Rabu, 01 Mei 2013

NO SAD!!! (part 2)



-Alvin, are you OKE ?-


MOBIL Alvin melaju kearah yang berlawanan dengan arah menunju ancol. Sivia yang sedari tadi sibuk dengan dunia diluar kaca langsung mengalihkan perhatiannya kearah Alvin. dipelototinya Alvin seperti mencari kejelasan dengan maksud ‘ancol bukan kearah sini, lo mau bawa gue kemana ?’. kata Sivia dengan isyarat tatapan matanya.

“udah jangan protes, gue males ketempat rame kayak ancol.” Kata Alvin menjelaskan.

Penjelasan Alvin yang nggak masuk akal banget hanya membuat Sivia mendesah pelan. percuma protes dengan cowok cuek macam Alvin, nggak bakal diladenin. Sivia kembali keaktivitas awalnya, memandang dunia diluar kaca mobil.

Ketika belokan terakhir disebuah kawasan yang cukup jauh dari pusat kota jakarta, mobil Alvin berhenti. Alvin keluar dari mobil dan membukakakn Sivia pintu mobil sebelah. Sivia ikut keluar dan memperhatikan tempatnya sekarang, tempat ini tidak begitu asing untuk Sivia. Sebuah gedung mewah dan megah namun terlihat sedikit  bergaya kuno, gerbang putih menjulang tinggi, serta halaman yang luasnya bisa mencapai seperempat dari luas istana merdeka. Sivia tahu gedung megah ini, dulu ia sering bermain didekat gedung ini, terlebih lagi rumahnya tidak jauh dari gedung ini.

“kok kita kesini Vin ? tempat apaan nih ?.” tanya Sivia.

Alvin tidak menjawab atau bersuara sedikitpun. Dia berjalan memasuki gedung bergaya kunno tersebut, Sivia mengikutinya dari belakang. Diperhatikannya gedung ini dengan pandangan haru, sudah lama ia tidak bertandang kegedung ini, tepatnya semenjak ia terdaftar menjadi siswa kelas X di SMA prada kesuma. Alvin hendak membuka pintu gedung ketika seseorang menyambut kedatangannya dari aras samping gedung. Alvin melihat kearah orang tersebut.

“den n...” kata penjaga tersebut sebelum kalimatnya tersambung, Alvin sudah lebih dahulu memotongnya. “panggil Alvin aja pak.” Sebut Alvin.

“hah ? i... iya den.” Orang tesebut gelagapan, merasa bingung dengan Alvin. “den Alvin tumben kesini, bawa cewek lagi. Ceweknya ya den.” Kata orang tersebut.

“haha, pak dave bisa aja. Ini Sivia pak, orang yang mau ditunangin sama Alvin.” kata Alvin.

“oh, ini to non Sivia, kayak perasaan pernah lihat deh.” kata pak dave ramah.

“eh iya, lihat dimana pak ?.” Balas Sivia tak kalah ramahnya.

“udah pak, jangan kebanyakan basa basi.” Kata Alvin mengalihkan pembicaraan, hal itu sontak membuat Sivia dan pak dave langsung mengalihkan pandangan kearahnya. Alvin nyengir kuda, wajahnya terlihat gelisah dan sedikit aneh. “gimana pak persiapan didalem, kata mama ruang yang mau dipakai lagi direnovasi ya ?.” Alvin mengalihkan pembicaraan.

“iya den, ruangannya lagi direnovasi, den Alvin tenang aja semuanya pasti beres.”

“iya pak, Alvin percaya. Ngomong-ngomong, Alvin boleh masuk nggak pak, Alvin mau lihat ruang aulanya.” Kata AlvVin melas.

“hahaha, iya den. Lagipula gedung inikan punya keluarga aden, masa nggak boleh sih. Ayoo silahkan masuk.” Kata pak dave sambil membuka pindtu utama gedung.

Alvin tak lantas langsung bergeming, wajahnya masih terlihat gelisah seperti menyembunyikan sesuatu. Dengan sedikit lirikan, Alvin melihat Sivia. Sivia yang ada tadinya ada disamping Alvin sudah hilang dibalik pintu gedung mengikuti pak dave.

“pak, disini nggak ada orang kan ?.” tanya Alvin sambil ikut berjalan semakin memsuki ruangan.

“tenang den, nggak ada siapa-siapa kok.” Kata pak dave.

Tanpa disadari siapapun Alvin menghembuskan nafas lega.

############


SIVIA berpura-pura masa bodoh ketika mendengar Alvin yang beberapa kali mengalihkan pembicaraan atau memotong pembicaraan. Pertama saat disambut oleh seseorang yang dipanggil pak dave, Sivia bingung ketika Alvin memotong sambutan pak dave yang mengtakan ‘den n...’.  kedua ketika Alvin mengalihkan pembicaraan Sivia dan pak dave dengan alibi ‘jangan kebanyakan basa basi’. Apa-apaan si Alvin, aneh banget. Kata Sivia dalam hati, ia sedikit kebingungan dengan tingkah Alvin.

Untuk mengusir kebingungannya, Sivia mengikuti langkah pak dave ketika pintu utama gedung terbuka. Sivia sedikit ternganga melihat bagian dalam gedung. Ornamen-ornamen ruangan yang kebanyakan benda-benda unik. langit-langit gedung yang diberi hiasan garis berkilau. tak lupa lukisa-lukisan dinding yang mempunyai nilai seni tinggi, termasuk lukisan keluarga Sindhunata yang terdapat tiga figuran, figuran anak kecil dengan senyum manisnya (Alvin), figuran seorang pria muda yang merengkuh mesra tubuh wanita muda yang ada disampingnya (Duta dan Winda), mereka seperti keluarga yang bahagia. Tidak sampai disana, Sivia juga terperangah melihat desaign ruangan yang benar-benar klasik.

“Vin, ini gedung apaan sih ? gila keren banget.” Kata Sivia blak-blakan.

gedung serba guna keluarga sindunata.” Jawab Alvin apa adanya.

Mereka berjalan menysuruh lorong-lorong gedung sampai akhirnya terhenti pada sebuah pintu yang berada dibelokan lorong. Alvin membuka pintu tersebut ketika pak dave meninggalkan mereka berdua (Alvin dan Sivia). Seperti yang lalu, ketika membuka pintu tersebut pasti ada rasa bahagia yang sulit dijelaskan, terlebih ketika melihat benda kesayangnya masih terpajang diatas panggung yang lumayan megahnya.

“Vin ini ruang apa ? luas banget, ada panggung sama tempat penontonnya.” Kata Sivia yang lagi-lagi dibuat kagum dengan ruangan yang termasuk bagian dari gedung tersebut.

“ini aula gedung, tempat kalau ada acara pertunjukan seni keluarga besar sindunata yang rutin diadain setahun sekali, tapi semenjak dua tahun yang lalu aula ini nggak pernah dipakai karena nggak ada lagi pertunjukan seni keluarga besar sindunata.” Jelas Alvin panjang lebar.

Tanpa sadar Alvin menarik tangan Sivia untuk memasuki ruang aula tersebut. Alvin mendudukan Sivia dibangku penonton paling depan, setelah itu Alvin berjalan kebelakan panggung. Sivia dibuat bingung oleh tinhgkah Alvin hari ini. apa yang mau dilakukannya, tanya Sivia bingung.

Sivia menatap benda putih yang ada ditengah-tengah panggung, benda tersebut merupakan alat musik klasik yang pada umumnya banyak disukai orang. Bukan, bukan viola elegan atau piano mahal, benda itu hanya sebuah gitar klasik dengan warna tubuh –dicat- putih. Suara petikannya benar-benar jernih, point plus untuk getar tersebut atau mungkin untuk orang yang memainkannya. Sivia mengerjap, baru sadar dari keterpanaanya menatap gitar klasik putih yang sekarang pindah tempat ke pangkuan Alvin.

Alvin duduk bangku putih yang ada disamping tempat getar tadi. gitar putih yang sedari tadi menggetarkan hatinya sekarang sudah ada dipangkuannya. Cukup lama Alvin memandang haru gitar putih tersebut sebelum dimainkannya.

‘jreeeeng’

Petikan pertama terdengar lembut menyentuh gendang telinga Sivia. Untuk beberapa menit kedepan tidak ada suara petikan lagi. Sivia melihat Alvin dengan alis bertautan. Alvin bangkit dari duduknya dan meletakan gitar tersebut pada tempatnya. Setelah itu Alvin hanya berdiri mematung sambil menatap gitar putih tersebut dengan mata berkaca-kaca.

Sivia masih betah menautkan alisnya, bingung dengan tingkah Alvin yang masih berdiri mematung. Sivia hampir membuka suara ketika suara pintu ruang aula terdengar berdecit dan menimbulkan sosok laki-laki yang terlihat sepantaran dengannya.

“samapai kapan lo mau menghindar dari nyawa hidup lo.” Kata laki-laki itu dengan gaya coolnya.

Sivia semakin bingung, tidak mengerti dengan laki-laki yang tiba-tiba datang tadi.

“apa maksud lo kka ?.” tanya Alvin dingin. Pandangan matanya masih tidak lepas dari gitar putihnya.

“gue tau lo nggak bisa jauh-jauh dari gitar lo itu. secara nggak langsung gitar itu udah jadi nyawa hidup lo.” Sahut Cakka –laki-laki tadi-.
Cakka sendiri adalah anak pak dave. Pak dave sudah mengabdi lama pada keluarga sindunata sebagai penjaga gedung serba guna milik keluarga tersebut. beliau sudah mengabdi kira-kira semenjak Alvin berumur 6thn. Sebenarnya Pak dave bisa mencari pekerjaan lain, tapi menurutnya bekerja dengan keluarga sindunata adalah hal yang menyenangkan, lagi pula anggota keluarga itu tidak pernah menyebutnya sebagai karyawan atau semacamnya, mereka menganggap pak dave sudah seperti keluarga.

Cakka juga pernah ditawarkan untuk tinggal dirumah keluarga sindunata, namun ditolak Cakka dengan alasan tidak mau tinggal serumah dengan Alvin yang cuek banget. Bisa gila aku kalau tinggal serumah dengan orang cuek macam Alvin, kata Cakka ketika menolak permintaan Duta. Bukannya mara, Duta dan Winda malah tertawa mendengar pengakuan Cakka. Mereka memaklumi alasan gila si Cakka.

“bullshit.”

Alvin beranjak turun dari panggung dan berjalan mendekati Sivia. Ditariknya tangan Sivia untuk menjauhi aula. Ketika berpapasan dengan Cakka, Alvin hanya membuang muka. Sementara Cakka melemparkan senyum sinisnya.

“ayolaaaah, sampai kapan lo mau menghindar terus dari gitar putih itu. lo nggak akan bisa mengghindar terus, luapain masa lalu lo karna cewek itu sekarang udah ada disamping lo.” Kata Cakka.

Alvin menghentikan langkahnya, wajahnya menegang ketika Cakka menyebutkan ‘cewek itu sekarang udah ada disamping lo’. Sekilasa Alvin melirik Sivia dan memutar tubuhnya menghadap Cakka.

“bukan urusan lo.”

“hahaha, oke tuan na...”

“DIEM LO.” Raung Alvin kencang.

Seketika Cakka diam, menatap Alvin dengan tatapan rendah.

“oke PECUNDANG, gue diem.” Kata Cakka dengan menekan kata ‘PECUNDANG’.

Tanpa banyak berkata lagi, Alvin kembali menarik tangan Sivia dan benar-benar menjauh dari Cakka dan ruang aula.

##############


 Tanpa Alvin sadari Wajah Sivia ikut menegang ketika Cakka mengatakan ‘cewek itu sekarang udah ada disamping lo’ kepada Alvin. beberapa menit setelah itu ia juga melihat Alvin sedikit meliriknya. Sebenarnya apa yang dibicarakan Cakka ? apa maksud dari perkataannya ? apa yang dibicarakan mereka adalah diriku, ahhh tidak mungkin. Sivia mencoba bersifat tenang dan biasa saja, meskipun sudah pasti dirinya kocar kacir atas pembicaraan Alvin dan Cakka. Ditambah dengan pembicaraan yang menyangkut gitar putih tadi, semua itu berhaswil membuat Sivia semakin bingung dan mulai tertarik untuk menyusun fazzel-fazzel tentang Alvin, Cakka, dan gitar putih. Apa dirinya termasuk dalam fazzel-fazzel tersebut ? ntahlah.

Alvin menarik tangan Sivia dan hal itu berhasil membuat Sivia tersentak. Sivia menunduk, melihat tangan Alvin yang menyentuh tanangannya, sentuhan tangan itu terasa hangat dan semakin membuatnya nyaman, terlebih Sivia jadi salah tingkah melihatnya.

“eheeeem.” Dehem Sivia ketika mereka menyusuri lorong-lorong yang sudah cukup jauh dari Cakka ataupun ruang aula, gedung.

Langkah Alvin terhenti dan melihat kearah Sivia, sementara Sivia ikut melihat Alvin dan melirik kearah tangannya yang masih bertahan dalam genggaman tangan Alvin.

“ehhh....” Alvin melepaskan tangannya dan menunduk salting. “maaf.” Kata Alvin dan kembali berjalan mendahului Sivia.

Alvin berjalan kearah bagian lain dari gedung, diikuti dengan Sivia. Mereka berjalan menaiki tangga yang ujungnya ntah dimana. Sampai pada atap gedung. Alvin berjalan ketengah gedung, udara yang masih belum tercemar dengan asap kendaran atau apapun itu, membuat udara diatas gedung semakin nyaman. Terlebih matahari yang sedikit bersembunyi dibalik awan membuat cuaca menjadi hangat. Alvin membaringkan tubuhnya dilantai atap gedung dengan satu kaki terselonjor dan satunya lagi ditekuk, matanya terpejam seperti mencoba menawarkan diri untuk menyicipi suasana hangat yang memenuhi atmosfer udara.

Berbeda dengan Alvin, Sivia hanya duduk disamping tubuh Alvin yang terbaring. Dia juga ikut memejamkan mata sebentar, setelah itu matanya melihat wajah Alvin yang masih terlihat tegang. Sivia yakin ada sesuatu yang masih membuat calon unangannya itu bersitegang.

Sivia mengangkat tangannya dan meletakannya tepat didada Alvin, ditepuknya dada bidang itu dengan lembut guna membawa sedikit ketenangan.

###########


Alvin menutup mata sipitnya. Ketenangan yang dicarinya mungkin akan sedikit tergali ketika kelopak matanya mengatup. NIHIL. Ketenangan itu terusik dengan bayang-bayang wajah Cakka, serta kata-katanya yang terus saja menyapa telinganya secara semu. baru beberapa menit Cakka berbicara dengannya, namun pembicaraan Cakka tadi sepertinya berhasil membuat kedamainnya terganggu.

Tepukan-tepukan lembut begitu terasa didadanya dan entah keajaiban apa yang dibawa tepuka-tepukan tersebut sehingga membuat Alvin merasa damainya mulai menyergap dan membuatnya lega. Alvin membuka matanya. Wajah Sivia adalah gambar pertama yang dilihat Alvin ketika membuaka kelopak matanya.

“are you oke ?.” Sivia menarik tangannya dari dada Alvin..

“yeaaah, i am oke.” Kata Alvin sambil bangun dari pembaringannya, dia duduk disamping Sivia sambil menekuk kedua kakinya. “ayo pulang vi, maaf acara minggu lo jadi berantakan.” Alvin berdiri dan berjalan meninggalkan atap gedung. Sivia mengernyitkan dahi, bingung. namun setelahnya Sivia tersenyum, pemuda macam Alvin benar-benar membuatnya penasaran dan semakin membuat Sivia tertarik kepadanya.

%%%%%%%%%%%
               

Sivia berlari tunggang langgang menuruni tangga. Sesekali ia melirik jam yang melingkar ditangan kanannya. 06.53. dia sudah benar-benar terlambat kesekolah, 6 menit lagi bel SMA Putri Pertiwi akan berbunyi, sementara dari rumah sindunata ke sekolahnya memakan waktu kurang lebih 15 menit.

Roti berselai strowberry langsung masuk kemulut Sivia, sedikit mengunyah dan langsung menelannya. Susu yang full glas langsung diteguk dalam sekali nafas. Setelah itu Sivia langsung berlari keluar rumah dan hendak meninggalkan perkarangan rumah ketika ia sadar bahawa dia lupa menanyakan Alvin.

“haduuuh, lupa aku.” Kata Sivia dan kembali kedalam rumah.

“bi, bibi.” Teriak Sivia.

6 pelayan langsung keluar dari segala arah, dari dapur, kamar, halaman belakang, kamar mandi, dan dari gudang. Sivia mengerjap beberapa kali dan baru sadar bahwa pembantu dirumah ini nggak cuman satu, melainkan 6 orang.

“apa non ?.” tanya semua pelayan dalam satu suara.

“eh’he... Sivia cuman mau nanya, Alvin mana ??.”

“ohhh, den Alvin. mmmm...” ke -6 pelayan bergumam nggak jelas.

“den Alvin, belum keluar dari kamar non.” Sahut salah satu diantara mereka.

Mulut Sivia menganga beberapa menit dan langsung lari menaiki tangga, menuju kamar Alvin.

‘gue nggak sekolah, jangan ganggu.’ Begitulah tulisan note kecil yang ada dipintu kamar Alvin. Sivia mendesah pasrah dan kembali kekamarnya. Dia tidak jadi sekolah. Tidak ada yang mengantar dan percuma kalau ujung-ujungnya dihukum juga karena terlambat.

********


Jam 14.50. Sivia keluar dari kamarnya dengan mata 5 watt. Dia baru bangun dan hendak turun untuk makan siang. Ketika dimeja makan, hidangan sudah tersedia seperti biasa.

“bi, Alvin mana ? udah keluar kamar belum.” Tanya Sivia sambil mengucek-ngucek matanya.

Seorang pembantu mendekat, “belum non, sebertinya tuan muda sedang ada masalah.” Kata pelayan tersebut. “kalau tuan muda nggak keluar berarti tuan muda lagi ada masalah.”

Sivia mengangguk paham lantas melahap makan siangnya. apa mungkin gara-gara kemarin, argumen Sivia. Aaahhh ! masa bodoh deh, ntar juga keluar tuh bocah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar