-CAKKA ??? RIO ??? SHILLA
???-
Alvin terus memperhatikan
tangnannya –bingung-. tidak percaya kalau beberapa menit yang lalu tangan itu
dengan asiknya memainkan gitar, memainkan alat musik yang sebenarnya sudah
mulai ia jauhi semenjak beberapa tahun yang lalu.
“lo kenapa Vin, gitu banget
ngeliat tangan sendiri ?.” kata Sivia sambil duduk disamping Alvin. melihat Alvin
seperti orang autis melihat tangannya, Sivia jadi ikut melihat tangan Alvin.
“kenapa lo suruh gue main
gitar ?.” tanya Alvin tanpa menghiraukan pertanyaan Sivia, matanya masih saja
memperhatikan tangannya.
Sivia mengangkat sedikit
wajahnya, mengalihkan tatapannya kewajah Alvin. ekspresi wajah itu begitu
familiar untuknya. “ka... karena gu.. e.. yakin lo bisa main gitar.” Kata Sivia
gelagapan.
“hahaha.” Alvin tertawa
sumbang, mengalihkan pandangannya kearah Sivia. “bullshit lo.” Bentaknya sambil
bergeming meninggalkan Sivia yang shock mendengar bentakan tadi.
Alvin berjalan
terhuyung-huyung, tubuhnya benar-benar lemas sekarang. Bermain gitar tadi
membuatnya lelah hati, membuat otaknya seperti diremas-remas oleh beberapa
tangan masa lalu. Stop al, berhenti
mikirin masa lalu, sekarang udah beda, Alvin meracau sambil berjalan.
Sivia masih membeku sebelum
sebuah tangan dingin menyentuh pundaknya dari belakang. “apa lo inget sekarang
?.” tanya pemilik tangan tersebut.
Sivia tak bergeming sedikit
pun. Beberapa menit yang lalu dia harus mencerna arti bentakan Alvin dan
sekarang dia harus mencerna pertanyaan yang ini. “apa maksud lo ?.” tanya Sivia,
ia berbalik dan mendapatkan sosok Cakka –lah yang menyentuh pundaknya.
“haha, ternyata lo belum
inget.” Kata Cakka sambil tertawa. “lo inget-inget aja dulu.” Katanya dan pergi
dari hadapan Sivia.
Sivia semakin mengernyit
bingung, apa lagi ini ? apa maksud Cakka ? Sivia bertanya dalam
hati dan kembali membeku ditempat. Tidak mengerti dengan semua ini atau
–mungkin- belum mengerti dengan semuanya. Sivia merasa ini seperti pazzel
tersulit yang harus disusunnya, apa mungkin dirinya termasuk dalam bagian kecil
pazzel tersebut ?
****
Rio berjalan dikoridor
sekolah yang hampir sepi setelah acara selesai, pengelihatan matanya menyapu
hampir setiap penjuru koridor. tidak ada yang menarik disekitarnya, namun Rio
terbelalak ketika melihat gadis yang masih berdiri diujung koridor dengan
kepala tertunduk. Apa yang dilakukannya ?
tanya Rio sambil berjalan mendekat.
“Sivia.” Panggilnya sambil
menyentuh pundak Sivia.
Sivia tidak bergeming,
pikirannya benar-benar menyita hampir seluruh fungsi indranya.
“Sivia.” kali ini Rio memanggil dengan sedikit
gerakan kecil dipundak Sivia.
Merasa ada yang memanggil dan menyentuh pundaknya, Sivia pun
mengangkat wajahnya dengan malas, berharap tidak akan ada lagi kalimat yang
harus ditelan atau dipahaminya.
“kenapa lo belum pulang ?.”
tanya Rio setelah Sivia menoleh kearahnya.
“gu... gue... itu... apa
ya... gue nggak ada temen pulang.” Kata Sivia gelagapan, tidak mungkin dia
bilang kalo Alvin meninggalkannya pulang duluan, bisa-bisa Rio curiga.
“oh.. yaudah sekalian aja
sama gue, gue juga mau pulang.”
“eh’ gue jadi ngerepotin elo
deh.”
“alaaaaah. Lo mah basa-basi
mulu bisanya.” Rio mengacak rambut Sivia.
Sivia tertegun mendapati
tangan Rio dengan bebas mengacak rambutnya, dengan sedikit mendongak ditatapnya
wajah Rio dengan lesu, wajah itu tidak pernah beruba, selalu tenang dan
menyimpan kelembutan lebih untguk siapapun yang melihatnya.
Lo emang selalu sempurna dimata gue, coba elo bukan Alvin. Sivia diam untuk beberapa
saat, menikmati pikirannya yang entah terbang kemana. Bagi Sivia melihat Rio
dari jarak sedekat ini sama saja dengan membongkar perasaannya yang lalu,
menyukai Rio yang selalu berada didekatnya –dulu-, menyukai Rio yang –dulu-
menemaninya, ahhh ! bodoh, lo bodoh Sivia,
Rio nggak suka sama lo.
“ayo vi kita pulang.”
Sivia tersadar dan tersenyum
memaksakan. tersadar dengan apa yang
dipikirkannya tadi, Sivia lantas menggeleng dan berusaha melupakannya, ia lebih
memilih fokus pada langkahnya yang
mengikuti langak Rio.
****
Sivia mengucapkan terimakasih
pada Rio yang telah mengantarnya pulang kerumah Alvin. tentu saja Sivia mengaku
kalo ini adalah rumah barunya. setelah mobil Rio menghilang dijarak yang
lumayan jauh barulah Sivia memasuki halaman rumah keluarga sindunata.
Sivia menoleh kearah garasi,
terlihat mobil silver terparkir didepannya. Sivia baru hari ini melihat mobil
tersebut, apa ada tamu ? tapi kenapa
bertamu semalam ini ? tanya Sivia sambil tetap berjalan kearah pintu masuk.
Ketika langkahnya hampir
memasuki kamar, Sivia kembali menarik langkahnya dan berubah haluan melangkah
kekamar Alvin. kamar itu sedikit terbuka, sehingga membuat Sivia dapat melihat
apa yang ada didalam kamar Alvin. dengan sedikit melengokan kepala Sivia dapat
melihat Alvin yang sedang berbaring, matanya tertutup rapat tapi tubuhnya
bergerak-gerak kecil seperti orang gelisah.
Sivia mendekati Alvin,
memastikan apa yang sedang dilakukan pemuda itu atau mungkin memastikan apa
yang sedang terjadi. Sivia sedikit
mencondongkan wajahnya kewajah Alvin.
“eheeem...” dehem seseorang tiba-tiba.
Sivia segera menarik kembali
wajahnya untuk sedikit menjauh.
“apa yang lo lakuin ?.” tanya
orang itu.
Wajah Sivia bersemu merah, ia
salah tingkah. “eh... it.... anu... in...” kata aivia gelagapan sambil berbalik
badan dan melihat sosok itu lagi. Seseorang laki-laki yang sudah dua kali ini
ditemuinya.
“hahaha... jangan bilang lo
mau cium Alvin.” goda orang itu sambil tertawa lepas.
Sivia menunduk malu. “ng...
nggaklah... tadi gue cuman mau mastiin aja, Alvin kenapa.”
“dengan lo deketin mukanya
gitu, gue nggak yakin lo cuman mastiin,” kata orang tersebut sambil menahan
tawa. Niatnya mengggoda Sivia ternyata berhasil juga.
Kalo tidak ingat ini sudah
tengah malam, laki-laki itu akan tertawa sampai sakit perut begitu melihat
wajah Sivia yang bersemu merah dengan ekspresi lucu menahan malu. Terlebih
ketika melihat Sivia yang salah tingkah dengan kaki yang dihentak-hentakan
pelan. bukankah itu lucu sekali.
“yaudah kalo gitu lo terusin
aja mastiin Alvinnya, kalo perlu sampai mulut lo nyentuh jidat, pipi, atu nggak
nyentuh m....” laki-laki itu
menggerak-gerakkan mulutnya seperti orang yang mau berciuman dan hal itu sukses
membuat Sivia mengangkat wajahnya dan merengut kesal.
“gue nggak mau cium dia.”
Tegas Sivia sambil menunjuk wajah garang.
Laki-laki tersenyum jahail.
“apa gue percaya setelah ngeliat yang tadi, hmmm.” Katanya semakin menggoda Sivia.
“Cakka,,, berhenti godain
gue.” kata Sivia kesal.
Laki-laki yang ternyata
adalah Cakka itu langsung ketawa ngakak.
“nggak lucu.”
“hahhahahaha”
Cakka berjalan keluar kamar Alvin,
membiarkan Sivia menjaga calon tunangannya sendiri.
*****
Sivia mendengus kesal melihat Cakka yang keluar kamar masih dengan tawa mengejeknya, dengan sedikit hentakan Sivia berjalan mendekati Alvin, duduk ditepi ranjang pemuda tersebut. sementara Alvin, -pemuda itu- masih bergerak-gerak kecil, Sivia bingung.
“hay lo tidur tidur atau
ngapain sih ?.”
Tanpa membuka matanya, Alvin
masih bergerak-gerak nggak jelas –seperti orang gelisah-.
“Alvin lo diem ya, yang
tenang.” Sivia berbisik ditelinga Alvin.
Alvin yang tadinya
bergerak-gerak gelisah langsung diam. Sivia tersenyum, lantas menaikan
tangannya keatas kening Alvin. demam.
Huh!!! Pantes nggak bisa diem, badannya anget banget ckckckc.
Sivia membenarkan sedikit
letak selimut Alvin. memandang wajah laki-laki yang beberapa bulan ini memasuki
hidupnya sebagai calon tunanganya. Gue
baru sadar kalo lo ganteng banget, lucu, gue ngerasa atau cuman perasaan gue
doang kalo kita pernah kenal, atau ketemu, atau semacemnya. Sivia masih
memandang wajah Alvin. eh aaghhh nggak
mungkin, gue baru kenal lo,,, dasar jelek!!!. Racau Sivia, tanpa sadar ia
menggeleng-gelengkan kepalanya seperti menolak sesuatu.
*****
Entah karena apa? dan kenapa?
Shilla berjalan disepanjang trotoar didaerah pertokoan, biasanya ia sangat
malas keluar rumah tanpa menggunakan mobil, terlebih sendiri seperti ini.
biasanya dia akan pergi bersama Sivia –sahabatnya- jika ia ingin, tapi entah
kenapa rasanya hari ini Shilla enggan mengajak Sivia atau yang lainnya.
Disepanjang jalan Shilla
terus bernyanyi, menebarkan senyuman manisnya pada siapapun yang ditemuinya.
Diujung trotoar Shilla berhenti sebentar, dia mematung menatap kemilau diufuk
timur bumi, elok sekali senja sore ini.
“lo nggak pernah berubah ya
shill.” Suara berat menyapa, membuat Shilla mengalihkan pandangannya kearah
samping, ke asal sumber suara yang baru saja menyapanya.
“masih suka senja?.” Perkataan
laki-laki itu lebih terdengar sebagai pernyataan telak daripada pertanyaan.
“r...io...” Shilla menatap
laki-laki disampingnya, sedikit tidak percaya, sudah lama tidak melihat
laki-laki tamapan hitam manis tersebut.
Rio menoleh, melihat Shilla
yang masih terkejut. Disunggingkannya sedikit senyum tipis, sehingga
memperlihatkan gaya khasnya. “apa kabar shill?.”
“lo... Rio...? beneran lo Rio.”
Rio mengangguk.
Sontak Shilla langsung
berteriak girang, kemudian memeluk tubuh jangkung Rio dan berjingkrak-jingkrak
seperti anak kecil. “aaaaa Rio, lo Rio gue, lo kemana aja? Kenapa dulu
ninggalin gue? Lo jahat.” Pekiknya namun masih memeluk Rio.
Rio tersenyum lagi, kali ini
lebih lebar. Dipeluknya juga gadis masa lalunya ini. gadis yang ditinggalkannya
dulu saat mereka masih duduk dibangku kelas 7 SMP. Dulu mereka dekat sekali,
lebih dekat dari seorang sahabat –status yang ada dibelakang mereka-, seperti
sepasang kekasih. Sebelum mengenal Sivia, Rio terlebih dulu mengenal Shilla di
malang, Rio pindah dan memulai hidup barunya dijakarta saat menginjak
pertengahan semester dua. Meninggalkan malang sama saja dengan meninggalkan Shilla,
gadis manisnya.
Rio menghirup nafas lega,
merasakan separuh hatinya kembali. Gadis ini, aShillanya, gadis yang sudah
menjadi separu hidupnya dari dulu. “gue kangen lo shill.” Bisik Rio tepat
ditelinga silla.
Shilla terdiam, beberapa
menit setelahnya ia membalas pelukan Rio dengan erat “lo pikir gue nggak.”
Bisik Shilla membalas bisikan Rio.
******
Dengan sedikit menghela nafas,
Sivia memperhatikan rumah tersebut baik-baik. Rumah yang besar, mewah, dengan
fasilitas yang sangat lengkap, rumah yang terlihat sempurna dari luar, namun
begitu menyesakkan ketika berada dilamamnya. Rumah ini terlalu sepi, membuat Sivia
mikir berulang kali untuk menempatinya meskipun termasuk dalam kreteria rumah
idaman. Bagaimana mungkin si Alvin bisa
hidup bertahun-tahun dengan susana sesepi ini, pantas saja sikapnya begitu
dingin. Sivia melirik Alvin yang masih tidur kemudian tersenyum maklum.
“lo jangan liat Alvin nafsuan
kayak gitu dong vi, jaga nafsu lo, inget lo belom tunangan sama Alvin.” celetuk
Cakka sedikit menahantawanya yang kapan saja akan siap meledak.
“lo bisa diem nggak kka, gue
sumpel juga nih mulut lo.” Sivia menatap Cakka garang.
“wow takut kakak.”
“Cakkaaaaaaaaaa.”
“hahahaha”
Sivia melototkan matanya
kepada Cakka, mengumpat lelaki yang menurutnya sangat amat menyebalkan.
“oke oke gue berhenti.” Kata Cakka
sambil mengentikan tawanya. “udah ah muka lo jangan di tekuk gitu, tadi gue
cuman mau bilang kalo kata tante Winda, pertunangan lo sama Alvin bakalan
diadain lusa.”
“HAH? WHAT? SERIUS?” teriak Sivia
kalang kabut, dia langsung melonjak kaget.
LUSA? Aissh!!! Ini gila, lusa
itu besok dan besoknya lagi dari hari
ini, apa tidak terlalu cepat? Bahkan itu sangat cepat. Sivia menggeram
frustasi. air matanya jatuh begitu saja, bukan air mata sedih atau bahagia,
melainkan air mata yang keluar karena emosinya yang memuncak. Ia ingin berlari
dari kenyataan atau menyuruh kenyataan menelannya hidup-hidup agar dia segera
hilang dari muka bumi ini dari pada harus menuruti permintaan orang tua Alvin
dan ibunya untuk bertunangan lusa.
“ini gila.” Kata Sivia lirih.
Jika boleh ia menentang maka
sekarang juga ia akan berlari menuju tempat ibu dan kedua orang tua Alvin untuk
mengutuk dan menolak mentah-mentah pertunangan tersebut. jujur saja ia ingin
marah, ingin memberontak, ingin menyalahkan takdir karena ialah pihak yang
menjadi korban disini tapi sepertinya percuma saja, tidak ada gunanya.
“vi, lo nggak papa, kan?”
tanya Cakka ketika air mata Sivia merebes bak aliran sungai, tangan gadis itu
terkepal kuat seperti siap menghantam apa saja yang membuatnya marah, nafasnya
timbul tenggelam seperti baru selesai berlari ratusan kelo meter.
“vi...” Cakka sedikit panik
karena Sivia diam -masih dengan air matanya yang jatuh tanpa isakkan, ia
menangis dalam diam sambil berusaha menekan kuat-kuat emosinya yang siap
meledak kapapun yang ia mau.
Sivia masih diam. Tidak
memperdulikan Cakka yang menatapnya iba. Perlahan ia berusaha menggerakan
kakinya, berjalan terseok-seok keranjang
Alvin. ditatapnya wajah putih pucat yang masih tertidur pulas. Sementara Cakka
hanya bisa memperhatikan Sivia yang diam memandang Alvin dengan tatapan emosi.
“lo...” Sivia menatap Alvin
marah.
“lo jangan tidur terus dong,
bantuin gue nentang pertunangan kita, gue gak mau tunangan sama lo jelek.”
Bentak Sivia, suaranya meninggi dan tidak terkendali.
Mendapati tidak ada jawaban, Sivia
kembali mengerang frustasi. Dipegangnya pundak Alvin sambil mengguncangnya
sekuat tenaga. “lo bangun woiiii. Lo bilang sama bokap nyokap lo kalo kita gak
mau tunangan.” Bentak Sivia lagi.
Cakka yang melihat hal
tersebut tidak tinggal diam, ditariknya tangan Sivia yang mengguncang pundak Alvin.
ia tidak suka dengan tingkah Sivia yang kelewatn, jelas-jelas Alvin sedang
sakit. “jangan sentuh Alvin kalo lo Cuma mau marah-marah sama dia, dia nggak
salah dan lo harus terima.” Kata Cakka pelan namun tajam dan terkesan sinis. Cakka
menarik Sivia sampai gadis itu terdorong kebelakang. Inilah sikap Cakka kalau ada yang berani melukai Alvin, melukai
sahabat diamnya itu. tidak peduli cewek atau cowok yang jelas dia akan
bertindak kasar kalau ada yang macam-macam dengan Alvin. kalau bukan karena
permintaan kedua tuan besar sindhunata -yang sudah dianggapnya orang tuanya
sendiri-, yang memintanya menjaga Alvin dan menyuruhnya menganggap Alvin
sebagai adik yang harus dijaganya, dia tidak akan berbuat apapun meskipun Sivia
membunuh Alvin didepannya.
Sivia mengangkat wajahnya,
memperlihatkan wajah angkuh yang selama ini tersembunyi jauh didalam dirinya.
Ia berdecih kesal sambil tersenyum sinis kepada Cakka “lo nggak tau rasanya
jadi gue yang dipaksa tunangan dan sebentar lagi bakalan nikah, bahkan gue
belum pernah ngerasain rasanya pacaran dan sekarang dengan seenak jidatnya
keluarga sindhunata nyuruh gue tunangan, ngerusak masa remaja gue yang bahkan
belum gue sentuh diluar sana.” Kata Sivia
sinis.
Cakka menautkan alisnya. Dia
balas tersenyum sinis. “gue tau rasanya, bahkan sebelum lo ngerasain gue pernah
ngerasain duluan.” Cakka tak kalah angkuh. Dia memang tau rasanya, tau
sakitnya, tau betapa menderitanya jadi bahan perjodohan. dia juga sama seperti Sivia,
sama-sama korban, tentu saja termasuk Alvin juga. “so! Lo jangan nunjukin muka
paling menderita lo didepan gue.”
“lo boleh pergi kalo lo gak
mau.” Suara itu, suara berat yang terdengar pelan menyahut. Suara itu terdengar
mengerang setelahnya. Cakka dan Sivia segera menoleh kearah Alvin, melihat
laki-laki tersebut sibuk mengerang menahan sakit yang ntah sumbernya dari mana.
“gue gak mau maksa orang.”
Alvin bergerak pelan, menarik
nafasnya dalam dan menghembuskannya secara perlahan, ia menutup matanya untuk
mencari ketenangan, bebannya semakin terasa berat sekarang. Ia mendesah namun
masih menutup mata, perlahan nafasnya teratur seperti orang tidur.
Sementara Sivia, ia memandang
Alvin. dapat dirasakannya sesuatu yang mengganjal telak dihatinya. Tapi entah
apa? Ia merasa sesak, seakan-akan ada yang membrontak dihatinya, air matanya
merebes lagi. “Alvin” dipanggilmya nama tersebut.
Sivia berjalan mendekat,
hampir menyentuh wajah Alvin yang benar-benar terlihat seperti orang tidur.
“jangan sentuh gue.” Kata itu keluar dari mulutnya, namun matanya masih
tertutup rapat. “jangan sentuh gue, lo pergi sekarang atau lo bakalan nyesel
setelahnya.”
“al...”
Alvin tidak bergeming lagi.
dia diam. Matanya terpejam semakin erat, seperti takut jika matanya terbuka ia
dapat melihat sesuatu yang menyakitkan di hadapannya. Namun ia juga tidak mau menutup
matanya sebelum melihat calon tunangannya sebelum gadis itu benar-benar meninggalkannya sekarang
Sivia menunduk, ia berbalik
dan hendak melangkah keluar kamar Alvin. kakinya sangat berat untuk melangkah,
hatinya memberontak terlalu keras hingga sesaknya semakin terasa. ia memaki
dirinya sendiri. Ia bimbang. Namun pada akhirnya ia berjalan keluar juga.
BLAM...
Cakka memandang punggung Sivia
yang semakin menjauh dan hilang ditelan pintu kamar Alvin. ia yang dari tadi
menjadi penonton diam hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. bingung
dengan adegan bak sinetron yang sudah tersuguhkan dari tadi.
Cakka beralih menatap Alvin
secara intens. dapat dilihatknya nafas laki-laki itu turun naik secara teratur
seperti orang tidur. benarkah Alvin sudah tidur? TIDAK, laki-laki itu tidak
tidur, dia hanya berpura-pura tidur untuk menghindari hal-hal rumit yang akan didapatinya ketika
membuka membuka matanya. ia memang selalu begitu, lebih memilih menghindar
daripada menghadapi, seperti pengecut namun itu adanya.
Cakka bergeming dari
tempatnya berdiri, mendekati ranjang Alvin dan ikut berbaring disamping Alvin.
merasakan betapa panasnya tubuh laki-laki itu saat permukaan lengannya menyentuh permukaan lengan Alvin.
“dia tidak tidak akan pergi
jauh darimu, tenanglah.” kata Cakka yang entah ditunujukan kepada siapa. ia
ikut memejamkan matanya dan tertidur pulas beberapa menit setelahnya.
############
apa yang harus dilakukannya? benarkah ia akan pergi dan
menghilang sebelum lusa tiba? ia meraba dadanya, disana terasa sesak seperti
ada yang mendesak ingin keluar dan mencegahnya untuk pergi. ada apa dengannya?
apa ia sudah mulai menyukai laki-laki itu hingga membuat kakinya berat untuk
pergi? TIDAK, ia memaki dirinya dan berusaha untuk menghiraukan segala hal yang
membuatnya berat. bukankah ia tidak ingin mengikat hub. apapun denga laki-laki
itu? bukankah ia tidak suka laki-laki itu? tapi kenapa rasanya aneh sekali.rasanya
seakan akan ada yang menelusup dihatinya dan menahannya untuk pergi.
ketika melihatnya pertama kali,
tidak ada ketertarikan untuk mengenalnya lebih dekat,
tidak ada sapaan untuk mengetahui pribadinya,
ketika memandangnya pertama kali,
aku tidak tertegun dengan ketampanan,
aku bergidik melihat tatapannya,
ketika berpapasan pertama kali,
hanya sumpah serapah yang kulontarkan dalam hati,
iringan jeritan kebencian mengisi nada-nada jiwa,
namun untuk yang kesekian kali,
untuk satu waktu yang lebih lama,
untuk perputaran masa yang semakin kedepan,
baru kusadari,
dia tampan,
dia menarik,
dia berbeda,
dan dia berhasil mencuri hatiku....
------------BERSAMBUNG------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar