Rabu, 01 Mei 2013

NO SAD!!! (part 7)


-Sisi Sivia-


Apalagi yang kau tunggu?. Menunggu gadismu? Oh salah maksudnya menunggu calon tunangan yang bahkan tidak menginginkanmu? -_- sampai kapan kau akan menunggu, sampai malam semakin larut atau sampai matahari bersinar untuk menertawakan kegundahanmu. Hahaha BODOH!!! Berhentilah menunggu karena –mungkin- ini bukan saatnya kalian bersatu. Bukankah masih ada nanti hari, esok, dan esoknya lagi, bersabarlah…..


+++++++


Kehangatan mengalir sempurna bersama aliran darahnya. Sebuah tangan merengkuh tubuhnya dan membawanya merasakan kenyamanan yang tiada tanding. Sudah lama rasanya ia tidak merasakan kehangatan dan kenyamanan ini. Membuatnya sedikit merasa lebih tenang.

“berhentilah menunggu al!.” suara tersebut menyapa gendang telinganya, terdengar seperti berbisik. Si pemilik suara adalah orang yang memeluknya dari belakang, orangn yang memberikannya kehangatan. “dia tidak akan datang.”

Alvin mengangguk samar. Benar! Sivia tidak akan datang. Kini jarum jam telah menunjuk ke angka 21.26. sudah lebih dari satu jam ia menunggu namun Sivia tak kunjung datang, tamu undanganpun mulai berbisik-bisik satu sama lain. Sekali unuk yang terakhir kalinya Alvin kembali melihat kearah gerbang yang masih terbuka lebar namun terlihat lengang. Tak ada siapapun disana, tak ada mobil yang berhenti dan menurunkan gadisnya. Ia mendesah berat berbalik dan membalas pelukan orang yang dibelakangnya.

Alvin menghembuskan nafas berat, rasanya ia benar-benar ingin menangis. Dadanya sesak. Sivianya –calon tunangannya tak datang. Mungkin setelah ini ia butuh menenangkan diri. Pelukannya mengerat begitu juga dengan orang memeluknya. Ia menyembunyikan wajahnya dianatara leher dan pundak orang tersebut, berharap dengan begitu ia bisa lebih tenang.

“dia tak datang ma. Gagal.” Katanya lemas.

“Berhentilah berharap, dia bukan lagi Siviamu yang dulu. kau akan mendapatkan yang lebih baik dari Sivia.” Orang tersebut –Winda, mamanya Alvin mengusap lembut punggung anaknya. Ia tahu Alvin menginginkan ini semua dan sudah menunggu setahun lebih –waktu yang tidak bisa di sebut sebentar untuk pertunangan ini.

“dia tak menginginkan ku lagi.”

“sudahlah, sekarang kau pulang. Mama dan papa akan mengurus semuanya.” Sekali lagi Alvin mengangguk samar. Direnggangkannnya pelukan tersebut dan menatap sendu kedua mata mamanya.

Winda membalas tatapan Alvin sambil tersenyum lemah. Dari tatapan mata itu dapat dirasakan hati anaknya telah hancur berkeping-keping, naluri seorang ibu membuatnya merasakan apa yang dirasakan Alvinnya. Rasa sakit itu, rasa kecewa itu, sesak, semuanya terasa nyata untuknya. Seperti ialah yang di posisi Alvin saat ini, merasakan kehancuran yang sangat amat.

Alvin memaksakan dirinya tersenyum tipis. Ia berbalik dan meninggalkan ibunya dan jendela yang menjadi saksi penantiannya.


*****



Sivia tersenyum cerah begitu melihat cerminan dirinya yang terlihat begitu anggun dalam balutan dress putih selutut. Wajahnya terlihat cantik matural karena hanya menggunakan make up tipis hasil dari dandanannya sendiri. Rambut lurus terurainya kini terlihat bergelombang dengan ikat setengah dan poni rapi menyamping hasil dari permak salon langganan Shilla. Dapat dipastikan semua tamu undangan akan terpesona melihat penampilannya kali ini. Cantik namun sederhana.

“lo siap?” Shilla terlihat berdiri di ambang pintu dengan senyum puas, hasil kerja kerasnya ternyata tidak sia-sia kali ini.

Sivia mengangguk angtusias. Sekali lagi ia memperhatikan cerminan dirinya. Sempurna. Matanya seperti ingin mencari bagian yang perlu diperbaiki, namun nihil semuanya benar-benar sempurna. Tidak ada yang kurang. Kecuali….

Mata Sivia mengerjab-ngerjab kecil begitu melihat jari manisnya yang tersemat sebuah cincin cantik berwarna putih yang berpadu dengan ukiran berwarna merah yang mengukir nama kecil disekeliling cincin. Dahinya sedikit mengerjit bingung. Cincin? Sivia baru menyadari kalau jari manisnya telah tersemat sebuah cincin. Ia benar-benar baru menyadari hal tersebut.

Dengan sedikit mengangkat tangannya, Sivia memperhatikan cincin tersebut, mencoba mengingat siapa yang menyematkan cincin tersebut. Lupa. Sivia tidak ingat apa-apa, yang jelas melihat cincin tersebut membuatnya merasakan getaran-getaran aneh yang sering dirasakannya ketika bersama Alvin.

“Sivia, ayo berangkat.” Shilla menyadarkan Sivia dari lamunannya, lantas menarik tangan Sivia untuk cepat bergegas.

“ini udah jam 7 lebih, gue gak mau kita telat.” Kata Shilla lagi. Sivia hanya mengangguk, pasrah dengan tangannya yang ditarik-tarik Shilla.

“shill kita pergi naik apa?.” Tanya Sivia ketika mengingat di rumah ini tidak ada alat transfortasi apapun.

“sama temen gue, dia udah nunggu didepan.” Kata Shilla yang terus menarik tangan Sivia.

“itu dia.” Teriak Shilla antusias, ia terus marik tangan Sivia hingga kedepan seorang laki-laki berkulit hitam manis yang sudah menunggu dari tadi.

“loh Rio.” Kata Sivia kaget begitu melihat tetangga sekaligus orang yang sempat disukainya dulu.

“eh kok lo vi.”

“kalian kenal?” Tanya Shilla kaget. “bagus deh kalo gitu, ayo sekarang kita berangkat, bentar lagi jam 8.” Kata Shilla. Rio dan Sivia mengangguk bersamaan. Mereka langsung masuk kedalam mobil Rio dan langsung meninggalkan rumah Shilla menuju gedung pertunangan.


08.10

Jalanan ibu kota yang macet membuat mereka harus rela datang terlambat kali ini. Sivia yang duduk dibelakang terlihat sangat gelisah. Beberapa kali ia mengecek jam yang tertera di hpnya. Jam 8 lebih 10 menit. Itu berarti ia telat 10 menit. Sekelabat pikiran-pikiran negative pun menyerang kepalanya. Ia takut jika telat datang pertunangannya dengan laki-laki bernama Alvin jonathan tersebut akan batal, entah sejak kapan ia menjadi menginginkan pertunangan ini padahal ia sendiri yang ingin kabur dan tidak menerima segalanya.

“tenanglah Sivia, terlambat sedikit mungkin tidak akan menggagalkan pertunanganmu.” Kata Shilla yang duduk disamping Rio. Ia mencoba menenangkan sahabatnya, meskipun ia sendiri ragu.

Rio yang dari tadi memperhatikan Sivia dari kaca yang ada diatas kepalanya mengernyit bingung. Sivia? Pertunangan? Shilla belum menjelaskan hal tersebut padanya, ia hanya disuruh datang ke rumah Shilla dan diminta Shilla untuk mengantarnya dan Sivia ke gedung terbesar di Jakarta. Gedung sindunata.


08.35

Tidak akan ada yang berada diposisi tenang jika segalanya berada di luar kendali, mobil mereka masih terjebak macet bersama berpuluh-puluhan mobil lainnya. Sivia semakin gelisah. Ketakutannya meraja lela. Ia ingin sekali keluar dari dalam mobil dan berlari kegedung tempat diadakan acara pertunangannya. Jika begini ceritanya ia tidak akan pernah memilih keluar dari rumah keluarga sindunata dan menerima pertunanganya. Menyesal. Bigitulah yang dirasakannya kali ini.

“apa masih lama?.” Dapat didengarnya suaranya sendiri yang terdengar bergetar.

“sebentar lagi.” Kata Rio menenangkan. Meskipun tidak tahu apa-apa ia merasa turut ambil andil dalam hal ini.

“sabar vi.” Kata Shilla yang sibuk dengan smartphone –nya. Ia dari tadi membalas pesan singkat yang caka kirimkan untuknya. Pesan-pesan yang berisi k

 Sivia mengangguk pasrah. Hanya bisa berharap pada dewi keberuntungan.


09.17

Mobil Rio berjalan lancer di jalanan kota Jakarta. Serasa bebas berkendara setelah terkurung satu jam lebih ditengah kemacetan. Sivia menghela nafas, entah nafas berat atau lega. Ia menyibukan dirinya bergelung dengan pikiran-pikiran randomnya yang penuh akan satu wajah. Alvin. Apa pria itu masih menunggu, apa pria itu masih mengharapkan kedatangnnya. Dadanya sesak. Ia benar-benar takut juka pertunangnnya gagal. Tanpa disadarinya ia menginginkan Alvin dari dulu, dulu sekali, lebih dari sebelum mereka diperkenalkan kembali.

“vi ayo turun. Kita udah sampe.”

“bener ini gedungnya, kok sepi?” kata Sivia dengan nada semakin bergetar. Ketakutannya memuncak begitu melihat gedung dihadapannya sudah lengang, tak ada kendaraan terpakir kecuali dua buah mobil yang berada area parker.

Shilla dan Rio meneguk ludah kasar begitu menyadari gedung dihadapan mereka memang sepi. Shilla mengangguk takut, menatap nanar gedung tersebut, sementara Sivia yang disampingnya sudah tak tau mau berbuat apa lagi. Ia telat. Sangat telat. Bolehkah ia menyesal sekarang?

“kau datang, Sivia?” sebuah suara mengintrupsi langkah mereka ketika memasuki gedung. Sebenarnya tidak ada yang bisa diharapkan lagi, namun bukankah mencoba lebih baik dari pada tidak sama sekali. Itulah yang mereka lakukan. mecoba masuk. Mencari sebuah keberuntungan yang mungkin belum berpihak kepada mereka.

Suara yang tadi mengintrupsi mereka terdengar dari  arah tangga gedung, disana berdiri Winda dengan senyum letihnya. Mereka menatap sekeliling ruangan. Bukan hanya Winda yang ada disana. Ira –ibunya Sivia sedang terduduk lemas di sebuah kursi, ia menyambuut kedatangan anak semata wayangnya dengan tatapan penuh kecewa. Sementara didekat jendela –tempat Alvin menunggu Sivia tadi, berdiri Cakka yang menatap nyalang kearah mereka, disampingnya ada Ify yang bersandar dipundak Cakka dengan mata yang menatap sayu kearah luar jendela –posisi yang belum diubahnya sejak kepergian Alvin tadi.

“buat apa lo dateng?.” Tanya Cakka tajam, suaranya seolah mengintimidasi ketiga orang yang baru menginjakkan kaki mereka didalam gedung. “lo telat, lo ngecewain dia.”

“kka” panggil Ify yang sepertinya belum sadar dengan kedatangan Sivia, Shilla dan Rio. Matanya masih berkeliaran diluar jendela. “apa kau melihat wajah kecewanya tadi?” Cakka mengangguk. “baru pertama aku melihatnya sekecewa itu, dan rasanya sangat sakit.” Kata Ify lagi, perlahan air matanya meleleh. melihat Alvin -sepupu tercintanya sekecewa itu membuatnya merasa sakit. Sungguh. Bukan hanya dia, tapi semua yang melihatnya pasti akan merasakannya.

GLEG. Sivia meneguk ludahnya kasar. Mendengar kata-kata gadis berdagu tirus tersebut  seolah-olah membunuhnya secara perlahan. Sakit.

“Sivia”

Sivia menatap Winda. Wanita itu masih tersenyum.

“taka pa, ini salah kami, seharusnya kami tidak memaksamu untuk bertunangan.” Kata Winda. Ia berjalan mendekati Sivia.

“kau mengecewakan ibu vi.” Suara lain mengintrupsi.

Sivia menoleh pada wanita yang sedari tadi diam dan memandangnya dengan tatapan penuh kecewa. Sumpah demi apapun yang hidup dimuka bumi ini, Sivia ingin menangis melihat wajah penuuh kecewa dan letih milik ibunya. Ini kali pertamanya menyakiti hati wanita yang sangat amat disayangi dan dihormatinya tersebut.

“ibu, Sivia bisa jelasin…”

“tenanglah, kami mengerti. Kau tak perlu menjelaskan apapun. Dari awal kami seharusnya tau bahwa kau bukan Sivia yang dulu.” Winda mencengkrang lembut kedua bahu Sivia yang bergetar. “kau tidak menginginkan pertunangan ini, kan?” Tanya Winda pelan.

Sivia diam. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi suaranya tercekat ditenggorokan, seakan pita suaranya musnah begitu saja. Ia ingin menggeleng untuk member kode kata ‘tidak’  namun kepalanya seakan membeku, tidak  bisa digerakan sama sekali meskipun untuk digelengkan.

“kau bebas Sivia, perjodohanmu dengan Alvin kami batalkan. Kau bisa menikmati cerita cinta putih abu-abunya tanpa terikat dengan apapun.” Ujar Winda lembut, ia menatap mata Sivia yang berkaca-kaca. Setelahnya ia melepaskan cengkramannya dan berbalik .

“pulanglah kerumah untuk yang terakhir kalinya, ambil semua barang-barangmu dan hiduplah bahagia dengan ibumu.” Setelah mengucapkan itu, Winda berjalan menaiki lantai dua gedung.

Tubuh Sivia semakin bergetar. Berakhir sudah semuanya. Dadanya sesak, air matanya tumpah, kakinya lemas seketika. Ia duduk tertunduk ditempatnya, kemenangan yang seharusnya ia rayakan kini berganti dengan isakan. Sivia tak menyangka rasanya akan sesakit ini. Ketika ia mulai menyadari bahwa dirinya telah jatuh hati pada Alvin, ketika itu juga semuanya berakhir. Berakhir bahkan sebelum dimulai kembali.

“jangan menangis, bukankah ini yang kau mau. Seharusnya kau bahagia bukan terisak.” Kata ira, ia bangun dari posisi duduknya dan berjalan naik ke lantai dua tanpa memperdulikan tangisan Sivia. Bukannya tidak peduli tapi ia masih belum ingin berhadapan dengan anak gadisnya itu. “pulanglah, bereskan barang-barangmu di rumah sindunata, besok ibu jemput.”

Semuanya diam. Hanya suara isak tangis Sivia yang menggema menjadi nada minor yang memenuhi ruangan gedung. Rio dan Shilla tidak bisa melakukan apapun. Cakka dan Ify pura-pura tak peduli.  Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

“kita pulang fy.”


*******

“kka” suara itu menyapa gendang telinga Rio. Ia mengenal suara tersebut. Sangat mengenalnya.

Untuk memastikan pendengarannya tidak salah, Rio melihat kearah jendela, tempat seorang gadis berdagu tirus tengah bersandar dipundak Cakka –teman sekolahnya. Matanya terbelalak lebar. Benar ia tidak salah. Suara itu memang milik Ify.

IFY!!!

Gadis berdagu tirus yang beberapa tahun lalu sempat menjadi miliknya. Gadis beberapa tahun lalu menempati tahta tertinggi dihatinya. Gadis yang beberapa tahun lalu memutuskan hubungannya sepihak. Gadis yang beberapan tahun lalu adalah Ify. Gadis berdagu tirus yang membuatnya hampir gila.

Untuk beberapa waktu yang cukup lama. Rio tenggelam dalam dunianya, semua masa lalunya berputar seperti kaset lusuh, masa lalu yang penuh dengan Ify –mantan gadisnya.

“kita pulang fy.” Suara Cakka menghentikan lamunannya. Rio segera mengalihkan tatapannya guna melihat wajah Ify. Untuk beberapa menit tubuhnya menegang begitu matanya beradu pandang dengan mata Ify. Dapat dilihatnya mata indah gadis tersebut terbelalak. Sepertinya gadis tersebut baru menyadari kehadirannya disini.

Tubuh Ify menegang melihat Rio. Laki-laki yang dulu sempat dicintainya.

“berhentilah menatap mantanmu seperti itu saufika. Kau sudah menjadi milikku.” Bisik Cakka lembut ditelinga sebelah kanan Ify. Ify tersadar dari lamunannya.

Cakka menarik tangan Ify agar lebih cepat keluar dari gedung. Tak ingin berlama-lama membiarkan gadisnya menatap laki-laki yang sempat menjadi cerita masa lalu gadisnya.

“kau cemburu?.” Tanya Ify setelah ia dan Cakka duduk didalam mobil.

Cakka menatap tajam manic-manik mata Ify. Mata laki-laki tersebut seolah berbicara, Dari tatapannya semuanya jelas tergambarkan,  kecemburuan, ketakutan, kegelisahan dan kebencian.

Ify menunduk. Ia belum siap beradu kontak mata dengan Cakka, iya benar-benar takut melihat mata tajam milik tunangannya tersbut. “bukankah aku sudah menjadi milikmu.” Kata Ify pelan, suaranya terdengar bergetar. “apa lagi yang kau takutkan, aku tak mungkin berpaling, aku….”

GREB

Sebelum kata-kata tersebut selesai, Cakka langsung menarik Ify kedalam pelukannya. Menenggelamkan wajah gadis tersebut kedalam dada bidangnya. “kau mendengarnya saufika?.” Bisik Cakka. “suara jantungku yang selalu melonjak-lonjak bahagia ketika bersamamu.” Jelas Cakka, masih dengan suara berbisik.

Ify mengangguk samar. Iya, dia mendengarnya. Suara jantung tunangannya yang selalu bekerja ekstra ketika bersamanya, hal tersebut cukup untuk membuktikan salah-satu dari ciri-ciri orang jatuh cinta.  

“jangan pernah berpaling.”

Suara hembusan nafas beratnya menjadi jeda.

“aku mencintaimu.”



*******

Sivia baru berjalan memasuki rumah kediaman keluarga sindunata –untuk terakhir kalinya. Ia berhenti sebentar guna melihat rumah besar nan mewah tersebut. Rumah yang menjadi tempatnya tinggal beberapa bulan belakangan ini, rumah yang beberapa hari yang lalu ditinggalkannya karena kebodohannya. Rumah yang menjadi saksi kebersamaannya dengan Alvin.

Sivia menutup matanya, tidak ingin menangis lagi. Matanya yang sembab benar-benar tidak sanggup lagi mengeluarkan airnya. Sekarang malam terakhirnya disini, ia harus menikmatinya dan meminta maaf pada tuan muda si empunya rumah.

Sivia kembali berjalan, melengang mamasuki rumah mewah tersebut. Langkahnya terhenti begitu melihat Alvin yang tidur meringkuk diatas sofa. Dengan langkah mengendap Sivia berjalan mendekati Alvin. Sedikit takut jika pemuda tersebut terbangun.

Entah dorongan dari mana, Sivia mendekati wajahnya ke wajah Alvin. Melihat lebih dekat wajah polos laki-laki tersebut ketikata tertidur. Ia tersenyum cerah menyadari betapa tampannya laki-laki tersebut. Huh!! Dada Sivia kemabli terasa penuh, sesalnya memuncak begitu saja. Tanpa sadar tangannya terangkat hendak menyentuh wajah polos tersebut. Namun tangannya menggantung karena ragu.

“menyingkir” suara berat khas Alvin terdengar dingin, Sivia langsung terpelonjak kaget. Ia segara menarik wajahnya dan tersenyum canggung. Alvin menatap Sivia tajam dan langsung bangun dari tidurnya diatas sofa. Tanpa tedeng aling-aling ia berdiri dan meninggalkan Sivia yang masih tersenyum canggung.

“Alv.”

Alvin tetap berjalan acuh.

“Alvin”

Suara Sivia terdengar bergetar kembali.

“gue mohon dengerin gue.”

Percuma, Alvin tidak akan mendengarkannya. Tubuh laki-laki itu menghilang dibalik pintu kamarnya. Sivia menunduk. Air matanya jatuh lagi. Malam terakhirnya dirumah ini benar-benar buruk.

Bukankah Tidak akan ada yang bisa menerima kekecewaan dengan lapang dada?  Dan aku pantas mendapatkan semua keburukan itu malam ini. Ini salahku. Memang salahku, aku bodoh menyia-nyiakan kesempatan ini. Dan kesempatan yang sama  tidak akan datang begitu saja? Dan aku harus berjuang untuk kesempatan itu, aku benar mencintainya, mencintai seorang Alvin jonathan yang entah mengapa aku  merasa sudah mengenalnya lama, padahal kami baru saling mengenal beberapa bulan lalu, kami dipertemukan hanya karena perjodohan. Tinggal serumah karena keterpaksaan. Menjalani hidup bersama setelahnya dan membuatku merasa terbiasa atas kehadirannya. Jadi apa aku bisa hidup dengan baik jika tidak kutemukan dia ketika aku sarapan? Tidak melihatnya menyetir ketika mengantarku? Tidak mendengar suara berat khas laki-laki tersebut setiap harinya?

Huh!!!


-========BERSAMBUNG========-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar