafin Nathan” kata Sivia yang sambil
merentangkan tangannya kearah Nathan. Senyumanya tak kunjung terhapus. Melekat
sempurna disana.
Nathan balas tersenyum, ia berjalan pelan kearah
via, ingin menyambut rentangan tangan gadisnya. Dengan langkah perlahan,
natahan menghampiri via. Perlahan. Namun tempo langkah itu berubah ketika
menyadari sebuah mobil yang melesat kea rah gadisnya. Apa kalian lupa sekarang
mereka ada di luar gerbang. nathan berada didepan gerbang, sementara Sivia
berada tak jauh darinya –tepatnya di tengah jalan yang sepi karena kini jarum
jam menunjukan pukul sebelas malam.
“VIAAA” teriaknya kalut.
Nathan berlari menghampiri via. Ketika mobil berada
di jarak 3 meter dengan tubuh gadisnya, Nathan sudah berhasil memeluk tubuh
via. Nathan Memelekunya erat –sangat erat. Mereka berpelukan seperti patung,
tak berniat beranjak sedikitpun dari sana karena sepasang kaki mereka terasa
terpaku kuat di kelamnya aspal jalanan. Pelukan mereka semakin mengereta
seiring mata mereka tertutup rapat, mencoba merasakan rasanya kebersamaan
sebelum kap mobil menghantam tubuh mereka –tepatnya tubuh nathan yang memeluk
via. Mereka berdua terseret hingga beberapa meter. Pelukan Nathan terlepas dari
tubuh via, hingga membuat via terhempas ke trotoar jalan, kepalanya membentur
tepi trotoar, sementara tubuh Nathan terpelanting keras hingga jatuh beberapa
langkah dari tubuh via.
*****FB off****
*****bersambung*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar