-Sisi Sivia-
Apalagi yang kau tunggu?. Menunggu gadismu? Oh salah
maksudnya menunggu calon tunangan yang bahkan tidak menginginkanmu? -_- sampai
kapan kau akan menunggu, sampai malam semakin larut atau sampai matahari
bersinar untuk menertawakan kegundahanmu. Hahaha BODOH!!! Berhentilah menunggu
karena –mungkin- ini bukan saatnya kalian bersatu. Bukankah masih ada nanti
hari, esok, dan esoknya lagi, bersabarlah…..
+++++++
Kehangatan
mengalir sempurna bersama aliran darahnya. Sebuah tangan merengkuh tubuhnya dan
membawanya merasakan kenyamanan yang tiada tanding. Sudah lama rasanya ia tidak
merasakan kehangatan dan kenyamanan ini. Membuatnya sedikit merasa lebih
tenang.
“berhentilah
menunggu al!.” suara tersebut menyapa gendang telinganya, terdengar seperti
berbisik. Si pemilik suara adalah orang yang memeluknya dari belakang, orangn
yang memberikannya kehangatan. “dia tidak akan datang.”
Alvin
mengangguk samar. Benar! Sivia tidak akan datang. Kini jarum jam telah menunjuk
ke angka 21.26. sudah lebih dari satu jam ia menunggu namun Sivia tak kunjung
datang, tamu undanganpun mulai berbisik-bisik satu sama lain. Sekali unuk yang
terakhir kalinya Alvin kembali melihat kearah gerbang yang masih terbuka lebar
namun terlihat lengang. Tak ada siapapun disana, tak ada mobil yang berhenti
dan menurunkan gadisnya. Ia mendesah berat berbalik dan membalas pelukan orang
yang dibelakangnya.
Alvin
menghembuskan nafas berat, rasanya ia benar-benar ingin menangis. Dadanya
sesak. Sivianya –calon tunangannya tak datang. Mungkin setelah ini ia butuh
menenangkan diri. Pelukannya mengerat begitu juga dengan orang memeluknya. Ia
menyembunyikan wajahnya dianatara leher dan pundak orang tersebut, berharap
dengan begitu ia bisa lebih tenang.
“dia tak
datang ma. Gagal.” Katanya lemas.
“Berhentilah
berharap, dia bukan lagi Siviamu yang dulu. kau akan mendapatkan yang lebih
baik dari Sivia.” Orang tersebut –Winda, mamanya Alvin mengusap lembut punggung
anaknya. Ia tahu Alvin menginginkan ini semua dan sudah menunggu setahun lebih
–waktu yang tidak bisa di sebut sebentar untuk pertunangan ini.
“dia tak
menginginkan ku lagi.”
“sudahlah,
sekarang kau pulang. Mama dan papa akan mengurus semuanya.” Sekali lagi Alvin
mengangguk samar. Direnggangkannnya pelukan tersebut dan menatap sendu kedua
mata mamanya.
Winda
membalas tatapan Alvin sambil tersenyum lemah. Dari tatapan mata itu dapat
dirasakan hati anaknya telah hancur berkeping-keping, naluri seorang ibu
membuatnya merasakan apa yang dirasakan Alvinnya. Rasa sakit itu, rasa kecewa
itu, sesak, semuanya terasa nyata untuknya. Seperti ialah yang di posisi Alvin
saat ini, merasakan kehancuran yang sangat amat.
Alvin
memaksakan dirinya tersenyum tipis. Ia berbalik dan meninggalkan ibunya dan
jendela yang menjadi saksi penantiannya.
*****
Sivia
tersenyum cerah begitu melihat cerminan dirinya yang terlihat begitu anggun
dalam balutan dress putih selutut. Wajahnya terlihat cantik matural karena
hanya menggunakan make up tipis hasil dari dandanannya sendiri. Rambut lurus
terurainya kini terlihat bergelombang dengan ikat setengah dan poni rapi menyamping
hasil dari permak salon langganan Shilla. Dapat dipastikan semua tamu undangan
akan terpesona melihat penampilannya kali ini. Cantik namun sederhana.
“lo siap?” Shilla
terlihat berdiri di ambang pintu dengan senyum puas, hasil kerja kerasnya ternyata
tidak sia-sia kali ini.
Sivia
mengangguk angtusias. Sekali lagi ia memperhatikan cerminan dirinya. Sempurna.
Matanya seperti ingin mencari bagian yang perlu diperbaiki, namun nihil
semuanya benar-benar sempurna. Tidak ada yang kurang. Kecuali….
Mata Sivia
mengerjab-ngerjab kecil begitu melihat jari manisnya yang tersemat sebuah
cincin cantik berwarna putih yang berpadu dengan ukiran berwarna merah yang
mengukir nama kecil disekeliling cincin. Dahinya sedikit mengerjit bingung.
Cincin? Sivia baru menyadari kalau jari manisnya telah tersemat sebuah cincin.
Ia benar-benar baru menyadari hal tersebut.
Dengan
sedikit mengangkat tangannya, Sivia memperhatikan cincin tersebut, mencoba
mengingat siapa yang menyematkan cincin tersebut. Lupa. Sivia tidak ingat
apa-apa, yang jelas melihat cincin tersebut membuatnya merasakan
getaran-getaran aneh yang sering dirasakannya ketika bersama Alvin.
“Sivia, ayo
berangkat.” Shilla menyadarkan Sivia dari lamunannya, lantas menarik tangan Sivia
untuk cepat bergegas.
“ini udah jam
7 lebih, gue gak mau kita telat.” Kata Shilla lagi. Sivia hanya mengangguk,
pasrah dengan tangannya yang ditarik-tarik Shilla.
“shill kita
pergi naik apa?.” Tanya Sivia ketika mengingat di rumah ini tidak ada alat
transfortasi apapun.
“sama temen
gue, dia udah nunggu didepan.” Kata Shilla yang terus menarik tangan Sivia.
“itu dia.”
Teriak Shilla antusias, ia terus marik tangan Sivia hingga kedepan seorang
laki-laki berkulit hitam manis yang sudah menunggu dari tadi.
“loh Rio.”
Kata Sivia kaget begitu melihat tetangga sekaligus orang yang sempat disukainya
dulu.
“eh kok lo
vi.”
“kalian
kenal?” Tanya Shilla kaget. “bagus deh kalo gitu, ayo sekarang kita berangkat,
bentar lagi jam 8.” Kata Shilla. Rio dan Sivia mengangguk bersamaan. Mereka langsung
masuk kedalam mobil Rio dan langsung meninggalkan rumah Shilla menuju gedung
pertunangan.
08.10
Jalanan ibu
kota yang macet membuat mereka harus rela datang terlambat kali ini. Sivia yang
duduk dibelakang terlihat sangat gelisah. Beberapa kali ia mengecek jam yang
tertera di hpnya. Jam 8 lebih 10 menit. Itu berarti ia telat 10 menit.
Sekelabat pikiran-pikiran negative pun menyerang kepalanya. Ia takut jika telat
datang pertunangannya dengan laki-laki bernama Alvin jonathan tersebut akan
batal, entah sejak kapan ia menjadi menginginkan pertunangan ini padahal ia
sendiri yang ingin kabur dan tidak menerima segalanya.
“tenanglah Sivia,
terlambat sedikit mungkin tidak akan menggagalkan pertunanganmu.” Kata Shilla
yang duduk disamping Rio. Ia mencoba menenangkan sahabatnya, meskipun ia
sendiri ragu.
Rio yang dari
tadi memperhatikan Sivia dari kaca yang ada diatas kepalanya mengernyit
bingung. Sivia? Pertunangan? Shilla belum menjelaskan hal tersebut padanya, ia
hanya disuruh datang ke rumah Shilla dan diminta Shilla untuk mengantarnya dan Sivia
ke gedung terbesar di Jakarta. Gedung sindunata.
08.35
Tidak akan
ada yang berada diposisi tenang jika segalanya berada di luar kendali, mobil
mereka masih terjebak macet bersama berpuluh-puluhan mobil lainnya. Sivia
semakin gelisah. Ketakutannya meraja lela. Ia ingin sekali keluar dari dalam
mobil dan berlari kegedung tempat diadakan acara pertunangannya. Jika begini
ceritanya ia tidak akan pernah memilih keluar dari rumah keluarga sindunata dan
menerima pertunanganya. Menyesal. Bigitulah yang dirasakannya kali ini.
“apa masih
lama?.” Dapat didengarnya suaranya sendiri yang terdengar bergetar.
“sebentar
lagi.” Kata Rio menenangkan. Meskipun tidak tahu apa-apa ia merasa turut ambil
andil dalam hal ini.
“sabar vi.”
Kata Shilla yang sibuk dengan smartphone –nya. Ia dari tadi membalas pesan
singkat yang caka kirimkan untuknya. Pesan-pesan yang berisi k
Sivia mengangguk pasrah. Hanya bisa berharap
pada dewi keberuntungan.
09.17
Mobil Rio
berjalan lancer di jalanan kota Jakarta. Serasa bebas berkendara setelah
terkurung satu jam lebih ditengah kemacetan. Sivia menghela nafas, entah nafas
berat atau lega. Ia menyibukan dirinya bergelung dengan pikiran-pikiran
randomnya yang penuh akan satu wajah. Alvin. Apa pria itu masih menunggu, apa
pria itu masih mengharapkan kedatangnnya. Dadanya sesak. Ia benar-benar takut
juka pertunangnnya gagal. Tanpa disadarinya ia menginginkan Alvin dari dulu,
dulu sekali, lebih dari sebelum mereka diperkenalkan kembali.
“vi ayo turun.
Kita udah sampe.”
“bener ini
gedungnya, kok sepi?” kata Sivia dengan nada semakin bergetar. Ketakutannya
memuncak begitu melihat gedung dihadapannya sudah lengang, tak ada kendaraan
terpakir kecuali dua buah mobil yang berada area parker.
Shilla dan Rio
meneguk ludah kasar begitu menyadari gedung dihadapan mereka memang sepi. Shilla
mengangguk takut, menatap nanar gedung tersebut, sementara Sivia yang
disampingnya sudah tak tau mau berbuat apa lagi. Ia telat. Sangat telat.
Bolehkah ia menyesal sekarang?
“kau datang, Sivia?”
sebuah suara mengintrupsi langkah mereka ketika memasuki gedung. Sebenarnya
tidak ada yang bisa diharapkan lagi, namun bukankah mencoba lebih baik dari
pada tidak sama sekali. Itulah yang mereka lakukan. mecoba masuk. Mencari sebuah
keberuntungan yang mungkin belum berpihak kepada mereka.
Suara yang
tadi mengintrupsi mereka terdengar dari
arah tangga gedung, disana berdiri Winda dengan senyum letihnya. Mereka
menatap sekeliling ruangan. Bukan hanya Winda yang ada disana. Ira –ibunya Sivia
sedang terduduk lemas di sebuah kursi, ia menyambuut kedatangan anak semata
wayangnya dengan tatapan penuh kecewa. Sementara didekat jendela –tempat Alvin
menunggu Sivia tadi, berdiri Cakka yang menatap nyalang kearah mereka,
disampingnya ada Ify yang bersandar dipundak Cakka dengan mata yang menatap
sayu kearah luar jendela –posisi yang belum diubahnya sejak kepergian Alvin
tadi.
“buat apa lo
dateng?.” Tanya Cakka tajam, suaranya seolah mengintimidasi ketiga orang yang
baru menginjakkan kaki mereka didalam gedung. “lo telat, lo ngecewain dia.”
“kka” panggil
Ify yang sepertinya belum sadar dengan kedatangan Sivia, Shilla dan Rio. Matanya
masih berkeliaran diluar jendela. “apa kau melihat wajah kecewanya tadi?” Cakka
mengangguk. “baru pertama aku melihatnya sekecewa itu, dan rasanya sangat
sakit.” Kata Ify lagi, perlahan air matanya meleleh. melihat Alvin -sepupu
tercintanya sekecewa itu membuatnya merasa sakit. Sungguh. Bukan hanya dia,
tapi semua yang melihatnya pasti akan merasakannya.
GLEG. Sivia
meneguk ludahnya kasar. Mendengar kata-kata gadis berdagu tirus tersebut seolah-olah membunuhnya secara perlahan.
Sakit.
“Sivia”
Sivia menatap
Winda. Wanita itu masih tersenyum.
“taka pa, ini
salah kami, seharusnya kami tidak memaksamu untuk bertunangan.” Kata Winda. Ia
berjalan mendekati Sivia.
“kau
mengecewakan ibu vi.” Suara lain mengintrupsi.
Sivia menoleh
pada wanita yang sedari tadi diam dan memandangnya dengan tatapan penuh kecewa.
Sumpah demi apapun yang hidup dimuka bumi ini, Sivia ingin menangis melihat
wajah penuuh kecewa dan letih milik ibunya. Ini kali pertamanya menyakiti hati
wanita yang sangat amat disayangi dan dihormatinya tersebut.
“ibu, Sivia
bisa jelasin…”
“tenanglah,
kami mengerti. Kau tak perlu menjelaskan apapun. Dari awal kami seharusnya tau
bahwa kau bukan Sivia yang dulu.” Winda mencengkrang lembut kedua bahu Sivia
yang bergetar. “kau tidak menginginkan pertunangan ini, kan?” Tanya Winda
pelan.
Sivia diam.
Ia ingin mengatakan sesuatu tapi suaranya tercekat ditenggorokan, seakan pita
suaranya musnah begitu saja. Ia ingin menggeleng untuk member kode kata ‘tidak’ namun kepalanya seakan membeku, tidak bisa digerakan sama sekali meskipun untuk
digelengkan.
“kau bebas Sivia,
perjodohanmu dengan Alvin kami batalkan. Kau bisa menikmati cerita cinta putih
abu-abunya tanpa terikat dengan apapun.” Ujar Winda lembut, ia menatap mata Sivia
yang berkaca-kaca. Setelahnya ia melepaskan cengkramannya dan berbalik .
“pulanglah
kerumah untuk yang terakhir kalinya, ambil semua barang-barangmu dan hiduplah
bahagia dengan ibumu.” Setelah mengucapkan itu, Winda berjalan menaiki lantai
dua gedung.
Tubuh Sivia
semakin bergetar. Berakhir sudah semuanya. Dadanya sesak, air matanya tumpah,
kakinya lemas seketika. Ia duduk tertunduk ditempatnya, kemenangan yang
seharusnya ia rayakan kini berganti dengan isakan. Sivia tak menyangka rasanya
akan sesakit ini. Ketika ia mulai menyadari bahwa dirinya telah jatuh hati pada
Alvin, ketika itu juga semuanya berakhir. Berakhir bahkan sebelum dimulai kembali.
“jangan
menangis, bukankah ini yang kau mau. Seharusnya kau bahagia bukan terisak.”
Kata ira, ia bangun dari posisi duduknya dan berjalan naik ke lantai dua tanpa
memperdulikan tangisan Sivia. Bukannya tidak peduli tapi ia masih belum ingin
berhadapan dengan anak gadisnya itu. “pulanglah, bereskan barang-barangmu di
rumah sindunata, besok ibu jemput.”
Semuanya
diam. Hanya suara isak tangis Sivia yang menggema menjadi nada minor yang
memenuhi ruangan gedung. Rio dan Shilla tidak bisa melakukan apapun. Cakka dan Ify
pura-pura tak peduli. Mereka sibuk
dengan pikiran masing-masing.
“kita pulang
fy.”
*******
“kka” suara
itu menyapa gendang telinga Rio. Ia mengenal suara tersebut. Sangat
mengenalnya.
Untuk
memastikan pendengarannya tidak salah, Rio melihat kearah jendela, tempat
seorang gadis berdagu tirus tengah bersandar dipundak Cakka –teman sekolahnya.
Matanya terbelalak lebar. Benar ia tidak salah. Suara itu memang milik Ify.
IFY!!!
Gadis berdagu
tirus yang beberapa tahun lalu sempat menjadi miliknya. Gadis beberapa tahun
lalu menempati tahta tertinggi dihatinya. Gadis yang beberapa tahun lalu
memutuskan hubungannya sepihak. Gadis yang beberapan tahun lalu adalah Ify.
Gadis berdagu tirus yang membuatnya hampir gila.
Untuk
beberapa waktu yang cukup lama. Rio tenggelam dalam dunianya, semua masa
lalunya berputar seperti kaset lusuh, masa lalu yang penuh dengan Ify –mantan
gadisnya.
“kita pulang
fy.” Suara Cakka menghentikan lamunannya. Rio segera mengalihkan tatapannya
guna melihat wajah Ify. Untuk beberapa menit tubuhnya menegang begitu matanya
beradu pandang dengan mata Ify. Dapat dilihatnya mata indah gadis tersebut
terbelalak. Sepertinya gadis tersebut baru menyadari kehadirannya disini.
Tubuh Ify
menegang melihat Rio. Laki-laki yang dulu sempat dicintainya.
“berhentilah
menatap mantanmu seperti itu saufika. Kau sudah menjadi milikku.” Bisik Cakka
lembut ditelinga sebelah kanan Ify. Ify tersadar dari lamunannya.
Cakka menarik
tangan Ify agar lebih cepat keluar dari gedung. Tak ingin berlama-lama
membiarkan gadisnya menatap laki-laki yang sempat menjadi cerita masa lalu
gadisnya.
“kau
cemburu?.” Tanya Ify setelah ia dan Cakka duduk didalam mobil.
Cakka menatap
tajam manic-manik mata Ify. Mata laki-laki tersebut seolah berbicara, Dari
tatapannya semuanya jelas tergambarkan,
kecemburuan, ketakutan, kegelisahan dan kebencian.
Ify menunduk.
Ia belum siap beradu kontak mata dengan Cakka, iya benar-benar takut melihat
mata tajam milik tunangannya tersbut. “bukankah aku sudah menjadi milikmu.”
Kata Ify pelan, suaranya terdengar bergetar. “apa lagi yang kau takutkan, aku
tak mungkin berpaling, aku….”
GREB
Sebelum
kata-kata tersebut selesai, Cakka langsung menarik Ify kedalam pelukannya.
Menenggelamkan wajah gadis tersebut kedalam dada bidangnya. “kau mendengarnya
saufika?.” Bisik Cakka. “suara jantungku yang selalu melonjak-lonjak bahagia
ketika bersamamu.” Jelas Cakka, masih dengan suara berbisik.
Ify
mengangguk samar. Iya, dia mendengarnya. Suara jantung tunangannya yang selalu
bekerja ekstra ketika bersamanya, hal tersebut cukup untuk membuktikan
salah-satu dari ciri-ciri orang jatuh cinta.
“jangan
pernah berpaling.”
Suara
hembusan nafas beratnya menjadi jeda.
“aku
mencintaimu.”
*******
Sivia baru
berjalan memasuki rumah kediaman keluarga sindunata –untuk terakhir kalinya. Ia
berhenti sebentar guna melihat rumah besar nan mewah tersebut. Rumah yang
menjadi tempatnya tinggal beberapa bulan belakangan ini, rumah yang beberapa
hari yang lalu ditinggalkannya karena kebodohannya. Rumah yang menjadi saksi
kebersamaannya dengan Alvin.
Sivia menutup
matanya, tidak ingin menangis lagi. Matanya yang sembab benar-benar tidak
sanggup lagi mengeluarkan airnya. Sekarang malam terakhirnya disini, ia harus
menikmatinya dan meminta maaf pada tuan muda si empunya rumah.
Sivia kembali
berjalan, melengang mamasuki rumah mewah tersebut. Langkahnya terhenti begitu
melihat Alvin yang tidur meringkuk diatas sofa. Dengan langkah mengendap Sivia
berjalan mendekati Alvin. Sedikit takut jika pemuda tersebut terbangun.
Entah
dorongan dari mana, Sivia mendekati wajahnya ke wajah Alvin. Melihat lebih
dekat wajah polos laki-laki tersebut ketikata tertidur. Ia tersenyum cerah
menyadari betapa tampannya laki-laki tersebut. Huh!! Dada Sivia kemabli terasa
penuh, sesalnya memuncak begitu saja. Tanpa sadar tangannya terangkat hendak
menyentuh wajah polos tersebut. Namun tangannya menggantung karena ragu.
“menyingkir”
suara berat khas Alvin terdengar dingin, Sivia langsung terpelonjak kaget. Ia
segara menarik wajahnya dan tersenyum canggung. Alvin menatap Sivia tajam dan
langsung bangun dari tidurnya diatas sofa. Tanpa tedeng aling-aling ia berdiri
dan meninggalkan Sivia yang masih tersenyum canggung.
“Alv.”
Alvin tetap
berjalan acuh.
“Alvin”
Suara Sivia
terdengar bergetar kembali.
“gue mohon
dengerin gue.”
Percuma, Alvin
tidak akan mendengarkannya. Tubuh laki-laki itu menghilang dibalik pintu
kamarnya. Sivia menunduk. Air matanya jatuh lagi. Malam terakhirnya dirumah ini
benar-benar buruk.
Bukankah Tidak akan ada yang bisa menerima
kekecewaan dengan lapang dada?
Dan aku pantas mendapatkan semua
keburukan itu malam ini. Ini salahku. Memang salahku, aku bodoh menyia-nyiakan
kesempatan ini. Dan kesempatan yang sama
tidak akan datang begitu saja? Dan aku harus berjuang untuk kesempatan
itu, aku benar mencintainya, mencintai seorang Alvin jonathan yang entah
mengapa aku merasa sudah mengenalnya
lama, padahal kami baru saling mengenal beberapa bulan lalu, kami dipertemukan
hanya karena perjodohan. Tinggal serumah karena keterpaksaan. Menjalani hidup
bersama setelahnya dan membuatku merasa terbiasa atas kehadirannya. Jadi apa
aku bisa hidup dengan baik jika tidak kutemukan dia ketika aku sarapan? Tidak
melihatnya menyetir ketika mengantarku? Tidak mendengar suara berat khas
laki-laki tersebut setiap harinya?
Huh!!!
-========BERSAMBUNG========-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar