-Via dan Nathan-
Sepanjang
perjalanan pulang dari FFS mereka tak lagi saling bicara, baik Sivia maupun Alvin
lebih memilih diam. Piala serta piagam FFS yang mereka dapatkan –karena menjadi
the best couple school terabaikan begitu saja di kursi belakang mobil, seakan
kedua benda tersebut tidak lagi berarti. Sivia membuang pandangannya ke arah
luar jendela, pikiran masih melayang jauh pada kejadian tadi. ‘berhenti mengingat, lupakan semuanya. aku
rela dilupakan asalkan kamu tidak merasakan sakit.’ kata-kata Alvin tersebut masih sulit untuk
dicernanya.
Sivia coba
melirik Alvin dari ekor matanya. Laki-laki itu terlihat focus pada kemudinya,
seakan-akan hanya ada dia dan kemudinya, dan mengabaikan kehadiran Sivia. Sivia
mendengus, dan kembali melempar pandangannya ke luar jendela seperti tidak
berniat mengganggu Alvin atau sekedar mengajaknya berbicara. Laki-laki itu –Alvin
benar-benar sulit dipahami jalan pikirannya. Sesulit Sivia memahami
perasaannya
sendiri.
“al lo bisa
jelasin semuanya?.” kata Sivia dengan pandangan masih setia ke luar jendela.
Namun Alvin
bergeming, seolah-olah tidak mendengar perkataan Sivia.
“please,
jelasin semuanya. g… g… gue ta… u… kita udah kenal lama. tapi…”
“nggak ada
yang perlu gue jelasin.” Potong Alvin.
Sivia
menghela nafas jengah dengan sikap Alvin kali ini. Ia benar-benar tidak habis
fikir kenapa semuanya begitu tabu. Dan semua ketabuan tersebut berpusat pada
laki-laki disebalahnya. Seakan-akan kehidupan masa lalunya benar-benar berpusat
pada Alvin, namun kenapa Alvin malah diam.
“LO PERLU
JELASIN SEMUANYA!!!” bentak Sivia sambil menatap tajam kearah Alvin. Sementara Alvin
masih tetap pura-pura tidak mendengarkan Sivia.
Alvin
menghela nafas lelah. Sivia masih tetap menatapnya tajam sepanjang perjalanan
dan itu membuatnya merasa tidak nyaman sama sekali. Ia memilih menepikan
mobilnya dan mematikan mesin mobil. Lantas setelahnya Alvin balas menatap Sivia
tak kalah tajam. Mata hitam kelamnya benar-benar menyeruakan aura dingin yang
mampu membuat siapapun membeku ditempat.
Sivia
benar-benar membeku ditempatnya. Rasa keingintahuannya menguap begitu saja
begitu melihat mata tajam Alvin yang menebarkan aura dingin. “gue berhak atas
ingetan gue dan gue berhak tau apa yang terjadi sama diri gue.” Kata Sivia
lirih.
“gue juga
berhak atas keputusan gue sendiri.” Balas Alvin tajam.
“tapi gue mau
tau tentang ma…”
“gue nggak
peduli.” potong Alvin dan kembali melajukan mobilnya.
Sivia
menyerah membujuk Alvin membuka suara. Percuma menanyakan semuanya pada Alvin.
Laki-laki tersebut mempunyai pendirian yang kuat dan anti paksa, jadi tidak ada
gunanya memaksa Alvin untuk mengatakan apa yang tidak ingin dikatakannya.
“turun.”
Perintah Alvin ketika mobilnya berhenti tepat didepan rumah minimalis milik Sivia.
Sivia
mengangguk paham. ia segera membuka pintu mobil dan hampir menutupnya kembali
ketika suara Alvin mengintrupsi gerakannya.
“Via.”
Panggil Alvin lembut cukup untuk membuat Sivia bingung.
“gue yakin lo
nggak akan mau nginget apapun dari masa lalu kita.” Kata Alvin . Sivia
menyempatkan diri untuk melihat wajah laki –laki tersebut, ia yakin mata itu
benar-benar mengatakan sesuatu padanya namun masih sulit unutuk ia cerna sama
sekali.
“gue harus
pulang.” Sivia mengangguk paham, ia mengerti Alvin mengusirnya secara lembut. Sivia
menutup pintu mobil Alvin dan masih berdiri ditempatnya sampai mobil putih Alvin
benar-benar hilang dari pandangannya. Ia kembali mendesah berat. Satu lagi kalimat yang harus kau cerna
dengan baik Sivia!!! satu lagi bagian puzzlemu yang terpasang pada bidaknya!!!
kau harus memikirkannya dengan baik.
++++++++
Cakka dan Ify
sedang duduk santai di ruang tamu rumah keluarga sindunata pada minggu pagi
ini. Mereka berbincang ringan sambil menunggu Alvin yang belum pulang dari
acara FFS kemarin malam. Sambil meneguk coklat panasnya Ify mendengar rencana Cakka
untuk masa depan mereka. Walaupun masih terbilang muda, mereka ingin semapan
mungkin menyiapkan segala sesuatu yang akan mereka jalani setelah Cakka lulus
SMA tahun ini.
“Apa kamu
yakin ingin secepat itu?.” Tanya Ify sedikit ragu. Namun dibalas Cakka dengan
anggukan pasti dan tatapan yang sangat yakin.
“Kalau bisa
secepatnya kenapa harus kita tunda fy? Lagi pula tidak mungkin kita tinggal
serumah –hanya berdua tanpa ikatan.”
“Tapi disana
bebas Kka.”
“Aku tidak
mau menambah dosa dengan tinggal berdua tanpa ikatan, kalau kau tidak lupa kita
ini belum muhrim.” Ify mengangguk paham.
“Lalu, apa
harus secepat itu?.”
“hmmm, iya...
Setelah lulus SMA kita menikah, lalu aku akan ikut bersamamu ke LA, aku juga
akan mencari University disana dan kamu harus menyelesaikan pendidikanmu.
setelah pendidikan kita selesai aku berencana menetap di Indonesia dan membantu
Alvin untuk melanjutkan bisnis keluarga sindunata.” Jelas Cakka panjang lebar.
“baiklah, aku
mengerti.” Lagi sekali Ify mengangguk-ngangguk paham. Ia tidak akan keberatan
jika harus menikah muda asalkan dengan Cakka –tunangannya. “tidak apa kita
menikah muda asalkan tid.…”
BRAAAAK!!!
Kata-kata Ify
terintrupsi dengan suara pintu yang terbuka secar kasar. Kontan membuat Cakka
dan Ify sama-sama melihat kearah ambang pintu. Mereka melihat Alvin yang baru
saja merjalan masuk dengan langkah gontai, penampilannya telihat acak-acakan
dengan Tuxedo yang tersampir dipundaknya dan lengan kemeja yang digulung asal
sesiku. apa lagi yang dia lakukan kali
ini? batin Cakka.
“habis dari
mana Nathan?.” Tanya Ify melihat adik sepupunya yang terlihat berantakan. Alvin
menatapnya tajam, membuat Ify mengerti dan segera meralat panggilannya.
“eheem.. maksudku kamu dari mana al?.”
Alvin
menghela nafas, memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Ify yang ia rasa
tidak terlalu penting.
“sejak kapan
lo jadi bisu?.” sindir Cakka.
Langkah Alvin
terhenti. Dengan malas ia melihat Cakka dan Ify yang sedang menunggu
jawabannya. “percobaan bunuh diri, tapi gak bisa.” kata Alvin santai. Sementara
Cakka dan Ify hanya geleng-gelang kepala tidak mengerti dengan jalan pikiran Alvin.
“Gimana lo
sama Sivia, udah lo jelasin semuanya?.” Tanya Cakka lagi.
“kagak.”
“pengecut
lo!.” Cakka mencibir dan sukses membuat Alvin memandangnya Geram.
“lo gak
ngerti mending lo diem.”
“gue ngerti!
ngerti kalau lo emang pengecut. Apa susahnya lo jelasin ke Sivia tentang masa
lalu kalian.”
“gue bilang
diem ya diem! lo nggak ngerti gimana takutnya gue kalau dia kesakitan.” kata Alvin
tajam. “lagian percuma gue jelasin semuanya, nggak akan ada yang jadi baik. gue
yakin lo tau gue orangnya kayak gimana!.”
“lo nggak
bisa gini al, dia berhak tau….”
Alvin memutar
bola matanya bertanda ia jengah dengan hal-hal berbau ‘Hak’ yang kemarin malam
juga sempat didengarnya dari mulut Sivia. “gue juga berhak atas keputusan gue
sendiri.” tegas Alvin.
Cakka terdiam
lumayan lama, kemudian mengangguk paham meskipun sebenarnya ia tidak paham
dengan jalan pikiran Alvin.
“terus apa
rencanamu sekarang?.” Tanya Ify yang dari tadi diam. Ia gemas sendiri dengan
tingkah sepupunya yang tidak jelas apa mau dan tujunannya.
“pergi
secepat mungkin dari hidup Sivia.” balas Alvin enteng, tapi cukup untuk membuat
Ify dan Cakka bingung.
“maksud lo?.”
Tanya Cakka tidak sabar.
“Gue
mengakselerasikan diri tahun ini.” jawab Alvin tidak nyambung dengan pertanyaan
Cakka. “Lusa gue ikut test khusus kelas aksel
dan kalo gue lolos, minggu depan gue ikut UN bareng angkatan lo Kka. Gue juga
dapet beasiswa full S1 di German.”
“jadi maksud
lo, lo mau lari dari masalah lo sama Sivia?.” Cakka cukup geram setelah
mengetahui maksud Alvin.
“gue nggak
lari karena emang nggak ada masalah.” balas Alvin. “kalaupun gue lari gue nggak
bisa berhenti disini, semua udah gue persiapin sejak awal.”
“sejak
awal?.” Tanya Ify bingung.
“sejak
pertunangan gue gagal.”
“jadi semua
rencana ini udah lo susun udah lama, terus apa maksudnya permainan lo sebelum
FFS?.” Cakka tak habis fikir dengan tingkah Alvin. Benar-benar tidak bisa
ditebak.
Alvin
menyeringai tanpa jelas maksudnya. Tanpa menjawab pertanyaan Cakka, ia kembali
berjalan melewati ruang tamu, naik ke lantai dua dan berjalan kearah kamarnya.
Sementara Ify
dan Cakka tidak bisa berkata apa-apa lagi, mereka tidak bisa menebak apa yang
ada dikepala Alvin. Laki-laki itu benar-benar sudah GILA!!! –menurut mereka.
“mimpi apa
aku punya adik sepupu semapan dan segila dia.” gumam Ify tidak jelas.
Cakka
mendesah. “mimpi apa gue disuruh neglindungin Laki-laki sekeras kepala dia.”
Mereka berdua
sama-sama menghela nafas, lalu saling tukar pandang dan kembali menghela nafas.
Hanya Alvin jonathan yang bisa membuat otak mereka buntu seperti ini, sungguh…
+++++++++++
Sivia
merebahkan tubuhnya di atas kasur King Sizenya. Ia tak habis fikir dengan jalan
pikiran Alvin dan kekeraskepalaanya. Belum lagi masalah hatinya yang seakan
menuntunnya menyibak sesuatu yang telah lama terpendam dan kini mencuat kembali
kepermukaan. Dan sekarang satu-satunya petunjuk yang dimilikinya hanya sebuah cincin
cantik yang entah kapan tersemat di jari manisnya.
Dengan
perlahan Sivia mengangkat tangan kanannya dan memperhatikan dengan seksama
cincin cantik yang tersemat di jari manisnya. Sebelum ini ia merasa mengenal
cincin tersebut, tapi dimana?. Sivia mencoba memutar kembali ingatannya, tanpa
sadar tangannya yang lain meraba pipi chubbynya. Ia masih merasakan sentuhan
benda dingin di pipinya dan semuanya terputar jelas tepat saat Alvin memeluknya
diatas stag FFS kemarin malam.
***flashback
on***
“berhenti mengingat, lupakan semuanya. aku rela
dilupakan asalkan kamu tidak merasakan sakit.” Sivia tertegun mendengar bisikan
itu. Ia tahu jelas siapa pemilik suara tersebut.
Sivia memejamkan matanya guna menikmati betapa
hangatnya dekapan kedua tangan kokoh milik Alvin. Laki-laki itu memeluknya
dengan erat dan membuat semua rasa pening yang tadi bersarang dikepalanya
langsung sirna. Meski tak mengerti arti bisikan tersebut, Sivia tidak terlalu
perduli, yang jelas sekarang dekapan Alvin mampu membuatnya merasa tenang dan
nyaman.
Cukup lama dekapan itu tak lepas juga. Sivia
masih mencoba menikmatinya, menikmati suara detak jantung Alvin yang terdengar
jelas ditelinganya, menikmati sentuhan tangan kokoh Alvin yang memberikannya
kehangatan luar biasa, menikmati aroma tubuh Alvin yang membuatnya candu, dan
menikmati rasa dingin yang menyentuh pipinya….
Sivia membelalakan matanya, tidak mengerti dengan
kata ‘rasa dingin yang menyentuh pipihnya’. Dengan sedikit menggeser letak
kepalanya didada bidang milik Alvin, ia dapat melihat dengan jelas sebuah benda
dingin yang menyentuh pipinya. Benda tersebut menggantung dan menjadi bandul
kalung yang menggantung dileher putih Alvin. Sivia menajamkan pengelihatannya
dan sepertinya ia mengenal benda tersebut…
Belum selesai dengan pengamatannya, Sivia merasa
dekapan Alvin mulai melonggar dan melepaskan Sivia yang masih asik memicingkan
mata. Seiring dengan hal tersebut, suara riuh rendah membahana memenuhi lokasi
FFS. Dan Sivia kembali pada posisi semula dengan pipi bersemu merah sementara Alvin
tidak beraksi apapun.
*** Flashback
off***
Sivia
tersenyum sumbringah, ia yakin benda dingin yang menjadi bandul kalung Alvin
tersebut adalah cincin cantik yang sama dengan yang Sivia punya. Meskipun tidak
terlalu jelas melihatnya waktu itu, namun ntah mengapa perasaan Sivia
mengatakan kalau benda tersebuut benar-benar sama seperti cincin yang
dimilikinya.
Sivia kembali
memprhatikan cincin yang tersemat di jari manisnya. Ia menatap lekat-lekat
cincin tersebut, cukup lama. Meski tidak mendapatkan petunjuk lain dari
memandangi cincinnya, Sivia tetap memperhatikan setiap ukiran yang ada dicincin
tersebut. Sekilas sebuah bayangan melintas di kepalanya, membuat kepalanya
kembali berdenyut, namun Sivia masih tetap tidak mengalihkan pandannya dari
cincin tersebut.
Seperti
sebuah film lusuh, sebuah bayang-bayang masa lalu bermain dikepalanya. Sivia
mengerang menahan sakit, sementara film lusuh tersebut tetap bermain
dikepalanya. Sampai akhirnya Sivia tak sanggup dan tertidur kelelahan.
Sepertinya memutar bayang-bayang masa lalu
tersebut membuat tenaga Sivia terkuras habis tanpa sisa.
+++++++++
Alvin
mengeringkan rambutnya sambil bercermin. Baru saja ia berniat untuk bermonolog
ria dengan cerminan dirinya ketika suara smartphonenya mengintrupsi niatnya.
Dengan gerakan malas, Alvin mengambil Smartphonenya yang tergeletak diatas
tempat tidur.
0858147XXXXX Calling
Alvin
mengernyitkan keningnya ketika melihat nomor yang terpampang di layar LCD.
Meskipun nomor tersebut tidak tersimpan di phonebooknya, tapi ia menghapal
jelas diluar kepala nomor tersebut. Tumben orang itu menghubungunginya setelah
kejadian kemarin lusa. Tak mau ambil pusing, Alvin segera menekan tombol kanan
dan segera menekan tombol spiker dan meletakannya diatas meja yang dekat dengan
kaca.
“hallo.”
suara disebrang sana membuat Alvin menghentikan gerakannya yang masih sibuk
mengeringkan rambut dengan handuk kecil.
“hmmmmm.”
balas Alvin pura-pura tidak peduli.
“Alvin .”
“hmmmmm.”
Tidak ada
suara lagi setelah itu. orang disebrang sana menghela nafas berat seperti
jengah dengan Alvin yang hanya membalas dengan gumaman ‘hmmmmm’ disetiap
perkataannya.
“al, gue cuma
masu ngajak lo ketemuan. ada yang mau gue omongin. gue tunggu ditaman deket SMP
Losztrik, sekarang.” kata orang disebrang sana dalam sekali tarikan nafas.
“terserah lo mau dateng atau nggak, yang jelas gue bakalan tungguin lo sampai
lo dateng.”
“hmmmmm.”
“thanks.”
serasa percuma ngomong panjang lebar dengan Alvin, orang disebrang sana
langsung mutusin sambungan.
tuuuuutuuuutuuuuut
Alvin
tersenyum tipis. Tanpa memperbaiki tatanan rambutnya –yang acak-acakan karena
habis digosok-gosok dengan handuk, Alvin langsung menyambar hp dan kunci
mobilnya. Ia akan menemui orang yang menelponnya tadi.
++++
Alvin
tertegun begitu turun dari mobilnya. Sudah lama ia tidak pernah ketaman ini,
tepatnya setelah kejadian pesta pertungan Cakka-Ify. Kakkinya berjalan untuk
memasuki taman, dan terhenti begitu melihat sebuah kursi putih panjang yang
menghadap barat. Ia ingat dulu, disanalah ia sering menghabiskan waktunya
dengan Sivia –sebelum gadis itu lupa ingatan dan melepukan segala hal tentang
hubungan mereka dimasa lalu.
Tidak berniat
menduduki kursi tersebut, Alvin berdiri dan menyenderkan tubuhnya di pohon
besar yang tampak sudah tua namun tetap berdiri kokoh ditempatnya. Matanya
menjelajahi setiap ruang terbuka taman ini. Taman yang dekat dengan SMP
Losztrik –tempatnya menjalani masa-masa SMP bersama Sivia. Dulu Setiap pulang
sekolah mereka akan menghabiskan waktu disini, entah untuk belajar bersama,
makan es krim, dan ngadate sekalipun. sepertinya setiap inci taman ini
mempunyai kenangan tersendiri untuknya.
Alvin menutup
matanya ketika angin menerpa kulit wajahnya dan bersamaan dengan hal itu sebuah
kehangatan melingakr ditubuhnya. Alvin tetap diam sambil menikmati kehangatan
tersebut, Ia tidak berniat membuka mata, takut ketika matanya terbuka nanti
kehangatan itu akan sirna begitu saja.
“Kangen
Nathan.” suara itu membuat Alvin semakin mengeratkan matanya. sungguh,
halusinasinya saat ini terasa begitu nyata dan ia tidak ingin halusinasinya ini
beranjak sedikitpun. Jika bisa Alvin akan memilih untuk hidup dengan
halusinasinya jika kehangatan dan suara yang amat sangat dirindukannya ini
terasa nyata seperti sekarang.
“Nath, Via
inget semuanya. Via kangen Nathan, maafin via udah lupain Nathan.” suara itu
terdengar kembali. Bahkan sekarang punggungnya terasa basah oleh sesuatu yang
hangat.
Alvin
tertegun. “Apa ini nyata?.” Tanyanya tanpa sadar.
Sesautu yang
menempel di punggungnya bergerak turun naik dengan pelan. Hal itu cukup untuk
membuatnya menarik kedua sudut bibirnya untuk sebuah senyuman kelegaan.
+++++++++
Sivia
tersenyum lega setalah menghubungi Alvin. Laki-laki itu cukup membuatnya naik
darah dengan balasannya yang hanya menggumamkan kata ‘hmmmmm’ sepanjang
percakapan. Dengan perasaan senang ia mengendarai mobilnya menuju tampat yang
sudah ia tentukan untuk bertemu dengan Alvin. Rasanya ia benar-benar ingin
cepat sampai disana dan memeluk laki-laki tersebut. Sungguh ia sangat
merindukan Alvin setelah semua ingatannya kembali karena dampak dari acara
memandangi cincin yang masih tersemat dijari manisnya.
Sepanjang
perjalanan Sivia tak henti-hentinya memutar kembali ingatannya dulu bersama Alvin.
Meskipun kepalanya masih sering terasa sakit, namun ia tetap tak peduli,
ingatan masa lalunya lebih penting dari rasa sakit dikepalanya. Ingatan-ingatan masa lalu yang indah, aku
bodoh jika melupakannya begitu saja, batin Sivia.
Setelah
memarkirkan mobilnya, Sivia berlari-lari kecil memasuki taman. Langkahnya
hampir terhenti begitu melihat punggung orang yang sangat ia rindukan. Alvin
sudah ada disana ternyata. Sivia tersenyum senang, ia kembali berlari dan
menubruk punggung laki-laki tersebut dan mengalungkan tanganya diperut Alvin.
Rasanya sudah lama ia tidak memeluk pemilik punggung ini dan sensasi ketika
memeluknya tetap sama. hangat dan menenangkan.
Sivia
menenggelamkan wajahnya dipunggung Alvin, ia memejamkan matanya dan menikmati
sensasi-sensasi yang telah lama tak dirasakannya ketika bersama Alvin. “Kangen
Nathan.” ujar Sivia tulus. Ia mengeratkan pelukannya sambil menghirup aroma
maskulin tubuh Alvin yang tidak pernah berubah sejak dulu.
“Nath, Via
inget semuanya. Via kangen Nathan, maafin via udah lupain Nathan.” Air mata Sivia
lolos begitu saja. ntah apa yang membuatnya menangis, ada rasa haru bercampur
dengan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini.
“Apa ini
nyata?.” Alvin membuka suaranya, membuat Sivia mengangguk pelan secara reflek.
“iya, ini
nyata Nath.” kata Sivia dengan suara teredam. “Via kembali, Ingatan Via
kembali.” Alvin mengangguk, ia mengerti dan percaya bahwa ini nyata. Via –nya
kembali.
Alvin
merenggangkan pelukan Sivia dan memutar tubuhnya –menghadap Sivia. Sivia
kembali memeluk Alvin dan menenggelamkan kepalanya dalam dada bidang Alvin. Ia
seperi tidak ingin melepaskan Alvin kembali, sudah cukup satu tahun untuknya
kehilangan memorinya dan kali ini dia tidak ingin kehilangan apapun tentang
seorang Alvin.
“Via cinta
Nathan.” kata Sivia parau, suaranya
terdengar bergetar, namun penuh keyakinan.
Alvin
tersenyum, ia mengangkat wajah Sivia yang
dari tadi menempel didadanya. Ia menghapus air mata gadis tersebut dan
menatapnya dengan lembut. “Gue selalu cinta sama lo Vi.” kata Alvin tak kalah yakin. Sivia mengangguk percaya.
“kita mulai
dari awal ya Nath.” Sivia menatap Alvin secara intens. “Kamu Nathan dan Aku
Via.”
Alvin diam,
ia tidak mengangguk ataupun menggeleng, namun tetap tersenyum dan balas menatap
Sivia dengan lembut. “maaf vi, Nathan
dan Via adalah masa lalu. Kita ngga bisa balik ke masa lalu.” Sivia terpelonjak
kaget, matanya melebar sempurna dengan air mata yang kembali menetes. Ia
menggeleng penuh kalut.
“maksud…?.”
Tanya Sivia takut-takut.
“Kita nggak
bisa balik ke masa lalu. nggak ada Via dan Nathan. sekarang yang ada gue Alvin
dan lo Sivia.”
“Nath! kamu
ngomong apa sih. kamu masih cinta sama Via, kan? iya, kan?.” Tanya Sivia
histeris, ia menghempaskan tangan Alvin yang masih dipipinya. “BILANG IYA NATH!!!!.”
“maaf.” kata Alvin
pelan. Sivia menutup kedua telinganya dan terus menggeleng-gelengkan kepalnya,
tidak terima. “gue nggak bisa, lo udah nolak gue waktu tunangan dan buat gue
nggak ada lagi waktu buat mulai dari awal.”
“gue selalu
cinta sama lo vi.”
“TAPI KENAPA
KAMU NGGAK MAU DIAJAK BALIKAN! CINTA KAMU PALSU!.” teriak Sivia semakin
isteris.
“maaf buat
gue kesempatan kedua itu nggak ada.” Alvin menatap Sivia secara intens,
membiarkan gadis tersebut terus menangis hingga terisak, melihat betapa
menyedihkannya gadis tersebut yang terus meraung.
“dengerin
gue.” Alvin menarik kedua tangan Sivia yang menutup telinganya sendiri, Ia
memandang gadis tersebut tapat pada manik-manik matanya, dengan perlahan Alvin
mendekatkan kepalanya ke kepala Sivia dan mengecup puncak kepala gadis tersebut
dengan lembut dan lama.
“Nathan dan
Via itu masa lalu.” kata Alvin menerangkan, setelahnya ia memilih meninggalkan Sivia
yang kembali menangis terisak.
Serasa tak
lagi mempunyai tulang penyangga, Sivia jatuh tertunduk, tangisnya benar-benar
pecah. Hatinya teriris sakit melihat punggung orang yang dicintainya menjauh
begitu saja, menjauh hingga akhirnya hilang.
“Sekarang
hanya ada Alvin dan Sivia.”
Alvin yang tidak pernah memberikan kesempatan
kedua. Dan Sivia yang telah menyia-nyiakan satu-satunya kesempatan yang ia
miliki.
-BERSAMBUNG-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar