Rabu, 01 Mei 2013

NO SAD!!! (part 4)


-CAKKA ??? RIO ??? SHILLA ???-



Alvin terus memperhatikan tangnannya –bingung-. tidak percaya kalau beberapa menit yang lalu tangan itu dengan asiknya memainkan gitar, memainkan alat musik yang sebenarnya sudah mulai ia jauhi semenjak beberapa tahun yang lalu.

“lo kenapa Vin, gitu banget ngeliat tangan sendiri ?.” kata Sivia sambil duduk disamping Alvin. melihat Alvin seperti orang autis melihat tangannya, Sivia jadi ikut melihat tangan Alvin.

“kenapa lo suruh gue main gitar ?.” tanya Alvin tanpa menghiraukan pertanyaan Sivia, matanya masih saja memperhatikan tangannya.

Sivia mengangkat sedikit wajahnya, mengalihkan tatapannya kewajah Alvin. ekspresi wajah itu begitu familiar untuknya. “ka... karena gu.. e.. yakin lo bisa main gitar.” Kata Sivia gelagapan.

“hahaha.” Alvin tertawa sumbang, mengalihkan pandangannya kearah Sivia. “bullshit lo.” Bentaknya sambil bergeming meninggalkan Sivia yang  shock mendengar bentakan tadi.

Alvin berjalan terhuyung-huyung, tubuhnya benar-benar lemas sekarang. Bermain gitar tadi membuatnya lelah hati, membuat otaknya seperti diremas-remas oleh beberapa tangan masa lalu. Stop al, berhenti mikirin masa lalu, sekarang udah beda, Alvin meracau sambil berjalan.
               
Sivia masih membeku sebelum sebuah tangan dingin menyentuh pundaknya dari belakang. “apa lo inget sekarang ?.” tanya pemilik tangan tersebut.

Sivia tak bergeming sedikit pun. Beberapa menit yang lalu dia harus mencerna arti bentakan Alvin dan sekarang dia harus mencerna pertanyaan yang ini. “apa maksud lo ?.” tanya Sivia, ia berbalik dan mendapatkan sosok Cakka –lah yang menyentuh pundaknya.

“haha, ternyata lo belum inget.” Kata Cakka sambil tertawa. “lo inget-inget aja dulu.” Katanya dan pergi dari hadapan Sivia.

Sivia semakin mengernyit bingung, apa lagi ini  ? apa maksud Cakka ? Sivia bertanya dalam hati dan kembali membeku ditempat. Tidak mengerti dengan semua ini atau –mungkin- belum mengerti dengan semuanya. Sivia merasa ini seperti pazzel tersulit yang harus disusunnya, apa mungkin dirinya termasuk dalam bagian kecil pazzel tersebut ?

****


Rio berjalan dikoridor sekolah yang hampir sepi setelah acara selesai, pengelihatan matanya menyapu hampir setiap penjuru koridor. tidak ada yang menarik disekitarnya, namun Rio terbelalak ketika melihat gadis yang masih berdiri diujung koridor dengan kepala tertunduk. Apa yang dilakukannya ? tanya Rio sambil berjalan mendekat.

“Sivia.” Panggilnya sambil menyentuh pundak Sivia.

Sivia tidak bergeming, pikirannya benar-benar menyita hampir seluruh fungsi indranya.

 “Sivia.” kali ini Rio memanggil dengan sedikit gerakan kecil dipundak Sivia.

Merasa ada yang  memanggil dan menyentuh pundaknya, Sivia pun mengangkat wajahnya dengan malas, berharap tidak akan ada lagi kalimat yang harus ditelan atau dipahaminya.

“kenapa lo belum pulang ?.” tanya Rio setelah Sivia menoleh kearahnya.

“gu... gue... itu... apa ya... gue nggak ada temen pulang.” Kata Sivia gelagapan, tidak mungkin dia bilang kalo Alvin meninggalkannya pulang duluan, bisa-bisa Rio curiga.

“oh.. yaudah sekalian aja sama gue, gue juga mau pulang.”

“eh’ gue jadi ngerepotin elo deh.”

“alaaaaah. Lo mah basa-basi mulu bisanya.” Rio mengacak rambut Sivia.

Sivia tertegun mendapati tangan Rio dengan bebas mengacak rambutnya, dengan sedikit mendongak ditatapnya wajah Rio dengan lesu, wajah itu tidak pernah beruba, selalu tenang dan menyimpan kelembutan lebih untguk siapapun yang melihatnya.

Lo emang selalu sempurna dimata gue, coba elo bukan Alvin. Sivia diam untuk beberapa saat, menikmati pikirannya yang entah terbang kemana. Bagi Sivia melihat Rio dari jarak sedekat ini sama saja dengan membongkar perasaannya yang lalu, menyukai Rio yang selalu berada didekatnya –dulu-, menyukai Rio yang –dulu- menemaninya, ahhh ! bodoh, lo bodoh Sivia, Rio nggak suka sama lo.

“ayo vi kita pulang.”

Sivia tersadar dan tersenyum memaksakan.  tersadar dengan apa yang dipikirkannya tadi, Sivia lantas menggeleng dan berusaha melupakannya, ia lebih memilih fokus pada langkahnya  yang mengikuti langak Rio.

****

Sivia mengucapkan terimakasih pada Rio yang telah mengantarnya pulang kerumah Alvin. tentu saja Sivia mengaku kalo ini adalah rumah barunya. setelah mobil Rio menghilang dijarak yang lumayan jauh barulah Sivia memasuki halaman rumah keluarga sindunata.  

Sivia menoleh kearah garasi, terlihat mobil silver terparkir didepannya. Sivia baru hari ini melihat mobil tersebut, apa ada tamu ? tapi kenapa bertamu semalam ini ? tanya Sivia sambil tetap berjalan kearah pintu masuk.

Ketika langkahnya hampir memasuki kamar, Sivia kembali menarik langkahnya dan berubah haluan melangkah kekamar Alvin. kamar itu sedikit terbuka, sehingga membuat Sivia dapat melihat apa yang ada didalam kamar Alvin. dengan sedikit melengokan kepala Sivia dapat melihat Alvin yang sedang berbaring, matanya tertutup rapat tapi tubuhnya bergerak-gerak kecil seperti orang gelisah.

Sivia mendekati Alvin, memastikan apa yang sedang dilakukan pemuda itu atau mungkin memastikan apa yang sedang  terjadi. Sivia sedikit mencondongkan wajahnya kewajah Alvin.

“eheeem...”  dehem seseorang tiba-tiba.

Sivia segera menarik kembali wajahnya untuk sedikit menjauh.

“apa yang lo lakuin ?.” tanya orang itu.

Wajah Sivia bersemu merah, ia salah tingkah. “eh... it.... anu... in...” kata aivia gelagapan sambil berbalik badan dan melihat sosok itu lagi. Seseorang laki-laki yang sudah dua kali ini ditemuinya.

“hahaha... jangan bilang lo mau cium Alvin.” goda orang itu sambil tertawa lepas.

Sivia menunduk malu. “ng... nggaklah... tadi gue cuman mau mastiin aja, Alvin kenapa.”

“dengan lo deketin mukanya gitu, gue nggak yakin lo cuman mastiin,” kata orang tersebut sambil menahan tawa. Niatnya mengggoda Sivia ternyata berhasil juga.

Kalo tidak ingat ini sudah tengah malam, laki-laki itu akan tertawa sampai sakit perut begitu melihat wajah Sivia yang bersemu merah dengan ekspresi lucu menahan malu. Terlebih ketika melihat Sivia yang salah tingkah dengan kaki yang dihentak-hentakan pelan. bukankah itu lucu sekali.

“yaudah kalo gitu lo terusin aja mastiin Alvinnya, kalo perlu sampai mulut lo nyentuh jidat, pipi, atu nggak nyentuh m....”  laki-laki itu menggerak-gerakkan mulutnya seperti orang yang mau berciuman dan hal itu sukses membuat Sivia mengangkat wajahnya dan merengut kesal.

“gue nggak mau cium dia.” Tegas Sivia sambil menunjuk wajah garang.

Laki-laki tersenyum jahail. “apa gue percaya setelah ngeliat yang tadi, hmmm.” Katanya semakin menggoda Sivia.

“Cakka,,, berhenti godain gue.” kata Sivia kesal.

Laki-laki yang ternyata adalah Cakka itu langsung ketawa ngakak.

“nggak lucu.”

“hahhahahaha”

Cakka berjalan keluar kamar Alvin, membiarkan Sivia menjaga calon tunangannya sendiri.

*****


Sivia mendengus kesal melihat Cakka yang keluar kamar masih dengan tawa mengejeknya, dengan sedikit hentakan Sivia berjalan mendekati Alvin, duduk ditepi ranjang pemuda tersebut. sementara Alvin, -pemuda itu- masih bergerak-gerak kecil,  Sivia bingung.

“hay lo tidur tidur atau ngapain sih ?.”

Tanpa membuka matanya, Alvin masih bergerak-gerak nggak jelas –seperti orang gelisah-.

“Alvin lo diem ya, yang tenang.” Sivia berbisik ditelinga Alvin.

Alvin yang tadinya bergerak-gerak gelisah langsung diam. Sivia tersenyum, lantas menaikan tangannya keatas kening Alvin. demam. Huh!!! Pantes nggak bisa diem, badannya anget banget ckckckc.

Sivia membenarkan sedikit letak selimut Alvin. memandang wajah laki-laki yang beberapa bulan ini memasuki hidupnya sebagai calon tunanganya. Gue baru sadar kalo lo ganteng banget, lucu, gue ngerasa atau cuman perasaan gue doang kalo kita pernah kenal, atau ketemu, atau semacemnya. Sivia masih memandang wajah Alvin. eh aaghhh nggak mungkin, gue baru kenal lo,,, dasar jelek!!!. Racau Sivia, tanpa sadar ia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti menolak sesuatu.

*****

Entah karena apa? dan kenapa? Shilla berjalan disepanjang trotoar didaerah pertokoan, biasanya ia sangat malas keluar rumah tanpa menggunakan mobil, terlebih sendiri seperti ini. biasanya dia akan pergi bersama Sivia –sahabatnya- jika ia ingin, tapi entah kenapa rasanya hari ini Shilla enggan mengajak Sivia atau yang lainnya.

Disepanjang jalan Shilla terus bernyanyi, menebarkan senyuman manisnya pada siapapun yang ditemuinya. Diujung trotoar Shilla berhenti sebentar, dia mematung menatap kemilau diufuk timur bumi, elok sekali senja sore ini.

“lo nggak pernah berubah ya shill.” Suara berat menyapa, membuat Shilla mengalihkan pandangannya kearah samping, ke asal sumber suara yang baru saja menyapanya.

“masih suka senja?.” Perkataan laki-laki itu lebih terdengar sebagai pernyataan telak daripada pertanyaan.

“r...io...” Shilla menatap laki-laki disampingnya, sedikit tidak percaya, sudah lama tidak melihat laki-laki tamapan hitam manis tersebut.

Rio menoleh, melihat Shilla yang masih terkejut. Disunggingkannya sedikit senyum tipis, sehingga memperlihatkan gaya khasnya. “apa kabar shill?.”

“lo... Rio...? beneran lo Rio.”

Rio mengangguk.

Sontak Shilla langsung berteriak girang, kemudian memeluk tubuh jangkung Rio dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. “aaaaa Rio, lo Rio gue, lo kemana aja? Kenapa dulu ninggalin gue? Lo jahat.” Pekiknya namun masih memeluk Rio.

Rio tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Dipeluknya juga gadis masa lalunya ini. gadis yang ditinggalkannya dulu saat mereka masih duduk dibangku kelas 7 SMP. Dulu mereka dekat sekali, lebih dekat dari seorang sahabat –status yang ada dibelakang mereka-, seperti sepasang kekasih. Sebelum mengenal Sivia, Rio terlebih dulu mengenal Shilla di malang, Rio pindah dan memulai hidup barunya dijakarta saat menginjak pertengahan semester dua. Meninggalkan malang sama saja dengan meninggalkan Shilla, gadis manisnya.

Rio menghirup nafas lega, merasakan separuh hatinya kembali. Gadis ini, aShillanya, gadis yang sudah menjadi separu hidupnya dari dulu. “gue kangen lo shill.” Bisik Rio tepat ditelinga silla.

Shilla terdiam, beberapa menit setelahnya ia membalas pelukan Rio dengan erat “lo pikir gue nggak.” Bisik Shilla membalas bisikan Rio.

******


Dengan sedikit menghela nafas, Sivia memperhatikan rumah tersebut baik-baik. Rumah yang besar, mewah, dengan fasilitas yang sangat lengkap, rumah yang terlihat sempurna dari luar, namun begitu menyesakkan ketika berada dilamamnya. Rumah ini terlalu sepi, membuat Sivia mikir berulang kali untuk menempatinya meskipun termasuk dalam kreteria rumah idaman. Bagaimana mungkin si Alvin bisa hidup bertahun-tahun dengan susana sesepi ini, pantas saja sikapnya begitu dingin. Sivia melirik Alvin yang masih tidur kemudian tersenyum maklum.

“lo jangan liat Alvin nafsuan kayak gitu dong vi, jaga nafsu lo, inget lo belom tunangan sama Alvin.” celetuk Cakka sedikit menahantawanya yang kapan saja akan siap meledak.

“lo bisa diem nggak kka, gue sumpel juga nih mulut lo.” Sivia menatap Cakka garang.

“wow takut kakak.”

“Cakkaaaaaaaaaa.”

“hahahaha”

Sivia melototkan matanya kepada Cakka, mengumpat lelaki yang menurutnya sangat amat menyebalkan.

“oke oke gue berhenti.” Kata Cakka sambil mengentikan tawanya. “udah ah muka lo jangan di tekuk gitu, tadi gue cuman mau bilang kalo kata tante Winda, pertunangan lo sama Alvin bakalan diadain lusa.”

“HAH? WHAT? SERIUS?” teriak Sivia kalang kabut, dia langsung melonjak kaget.

LUSA? Aissh!!! Ini gila, lusa itu besok dan besoknya lagi dari  hari ini, apa tidak terlalu cepat? Bahkan itu sangat cepat. Sivia menggeram frustasi. air matanya jatuh begitu saja, bukan air mata sedih atau bahagia, melainkan air mata yang keluar karena emosinya yang memuncak. Ia ingin berlari dari kenyataan atau menyuruh kenyataan menelannya hidup-hidup agar dia segera hilang dari muka bumi ini dari pada harus menuruti permintaan orang tua Alvin dan ibunya untuk bertunangan lusa.

“ini gila.” Kata Sivia lirih.

Jika boleh ia menentang maka sekarang juga ia akan berlari menuju tempat ibu dan kedua orang tua Alvin untuk mengutuk dan menolak mentah-mentah pertunangan tersebut. jujur saja ia ingin marah, ingin memberontak, ingin menyalahkan takdir karena ialah pihak yang menjadi korban disini tapi sepertinya percuma saja, tidak ada gunanya.

“vi, lo nggak papa, kan?” tanya Cakka ketika air mata Sivia merebes bak aliran sungai, tangan gadis itu terkepal kuat seperti siap menghantam apa saja yang membuatnya marah, nafasnya timbul tenggelam seperti baru selesai berlari ratusan kelo meter.

“vi...” Cakka sedikit panik karena Sivia diam -masih dengan air matanya yang jatuh tanpa isakkan, ia menangis dalam diam sambil berusaha menekan kuat-kuat emosinya yang siap meledak kapapun yang ia mau.
Sivia masih diam. Tidak memperdulikan Cakka yang menatapnya iba. Perlahan ia berusaha menggerakan kakinya, berjalan terseok-seok  keranjang Alvin. ditatapnya wajah putih pucat yang masih tertidur pulas. Sementara Cakka hanya bisa memperhatikan Sivia yang diam memandang Alvin dengan tatapan emosi.

“lo...” Sivia menatap Alvin marah.

“lo jangan tidur terus dong, bantuin gue nentang pertunangan kita, gue gak mau tunangan sama lo jelek.” Bentak Sivia, suaranya meninggi dan tidak terkendali.

Mendapati tidak ada jawaban, Sivia kembali mengerang frustasi. Dipegangnya pundak Alvin sambil mengguncangnya sekuat tenaga. “lo bangun woiiii. Lo bilang sama bokap nyokap lo kalo kita gak mau tunangan.” Bentak Sivia lagi.

Cakka yang melihat hal tersebut tidak tinggal diam, ditariknya tangan Sivia yang mengguncang pundak Alvin. ia tidak suka dengan tingkah Sivia yang kelewatn, jelas-jelas Alvin sedang sakit. “jangan sentuh Alvin kalo lo Cuma mau marah-marah sama dia, dia nggak salah dan lo harus terima.” Kata Cakka pelan namun tajam dan terkesan sinis. Cakka menarik Sivia sampai gadis itu terdorong kebelakang. Inilah sikap Cakka  kalau ada yang berani melukai Alvin, melukai sahabat diamnya itu. tidak peduli cewek atau cowok yang jelas dia akan bertindak kasar kalau ada yang macam-macam dengan Alvin. kalau bukan karena permintaan kedua tuan besar sindhunata -yang sudah dianggapnya orang tuanya sendiri-, yang memintanya menjaga Alvin dan menyuruhnya menganggap Alvin sebagai adik yang harus dijaganya, dia tidak akan berbuat apapun meskipun Sivia membunuh Alvin didepannya.

Sivia mengangkat wajahnya, memperlihatkan wajah angkuh yang selama ini tersembunyi jauh didalam dirinya. Ia berdecih kesal sambil tersenyum sinis kepada Cakka “lo nggak tau rasanya jadi gue yang dipaksa tunangan dan sebentar lagi bakalan nikah, bahkan gue belum pernah ngerasain rasanya pacaran dan sekarang dengan seenak jidatnya keluarga sindhunata nyuruh gue tunangan, ngerusak masa remaja gue yang bahkan belum gue sentuh diluar sana.”  Kata Sivia sinis.

Cakka menautkan alisnya. Dia balas tersenyum sinis. “gue tau rasanya, bahkan sebelum lo ngerasain gue pernah ngerasain duluan.” Cakka tak kalah angkuh. Dia memang tau rasanya, tau sakitnya, tau betapa menderitanya jadi bahan perjodohan. dia juga sama seperti Sivia, sama-sama korban, tentu saja termasuk Alvin juga. “so! Lo jangan nunjukin muka paling menderita lo didepan gue.”

“lo boleh pergi kalo lo gak mau.” Suara itu, suara berat yang terdengar pelan menyahut. Suara itu terdengar mengerang setelahnya. Cakka dan Sivia segera menoleh kearah Alvin, melihat laki-laki tersebut sibuk mengerang menahan sakit yang ntah sumbernya dari mana. “gue gak mau maksa orang.”

Alvin bergerak pelan, menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya secara perlahan, ia menutup matanya untuk mencari ketenangan, bebannya semakin terasa berat sekarang. Ia mendesah namun masih menutup mata, perlahan nafasnya teratur seperti orang tidur.

Sementara Sivia, ia memandang Alvin. dapat dirasakannya sesuatu yang mengganjal telak dihatinya. Tapi entah apa? Ia merasa sesak, seakan-akan ada yang membrontak dihatinya, air matanya merebes lagi. “Alvin” dipanggilmya nama tersebut.

Sivia berjalan mendekat, hampir menyentuh wajah Alvin yang benar-benar terlihat seperti orang tidur. “jangan sentuh gue.” Kata itu keluar dari mulutnya, namun matanya masih tertutup rapat. “jangan sentuh gue, lo pergi sekarang atau lo bakalan nyesel setelahnya.”

“al...”

Alvin tidak bergeming lagi. dia diam. Matanya terpejam semakin erat, seperti takut jika matanya terbuka ia dapat melihat sesuatu yang menyakitkan di hadapannya. Namun ia juga tidak mau menutup matanya sebelum melihat calon tunangannya sebelum gadis itu benar-benar  meninggalkannya sekarang

Sivia menunduk, ia berbalik dan hendak melangkah keluar kamar Alvin. kakinya sangat berat untuk melangkah, hatinya memberontak terlalu keras hingga sesaknya semakin terasa. ia memaki dirinya sendiri. Ia bimbang. Namun pada akhirnya ia berjalan keluar juga.

BLAM...

Cakka memandang punggung Sivia yang semakin menjauh dan hilang ditelan pintu kamar Alvin. ia yang dari tadi menjadi penonton diam hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. bingung dengan adegan bak sinetron yang sudah tersuguhkan dari tadi.

Cakka beralih menatap Alvin secara intens. dapat dilihatknya nafas laki-laki itu turun naik secara teratur seperti orang tidur. benarkah Alvin sudah tidur? TIDAK, laki-laki itu tidak tidur, dia hanya berpura-pura tidur untuk menghindari  hal-hal rumit yang akan didapatinya ketika membuka membuka matanya. ia memang selalu begitu, lebih memilih menghindar daripada menghadapi, seperti pengecut namun itu adanya.

Cakka bergeming dari tempatnya berdiri, mendekati ranjang Alvin dan ikut berbaring disamping Alvin. merasakan betapa panasnya tubuh laki-laki itu saat permukaan lengannya  menyentuh permukaan lengan Alvin.

“dia tidak tidak akan pergi jauh darimu, tenanglah.” kata Cakka yang entah ditunujukan kepada siapa. ia ikut memejamkan matanya dan tertidur pulas beberapa menit setelahnya.

############


apa yang harus dilakukannya? benarkah ia akan pergi dan menghilang sebelum lusa tiba? ia meraba dadanya, disana terasa sesak seperti ada yang mendesak ingin keluar dan mencegahnya untuk pergi. ada apa dengannya? apa ia sudah mulai menyukai laki-laki itu hingga membuat kakinya berat untuk pergi? TIDAK, ia memaki dirinya dan berusaha untuk menghiraukan segala hal yang membuatnya berat. bukankah ia tidak ingin mengikat hub. apapun denga laki-laki itu? bukankah ia tidak suka laki-laki itu? tapi kenapa rasanya aneh sekali.rasanya seakan akan ada yang menelusup dihatinya dan menahannya untuk pergi.

ketika melihatnya pertama kali,
tidak ada ketertarikan untuk mengenalnya lebih dekat,
tidak ada sapaan untuk mengetahui pribadinya,

ketika memandangnya pertama kali,
aku tidak tertegun dengan ketampanan,
aku bergidik melihat tatapannya,

ketika berpapasan pertama kali,
hanya sumpah serapah yang kulontarkan dalam hati,
iringan jeritan kebencian mengisi nada-nada jiwa,

namun untuk yang kesekian kali,
untuk satu waktu yang lebih lama,
untuk perputaran masa yang semakin kedepan,

baru kusadari, 
dia tampan,
dia menarik,
dia berbeda,
dan dia berhasil mencuri hatiku....



------------BERSAMBUNG------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar